Kisah Naga Terbang dan Gagak Hitam

Para jago dan kriminal di Sumatra memanfaatkan revolusi untuk berjuang dan meraih keuntungan. Persaingan sengit terjadi.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Kisah Naga Terbang dan Gagak HitamKisah Naga Terbang dan Gagak Hitam
cover caption
Deddy Mizwar memerankan Naga Bonar (1986) yang terinspirasi oleh Timur Pane. (kineforum.org).

KABAR proklamasi sampai ke telinga Timur Pane, pemimpin geng copet Medan. Dia meresponsnya dengan mendirikan badan perjuangan bernama Naga Terbang yang beranggotakan para jago dan kalangan dunia hitam.  

Di tempat terpisah, kabar proklamasi juga menggerakkan Sarwono Sastro Soetardjo, guru Taman Siswa yang mantan aktivis Parindra cabang Sabang. Pada Oktober 1945, dia merekrut bandit sohor kota Medan Amat Bojan beserta anak buahnya dan orang-orang dunia hitam lainnya. Mereka lalu dihimpun ke dalam sebuah milisi bernama Gagak Hitam.  

“Beberapa upaya pemimpin politik menggunakan orang-orang keras/bengis itu tujuannya untuk memperluas pengaruh yang mereka miliki, seperti Sarwono yang menggunakan tokoh kriminal sohor Amat Bojan,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

KABAR proklamasi sampai ke telinga Timur Pane, pemimpin geng copet Medan. Dia meresponsnya dengan mendirikan badan perjuangan bernama Naga Terbang yang beranggotakan para jago dan kalangan dunia hitam.  

Di tempat terpisah, kabar proklamasi juga menggerakkan Sarwono Sastro Soetardjo, guru Taman Siswa yang mantan aktivis Parindra cabang Sabang. Pada Oktober 1945, dia merekrut bandit sohor kota Medan Amat Bojan beserta anak buahnya dan orang-orang dunia hitam lainnya. Mereka lalu dihimpun ke dalam sebuah milisi bernama Gagak Hitam.  

“Beberapa upaya pemimpin politik menggunakan orang-orang keras/bengis itu tujuannya untuk memperluas pengaruh yang mereka miliki, seperti Sarwono yang menggunakan tokoh kriminal sohor Amat Bojan,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.  

Selain Sarwono, politisi seperti Abdul Xarim, Jakub Siregar, dan Saleh Umar bekerjasama dengan Timur Pane, Bedjo, Saragiras, dan Payung Bangun. Simbiosis mutualisme melandasi kerjasama antara pemuda nasionalis dan para jago. Hubungan itu berubah-ubah mengikuti perkembangan politik dan ekonomi.  

Gagak Hitam kemudian mendeklarasikan diri menjadi Barisan Pengawal dan berafiliasi dengan PRI/Pesindo. Pada pengujung tahun, ketika Sarwono menjadi ketua Pesindo Sumatra, dia memecah badan perjuangannya menjadi delapan titik sesuai pembagian wilayah Medan Area.  

“Masing-masing sektor berisi sekelompok yang terdiri dari sekira 30 bajingan/bangsat yang dikenal sebagai Pelopor yang bertanggungjawab terhadap lebih banyak kejahatan dengan tindak kekerasan yang terjadi di daerah itu,” tulis Mary Margaret Steedly dalam Rifle Reports: A Story of Indonesian Independence.  

Sementara Naga Terbang menjadi satu dari sekian banyak milisi yang berada di bawah Napindo, sebuah badan pemuda berhaluan nasionalis. Mulanya badan itu bernama Nasional Pelopor. Dalam perjalanannya, ia kemudian menjadi “organ bersenjata” Partai Nasional Indonesia (PNI).  

Milisi-milisi di Sumatra Timur umumnya mengusahakan senjata sendiri. Mula-mula mereka mendapatkannya dari pasukan Jepang, entah melalui negosiasi, perampasan, atau pelucutan. Lalu, mereka mengusahakannya melalui penyelundupan atau melucuti badan perjuangan lain yang menjadi saingan.  

Pasukan Inggris Batalion 2 Divisi ke-26 India memasuki kota Medan. (Imperial War Museums).

Pertempuran dan Persaingan

Kedatangan Sekutu/NICA di Medan membuat para pemuda pejuang gerah. Terlebih meletup insiden Peristiwa Jalan Bali pada 13 Oktober 1945 di mana pemuda bernama Wahid, yang mengenakan lencana merah putih, dipukuli serdadu-serdadu eks KNIL di depan Asrama Pensiun Wilhelmina, Jalan Bali. Para pemuda pun angkat senjata.  

“Di hari itu juga, pemuda dan pedagang menyerang asrama pensiunan Wilhelmina,” ujar Muhammad Tuk Wan Haria, veteran Perang Kemerdekaan front Sumatra Utara, kepada Historia.  

Pertempuran pun pecah. Sedikitnya 10 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Insiden itu merembet ke berbagai tempat. Dua hari kemudian, insiden serupa terjadi di kota Pematang Siantar. Sekira 20 orang tewas, termasuk empat serdadu Belanda yang dibunuh ketika hotel tempat mereka menginap dibakar pemuda-pemuda nasionalis. Palagan Medan Area dimulai.  

Gagak Hitam terus aktif berperan dalam berbagai pertempuran. Prestise mereka meningkat. Beriringan dengannya, tindak kriminal mereka juga terus berjalan. “Unit Amat Bojan yang tetap menjadi kelompok gangster, merampasi rumah-rumah orang Tionghoa dan mengganggu perempuan,” tulis Reid.  

Dipadu dengan kepemimpinan Sarwono yang tak disukai orang, banyak pihak menjadi antipati. Naga Terbang Timur Pane salah satu penentang terkeras. Masalah ekonomi serta persaingan memperebutkan wilayah atau sumber-sumber uang yang mendasarinya.  

Meski ikut dalam pertempuran Medan Area, Naga Terbang lebih sering berada di garis belakang untuk mencari keuntungan materi. “Pasukannya yang didominasi Toba-Batak adalah salah satu yang menunjukkan lebih sebagai pengusaha dalam menjarah Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda,” sambung Reid.

Selain penjarahan, penyelundupan juga menjadi andalan utama mereka. Kepiawaian berniaga itu membuat nama Naga Terbang menjadi besar dan kian tenar. “Pada pertengahan 1946, dia (Timur Pane, red.) memimpin satu kekuatan bersenjata besar, yang dibangun dari sebuah geng Jalan Pemuda di Medan,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity.  

Dengan kekayaan yang dimilikinya, Naga Terbang “menggoda” banyak badan perjuangan lain untuk bergabung. Kekayaan itu pula yang menjadi senjata Naga Terbang untuk melenyapkan rival, dengan jalan membeli persenjataan mereka.  

Pemimpin Militer Sumatra Timur, Desember 1945. Kiri-kanan: Kapten Hotman Sitompul, Kapten A. Tahir, Letnan Satu R. Soecipto. Duduk: Mahruzar (adik Sutan Sjahrir), bendahara TKR. (Repro The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra).

Aliansi

Di tengah palagan yang masih berkobar, sebuah konferensi dihelat Napindo Andalas Utara di Kualanamu pada 26 Desember 1946. Tujuannya untuk mereorganisasi badan perjuangan di sana guna mengembangkan strategi dalam merespons keadaan. Naga Terbang ditetapkan menjadi Resimen IV yang berkedudukan di Deli-Serdang. Timur Pane memilih Perbaungan sebagai markasnya. Di sanalah dia makin leluasa berniaga.  

“Dari sana dia mengendalikan beberapa perkebunan (terutama karet) dan jaringan perdagangan yang menguntungkan dengan Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu dekat Lubuk Pakam,” tulis Audrey Kahin. “Dalam beberapa bulan, sekelompok kuat pengusaha-militer telah mampu berdiri sendiri. Pasukan Timur Pane, Naga Terbang, mungkin yang terbesar dan bersenjata terbaik.”  

Untuk memperkuat milisinya, Timur Pane mengajak komandan-komandan laskar di sekitar wilayah kekuasaannya untuk bergabung. Sebuah aliansi lalu mereka tandatangani pada pertengahan 1947 –versi lain Maret 1947– dengan pasukan Polisi Tentara Marsuse Parapat di bawah komando Kolonel Marwara Lumban Tobing dan nama Naga Terbang pun mereka ganti menjadi Tentara Marsuse.  

Sebuah anekdot dalam revolusi pun terjadi. Atas kebijakan Marwara, Timur Pane diberi pangkat jenderal mayor. Yang juga lucu, pangkat Timur Pane lebih tinggi dari pangkat orang yang memberikannya. Timur Pane merupakan salah satu tokoh yang menginspirasi Asrul Sani membuat film Naga Bonar.

Bersamaan dengan itu pula, menurut Edisaputra dalam memoarnya, Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris, dan Belanda, Timur Pane dan Marsuse-nya melepaskan diri dari Napindo. Timur Pane menjadi salah satu warlord paling disegani.  

Hal yang sama juga terjadi pada milisi-milisi lain. Maka, sebagian besar wilayah berada di tangan para warlord. Keadaan tersebut mempertajam konflik bersenjata.  

Perlawanan keras terhadap Timur Pane dan Marsuse-nya datang dari laskar Pesindo di bawah Sarwono, eks pemimpin Gagak Hitam yang menyingkir ke tenggara seiring mundurnya kekuatan perjuangan melawan Belanda. Tembak-menembak di antara pasukan keduanya terus terjadi. Korban berjatuhan dari kedua pihak. TRI komandemen Sumatra buru-buru turun tangan.  

Pada 29 Juni 1947, Panglima Letjen Suharjo Wardojo membubarkan Marsuse. Sepekan kemudian, dibentuk kesatuan Legiun Penggempur untuk mewadahi para mantan pasukan Marsuse. Timur Pane ditetapkan sebagai panglimanya, sedangkan wakilnya adalah Letkol Artinus Sianturi. Dengan Legiun Penggempur, otoritas resmi tentara lebih bisa mengendalikan Timur Pane dan pasukannya.  

Namun, alih-alih mandek, konflik justru semakin sengit. Kesatuan yang terlibat makin banyak. TNI Stoottroep Brigade B pimpinan Mayor Bejo ikut melawan pasukan Timur Pane.  

“Akibatnya dalam jumlah besar anggota pasukan bersenjata mereka ditarik dari garis depan untuk membantu pasukannya di garis belakang. Dengan demikian musuh utama kemerdekaan, yaitu Belanda, tidak dihadapi lagi dalam kesiapsiagaan penuh seratus persen,” tulis Likas br Tarigan, istri mendiang Djamin Gintings (Dan Yon I Resimen II TRI semasa Medan Area), dalam Titi Bambu, Saksi Bisu Tumpahnya Darah Pejuang Resimen IV Divisi X dalam Perang Gerilya.  

Panglima laskar Napindo Naga Terbang, Jenderal Mayor Timur Pane (kanan) bersama Letnan II Karyono. (Repro Bedjo Harimau Sumatera).

Kebijakan Hatta

Dalam sebuah serangan, Marsuse berhasil menawan Sarwono. Timur Pane langsung bersiap membunuhnya. Namun, kabar itu keburu sampai ke telinga Wakil Presiden Mohammad Hatta yang kala itu sedang berkunjung ke Pematang Siantar. Hatta langsung turun tangan.  

“Kupanggil Timur Pane ke tempat aku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” kenang Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.  

Timur Pane mematuhinya. Bersamaan dengan itu dia juga meminta Hatta menyetujui keinginannya menggempur dan mengenyahkan Belanda dari Medan Area. Sontak para hadirin terperangah. Mereka meragukan kemampuan pasukan Timur Pane, terlebih sejak 1946 mereka lebih banyak di garis belakang. Dugaan mereka, Timur Pane hanya ingin memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan. Sepengalaman mereka, pasukan Timur Pane kerap meresahkan masyarakat. Namun, Hatta mengizinkan.  

“Aku menyuruhnya pergi ke Tapanuli, sebab ia bermaksud akan menggempur daerah Medan,” ujar Hatta.  

Meski sempat ditolak Kolonel Hotman Sitompul, wakil panglima TRI di Pematang Siantar, Timur Pane akhirnya mendapatkan bantuan senjata. Mereka segera ikut ambil bagian menyerang Medan Area.  

Pada saat pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan Re-Ra pada 1948, Legiun Penggempur termasuk salah satu badan perjuangan yang dilikuidasi. Timur Pane tak melanjutkan kariernya di dunia militer. Oleh Liberty Malau, wakilnya di Naga Terbang, bekas pasukannya disatukan ke dalam pasukan Banteng Negara.  

Sementara Sarwono tak jelas nasibnya. Pesindo ikut dilikuidasi setelah Re-Ra menyusul eksekusi mati Amir Sjarifuddin. Sementara Amat Bojan telah lebih dulu meninggalkan mereka. “Amat Bojan akhirnya dibunuh oleh anggota geng yang lebih disiplin,” tulis Reid.*

Tulisan ini dikerjakan bersama Wenri Wanhar

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66a86e9dc5fe6a031cedfbf2