Kisah Anak-anak Marhaen

Disebut-sebut sebagai calon-calon kader PNI, para marhaenis muda itu dianggap gagal mengamankan Bung Karno.

OLEH:
Hendi Jo
.
Kisah Anak-anak MarhaenKisah Anak-anak Marhaen
cover caption
GMNI di bawah pimpinan Surjadi diterima oleh Presiden Soeharto di Istana Negara, 1969. (IPPHOS).

WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).  

“Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 80 tahun lalu tersebut.

Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengoordinasi anak-anak muda sesama marhanenis untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno.

WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).  

“Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 80 tahun lalu tersebut.

Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengoordinasi anak-anak muda sesama marhanenis untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno.  

“Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau,” katanya kepada Historia.

Sejak kelahirannya, GMNI memang sudah diarahkan menjadi organisasi kader PNI (Partai Nasional Indonesia) dan pembela ide-ide Bung Karno. Lantas, bagaimana kiprah organisasi massa (ormas) mahasiswa itu dalam upaya mewujudkan hal tersebut?

Lahir Menjelang Pemilu

Setahun menjelang Pemilu 1955, bertempat di rumah dinas Walikota Jakarta Raya Soediro di Jalan Taman Suropati, Jakarta terjadi pertemuan antara tiga pemimpin organisasi kemahasiswaan yang sama-sama memiliki azas Marhaenisme.  

Ketiga organisasi tersebut adalah Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka yang berpusat di Surabaya, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia yang berpusat di Jakarta. Ketiga organisasi setuju untuk melakukan fusi. Maka, bertempat di Surabaya, pada 23 Maret 1954, mereka mendirikan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan menetapkan M. Hadiprabowo sebagai ketua umum pertamanya.  

Pembentukan GMNI melengkapi anasir partai dari kalangan anak muda. Jauh sebelum GMNI, PNI telah memiliki onderbouw pemuda bernama PDI (Pemuda Demokrat Indonesia) yang lahir pada 1947. Bahkan, menurut R.H. Djadja Winatakoesoemah (80), pada perkembangan berikutnya tak jarang seorang anggota GMNI juga merangkap anggota PDI. “Ya contohnya saya sendiri, selain menjabat sebagai ketua GMNI juga menjabat sebagai ketua PDI di Tasikmalaya,” ujar tokoh PNI Jawa Barat tersebut.  

Pernyataan Djaja itu dibenarkan oleh Walujo. Di internal GMNI sendiri tak ada larangan bagi anggotanya untuk masuk organisasi massa lain. “Boleh-boleh saja, tapi tentunya harus seasas. GMNI dan PDI kan sama-sama Marhaen jadi enggak apa-apa,” katanya.  

Dalam kenyataannya, di lapangan dua organ anak muda marhaenis ini kerap bahu-membahu dalam perjuangan politik. Selaku organisasi kader, tak jarang keduanya menyumbangkan anggota-anggota terbaiknya untuk PNI. Bukan itu saja, mereka pun termasuk aktif mendulang suara di kalangan anak-anak muda pada Pemilu 1955.

“Saat itu, PNI memang menempatkan organisasi-organisasi massanya dalam suatu front yakni Front Marhaenis,” tulis Nazaruddin dalam PNI dan Kepolitikannya, 1963–1969.  

Tiga tahun setelah Pemilu 1955, GMNI mengalami ketidakjelasan aktivitas. Kendati cabang-cabangnya aktif menyelenggarakan ceramah, seminar, dan kegiatan mahasiswa lainnya, pimpinan-pimpinan nasional GMNI sebagian besar justru tidak aktif. Hal ini antara lain karena mereka lebih fokus belajar dibandingkan membenahi organisasi.  

Maka, pada Oktober 1957, lewat kongres keduanya di Bandung, GMNI mendapuk pimpinan baru yakni Bambang Kusnohadi sebagai ketua dan Sutamto Dirdjosuparto sebagai wakil ketua. “Mereka memegang kedudukan tersebut sampai 1966,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi.  

Walujo Martosugito, eks Presidium GMNI. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Kompetisi Revolusioner

Kongres ke-10 pada September 1963 menghasilkan duet Ali Sastroamidjojo-Ir. Surachman sebagai pimpinan PNI. Situasi tersebut menyebabkan bandul politik partai semakin bergeser ke kiri dan pembersihan orang-orang sayap kanan berlangsung secara bertahap.  

Namun, bagi GMNI, era Ali-Surachman itu adalah masa-masa yang penuh gairah. Selain dimaksimalkannya metode aksi massa dan agitasi propaganda (lewat jargon-jargon revolusioner) sebagai instrumen politik partai, Ali-Surachman pun memberikan kesempatan besar kepada kader-kader muda untuk berkiprah.  

“Sebagian besar kekuatan kelompok Ali-Surachman adalah pemimpin-pemimpin yang berasal dari ormas,” tulis Rocamora.  

Kader-kader GMNI juga aktif berupaya mengganti para pemimpin konservatif partai di daerah. Akibatnya banyak pemimpin puncak dari ormas PNI lain seperti Pemuda Marhaenis (nama baru PDI), Wanita Marhaenis, dan Kesatuan Buruh Marhaenis diisi oleh mantan aktivis GMNI.  

Di dunia kemahasiswaan, GMNI berjaya dengan menguasai lebih dari setengahnya posisi di dewan eksekutif MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia). Hingga 1964, mereka mengklaim punya 75.000 anggota di seluruh Indonesia. Di tingkat perguruan tinggi, pengaruh GMNI pun tak kalah merajalelanya. Hampir sebagian besar senat fakultas dan senat mahasiswa dikuasai oleh mereka.

“Posisi-posisi tersebut biasanya diperoleh dengan mengorbankan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan kelompok-kelompok mahasiswa yang berhimpun dalam badan intra kampus,” tulis John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Melawan Tirani.  

Di lain pihak, GMNI pun semakin aktif membangun citranya sebagai kelompok mahasiswa progresif revolusiener. Seminar dan demostrasi yang mengusung ide-ide marhaenis kerap mereka adakan hingga pelosok. “Kami melakukan kompetisi revolusiener dengan orang-orang kiri lainnya seperti PKI,” kenang Walujo.  

Kejayaan itu berlangsung menjelang peristiwa 30 September 1965 meletus. Konstelasi berubah. Kelompok sayap kanan mulai kembali mengkoordinasikan perlawanan. Aliansi di antara kelompok kiri pun jadi sebuah keniscayaan. GMNI menarik diri dalam suatu kubu bersama ormas mahasiswa kiri lainnya seperti Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).

Presidium GMNI bersama Presiden Sukarno dan Hartini di Istana Bogor, 1966. (dpcgmniblitar.wordpress.com).

Gagal Membela Sukarno

Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. KAMI yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke jalan. “Demonstrasi tersebut sering dengan diringi juga aksi penempelan poster dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” tulis Maxwell.  

Aliansi kelompok mahasiswa kiri tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu menggantinya dengan poster-poster yang di antaranya berbunyi “Hidup Bung Karno” dan “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim”.

Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan, perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Gie juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno. “Jumlahnya 100 juta rupiah,” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.  

Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu peleton pasukan Tjakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI. “Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti-Sukarno,” tulis Maxwell.  

Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS. Jenderal TNI Soeharto naik sebagai penjabat presiden. Begitu berkuasa, Soeharto langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk yang bercokol di PNI.  

Tentu saja GMNI terkena imbas langsung. Saat kekuatan-kekuatan sayap kanan di PNI kembali menemukan momentumnya, tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari unsur-unsur kiri. Pada 1969, diadakanlah Kongres GMNI yang ke-5 di Salatiga. Lewat perdebatan keras, akhirnya duet Bambang-Sutamto harus turun, digantikan oleh duet yang didukung pemerintah Orde Baru: Soeryadi-Budi Hardjono. Gagal mempertahankan Sukarno, GMNI pun jatuh ke haribaan Orde Baru.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668b6fa9d44a98909f23828c