Kesultanan Banten yang tersohor melesat meraih keemasan. Meski begitu, keunggulannya mengelola bandar dagang tak mampu mencegah pergolakan politik internal.
BELUM juga tengah hari, tapi panas yang menyengat sudah terasa. Sebuah gapura menyambut dengan tulisan “Selamat Datang di Objek Wisata Banten Lama”.
Dahulu kala, mungkin sebuah gerbang selamat datang berada di dermaga, menyambut para pendatang dan pedagang yang singgah ke Teluk Banten. Pada masanya, Banten Lama merupakan bandar dagang kelas dunia, salah satu yang terbesar dalam sejarah Nusantara. Namun, pamor itu kemudian lenyap.
Boleh dikata, apa yang menjadi objek wisata di kawasan Banten Lama ini hanyalah puing-puing. Reruntuhan bangunan berstatus cagar budaya berserakan di beberapa titik; tembok-tembok Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, sistem kanal kuno, Benteng Speelwijk, hingga Masjid Pacinan Tinggi yang hanya menyisakan pondasi dan menara. Keberadaannya pun tersembunyi di balik rumah-rumah penduduk atau lapak pedagang kaki lima. Meski begitu, reruntuhan ini menandai keberadaan Kesultanan Banten lima abad silam.
BELUM juga tengah hari, tapi panas yang menyengat sudah terasa. Sebuah gapura menyambut dengan tulisan “Selamat Datang di Objek Wisata Banten Lama”.
Dahulu kala, mungkin sebuah gerbang selamat datang berada di dermaga, menyambut para pendatang dan pedagang yang singgah ke Teluk Banten. Pada masanya, Banten Lama merupakan bandar dagang kelas dunia, salah satu yang terbesar dalam sejarah Nusantara. Namun, pamor itu kemudian lenyap.
Boleh dikata, apa yang menjadi objek wisata di kawasan Banten Lama ini hanyalah puing-puing. Reruntuhan bangunan berstatus cagar budaya berserakan di beberapa titik; tembok-tembok Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, sistem kanal kuno, Benteng Speelwijk, hingga Masjid Pacinan Tinggi yang hanya menyisakan pondasi dan menara. Keberadaannya pun tersembunyi di balik rumah-rumah penduduk atau lapak pedagang kaki lima. Meski begitu, reruntuhan ini menandai keberadaan Kesultanan Banten lima abad silam.
Pembangunan Kota
Kisah kejayaan Kesultanan Banten sepanjang dua setengah abad dibuka dengan cerita kemenangan. Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon dan putranya, Maulana Hasanuddin, berhasil menaklukkan kota bernama Wahanten Girang yang dikuasai Kerajaan Sunda. Hasanuddin, yang kemudian dinobatkan menjadi sultan, memindahkan pusat kekuasaan ke bagian muara sungai atas petunjuk sang ayah yang kemudian dikenal dengan Surosowan.
Surosowan, sebagai ibukota Kesultanan Banten, berada 13 km di utara kota Wahanten Girang. Para cendekiawan, seperti ahli epigrafi dan sejarah kuno Boechari, mengungkapkan adanya keyakinan yang bersifat magis mengenai alasan penentuan lokasi suatu pusat pemerintahan. Ada anggapan, suatu tempat yang sudah dikalahkan tak baik dipakai oleh si penakluk.
Dalam disertasinya, “Perdagangan di Kesultanan Banten (1552-1684): Kajian Arkeologi-Ekonomi”, Herianti Ongkodharma Untoro menyebut pemilihan Surosowan juga mempertimbangkan lokasi pantai yang lebih potensial bagi perkembangan pelayaran dan perdagangan. Selain lebih strategis bagi kapal dagang, pengawasan pun akan lebih mudah. Pelabuhan dibangun di wilayah Pabean dan Karangantu yang berjarak 1 km satu sama lain.
Terbukti, bandar Banten tersohor. Kesultanan semakin mandiri, jauh dari bayang-bayang Kesultanan Demak. Bahkan, Banten membawahkan daerah-daerah lainnya seperti Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu.
“Perpindahan pusat kerajaan ke utara adalah revolusi ekonomi baru,” ujar Sonny Wibisono, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) ketika ditemui di kantornya.
Pemerintahan kerajaan bercorak Islam itu dilukiskan dalam berbagai naskah-naskah kuno. Kitab Sajarah Banten salah satunya. Diceritakan dalam kitab itu, setelah ditunjuk sebagai sultan, Hasanuddin membangun istana di Surosowan. Tak diketahui pasti material yang digunakan tapi diduga masih menggunakan bahan yang tak tahan lama. Selain itu, sultan melengkapi ibukota dengan alun-alun, Masjid Agung, Masjid Pacinan Tinggi, dan pasar.
Ketika Maulana Yusuf, penggantinya, naik takhta, pembangunan yang lebih besar dilakukan. Dia menambahkan tembok pertahanan di sekeliling Keraton Surosowan dengan material dari bata dan karang. Begitu pula pembangunan tembok kota. Berkatnya pula, menjelang dua dekade sejak berdirinya Kesultanan Banten, berdiri kampung-kampung dan sawah-sawah. Sultan juga membuat saluran-saluran air dan bendungan.
Herianti menyebut era Maulana Yusuf sebagai letupan pembangunan di Kota Surosowan. Sawah didukung sirkulasi air yang dibuat sedemikian rupa. Saluran dan bendungan pun mendapatkan perhatian. Salah satunya dengan membangun Danau Tasikardi. Danau buatan ini dibangun untuk menampung air yang akan dialirkan melalui sistem penyaringan (pengindelan) ke keraton sekaligus untuk keperluan irigasi.
“Pada masa Maulana Yusuf dibuat kanal-kanal untuk transportasi tapi juga untuk pertahanan,” ujar Joesoef Boedi Arijanto, kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, kepada Historia.
Puncak Kejayaan
Banten Lama mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Melanjutkan apa yang dilakukan pendahulunya, Sultan Ageng giat membangun kota.
“Dia dulu punya perencanaan untuk membuat satu kota baru lagi, tiga kali lebih besar dari Banten,” ujar Sonny Wibisono.
Kota baru yang dibuat Sultan Ageng dibuat mirip Surosowan. Lokasinya di wilayah Pontang (Sungai Ciujung) sampai ke Tanara (Sungai Cidurian) yang jaraknya hampir 3 km.
Di kawasan perbatasan Banten dan Jakarta juga dibangun perkampungan. Tujuannya untuk pertahanan dan persediaan tenaga tempur bila harus berperang melawan Belanda. Perluasan lahan pertanian juga dilakukan. Pasokan hasil pertanian begitu mendesak. Lada menyedot perhatian banyak petani. Pasokan membengkak dan harga pun jatuh. Sementara pasokan beras sebagai bahan pangan utama tak lagi terurus.
Sultan Ageng mengerahkan ribuan orang untuk membuka persawahan baru di timur kota Banten Lama. Dia juga membuat saluran irigasi dan bendungan. Luas pembangunan itu diperkirakan sampai ke daerah Cigede saat ini.
Pembukaan lahan dimulai pada September 1663, mundur empat tahun dari rencana awal. Pada Oktober 1670, Sultan Ageng melibatkan 16.000 orang untuk menggali terusan Pontang sampai Tanara. Jumlah pekerja meningkat sampai 26.000 pada bulan berikutnya. Mereka mengejar musim hujan tiba.
“Belum sempat menjadi kota, dia bentrok dengan anaknya sehingga nggak jalan,” ujar Sonny, menyebut perseteruan Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya, Sultan Haji.
Kendati berupaya memberikan perhatian pada pertanian, kesultanan enggan melepaskan begitu saja keuntungan yang diraih dari perdagangan lada. Tak dipungkiri, lada adalah primadona yang menjadi magnet terbesar. “Tak ada lada, tak ada pendatang,” ucap Sonny.
Kesultanan menjadi pihak pengendali yang menyediakan jasa. Fasilitas dan izin berdagang diberikan kepada orang asing yang datang. Dari mereka, pajak ditarik sebagai balas jasa.
Pendatang punya andil besar dalam pembangunan Kesultanan Banten. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya tinggal menetap. Beberapa dari mereka membentuk permukiman secara berkelompok di luar tembok kota.
Pedagang Tionghoa tinggal di Pacinan. Di dekatnya, ada permukiman bagi orang-orang Portugis. Orang muslim dari Cambay, Gujarat, Mesir, Turki, dan Goa bermukim di Pekojan. Pedagang Melayu, Benggala, dan Abesinia bermukim di sepanjang pantai. Sementara orang Belanda di daerah yang agak berawa.
Peta L. Serrurier, seorang kurator koleksi etnografi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG), yang dibuat tahun 1902, membagi permukiman bagi pendatang berdasarkan peninggalan toponimi perkampungan.
Berdasarkan identifikasinya, wilayah Karangantu dulu dihuni orang-orang Tionghoa, Malaya, Portugis, dan Belanda. Wilayah Pakojan dihuni orang-orang dari Timur Tengah. Pemukim lain yang menghuni kota Banten Lama berasal dari wilayah-wilayah Nusantara. Misalnya, orang dari Mataram dan Bali bermukim di wilayah bernama Kabalen.
Berdasarkan toponimi juga diketahui adanya permukiman yang dikelompokkan berdasarkan profesi: Panjaringan atau permukiman tukang jaring, Pasulaman (tukang sulam), Pamaranggan (tukang keris), Pawilahan (tukang bambu), Pakawatan (tukang jala), Kawiragunan (pejabat keraton), Pajantran (tukang tenun), Kepandean (tukang logam), Kasatrian (prajurit), Kabantenan (pejabat pemerintah), Kasunyatan (alim ulama), dan Kagongan (tukang gong).
Pada awalnya, pengendalian terhadap pihak asing diterapkan dengan baik. Selain istana, masjid, dan kanal, Sultan Ageng tak membiarkan bangunan dibuat permanen. Sultan Ageng tidak memberi izin bangunan lain sekuat benteng.
Sayangnya itu hanya berjalan singkat. Perseteruan Sultan Ageng melawan anaknya, Sultan Haji, dimanfaatkan Belanda untuk memasuki ranah politik di dalam benteng Surosowan. Sultan Ageng kalah. Surosowan hancur. Meski kemudian dibangun kembali, politik kesultanan terlanjur digerogoti dari dalam. Kota yang dulunya gemilang mulai sekarat.
“Keturunan Sultan Ageng tidak meneruskan rencana besar pendahulunya,” ujar Sonny.
Perubahan Wajah Kota
Keberpihakan Sultan Haji kepada Belanda membuat masa pemerintahannya diwarnai pemberontakan dan kekacauan. Kondisi ini berlanjut di masa berikutnya. Belanda semakin memegang kendali, ditandai dengan naik-turunnya penguasa Banten sesuai keinginan Belanda. Belanda juga memiliki kuasa untuk menggaji sultan sebesar 15.000 real Spanyol setahun.
Hanya butuh waktu empat dekade sejak berdirinya kesultanan pada 1552 sampai akhirnya Belanda sedikit-banyak ikut membentuk wajah kota kuno itu. “Berdirinya Benteng Speelwijk pada 1685 adalah simbol kalau sebenarnya kemandirian Kesultanan Banten sudah runtuh,” ujar Sonny.
Pelabuhan menjadi napas bagi Kesultanan Banten. Maka, ketika VOC memindahkan fungsi pelabuhan ini ke Batavia, Banten pun meredup. “Orang tidak lagi mau ke sana, fasilitas juga sudah tidak seperti sebelumnya,” ujar Sonny.
Sementara, kekuatan ekonomi Belanda yang terlanjur kuat di Banten menyebabkan permukiman Banten perlahan menurun dan kemudian terbakar pada 1809.
Keraton Surosowan dibakar tentara Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels. Itu Setelah Sultan Abul Mafakih Muhammad Aliyuddin atau Sultan Aliyuddin II menolak mengerahkan rakyat Banten untuk kerja rodi membangun jalan untuk pertahanan di Ujung Kulon dan memindahkan keraton ke Anyer.
Kesultanan Banten pun menemui akhir ceritanya ketika Muhammad Syaifuddin berkuasa. Pada 1813 ia dipaksa turun takhta dan menyerahkan kekuasaan atas Banten kepada Inggris, yang menggantikan Belanda di Banten, di bawah kekuasaan Thomas Stamford Raffles. Kesultanan Banten dihapuskan. Banten kemudian dimasukkan sebagai sebuah keresidenan.
Keraton Kaibon, yang dibangun sekira 1815 menjadi singgasana terakhir bagi kesultanan ini. Istana ini dibangun bagi Ratu Aisyah. Ia menjadi Wali Sultan Muhammad Rafiuddin yang masih kecil.
Selanjutnya, pada 1832, setelah Belanda mendapatkan kekuasaannya kembali atas Jawa, Keraton Kaibon dihancurkan bersama Keraton Surosowan yang kali ini hancur untuk selama-lamanya.
Pada 1915-1930, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemugaran terhadap Benteng Speelwijk, Keerkhof, bekas keraton, dan pemakaman Islam. Namun, seiring waktu, semuanya terbengkalai.*