Kisah dari Kotak Teater

Selama pendudukan Jepang di Indonesia, kamishibai menjadi media propaganda. Salah satu tonggak awal yang memengaruhi manga dan animasi Jepang.

OLEH:
Annisa Mardiani
.
Kisah dari Kotak TeaterKisah dari Kotak Teater
cover caption
Masyarakat dan anak-anak tampak antusias menyaksikan pertunjukan kamishibai. (Djawa Baroe, 15 November 1944).

PARA dalang berkeliling Jawa menggunakan sepeda. Begitu berhenti di pinggir jalan atau tanah lapang atau sekolah, mereka membuka kotak kayu yang dibawa di belakang sepeda. Setelah warga berkerumum atau para siswa duduk manis di bangku sekolah, sang dalang memulai pertunjukannya. Hiburan kamishibai –dari kata kami untuk kertas dan shibai sandiwara– menjadi salah satu media propaganda Jepang ketika menduduki Indonesia.

Di negeri asalnya, Jepang, kamishibai jadi pertunjukan yang populer di kalangan anak-anak. Pertunjukan kamishibai adalah hiburan jalanan. Anak-anak berdesakan menikmati tiap adegan dalam gambar-gambar berbingkai. Sang dalang tak henti bercerita sembari mengganti gambar demi gambar. Tak hanya menjual keahliannya bercerita, biasanya sang dalang menjual permen untuk menambah penghasilan dan agar anak-anak tambah gembira.

PARA dalang berkeliling Jawa menggunakan sepeda. Begitu berhenti di pinggir jalan atau tanah lapang atau sekolah, mereka membuka kotak kayu yang dibawa di belakang sepeda. Setelah warga berkerumum atau para siswa duduk manis di bangku sekolah, sang dalang memulai pertunjukannya. Hiburan kamishibai –dari kata kami untuk kertas dan shibai sandiwara– menjadi salah satu media propaganda Jepang ketika menduduki Indonesia.

Di negeri asalnya, Jepang, kamishibai jadi pertunjukan yang populer di kalangan anak-anak. Pertunjukan kamishibai adalah hiburan jalanan. Anak-anak berdesakan menikmati tiap adegan dalam gambar-gambar berbingkai. Sang dalang tak henti bercerita sembari mengganti gambar demi gambar. Tak hanya menjual keahliannya bercerita, biasanya sang dalang menjual permen untuk menambah penghasilan dan agar anak-anak tambah gembira.

Tak ada catatan kapan kamishibai bermula. Seni bercerita dengan bantuan kertas bergambar ini ditengarai telah ada di Jepang sejak abad ke-9. Mulanya dipakai para biksu untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Pada periode setelahnya, terutama masa Edo dan Meiji, tradisi bercerita ini bergeser jadi hiburan.

Memasuki abad ke-20, terutama tahun 1930-an, ketika masa depresi, banyak pekerja Jepang yang kehilangan pekerjaan menggunakan kamishibai untuk mencari nafkah. Sejatinya, mereka pedagang keliling, menjual permen atau makanan ringan. Kamishibai dipakai untuk membujuk penonton membeli barang dagangannya.

Melihat popularitasnya, selama 1930-an dan 1940-an, pemerintah Jepang yang melibatkan diri dalam Perang Dunia I memproduksi sejumlah cerita kamishibai dan menyebarkannya ke seluruh negeri; dari sekolah hingga pabrik-pabrik, bahkan tersedia di toko-toko buku. Isinya memuat soal perang dan kepahlawanan, berperilaku baik, peringatan akan adanya mata-mata, hingga informasi tentang pertempuran. Ketika Jepang terlibat dalam Perang Dunia II, kamishibai dibawa menyeberang ke negara-negara yang didudukinya, termasuk di Indonesia.

Juru gambar Sendenbu melukis adegan-adegan cerita kamishibai. (Djawa Baroe, 15 November 1944).

Media Propaganda

Di Indonesia, Departemen Propaganda (Sendenbu) mulai menggunakan kamishibai –selain seni pertunjukan lainnya plus media cetak dan elektronik– memasuki tahun 1943 untuk menyebarkan gagasan kemakmuran Asia Raya, ajakan perlawanan terhadap kekuatan Sekutu, dan mobilisasi penduduk untuk membantu Jepang dalam perang.

Sendenbu menangani langsung pembuatan cerita, gambar, pelatihan dalang dan tim, serta publikasi pertunjukan kamishibai. Gambar-gambar yang dipakai untuk pertunjukan kamishibai biasanya dilukis tangan di kantor pusat Sendenbu. Hasil lukisan tangan tersebut kemudian disebarkan ke cabang-cabang di setiap daerah dan dilukis ulang.

“Dalam Seksi Material Sendenbu terdapat beberapa pelukis dan karikaturis Jepang terkemuka, dan mereka memimpin produksi kamishibai,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Selain para pelukis, pertunjukan kamishibai tentunya membutuhkan dalang (kamishibaiya) yang andal. Sendenbu melakukan perekrutan secara ketat. Setelah calon dalang lulus tes pidato, mereka diberi pelatihan selama sepuluh hari di setiap Unit Operasi Distrik. Barulah setelah itu, para dalang dikirim ke desa-desa.

Para dalang berkeliling menggunakan sepeda dengan sebuah “kotak teater” di belakangnya. Setiba di satu desa, warga riuh menyambut lantaran pejabat desa dan pemimpin tonarigumi (rukun tetangga atau RT) telah mengumumkan perhelatan kamishibai jauh hari sebelumnya. Setelah pidato berisi seruan pemerintah pendudukan sebagai pembuka pertunjukan, dalang pun membuka “kotak teater”, memasukkan kertas bergambar satu per satu, dan mulai bercerita.

Sang dalang mulanya memiliki kisah kasar cerita yang akan dia tampilkan sesuai standar dari kantor pusat Sendenbu. Namun, biasanya sang dalang leluasa menyesuaikan situasi setempat asalkan masih dalam konteks yang ditentukan. Tak melulu bahasa Indonesia. Agar lebih efektif, bahasa daerah pun kerap dipakai.

Sasaran dari media ini tak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa. Tema-tema ceritanya beragam, dari seruan masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan romusha (kerja paksa) hingga promosi hasil tani dan tabungan pos. Selama 10–20 menit, sang dalang menceritakan 10–40 adegan semenarik mungkin. Sesekali dia menyelipkan humor agar suasana lebih meriah.

Quote

Di Jawa, pertunjukan gambar ini dianggap sebagai salah satu media yang paling mudah dan murah untuk menyebarkan pesan-pesan pemerintah.

Aiko Kurasawa, mengutip Laporan Bulanan Sendenbu No. 22 Desember 1943, menulis bahwa pertunjukan kamishibai dilakukan di tempat-tempat seperti sekolah, unit, kerja, dan desa-desa. Misalnya, antara 13–21 Desember 1943 di Kotamadya Khusus Jakarta, diselenggarakan pertunjukan kamishibai di 24 sekolah. Sementara di Semarang, dihelat pertunjukan bagi para buruh di kawasan pabrik besar. Pada saat yang sama, dilakukan pertunjukan di wilayah keresidenan Banten dan Kudus.

“Di Jawa, pertunjukan gambar ini dianggap sebagai salah satu media yang paling mudah dan murah untuk menyebarkan pesan-pesan pemerintah,” tulis Aiko Kurasawa.

Untuk memperluas jangkauan, Sendenbu menjalin kerja sama dengan instansi lain. Chokinkyoku (Biro Tabungan Pos) misalnya, membuat cerita bertemakan ajakan menabung. Tjahaja, 15 Februari 1943, memberitakan staf-staf Sendenbu membuat gambar berdasarkan cerita dari Chokinkyoku dan setelah siap, kampanye ajakan gemar menabung diselenggarakan di Jawa dengan menggunakan pertunjukan kamishibai.

Sendenbu juga memanfaatkan media sehingga cerita dan gambar-gambar kamishibai bisa dinikmati secara lebih luas. Antara bulan Maret hingga Oktober 1944, majalah dwibahasa Djawa Baroe memuat kisah dan gambar-gambar kamishibai. Majalah ini juga memuat proses produksi kamishibai hingga akhirnya bisa dinikmati masyarakat. Berdasarkan keterangan dalam Djawa Baroe, 15 November 1944, dapat dilihat bahwa gambar-gambar kamishibai tak dicetak tapi dilukis tangan.

Dari sekian banyak tema cerita, Besut Hadiwaryono, bekas dalang kamishibai, yang diwawancara Aiko Kurasawa, menyebut tema kemiliteran dan peningkatan moral sering dipakai dalam cerita kamishibai. “Dua kisah paling populer di Yogyakarta ialah Tri Margoyo dan Wirowiyoto,” ujar Besut. Kisah-kisah kesatria Jawa ini disamakan dengan bushindo atau semangat samurai Jepang.

Pertunjukan wayang beber di rumah Dr. Wahidin Soedirohoesoedo di desa Gelaran, Yogyakarta. (KITLV).

Bukan Wayang Beber

Pada 25 Mei hingga 3 Juni 1944, Sendenbu dan Jawa Eihai (perusahaan distribusi film) bekerja sama menyelenggarakan pertunjukan kamishibai. Asia Raya, 26 Mei 1944, memberitakan pertunjukan ini dengan judul “Pertoenjoekan Kamishibai (wayang bébér)”. Di berbagai pemberitaan surat kabar, pertunjukan kamishibai pun kerap disebut sebagai pertunjukan wayang beber. Seolah wayang beber adalah terjemahan dari kamishibai. Seolah kedua pertunjukan ini kembar, seumur, dan berasal dari rahim yang sama. Padahal beda.

“Wayang beber dari gambar-gambar yang disambung, dilukis di kertas atau kanvas persegi panjang,” ujar Parwatri Wahjono, guru besar Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Menurut Parwatri, wayang beber telah tercatat keberadaannya sejak abad ke-15 di kerajaan Majapahit. Tak seperti wayang lainnya, wayang beber ditonton dari depan. Penonton melihat adegan yang tergambar dalam gulungan kertas. Sang dalang bercerita berdasarkan adegan-adegan dalam gulungan kertas itu, biasanya dari kisah cinta Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji.

Pemerintah pendudukan Jepang dengan sengaja menyamakan kamishibai dengan wayang beber dengan dalih memberikan kesan akrab. Dengan cara ini, kamishibai mudah diterima masyarakat Jawa.

Dalang kamishibai sedang menceritakan sebuah kisah.

Meredup

Setelah kalah melawan Sekutu, Jepang angkat kaki dari bumi Indonesia. Kamishibai pun menghilang, bahkan tak berjejak dalam seni pertunjukan di Indonesia. Namun di Jepang, kamishibai tetap berjaya.

Terpukul akibat jatuhnya bom atom di negerinya, yang menyudahi keterlibatan Jepang dalam perang, orang-orang Jepang menjadikan kamishibai sebagai pelipur lara. Mereka berkerumun untuk menikmati kamishibai. Jumlah kamishibaiya pun melonjak.

Menurut Elizabet Kiritani dalam Vanishing Japan: Traditions, Crafts & Culture, di Tokyo saja ada 3.000 kamishibai. Selain memainkannya mudah, kamishibai tak butuh banyak modal; cukup sebuah sepeda atau drum untuk mengundang perhatian, sementara gambar bisa menyewa. Tantangan utama cuma satu: cuaca buruk, yang menghalangi mereka berkeliling untuk menggelar pertunjukan. Karena kamishibaiya umumnya hidup kesulitan, “banyak dari mereka dan tukang gambar menjadi komunis,” ujar Elizabeth Kiritani.

Aktivis Partai Komunis Jepang menggunakan kamishibai sebagai sarana propaganda. Kelompok- kelompok akar rumput juga menggunakannya untuk menyuarakan kritik. Tentara pendudukan Sekutu mulai khawatir. Menurut Eiji Takemae dalam The Allied Occupation of Japan, markas besar tentara pendudukan Sekutu pun menekan pemerintah prefektur untuk memberlakukan peraturan yang melarang pertunjukan kamishibai pada 1949. Prefektur Kagawa memberlakukan peraturan itu pada Maret 1949, yang kemudian diikuti Chiba, Osaka, dan lainnya.

Dianggap melanggar kebebasan berekspresi, larangan itu kemudian dicabut. Kamishibai kembali bisa dinikmati. Setelah semua kepedihan berangsur usai, kamishibai tetap bertahan sebagai hiburan jalanan. Pertunjukan cerita dengan gambar ini menjadi salah satu tonggak perkembangan awal yang mempengaruhi manga (komik Jepang) dan animasi Jepang.

Setelah 1950-an para kamishibai mulai kehilangan pamor. Jumah kamishibai mulai berkurang, karena mereka sudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik berkat pertumbuhan ekonomi Jepang. Masuknya televisi –yang kala itu dikenal sebagai kamishibai elektrik– kian meminggirkan kamishibai. Ketika kamishibai mulai kehilangan penggemar, beberapa kamishibaiya beralih profesi menjadi ilustrator manga.

Kini, kamishibai hanya dipakai sebagai salah satu metode mengajar di taman kanak-kanak dan sekolah-sekolah dasar. Ia juga dipakai untuk kampanye atau penyuluhan, misalnya tentang penanggulangan bencana.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64745219df70334b40c30c00