KETIKA melakukan perjalanan ke Tiongkok bersama Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) tahun 1956, Wen Peor sempat berkunjung ke kampung halamannya di Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Bahkan menghasilkan lukisan cat minyak “Terang Bulan di Kampung Halaman” yang dibeli oleh Presiden Sukarno. Siapa sangka dia akan kembali karena situasi pelik di Indonesia.
“Perubahan dalam hidup terjadi secara tak terduga; karena suatu alasan yang diketahui, saya merasakan tanah air kedua saya pada 1966,” ujar Wen Peor dalam pengantar buku Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works.
Wen Peor adalah pelukis Tionghoa yang cemerlang. Karya-karyanya mewarnai perjalanan seni rupa Indonesia dan khususnya Yin Hua, lembaga yang ikut didirikannya pada April 1955. Selama keberadaannya yang singkat, Yin Hua mengadakan lima kali pameran di Hotel Des Indes yang mewah di Jakarta.
KETIKA melakukan perjalanan ke Tiongkok bersama Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) tahun 1956, Wen Peor sempat berkunjung ke kampung halamannya di Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Bahkan menghasilkan lukisan cat minyak “Terang Bulan di Kampung Halaman” yang dibeli oleh Presiden Sukarno. Siapa sangka dia akan kembali karena situasi pelik di Indonesia.
“Perubahan dalam hidup terjadi secara tak terduga; karena suatu alasan yang diketahui, saya merasakan tanah air kedua saya pada 1966,” ujar Wen Peor dalam pengantar buku Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works.
Wen Peor adalah pelukis Tionghoa yang cemerlang. Karya-karyanya mewarnai perjalanan seni rupa Indonesia dan khususnya Yin Hua, lembaga yang ikut didirikannya pada April 1955. Selama keberadaannya yang singkat, Yin Hua mengadakan lima kali pameran di Hotel Des Indes yang mewah di Jakarta.
Sebagai seniman senior, Wen Peor memberi pengaruh pada seniman-seniman muda Yin Hua. Kritikus seni Oei Sian Yok, yang menulis dengan byline “pembantu senilukis kita”, menyampaikan hal itu dalam ulasan di Star Weekly 12 Oktober 1957 tentang pameran kedua Yin Hua di Hotel des Indes Jakarta dari 29 September sampai 5 Oktober 1957.
Sian Yok menyebut kekuatan ekspresi Wen Peor yang menyatakan jiwanya yang kuat dan orisinal. “Kepribadian yang kuat seperti Wen sudah tentu mempengaruhi pelukis lain umpamanya Yo Cheng Chiang dalam tehnik melukisnya meskipun pemilihan warna berlainan pula tidak begitu tajam (fel).”
Sian Yok melanjutkan bahasan soal pengaruh Wen Peor di Star Weekly 3Agustus 1958. Kali ini dia mengulas pameran lukisan cat air yang digelar oleh Yin Hua di Tati Art Gallery Jakarta dari 19-27 Juli 1958. Pada pameran itu, Wen Peor menghadirkan empat lukisan dengan gayanya yang khas. Salah satunya “Pemandangan di Min Tjiang”.
Pengaruh Wen Peor tampak pada karya-karya Yo Cheng Chiang dan Thio Seng Tjoan. Menurut Sian Yok, saling mempengaruhi di antara pelukis memang tak dapat dihindarkan. “Akan tetapi pengaruh terlalu besar menjadi bahaya bagi pelukis yang tak dapat mengolahnya dalam gayanya sendiri, karena kurang kuat kepribadiannya, maka gaya itu dapat menjadi suatu macam maniërisme.”
Wen Peor memang tak sungkan berbagi ilmu kepada seniman-seniman muda Tionghoa. Salah satu pelukis yang menganggapnya sebagai guru, sebagaimana dicatat Mingguan Djaja terbitan 1963, adalah pelukis perempuan Tionghoa, Law Tjui Maw.
Wen Peor di usia senja, 2001. (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).
Estetika Revolusioner
Wen Peor nyaris tak pernah absen dalam pameran Yin Hua. Dalam pameran Yin Hua ketiga di Gedung Resepsi Hotel des Indes pada 20-27 September 1958, Wen Peor tetap mempertahankan gaya melukis pemandangan dengan horison yang tinggi seperti pada “Pemandangan di Sungai Mutiara” dan “Pemandangan di Sihu”, “kedua-duanya berwarna fantastis dan indah,” catat Sian Yok.
Sian Yok juga menyebut lukisan “Memberi Makan” karya Wen Peor, dengan pembentukan tubuh manusia disederhanakan, “yang mengingatkan kami akan bentuk-bentuk manusia oleh Gauguin, pelukis Perancis yang memburu ‘Keindahan’ itu.”
Yin Hua kerap menjalin kerjasama dengan kelompok kesenian lainnya. Dalam pameran yang digelar oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Gedung Wisma Nusantara pada 16-21 Januari 1959, karya-karya Wen Peor diikutsertakan bersama para pelukis terkemuka lainnya seperti Affandi, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan Lee Man Fong. Masing-masing menghadirkan lukisan dengan gaya yang cukup dikenal publik.
Karya-karya Wen Peor selalu mendapat penilaian yang baik. Pada pameran di Balai Budaya pada Juli 1959, lukisannya berjudul “Tukang Ikan” dan “Pantai” memakai lineair style dengan gayanya tersendiri dan berhasil baik.
“Lukisan-lukisannya merupakan contoh baik daripada seni menggambar modern, yang dengan garis sederhana hendak menangkap essensi objeknya. Untuk mencapai ini, si seniman harus, selainnya artistic view, mempunyai mata yang selective dan tangan tegas,” catat Oei Sian Yok dalam Star Weekly 18 Juli 1959.
Sempat vakum selama dua tahun karena kesibukan Lee Man Fong sebagai ketua Yin Hua, pada 16-21 April 1961 Yin Hua kembali menghelat pameran bersama di Hotel Duta Indonesia –nama pengganti Hotel des Indes. Dalam pameran ini, Oei Sian Yok dalam Star Weekly 17 Mei 1961 memberi apresiasi kepada karya cukil kayu Wen Peor berjudul “Sajang” yang hidup dan mengandung emosi.
Pameran terakhir Yin Hua berlangsung di Hotel Duta Indonesia pada 27 Oktober hingga 3 November 1962. Majalah Mingguan Djaja mengulas lukisan cat minyak Wen Peor berjudul “Djuragan Perahu” yang berhasil menampilkan ekspresi wajah orang Madura yang kehitaman, baju hitam serta celana lorengnya. “Agak disayangkan latar belakangnya kurang sesuai.”
Ulasan kurang simpatik disampaikan oleh seorang kritikus anonim di Harian Rakjat. Disebutkan, pameran Yin Hua didominasi karya yang hanya memanjakan mata atau komersial serta tak memiliki tujuan dan ideologi. Kritikus tersebut juga tak suka penggambaran lanskap Indonesia dengan gaya lukisan tradisional Tiongkok, yang “membuat lanskap tampak berbeda, dan orang tidak akan menyadari bahwa subjeknya adalah alam Indonesia.”
Selain itu, kritikus tersebut menuntut Yin Hua untuk “secara nyata bergabung dengan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan revolusi” dengan membuat karya seni yang menunjukkan kehidupan dan perjuangan rakyat Indonesia.
Namun kritikus tersebut memuji dua karya Wen Peor yang dianggap memenuhi kriteria estetika revolusioner.
Presiden Sukarno mengunjungi pameran lukisan Yin Hua tahun 1957. (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).
Perubahan dalam Hidup
Pujian kritikus di Harian Rakjat itu tidaklah mengherankan. Wen Peor dekat dengan seniman-seniman kiri. Dia pernah bergabung dengan kelompok Pelukis Rakjat dan bahkan disebut-sebut bergabung dengan Lekra, organisasi kebudayaan yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 1959.
Wen Peor berpartisipasi dalam beberapa pameran senirupa yang digelar oleh Lekra. Dia juga terlibat dalam pembuatan ilustrasi dan sampul buku terbitan Jajasan Kebudajaan Sadar, penerbit buku Lekra. Dia juga membantu seniman-seniman muda dari Sanggar Bumi Tarung, yang menjadi bagian dari Lekra. Dia membeli karya mereka, mengenalkan ke kawan-kawan kolektor, hingga memberi dana untuk menyelenggarakan pameran.
Dalam wawancara yang dimuat E. Z. Halim dkk dalam Pameran Seni Rupa ke-2 Sanggar Bumi Tarung: 19-29 Juni 2008, Amrus Natalsya, pendiri Sanggar Bumi Tarung yang dikenal dengan cukil kayunya, mengakui peran Wen Peor.
“Waktu itu [tahun 63], belum ada galeri. Dia [Wen Poer] orang Tionghoa, banyak kontak dengan orang-orang Tionghoa, supaya dikumpulkan dan kita dapat duit, untuk kegiatan sanggar,” ujar Amrus.
“Sekarang nggak tahu di mana. Dulu alamatnya di Jl. L. Idrus (Jakarta), dekat rumah adiknya. Di situ ada paviliunnya. Tapi sekarang tidak tahu di mana, sudah berubah. Dia tak beristri, kaya Ho Chi Minh (maksudnya jika dia sekarang sudah meninggal, semakin sulit untuk menelusuri karya-karya SBT yang dikoleksi Wen Peor).”
Kedekatan Wen Peor dengan kelompok kiri membawa konsekuensi yang mengerikan setelah meletus Peristiwa 1965.
Tuduhan keterlibatan Tiongkok dalam Peristiwa G30S membuat nasib orang Tionghoa menjadi pelik. Seluruh ekspresi budaya dan bahasa Tionghoa dilarang. Yin Hua dibubarkan. Para senimannya diawasi tentara atau memilih meninggalkan Indonesia. Jika Lee Man Fong memilih Singapura, Wen Peor pergi ke Tiongkok.
Di Tiongkok, Wen Peor tetap berkarya. Pada 1969, dia berpartisipasi dalam pembuatan mural berukuran besar untuk Gedung Tionghoa Rantau di Beijing. Ketika Revolusi Kebudayaan berkobar, Wen Peor dikirim ke desa-desa untuk menjadi petani di Tonghu Overseas Chinese Farm.
“Bagi seorang seniman, bekerja siang dan malam di pertanian membuat saya semakin dekat dengan tanah air, tanah air saya. Bumi Kuning yang memberiku sentimen tiada akhir telah menjadi inspirasiku,” ujar Wen Peor. “Bumi Kuning” adalah sebutan untuk Tiongkok.
"The Meandering Yellow River". (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).
Tanah Air
Suatu hari di tahun 1973, Wen Peor bertemu seorang perwira Tentara Pembebasan yang diperkenalkan oleh Xiao Shu-fang, seorang seniman, dan istri dari seniman terkenal lainnya Wu Suo-ren. Perwira itu bersimpati dengan ceritanya dan mendorong Wen Peor untuk menulis surat ke Menteri Zhou En-lai.
“Dia juga memandu saya bagaimana mengirimkan surat dengan benar agar sampai ke tujuannya,” ujar Wen Peor. Seminggu kemudian, hidupnya berubah ketika negara mengizinkannya menjadi anggota Akademi Seni Lukis Guangdong.
Sebagai pelukis Akademi Seni Lukis Guangdong, Wen Peor beberapa kali terlibat dalam penyelenggaraan pameran lukisan. Setelah pensiun tahun 1980, dia memutuskan pindah ke Hong Kong dan menghabiskan masa tuanya di sana.
Keberadaannya di Hong Kong diketahui oleh Affandi, pelukis Indonesia yang sangat dihormati. Affandi mengirim surat dan mengajaknya ke Indonesia untuk berdiskusi tentang seni seperti dulu.
Ketika hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok pulih, Wen Peor menginjakkan kaki di Indonesia dan mengikuti pameran yang didukung oleh BCA tahun 1987. Setelah itu, dia berkali-kali diundang ke Indonesia untuk mengikuti pameran. Karya-karyanya terjual dengan harga tinggi dan dimiliki oleh kolektor di sjeumlah negara.
Pada 1999, Wen Peor dilantik sebagai overseas artist oleh Akademi Seni Lukis Guangdong. Dua tahun kemudian dia menerbitkan buku Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works. Pada tahun yang sama, Akademi Seni Lukis Guangdong dan Federasi Orang Tionghoa Rantau yang Kembali ke Tiongkok (ACFROC) menggelar pameran dengan tema serupa.
Dalam pengantar bukunya, Wen Peor merefleksikan kehidupannya melalui wacana tentang asal-usulnya: “Ketika saya masih kecil, ayah saya selalu berpesan agar saya tidak melupakan 'asal-usul' saya; tidak melupakan air dari Sungai Kuning yang mengalir di tubuh saya.”
Sungai Kuning, sungai terpanjang kedua di Tiongkok, sering dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban Tiongkok. Sungai ini juga sering menyebabkan banjir besar. Dengan demikian Sungai Kuning merupakan kebanggaan sekaligus kesedihan Tiongkok.
Kepada wenweipo.com, Wen Hai, putranya, mengatakan bahwa karya-karya ayahnya memiliki gaya lukisan cat minyak Eropa yang kuat. Gaya Van Gogh dan lainnya dapat ditemukan. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda. Setelah kembali ke Tiongkok, Wen Peor memadukannya dengan gaya lukisan Tiongkok. Keberagaman gaya lukisan dan perpaduan unsur-unsurnya menegaskan keberagaman latar belakang dan kondisi kehidupan orang Tionghoa perantauan dalam aspek tertentu.
Wen Peor meninggal dunia karena sakit di Hongkong pada 18 Maret 2007.
Dalam obituari berjudul “Surat Sutera Putih: Menyertai Kepergian Pelukis Wen Peor” di milis Hong Kong Society for Indonesian Studies (HKSIS), penyair-penulis JJ Kusni menyebut jiwa sosial yang dimiliki oleh Wen Peor sejak muda tak mengendur karena usia lanjut, bahkan lebih gigih. Wen Peor tak segan menyumbangkan sebagian hasil penjualan lukisannya untuk mendukung bencana banjir, mendirikan Sekolah Harapan, dan memberikan beasiswa bagi mahasiswa miskin. Berkat bakti-sosialnya, Wen Peor mendapatkan surat penghargaan dari lembaga pemerintah Tiongkok pada 2006.
“Bahkan pesan terakhir Wen, sebelum menghembuskan napas terakhir, mengharapkan: separuh dari warisan yang ada bisa digunakan untuk mendirikan yayasan kebudayaan dan sosial,” catat Kusni.
Sepuluh tahun setelah kematiannya, Akademi Seni Lukis Guangdong dan Museum Seni Zhuhai Gu Yuan menggelar pameran lukisan Wen Peor bertajuk Hometown and Second Hometown.
Wen Peor telah mencatatkan diri dalam perjalanan sejarah senirupa di dua negara dan menjembatani keduanya.*
Garis Hidup Wen Peor
1920: Lahir di Bukittinggi, Padang, Sumatra Barat.
1934: Belajar di Sekolah Menengah Guang Ya di Guangzhou dan sekolah menengah yang berafiliasi dengan Universitas Jinling di Nanjing.
1938: Kembali ke Indonesia dan mengajar di sekolah Tionghoa di Sawahlunto, Sumatra Barat.
+/- 1939: Ditangkap dan dipenjara oleh Belanda karena melumuri toko-toko Jepang dan yang pro-Jepang dengan kotoran.
1941: Bekerja di biro reklame TATI di Jakarta.
1942: Mulai menekuni karya seni.
1943: Dipenjara selama tiga bulan oleh Jepang dengan tuduhan sebagai mata-mata.
1945: Bergabung dengan Pelukis Rakjat.
1947: Mengadakan pameran bersama dengan pelukis Chiao Choon Khui di Hotel des Indes, Jakarta.
1947-1949: Memimpin kelompok seni Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru).
1949: Mengadakan pameran bersama dengan pelukis Siauw Tik Kwie di Hotel des Indes, Jakarta.
1950: Mengadakan pameran tunggal di Padang, Sumatra Barat.
1950-1955: Mengajar dan memimpin sekolah dasar dan menengah Tionghoa di Bukittinggi, Sumatra Barat. Selama periode ini, Wen Peor mengerahkan guru dan siswa untuk mengumpulkan sumbangan guna membangun sekolah.
1955: Ikut mendirikan Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa). Mula-mula sebagai anggota komite dan kemudian wakil ketua.
1956: Berpartisipasi dalam pameran Himpunan Pelukis Muda II di Gedung Sin Ming Hui, Jakarta. Mengikuti misi kebudayaan Yin Hua ke Tiongkok, menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok, terlibat dalam pameran di Beijing dan Guangzhou, serta menerbitkan katalog pameran Salah satu karyanya “Kita Harus Kembali ke Tanah Air” dikoleksi oleh Museum Guangzhou.
1957: Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Hotel des Indes, Jakarta. Lukisan cat minyaknya Terang Bulan di Kampung Halaman dibeli oleh Presiden Sukarno dan menjadi salah satu koleksi Istana Kepresidenan. Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Panti Budaya, Bandung.
1958: Berpartisipasi dalam pameran lukisan cat air Yin Hua di Tati Art Gallery, Jakarta. Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Gedung Resepsi Hotel des Indes, Jakarta. Selain bekerja untuk kreasi seni profesional dan menggambar komik politik untuk suratkabar, Wen Peor mengajar dan melatih guru seni di sekolah menengah di Padang.
1958-1966: Membantu seniman-seniman muda Sanggar Bumi Tarung, Yogyakarta.
1959: Berpartisipasi dalam pameran yang digelar oleh Lekra di Gedung Wisma Nusantara, Jakarta. Terlibat dalam pementasan Taufan dengan sutradara Steve Liem (Teguh Karya) yang diadakan Sin Ming Hui. Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Balai Budaya, Jakarta.
1961-1965: Membuat ilustrasi dan sampul buku
1961: Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Hotel Duta Indonesia, Jakarta.
1962: Berpartisipasi dalam pameran Yin Hua di Hotel Duta Indonesia, Jakarta.
1963: Berpartisipasi dalam pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh Lekra.
1964: Berpartisipasi dalam Pameran Seni Grafika yang digelar oleh Lekra bersama Lesrupa di Hotel Duta Indonesia, Jakarta.
1965: Berpartisipasi dalam pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh Lekra.
1966: Karena situasi politik, meninggalkan Indonesia dan kembali ke Tiongkok.
1969: Berpartisipasi dalam pembuatan mural berukuran besar untuk Gedung Tionghoa Rantau di Beijing.
1973: Menjadi pelukis Akademi Seni Lukis Guangdong. Dalam beberapa tahun berikutnya sering berpartisipasi dalam pameran yang diselenggarakan oleh akademi tersebut.
1980: Bermigrasi ke Hong Kong.
1987: Diundang untuk mengikuti Pameran Koleksi Seni Rupa yang diselenggarakan oleh BCA di Jakarta.
1988: Berkeliling Indonesia dan mengikuti pameran senirupa di Jakarta.
1990: Pergi ke Tai Yuan, Shan Xi, untuk mencari asal-usulnya. Membuat sejumlah besar lukisan tinta warna untuk menunjukkan pujiannya terhadap Sungai Kuning dan Dataran Tinggi Loess.
1993: Berinvestasi di pabrik cincin flensa di Tai Yuan untuk menunjukkan dukungannya terhadap pembangunan di tanah kelahirannya.
1994: Berpartisipasi dalam Pameran Karya Seni Akademi Seni Lukis Guangdong di Hong Kong.
1995: Berpartisipasi dalam Pameran Karya Seni Seniman Tiongkok Kontemporer yang Kembali di Guangzhou.
1996: Berpartisipasi dalam bazar amal yang diselenggarakan oleh Tai Gong Bao untuk banjir di Tiongkok Timur.
1999: Dilantik sebagai overseas artist oleh Akademi Seni Lukis Guangdong.
2001: Menerbitkan Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works. Akademi Seni Lukis Guangdong dan Federasi Orang Tionghoa Rantau yang Kembali ke Tiongkok (ACFROC) menggelar pameran dengan tema Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works.
2007: Meninggal dunia di Hongkong.
Sumber: Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works; dengan pengayaan data lain.*