ARBAIYYAH, seorang guru sekolah di Cilegon, tak henti memberikan semangat kepada Bing Slamet agar kelak menjadi penyanyi. Kala itu, Bing baru menginjak usia enam tahun. Seperti orang-orang di kampungnya, Arbaiyyah mengetahui kegemaran Bing: menyanyi. Arbaiyyah seperti sudah melihat bakat besar pada diri Bing.
Saat mengenyam pendidikan dasar di Hollands Indische School (HIS), Bing dipanggil “Abdullah kecil”. Nama “Abdullah” mengacu pada seorang penyanyi tenar masa itu. Suara penyanyi itu khas. Pun demikian dengan Bing. Di antara teman sebayanya, tawa Bing yang paling unik: berderai-derai. Bing juga mulai berlatih menirukan suara penyanyi yang didengarnya dari gramofon ayahnya.
Kegemaran Bing mendengarkan gramofon menarik perhatian tetangganya, Laurens. Dia seorang polisi tanpa anak. Dia terkesiap melihat Bing menggonta-ganti piringan hitam, sesuatu yang langka untuk anak seusianya. Laurens mencoba mendekatinya, membimbingnya bernyanyi. Laurens bukan polisi biasa. Dia mempunyai sedikit bekal pengetahuan soal vokal. Pendekatan Laurens bersambut. Bing menyukai pembimbing musik pertamanya.
ARBAIYYAH, seorang guru sekolah di Cilegon, tak henti memberikan semangat kepada Bing Slamet agar kelak menjadi penyanyi. Kala itu, Bing baru menginjak usia enam tahun. Seperti orang-orang di kampungnya, Arbaiyyah mengetahui kegemaran Bing: menyanyi. Arbaiyyah seperti sudah melihat bakat besar pada diri Bing.
Saat mengenyam pendidikan dasar di Hollands Indische School (HIS), Bing dipanggil “Abdullah kecil”. Nama “Abdullah” mengacu pada seorang penyanyi tenar masa itu. Suara penyanyi itu khas. Pun demikian dengan Bing. Di antara teman sebayanya, tawa Bing yang paling unik: berderai-derai. Bing juga mulai berlatih menirukan suara penyanyi yang didengarnya dari gramofon ayahnya.
Kegemaran Bing mendengarkan gramofon menarik perhatian tetangganya, Laurens. Dia seorang polisi tanpa anak. Dia terkesiap melihat Bing menggonta-ganti piringan hitam, sesuatu yang langka untuk anak seusianya. Laurens mencoba mendekatinya, membimbingnya bernyanyi. Laurens bukan polisi biasa. Dia mempunyai sedikit bekal pengetahuan soal vokal. Pendekatan Laurens bersambut. Bing menyukai pembimbing musik pertamanya.
Hasil bimbingannya bikin Bing kian percaya diri. Minat Bing pada seni juga semakin kuat. Kala beranjak remaja, Bing bergabung dengan perkumpulan musik Terang Boelan pada 1939.
Pemimpinnya, Husin Bangsa (Husin Kasimun), sudah terkenal sebagai musisi sejak awal 1930. Terang Boelan, serupa pemimpinnya, dikenal sebagai orkes yang mumpuni. Mereka tampil di berbagai daerah, dari satu panggung ke panggung lainnya.
Bing mempertajam bakatnya melalui pengarahan Husin. Terang Boelan memberi kesempatan Bing untuk tampil. Dari sinilah Bing mengenal dunia panggung.
Dilema Sekolah
Suatu hari, violis M. Sagi melihat Bing bernyanyi di panggung. Tertarik dengan aksi Bing, dia mengajak Bing bergabung sebagai penyanyi Orkes Kerontjong pada zaman Jepang. Tak berpikir dua kali, Bing menerima tawaran itu. M. Sagi pun menjadi guru baru Bing.
Selama mengikuti M. Sagi, nama Bing terdengar hingga kalangan radio. Bing beroleh kesempatan bekerja paruh waktu di Hosokyookyu, corong radio Jepang. Melalui radio inilah kali pertama suara Bing menjangkau lebih luas.
“Angin Berbisik” karya Mathovani menjadi lagu pertamanya yang dinyanyikan di radio. Lagu ini mengalun merdu. “Dia menyanyi dengan teknik meniru Sam Saimun,” tulis Sinar Harapan, 18 Desember 1974.
Meski tak lama bekerja di sana, Bing sempat bertemu dengan komponis atau musisi lainnya seperti Ismail Marzuki, Sjaifoel Bachri, dan Sutedjo. Menimba pengalaman dari mereka, vokal Bing mulai menemukan ciri khasnya, baik volume maupun teknik.
Selain harus tampil bersama Orkes Kerontjong, Bing mesti bersekolah. Lantaran kerap berpindah dari satu panggung ke panggung lainnya, sekolah Bing terbengkalai. Bing sering membolos. Padahal, dia sudah sering pindah sekolah, sesuai tempat manggungnya. Bing harus memilih: menyanyi atau bersekolah. Tapi Bing tak ingin meninggalkan semuanya.
Saat bimbang dengan pilihannya, Bing bertemu Iskandar, seorang musisi, pencipta lagu, dan komponis. Mereka lantas berkawan akrab.
Iskandar menyarankan Bing mengunjungi Rakutentji (sekarang Lokasari), Mangga Besar. “Kau datanglah terus ke Rakutentji. Suaramu baik,” kata Iskandar. “Di daerah itu berdiri sebuah restoran bernama ‘Kalimantan’. Letaknya di dalam Pasar Tjiplak.”
Beberapa seniman kerap menyambangi restoran itu. “Maka di zaman itu kelihatanlah di Pasar Tjiplak orang-orang seperti Rosihan Anwar yang dulu aktif dalam pembinaan grup sandiwara Maya bersama Usmar Ismail,” tulis Tjaraka, 26 Agustus 1969. Chairil Anwar pun tercatat pernah meramaikan tempat itu.
Selain seniman, intelektual pun sering duduk bareng di sana. Beberapa nama bisa disebut. “Juga kelihatan di situ Sutan Sjahrir yang tak mau berkompromi dengan Jepang, yang kemudian menjadi Perdana Menteri RI. Tampak pula Djilis Tahir, kini pimpinan Surat Kabar Api Pantjasila,” tulis Tjaraka.
Di sana mereka bercakap-cakap dari soal seni hingga hal remeh-temeh; menonton pertunjukan sandiwara hingga adu tinju; menghibur diri di kasino hingga mendengarkan suara bariton Sam Saimun.
Bing ambil keputusan. Pada 1944, dia mencoba pengalaman yang lebih luas di dunia seni tanpa meninggalkan sekolah. Dia menjajal masuk grup sandiwara Pantjawarna di Rakutentji agar minatnya pada seni tak luntur dan aktivitasnya terpusat pada satu kelompok.
“Kalau demikian saya akan ke Thalia,” kata Bing kepada Iskandar. Thalia adalah tempat tes untuk para penyanyi yang ingin bergabung ke Pantjawarna. Letaknya masih satu kawasan dengan Restoran Kalimantan.
Bertemu Sam Saimun
Bercelana pendek, bertubuh tidak tinggi, dan berambut jambul ala penyanyi cum aktor Amerika Bing Crosby, Bing yang masih berusia 18 tahun mengadu peruntungannya. Penguji menyuruh Bing membawakan lagu “Fadjar Menjingsing” ciptaan Jahja.
Dalam tes, Bing mengalunkan suara baritonnya. Hasilnya: Bing tak hanya lulus tes, tapi juga memukau orang-orang di sana, termasuk artis tersohor Fifi Young. “Orangnya kecil kok suaranya gede, ya?” tanya Fifi Young sebagaimana diceritakan Bing kepada Tjaraka. Bagi Bing, Fifi Young ikut andil atas kariernya sebagai penyanyi.
Pantjawarna memberikan kesempatan kepada Bing untuk mengembangkan bakatnya. Bing menjadi penyanyi terbaik di grup ini. Tapi di grup ini Bing tak hanya sekadar bernyanyi. Bing juga berlatih menjadi pemain drama. Semua aktivitas itu menyibukkan Bing. Sekolahnya pun kembali terganggu.
Meski awalnya Bing tak bolos bersekolah lagi, lama-kelamaan Bing kerap limbung dengan jadwal latihan dan pertunjukan sandiwara. “Bing Slamet sering membolos untuk dapat mengikuti latihan main sandiwara bersama Iskandar,” tulis Monitor, April 1975. Ini karena bersama Pantjawarna Bing harus keliling Indonesia.
Tapi pengalaman itu sangat mengesankan. Bing bisa berhubungan langsung dengan Sam Saimun, idolanya. Selama ini Bing hanya bisa menyaksikan tanpa berinteraksi lebih jauh dengannya. Sebelumnya, Bing hanya belajar vokal dengan mendengarkan suara Sam Saimun. Wajar jika Bing merasa senang bisa berdekatan dengannya.
Peristiwa itu terjadi di Yogyakarta pada 1944. Kebetulan Sam ikut mengiringi pertunjukan Pantjawarna. “Saya bersamanya sejak di Yogya tahun 1944. Waktu itu saya menjadi pengagumnya dan sejak itu saya mengikutinya. Dia guru saya,” kenang Bing, saat pemakaman Sam pada 1972, seperti dikutip Kompas, 18 Desember 1974.
Kembali ke Jakarta
Semasa revolusi kemerdekaan, Bing tak pernah pulang ke rumah. Seperti pemuda Republik umumnya, dia ikut berjuang. Bahkan dia masuk dinas militer untuk menghibur para prajurit. Karena itu, dia tak perlu menenteng senapan. Senjata satu-satunya adalah suara bariton.
Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, Bing pergi ke Singapura bersama Sam Saimun dan Heryati (penyanyi RRI). Bing menyiapkan sebuah lagu berjudul “Cemas” untuk rekaman piringan hitam pertamanya. Lagu itu diciptakannya sendiri. Kelompok musik Trio Abel-Capell-Nico menjadi pengiring instrumennya.
Seusai rekaman, Bing kembali berdinas untuk militer di Surabaya pada 1950. Dia masuk barisan penghibur Angkatan Laut karena ajakan Henny Gatot, seorang pemain orkes. Dia memperkuat Orkes Angkatan Laut Surabaya selama dua tahun.
Pada 1952, Bing akhirnya kembali ke Jakarta, kota yang sudah lama dia tinggalkan. Bing sempat bergabung dengan barisan penghibur Angkatan Laut Jakarta sebelum masuk RRI Jakarta pada tahun yang sama.
Setahun bekerja sebagai penyiar dan penyanyi RRI, Bing berkenalan dengan Idris Sardi, seorang solis muda pada orkes studio RRI. Bing mengenal ayahnya, M. Sardi, seorang pemimpin ansambel gesek pada RRI Jakarta. “Mereka berkawan akrab sejak Bing bekerja di sana,” ujar Idris Sardi kepada Historia.
Pada 1953, Idris menggantikan posisi ayahnya. “Ayah saya meninggal. Saya diminta menggantikannya di RRI meski masih berusia 15 tahun. Lalu saya mengenal Bing,” kata Idris. “Meski tidak bisa membaca not balok, permainan gitarnya jago.”
Kala bermain gitar, Bing tak perlu memakai tuckle atau alat pemetik senar. “Kelincahan jarinya cukup untuk menghasilkan bunyi yang nyaring dan kaya variasi,” tulis Des Alwi dalam “Bing Slamet dalam Dunia Lawak Indonesia”, termuat di Prisma, No. 6, 1988.
Karena senang dengan bunyi meriah, Bing lantas membentuk orkes Mambetarumpajo, akronim dari mambo, beguin, tanggo, rumba, pusso, dan joget. Orkes ini mengusung musik berirama latin (cha cha cha) dan Bing menjadi vokalis utamanya.
Sadar dengan kemampuan vokalnya, Bing mengikuti kontes Bintang Radio Republik Indonesia pada 1955. Bing mencoba dua kategori yang dilombakan: seriosa dan hiburan. Bing gagal di seriosa, tapi berhasil di jenis hiburan. Juri-juri RRI memilihnya sebagai yang terbaik. Dan karier Bing kian melejit.*