Keluarga R.A.A. Soejono tatkala tiba di Den Haag musim panas 1930. Irawan di sebelah kanan. (Nieuwe Tilburgsche Courant, 14 Juli 1930).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBELUM peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan Agustus mendatang, awal 2020 ini Eropa sudah terlebih dahulu memperingati tiga perempat abad pembebasannya dari pendudukan Nazi-Jerman. Walau begitu tidaklah berarti bahwa peringatan ini tidak mengikutsertakan orang Indonesia. Dalam perlawanan Belanda terhadap pendudukan Nazi-Jerman selama Perang Dunia Kedua, misalnya, orang Indonesia juga punya peran. Itulah sebabnya akhir Januari lalu pada dua tempat di Leiden berlangsung peringatan seabad Irawan Soejono, sekaligus mengenang 75 tahun gugurnya mahasiswa Indonesia ini akibat peluru seorang prajurit Wehrmacht, pasukan pendudukan Nazi-Jerman.
Nama Irawan Soejono sudah mulai tersiar di Belanda sejak 4 Mei 1990, tatkala pemerintah kota Amsterdam meresmikan Irawan Soejonostraat (Jalan Irawan Soejono) di bilangan Osdorp, Amsterdam Barat. Sebenarnya dalam keluarga Soejono, Irawan bukan satu-satunya orang yang terlibat melawan pendudukan Nazi-Jerman. Selain Irawan, di Belanda masih ada Mimi Soetiasmi, kakak Irawan yang kemudian menikah dengan Maroeto Daroesman, tokoh PKI yang kelak jadi menteri negara tanpa portofolio kabinet Amir Sjarifuddin (1947). Tidak hanya itu, di London juga ada R.A.A. Soejono, ayah Irawan dan Mimi yang duduk dalam kabinet Belanda di pengasingan, di bawah Perdana Menteri Pieter Gerbrandy. Tak pelak lagi, Soejono adalah satu-satunya inlander (bumiputra) Indonesia yang diangkat menjadi menteri dalam kabinet Belanda.
SEBELUM peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan Agustus mendatang, awal 2020 ini Eropa sudah terlebih dahulu memperingati tiga perempat abad pembebasannya dari pendudukan Nazi-Jerman. Walau begitu tidaklah berarti bahwa peringatan ini tidak mengikutsertakan orang Indonesia. Dalam perlawanan Belanda terhadap pendudukan Nazi-Jerman selama Perang Dunia Kedua, misalnya, orang Indonesia juga punya peran. Itulah sebabnya akhir Januari lalu pada dua tempat di Leiden berlangsung peringatan seabad Irawan Soejono, sekaligus mengenang 75 tahun gugurnya mahasiswa Indonesia ini akibat peluru seorang prajurit Wehrmacht, pasukan pendudukan Nazi-Jerman.
Nama Irawan Soejono sudah mulai tersiar di Belanda sejak 4 Mei 1990, tatkala pemerintah kota Amsterdam meresmikan Irawan Soejonostraat (Jalan Irawan Soejono) di bilangan Osdorp, Amsterdam Barat. Sebenarnya dalam keluarga Soejono, Irawan bukan satu-satunya orang yang terlibat melawan pendudukan Nazi-Jerman. Selain Irawan, di Belanda masih ada Mimi Soetiasmi, kakak Irawan yang kemudian menikah dengan Maroeto Daroesman, tokoh PKI yang kelak jadi menteri negara tanpa portofolio kabinet Amir Sjarifuddin (1947). Tidak hanya itu, di London juga ada R.A.A. Soejono, ayah Irawan dan Mimi yang duduk dalam kabinet Belanda di pengasingan, di bawah Perdana Menteri Pieter Gerbrandy. Tak pelak lagi, Soejono adalah satu-satunya inlander (bumiputra) Indonesia yang diangkat menjadi menteri dalam kabinet Belanda.
Beberapa sejarawan Belanda sudah menulis tentang Irawan Soejono maupun mengenai ayahnya R.A.A. Soejono. Tapi sayangnya baik sejarawan Harry Poeze maupun Herman Keppy menangani keduanya secara terpisah. Memang benar ayah dan kedua anak (serta menantu) melakukan perlawanan secara terpisah: ayah di London dan anak-anak di Belanda. Walau demikian, jelas mereka melakukan perlawanan untuk satu tujuan yang sama: pembebasan dari cengkeraman fasisme dan rasisme, serta politik kanan lain yang tercela kemudian juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Tidak Murni
Begitu Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Ratu Wilhelmina dan kabinetnya menyingkir ke London. Di sana mereka mendirikan pemerintahan Belanda dalam pengasingan. Dua tahun kemudian R.A.A. Soejono tiba di London dari Australia bersama Letnan Gubernur Huib van Mook. Mereka melarikan diri dari Indonesia karena pasukan Dai Nippon merangsek masuk. Tak lama kemudian, ketika Van Mook diangkat menjadi menteri koloni pada 21 Mei 1942, dibentuk pula Dewan Pembantu Masalah Hindia. Soejono menjabat wakil ketua dewan.
Ketika dilantik, Van Mook mengajukan usul untuk mengubah nama “Departemen Koloni” menjadi “Departemen Hindia Belanda, Suriname, dan Curaçao”, tiga wilayah jajahan Belanda di Nusantara dan Karibia. Ratu Wilhelmina menolaknya. Menurutnya perubahan ini hanya baru bisa terjadi jika ada persetujuan parlemen. Karena parlemen Belanda tidak mengungsi ke London, maka perubahan nama itu juga tidak terlaksana.
Van Mook tak gampang menyerah. Tak lama kemudian, dia mendesak supaya Soejono diangkat sebagai menteri. Menurutnya pengangkatan ini akan menegaskan kepada Indonesia dan terutama kepada Amerika Serikat bahwa tidak ada lagi perbedaan antara orang Belanda dengan orang Indonesia. Sebagai menteri, orang Indonesia juga ikut memutuskan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, walaupun nama departemen yang dipimpinnya tetap mengandung istilah “koloni”, tampilnya seorang Indonesia dalam jabatan menteri berarti bahwa orang-orang Indonesia telah dianggap sederajat dengan orang Belanda.
Lagi-lagi Ratu Wilhelmina keberatan dengan alasan yang persis sama seperti alasan penolakan perubahan nama. Tapi setelah desakan gencar Van Mook, Wilhelmina tidak bisa lagi mempertahankan keberatannya. Seminggu kemudian ia menandatangani keputusan kerajaan untuk mengangkat Soejono sebagai menteri tanpa portofolio kedua (Michiels van Verduynen adalah menteri tanpa portofolio yang lain) dalam kabimet Gerbrandy II.
Sementara itu, di Amerika semakin berkembang kesadaran bahwa rezim-rezim kolonial, seperti Hindia Belanda atau India Inggris, sudah ketinggalan zaman. Pendapat seperti ini tidak hanya bercokol di kalangan pejabat pemerintah, tetapi terutama juga marak sebagai opini khalayak ramai, sesuatu yang dijumpai oleh Van Mook sendiri ketika singgah di negeri Paman Sam. Di lain pihak, Amerika juga bertugas untuk menghalau tentara Dai Nippon dari sebagian besar wilayah Indonesia. Maklum, sebagian besar wilayah Indonesia waktu itu masuk dalam cakupan South-West Pacific Area di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur.
Namun, pemerintah Belanda di pengasingan tetap tidak juga dapat memastikan bagaimana masa depan Indonesia, jajahan terbesarnya. Keruwetan dengan tidak juga keluarnya keputusan ini masih dipersulit dengan sikap keras kepala Ratu Wilhelmina yang beranggapan bahwa dirinya tidak terikat pada apapun. Menurut sejarawan Loe de Jong, kalau kabinet memutuskan “ya” maka sri baginda ratu masih bisa berujar “tidak”. Wilhelmina memang dikenal tidak mau melepas Indonesia. Dia juga tidak sudi menandatangani pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Ia memilih abdikasi atau turun takhta saja ketimbang melepas jajahan terbesar Belanda. Penandatangan pengakuan kedaulatan itu tidak lain adalah anaknya, Juliana yang dilantik menjadi ratu Belanda pada 3 September 1948.
Dengan demikian jelas betapa tidak murninya motif penunjukan satu-satunya inlander ini sebagai menteri. Soejono sampai pada jabatan tertinggi hanya karena pemerintah Belanda di pengasingan khawatir Amerika akan segan membebaskan Indonesia dari pendudukan Jepang. Dengan begitu Belanda tidaklah benar-benar berniat mengakhiri kolonialisme atau meningkatkan martabat rakyat Indonesia. Ini menjadi jelas ketika Soejono mengemukakan rencananya bagi masa depan Indonesia dalam sidang kabinet. Dia usul pemerintah Belanda mengakui hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Inilah perubahan radikal pada pendirian seorang Soejono yang selama itu begitu tekun meniti birokrasi kolonial. Bagaimana perubahan itu bisa terjadi?
Raden Adipati Ario Soejono lahir pada 1886 di Tulungagung, Jawa Timur sebagai bangsawan Jawa. Ia termasuk segelintir inlander yang berhasil meraih diploma besar amtenar Belanda. Pada 1915 dia menikahi Sasanti, seorang putri bupati Purwodadi, Jawa Tengah yang berusia 16 tahun (lahir 1899). Pada tahun itu juga Soejono diangkat menjadi bupati Pasuruan, jabatan yang dipangkunya sampai 1927. Keempat anaknya lahir di Pasuruan semua: setelah dua anak perempuan, masing-masing Loes Soepianti (1916) dan Mimi Soetiasmi (1918); lahir pula dua anak laki-laki, masing-masing Irawan (1920) serta Idajat (1921).
Pada 1920, tatkala masih menjabat bupati Pasuruan, Soejono ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum menjadi anggota Volksraad, parlemen Hindia yang anggotanya tidak dipilih. Sebagai anggota Volksraad, pada 1930 Soejono yang sudah selesai menjabat bupati, memperoleh tugas belajar di Belanda untuk mendalami kebijakan pertanian, peternakan dan perikanan. Pada tahun itu, tatkala Irawan berusia 10 tahun, keluarga Soejono pindah ke Den Haag. Dua tahun kemudian, pada 1932 mereka kembali ke Batavia, tetapi pada 1934 kembali mereka bertolak ke Den Haag. Soejono diangkat menjadi penasihat delegasi Belanda dalam perundingan karet internasional yang berlangsung di London. Pada 1939 Soejono dan istrinya kembali ke Batavia, karena dia ditunjuk menjadi anggota Dewan Hindia, lembaga tertinggi penasihat penguasa kolonial. Keempat anaknya tetap berada di Belanda, karena studi mereka.
Sampai di sini jelaslah bahwa karier Soejono sepenuhnya berlangsung di dalam birokrasi kolonial. Jelas pula bahwa Soejono selalu bekerjasama sepenuhnya dengan penguasa Hindia Belanda. Tapi, sejak 1920-an juga ada orang atau kalangan yang menolak bekerjasama dengan penguasa kolonial. Misalnya mereka tidak menduduki kursi dalam pelbagai lembaga perwakilan. Kalangan ini yakin bahwa dalam rangka memperoleh hak penentuan nasib sendiri pihak Belanda tidak bisa diajak bekerjasama. Mereka menyebut diri kalangan non-kooperatif, berlawanan dengan Soejono yang disebut kalangan kooperatif.
Ancaman fasisme Jepang dan akhirnya pendudukan pasukan Dai Nippon membawa perubahan. Perpecahan di kalangan kooperatif dan non-kooperatif bergeser menjadi konsensus bahwa Belanda harus mengakui hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Pada akhir 1942, dalam sidang kabinet Belanda di pengasingan di London, sebagai menteri sampai tiga kali Soejono dengan penuh gelora mendesak supaya pemerintah Belanda memberi otonomi kepada Indonesia. Tapi tidak satu menteri pun setuju, juga tidak menteri-menteri Partai Buruh yang dikenal progresif. Jelas terlihat betapa bukan hanya ratu Wilhelmina yang tidak menghendaki kemerdekaan Indonesia, melainkan segenap anggota kabinet juga demikian. Dalam memoirnya, Londense Dagboeken 1940–1945, Menteri Peperangan O.C.A van Lidth de Jeude menulis bahwa tidak mungkin Belanda akan begitu saja menyerahkan hak-hak kedaulatannya atas Indonesia. Kecewa berat gagasannya ditolak, Soejono shock, bahkan ada yang mencatat betapa dia terlihat pucat pasi. Akhirnya dia meninggal karena serangan jantung pada 5 Januari 1943, belum lagi sebulan setelah Ratu Wilhelmina berpidato tentang masa depan tiga jajahan Belanda yaitu Indonesia, Suriname, dan Curaçao (jajahan Belanda di Amerika Latin dan Karibia). Tidak terdengar kata kemerdekaan atau otonomi dalam pidato itu, Wilhelmina hanya berujar bahwa di masa depan tidak akan ada lagi “perbedaan perlakuan berdasarkan ras dan asal-usul”.
Di sini sang ratu hanya bersikap anti Nazi-Jerman yang memang menjalankan politik rasialis. Aspirasi kemerdekaan Indonesia sama sekali tidak disinggungnya. Menteri Peperangan Van Lidth de Jeude kaget mendengar kabar kematian Soejono. Tidak seperti beberapa menteri lain yang menilai Soejono sebagai pengkhianat, Van Lidth de Jeude menaruh simpati padanya. Bahkan, Van Lidth de Jeude sudah mengundang Soejono untuk makan malam bersama. Tentu saja undangan itu tidak terpenuhi.
Menteri Soejono dimakamkan di kuburan muslim di Woking, di barat daya London. Ratu Wilhelmina tidak hadir pada saat pemakaman, tapi diwakili oleh Duta Besar Belanda untuk Inggris Michiels van Verduynen. Kemudian Mayjen Pfaff hadir atas nama Pangeran Bernhard, suami Putri Juliana. Perdana Menteri Gerbrandy juga hadir, termasuk Menteri Luar Negeri Eelco van Kleffens, Menteri Kehakiman Jan van Angeren dan Piet Kerstens yang menjabat menteri perdagangan. Selain itu juga tampak beberapa pelaut Indonesia dan seorang imam yang memimpin doa. Tidak satu pun anggota keluarga Soejono datang, maklum tidak ada hubungan lalu lintas apapun antara Inggris dengan Eropa daratan yang kebanyakan diduduki Nazi-Jerman.
Dalam rangka mengenang satu-satunya menteri bumiputra itu, Rijksmuseum di Amsterdam, museum terbesar Belanda, mulai akhir Maret 2020 memasang lukisan Soejono karya perupa Anton Abraham van Anrooy dalam pameran tetapnya. “Dia tokoh penting, seorang Indonesia yang duduk dalam kabinet Belanda,” kata Harm Stevens, kurator Rijksmuseum. “Sampai sekarang dia juga merupakan satu-satunya menteri dalam kabinet Belanda yang beragama Islam,” tutur Stevens lebih lanjut. Kurator itu menunjuk apa yang disebutnya “paradoks menarik” pada diri Soejono. Walaupun diangkat sebagai menteri ternyata kabinet Belanda menolak usul mengakui hak rakyat Indonesia menentukan nasib sendiri. Latar belakang inilah yang mendorong Rijksmuseum memasang lukisan Soejono.
Semangat Pembebasan
Beda kisah bapak, beda pula dengan jalan hidup anaknya. Tamat sekolah menengah Belanda pada 1940, Irawan Soejono diterima sebagai mahasiswa sosiografi (sekarang sosiologi) pada Universitas Leiden. Seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia lain, Irawan menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia (PI), kelompok beraliran progresif kiri yang memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Pendudukan Nazi-Jerman membawa perubahan dalam PI. Mereka melihat fasisme hambatan bagi kemerdekaan Indonesia, diputuskan untuk bekerjasama dengan kalangan verzet (perlawanan bawah tanah) Belanda. Perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia tidak dilupakan, tetapi untuk sementara digeser ke belakang dulu. Semboyan PI waktu itu adalah “Eerst Nederland bevrijden, dan Indonesië” artinya “Bebaskan dulu Belanda, baru kemudian Indonesia”.
Menarik di sini penggunaan kata “bevrijden” yang berarti membebaskan, bagi Belanda itu jelas bermakna pembebasan dari pendudukan Nazi-Jerman. Tapi bagi Indonesia apakah itu hanya bermakna pembebasan dari pendudukan pasukan Dai Nippon? Tentu saja tidak, tapi para anggota PI sengaja tidak menggunakan kata merdeka (dalam bahasa Belanda onafhankelijk), karena akan mempersulit kerjasama dengan pihak Belanda. Seperti terlihat pada pengangkatan Soejono, banyak orang Belanda tidak setuju Indonesia merdeka. Supaya kerjasama dengan pihak Belanda lancar dan orang-orang Indonesia diterima dalam verzet, maka digunakan semboyan pembebasan Indonesia yang sepintas memang bermakna sama dengan pembebasan Belanda.
Terdapat tiga jenis aktivitas perlawanan Irawan Soejono. Tatkala dia pindah ke Amsterdam karena Nazi-Jerman menutup Universitas Leiden, Irawan bersama Slamet Faiman (anggota PI lain) mencarikan tempat persembunyian bagi anak-anak Yahudi, supaya mereka tidak diangkut ke kamp konsentrasi. Kembali ke Leiden pada awal 1944, Irawan bertugas menangani urusan teknis De Bevrijding (pembebasan) berkala terbitan mahasiswa Indonesia. Selain itu, dia juga anggota satuan bela diri Indonesia yang bernama “Soerapati”. Satuan ini merupakan bagian satuan perlawanan Belanda yang menamakan diri Binnenlandsche Strijdkrachten (pasukan dalam negeri Belanda). Setelah Irawan gugur, kesatuan ini berganti nama menjadi Irawan.
Pada hari nahas itu, Sabtu sore, 13 Januari 1945, Irawan bersepeda membawa mesin cetak stensil lewat de Breestraat, jalan dengan pertokoan di Leiden. Mesin stensil itu tertutup karung yang baru direparasi untuk mencetak berkala De Bevrijding. Tiba-tiba dia kepergok razia Wehrmacht, tentara Nazi-Jerman yang menangkapi pria berusia antara 18 sampai 40 tahun untuk dijadikan buruh di Jerman. Sadar bahwa kalau ketahuan membawa mesin stensil dia bisa ditangkap, Irawan belok ke jalan kecil de Boommarkt. Seorang pasukan Wehrmacht melihatnya dan tanpa ampun melepas tembakan yang mengenai pelipis kiri Irawan. Dia gugur. Mimi Soetiasmi, kakak Irawan, mengurus penguburan Irawan di makam Groenesteeg, Leiden. Pada November 1946, jenazah Irawan diperabukan dan abunya dibawa pulang untuk dimakamkan di Tanah Kusir, di samping ibunya, Sasanti.
Jumat sore, 24 Januari 2020 di Leiden berlangsung peringatan untuk mengenang Irawan Soejono. Hari itu tepat 100 tahun silam dia lahir, sekaligus 75 tahun silam dia gugur. Peringatan yang berlangsung di dua tempat, masing-masing di Boommarkt (tempat dia gugur) dan di kuburan Groenesteeg (tempat dia pernah dimakamkan) diselenggarakan oleh Werkgroep (kelompok kerja) Merapi. Inilah organisasi para keturunan orang-orang Indonesia yang pernah terlibat dalam verzet alias perlawanan terhadap Nazi-Jerman.
Irawan tidak meninggalkan tulisan atau publikasi. Tetapi orang yang mengenalnya banyak memuji dan menghargainya. Soeripno, redaktur De Bevrijding yang bekerjasama dengan Irawan menulis, “Cuaca baik atau buruk, ada bahaya atau tidak, dalam kegelapan malam, Henk (nama samaran Irawan adalah Henk van de Bevrijding) selalu siaga. Dengan saksama dia laksanakan tugasnya, sehingga dia adalah salah satu anggota Perhimpoenan Indonesia yang paling penuh bakti, dialah roh pembebasan”. Demikian Soeripno dalam obituarinya mengenang Irawan Soejono.
Berbeda dengan Irawan yang tidak menulis, Mimi Soetiasmi (kakak Irawan) ternyata menerbitkan tulisan. Sampai sekarang baru ketemu satu artikel Mimi, terbit pada edisi Juni 1945 di majalah Jeugdland, tatkala Belanda sudah bebas dari pendudukan Nazi-Jerman. Tidaklah mengherankan Mimi menggunakan namanya sendiri. Tulisan ini memberi kesan Mimi sudah biasa menulis. Besar kemungkinan masih ada artikel lain karya Mimi Soetiasmi, terutama tatkala perang masih berkecamuk. Untuk itu harus diketahui dulu apa nama samarannya semasa perang.
Dalam artikel berjudul “De Bevrijding van Indonesië” (pembebasan Indonesia), Mimi yang waktu itu berusia 27 tahun meminta perhatian kawula muda Belanda bagi pembebasan Hindia. Walaupun pada Juni 1945, Belanda sudah sebulan bebas dari pendudukan Nazi-Jerman, itu tidaklah berarti perjuangan sudah berakhir. Demikian peringatan Mimi, yang segera menunjuk bahwa janganlah melupakan Indonesia yang masih dalam cengkeraman Dai Nippon, Jepang fasis. Mimi jelas geram melihat kaum muda Belanda begitu bersuka ria, seolah-olah perang sudah benar-benar selesai. Perang belum selesai, karena itu orang harus memikirkan pembebasan Indonesia, tegasnya.
Yang penting dalam artikel ini Mimi tidak menulis tentang kemerdekaan Indonesia, melainkan tentang pembaruan hubungan Belanda dan Indonesia. Menurutnya, seusai perang, hubungan keduanya bukan lagi kolonial melainkan hubungan yang “tidak boleh lagi hanya ditentukan oleh satu pihak, tetapi harus diterima secara suka rela oleh kedua pihak”. Belanda dan Indonesia, menurutnya, harus berdiri dalam persamaan demokratis. Jelas di sini Indonesia yang sepenuhnya merdeka dari Belanda belum masuk pertimbangan, karena kedua pihak tampaknya masih memikirkan bagaimana hubungan itu harus diperbaharui. Mimi juga mengingatkan pembaca majalah dwimingguan Jeugdland, yang adalah kaum muda Belanda, bahwa pada pidato 7 Desember 1942 di pengasingan di London, Ratu Wilhelmina sudah berniat memperbaharui hubungan Belanda dan Indonesia, hubungan yang sepenuhnya harus berdasarkan kebersamaan.
Pandangan ini juga merupakan garis besar pemikiran kawula muda Indonesia di Belanda pada Juni 1945. Jelas kemerdekaan sama sekali belum masuk pertimbangan. Mereka masih berpendapat ada masa depan bagi hubungan Indonesia dan Belanda, kedua negara tidak akan benar-benar berpisah sepenuhnya. Karena itu Mimi juga menggunakan istilah “bevrijding” yang berarti pembebasan, persis seperti Belanda yang bebas dari pendudukan Jerman. Kalaupun muncul kata-kata atau istilah-istilah seperti “zelfstandigheid” (kemandirian) atau “recht op zelfbeschikking” (hak menentukan nasib sendiri) yang tampaknya diperoleh Mimi dari ayahnya, maka itu tidak otomatis berarti kemerdekaan penuh. Sekali lagi, para mahasiswa Indonesia di Belanda pada waktu itu menginginkan dihapusnya hubungan kolonial yang tidak serta merta berarti kemerdekaan Indonesia.
Perang dan pendudukan memang mengakibatkan tiadanya komunikasi antara Belanda dengan Hindia, jajahan terbesarnya. Akibatnya, orang Indonesia di Belanda tidak tahu apa yang terjadi di tanah air, selain pendudukan Jepang. Demikian pula orang-orang di tanah air tidak tahu apa yang persisnya terjadi di negeri penjajah, selain, mungkin, bahwa Nazi-Jerman mendudukinya. Teknologi komunikasi yang belum berkembang jelas berperan besar dalam saling ketidaktahuan ini.
Mimi Soetiasmi tidak tahu bahwa di tanah air telah diresmikan BPOPK (Badan Penyelidik Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan) oleh balatentara pendudukan Jepang pada 29 April 1945. Ini berarti sudah benar-benar diambil langkah persiapan menuju kemerdekaan. Istilah yang digunakan sudah kemerdekaan, bukan lagi kemandirian apalagi tuntutan hak menentukan nasib sendiri, seperti bisa dibaca pada tulisan Mimi. Di lain pihak bisa dipastikan khalayak Indonesia juga tidak tahu bahwa Irawan Soejono sudah ditembak mati oleh Nazi-Jerman pada Januari 1945. Jangankan penembakan Irawan, aktivitasnya, termasuk aktivitas para anggota PI lain yang bergabung dalam verzet tampaknya juga tidak diketahui orang-orang di tanah air.
Selama perang berkecamuk, Mimi kembali ke Belanda dari studi sastra Prancis di Paris. Sebagai anggota PI dia juga ikut menyebarkan koran-koran ilegal. Tahukah Mimi bahwa harian Trouw pada Desember 1943 menerbitkan edisi khusus yang menyerukan kembalinya hubungan kolonial begitu perang selesai? Masih berniatkah Mimi dan orang-orang Indonesia lain menyebarkan edisi khusus harian ini?
Maroeto Daroesman dalam salah satu tulisannya yang terbit begitu Belanda bebas dari pendudukan Nazi-Jerman, justru mengutip Vrij Nederland, mingguan progresif Belanda yang mendukung pembebasan Indonesia. “Perjuangan kita di Indonesia harus diukur berdasarkan nilai-nilai tinggi yang sama seperti perlawanan terhadap Nazi di sini. Bukan perebutan kembali, bukan keserakahan nasional, melainkan kebebasan, keadilan dan kemanusiaan”. Maroeto juga bertanya-tanya, setelah dijajah Jepang dengan begitu bengisnya, maukah rakyat Indonesia kembali dalam kekuasaan Belanda? Sebagai negara Asia pasti Jepang juga menyebar kebencian terhadap Barat di kalangan rakyat Indonesia. Kemudian orang-orang Barat akan datang, baik itu Sekutu maupun Belanda, maukah orang Indonesia bekerjasama dengan mereka untuk mengusir Jepang? Maroeto yakin orang Indonesia pasti lebih menghendaki untuk mengurus diri sendiri.
Pada 24 Januari 1946 Maroeto Daroesman menikahi Mimi Soetiasmi. Dalam pengumuman di koran keduanya memasang alamat di Amsterdam dan Maroeto menambah informasi bahwa dia adalah doctorandus (sarjana) indologie, pendahulu kajian Indonesia zaman sekarang. Keduanya berkenalan dari zaman pendudukan Nazi-Jerman, dan sama-sama aktif dalam verzet. Bisalah dimaklumi kalau sebagai pengantin baru keduanya memutuskan untuk kembali ke tanah air, memperjuangkan Indonesia merdeka. Pada 1948, Maroeto yang terlibat dalam afair Madiun dieksekusi mati bersama Amir Sjarifuddin dan beberapa tokoh komunis lain. Dia meninggalkan Mimi dan dua anaknya. Bertutur kepada Soe Hok Gie tentang suaminya, Mimi menggunakan nama samaran Sundari. Pada 1950, Mimi menikah dengan Jusuf Mudadalam yang juga aktif dalam verzet di Belanda, penikahan ini dianugerahi dua anak. Mimi Soetiasmi meninggal mendadak tahun 1976 pada usia 58 tahun. Dia dimakamkan di Tanah Kusir.
Korban dan Pelaku
Dengan berkonsentrasi pada keluarga Soejono maka tampak bahwa perlawanan orang Indonesia benar-benar memenuhi semboyan “Eerst Nederland bevrijden dan Indonesië”, Belanda dulu dibebaskan, baru kemudian Indonesia. Pertama-tama perlawanan ini berlangsung di bawah tanah di Belanda: Irawan, Mimi, dan Maroeto bergabung dalam verzet, kalangan perlawanan Belanda. Irawan gugur, dia menyerahkan nyawa bagi pembebasan Belanda. Selain itu, perlawanan juga berlangsung secara terbuka di London. Sebagai anggota kabinet Belanda di pengasingan, Soejono aktif memperjuangkan hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Gagal meyakinkan kabinet Belanda, Soejono tutup usia karena serangan jantung. Walau mungkin tidak seheroik anaknya yang gugur dua tahun kemudian, Soejono tetap pantas disebut “gugur dalam perjuangan”.
Setelah Belanda bebas dari pendudukan Nazi-Jerman, Mimi dan Maroeto yang sementara itu sudah berkeluarga melanjutkan perjuangan pembebasan Indonesia, mereka pulang ke tanah air. Walaupun Maroeto dieksekusi di Madiun, tak dapat dipungkiri dia juga berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan itu memang sudah bukan lagi melawan pendudukan Jepang, melainkan menghadapi Belanda yang berupaya kembali menjajah Indonesia. Tak pelak lagi, kasus keluarga Soejono membuktikan perjuangan kemerdekaan Indonesia baru berlangsung setelah Belanda bebas dari pendudukan Nazi-Jerman, walaupun bukan perjuangan melawan fasisme Jepang melainkan, ironisnya, perjuangan melawan Belanda yang berupaya merebut kembali jajahannya. Semboyan itu juga mengungkap bahwa Belanda yang pada zaman pendudukan Nazi-Jerman merupakan korban, maka terhadap Indonesia, Belanda berubah menjadi pelaku.*