Kisah Polwan yang Tak Selalu Menawan

Polwan bukanlah pemanis citra kepolisian. Perannya cukup besar dalam menjalankan tugas kepolisian. Namun sempat mengalami diskriminasi dan tidak disukai polisi laki-laki.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Kisah Polwan yang Tak Selalu MenawanKisah Polwan yang Tak Selalu Menawan
cover caption
Polwan tengah mengikuti pendidikan di Sekolah Polwan. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

PADA 1960-an, masyarakat ibukota resah. Puluhan “tante girang”, sebutan untuk perempuan bersuami dengan hasrat birahi tinggi, beroperasi di Jakarta. Tak hanya menjadi masalah sosial, fenomena tante girang memasuki ranah tindak kejahatan susila.

Kepolisian pun bertindak. Pengusutannya diserahkan kepada aparat polisi wanita (polwan). “Para tante girang dapat dikatakan lebih berbahaya, karena mereka menjadikan anak-anak muda yang belum dewasa dalam soal-soal seksuilnya sebagai mangsa,” ujar Komandan Polwan AKBP Djasmaniar Hoesein, dikutip Kompas, 4 Oktober 1968.

Operasi penyuluhan pun digelar. Polwan turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Target penyuluhan adalah murid-murid sekolah menengah pertama yang beranjak remaja. Meski langkah yang ditempuh bersifat preventif, polwan mulai dikenal sebagai mitra masyarakat. Padahal dua dekade sebelum kasus tante girang, polwan telah mengabdi negara untuk membantu kinerja polisi umum atau polisi laki-laki.  

Hingga kini, polwan menjadi bagian penting dari kepolisian, terutama dalam menangani kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.

PADA 1960-an, masyarakat ibukota resah. Puluhan “tante girang”, sebutan untuk perempuan bersuami dengan hasrat birahi tinggi, beroperasi di Jakarta. Tak hanya menjadi masalah sosial, fenomena tante girang memasuki ranah tindak kejahatan susila.

Kepolisian pun bertindak. Pengusutannya diserahkan kepada aparat polisi wanita (polwan). “Para tante girang dapat dikatakan lebih berbahaya, karena mereka menjadikan anak-anak muda yang belum dewasa dalam soal-soal seksuilnya sebagai mangsa,” ujar Komandan Polwan AKBP Djasmaniar Hoesein, dikutip Kompas, 4 Oktober 1968.

Operasi penyuluhan pun digelar. Polwan turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Target penyuluhan adalah murid-murid sekolah menengah pertama yang beranjak remaja. Meski langkah yang ditempuh bersifat preventif, polwan mulai dikenal sebagai mitra masyarakat. Padahal dua dekade sebelum kasus tante girang, polwan telah mengabdi negara untuk membantu kinerja polisi umum atau polisi laki-laki.  

Hingga kini, polwan menjadi bagian penting dari kepolisian, terutama dalam menangani kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.

Seorang polwan tersenyum, 1966. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Kisah Enam Polwan

Pada pertengahan 1948, imigran dari Semenanjung Malaya memasuki pesisir timur Sumatra Tengah hingga Sumatra Barat. Pemeriksaan terhadap pendatang asing pun dilakukan. Namun, mereka yang perempuan menolak digeledah polisi, walau di kamar tertutup sekalipun. Persoalan makin pelik ketika beberapa perempuan dicurigai sebagai mata-mata Belanda.

Polisi di bagian reserse memberdayakan istri mereka untuk membantu pemeriksaan. Lambat-laun ibu-ibu itu merasa pekerjaan itu mengganggu urusan rumah tangga mereka. Untuk mengatasinya, pada 1 September 1948, cabang Jawatan Kepolisian Negara Sumatra Barat merekrut enam perempuan untuk dididik menjadi polisi di Bukittinggi. Mereka adalah Nelly Pauna, Mariana, Rosmalina, Dahniar, Djasmaniar, dan Rosnalia.

“Penerimaan tersebut sebagai jalan keluar penyempurnaan tugas kepolisian sehubungan dengan pelarian wanita-wanita Singapura dan Riau (kepulauan) yang menolak pemeriksaan badan oleh petugas-petugas pria,” tulis Sinar Harapan, 10 September 1973.

Ketika Belanda melancarkan agresi militer II, keenam polwan itu diperintahkan mengikuti rombongan kepolisian Sumatra Tengah. Tiga orang di antaranya turut bergerilya, yakni Djasmaniar, Nelly Pauna, dan Rosmalina. Mereka diangkat sebagai perwira dengan jabatan Pembantu Inspektur Polisi II. Dalam gerilya, mereka bertugas sebagai anggota Pengawas Aliran Masyarakat (PAM, kini intelijen polisi), agen khusus dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memantau opini publik di pers, radio, dan komunitas, guna menyokong perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).  

“Di sinilah mereka untuk pertama kali mengalami pemboman oleh kapal-kapal terbang Belanda pada 22 Desember 1948 dan serangan-serangan Belanda secara besar-besaran pada 31 Desember 1948,” tulis Ahmad Husein dkk. dalam Sejarah Perjuangan Kemenangan RI di Minangkabau 1945-1950.

Banyak korban berjatuhan. Mayat-mayat pasukan Republik bergelimpangan. Para polwan mendaki bukit guna membantu pemakaman.  

Untuk menghindari bahaya, para polwan berpindah-pindah tempat dan diperbantukan pada bagian pemeriksaan Corps Polisi Militer (CPM). Dari semuanya, hanya Nelly Pauna yang mengikuti rombongan PDRI ke Suliki, Kototinggi, lalu bertugas pada kepolisian Sumatra Tengah.

Pasca perang kemerdekaan, keenam polwan disekolahkan di Sekolah Polisi Negara Sukabumi. Pada 1951, mereka menamatkan pendidikan dan dilantik menjadi Inspektur Polisi. Mereka diperbantukan pada Polisi Kota Jakarta Raya (kini Polda Metrojaya) di bagian susila. Di sana, mereka menjalankan tugas reserse dan penyidikan, khususnya menangani kasus perempuan dan anak. Mereka mengakhiri karier kepolisian dengan pangkat kolonel.

Polwan bertugas di persimpangan Harmoni, Jakarta, 1966. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Melindungi Kaum Rentan

Satu dekade setelah merekrut polwan pelopor, kepolisian tak lagi membuka rekrutmen polwan. Seiring waktu, keberadaan polwan dibutuhkan, terutama untuk mengusut dan memberantas tindak kejahatan terhadap perempuan dan anak.

Pada 1957, Bhayangkari (organisasi istri polisi) dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan pembentukan lembaga pendidikan khusus polwan. Tokoh dari Bhayangkari yang memperjuangkannya antara lain Ny. Umar Said, istri kepala polisi Sumatra, dan Ny. Djojodirjo, direktur Sekolah Tinggi Kepolisian Bukittinggi. Sedangkan dari Kowani adalah Maria Ulfa.

Melalui program pendidikan tersebut, polwan diarahkan untuk tugas-tugas khusus: intelijen keamanan dan intelijen kriminal. Program ini mencetak angkatan pertama sebanyak 26 orang bintara polwan yang dididik di Dinas Pengawasan Keselamatan Negara, pengganti PAM, Jawatan Kepolisian Negara tahun 1958. Penerimaan bintara polwan kemudian berlangsung setiap tahun, diikuti dengan pendidikan untuk perwira polwan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.  

Pada 1 Juli 1963, diresmikan Seksi Polwan –kemudian diubah jadi Pusat Polisi Wanita– di Jalan Tambak, Jakarta Pusat. Seksi Polwan berada di bawah Kepala Urusan Kepolisian Wanita di Markas Besar Polri. Kedudukan Seksi Polwan dalam struktur organisasi kepolisian cukup tinggi, sejajar dengan Seksi Lalu Lintas. Sepanjang 1960-an, Seksi Polwan sangat terkenal dan menjadi sorotan masyarakat. Di bawah pimpinan keenam polwan pelopor, ia menguak banyak tabir hukum dan kriminalitas di ibukota. Ketika Djasmaniar menjabat komandan polwan, Seksi Polwan kerap merazia dan menjaring perempuan pekerja seks komersial dan menyerahkannya ke Departemen Sosial untuk mendapatkan pembinaan. Seksi Polwan juga menangani tahanan-tahanan perempuan. Setiap Polres diinstruksikan agar mengirim para tahanan perempuan ke Markas Polwan di Jalan Tambak. Namun, terobosan ini tak disukai polisi laki-laki.

“Ketidaksukaan polisi laki-laki terhadap tindakan para ibu pelopor ini biasanya disebabkan adanya suatu anggapan bahwa ibu-ibu itu mengacak-acak lahan otoritasnya dan mengintervensi korupsi dan kolusi yang terjadi,” tulis Irawati Harsono dalam “Polwan Menegakkan Etika Kepedulian di Tengah Budaya Patriarki”, dimuat Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum suntingan Sulistyowati Irianto.  

Selain perempuan, Seksi Polwan memprakarsai perlindungan narapidana anak.  

Pada 1962, Rosmalina Pramono menjabat kepala Seksi Urusan Anak-anak, Bagian Reserse Kriminal Polisi. Ketika itu, belum ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan demikian, anak-anak yang terjerat kriminal dikenakan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman yang dijatuhkan sama seperti orang dewasa.  

Seminggu setelah menjabat, Rosmalina memeriksa anak-anak perempuan dan laki-laki di sel tahanan sementara kepolisian. Dia menemukan pemerkosaan terhadap tahanan anak perempuan dan sodomi terhadap anak laki-laki yang dilakukan petugas piket maupun penjaga tahanan. Pemerasan dan pelecehan verbal turut dialamatkan pula kepada mereka.

Narapidana anak juga kerap kali dicampur dengan narapidana dewasa. Di rumah tahanan Glodok, misalnya, anak-anak berumur 10-13 tahun harus menunggu pengadilan sampai tiga tahun bersama tahanan dewasa. Di sana, mereka mengalami perlakuan yang mengerikan dan mengancam perkembangan mental.  

“Anak-anak menjadi bulan-bulanan nafsu gila tahanan orang dewasa. Mereka hanya dapat pasrah, tidak mampu melawan dan tanpa mendapatkan perlindungan,” tulis Irawati.  

Seksi Polwan mengupayakan agar biro anak-anak berada di bawah supervisinya, lepas dari Reserse Kriminal. Selain itu, kepada kejaksaan diusulkan agar penyelesaian perkara anak selambat-lambatnya tiga bulan. Lebih dari itu, perkara akan ditiadakan dan anak tersebut dilepas dari tahanan. Sejak itulah untuk kali pertama masalah perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak selalu berurusan dengan polwan. Mengapa demikian?  

“Sentuhannya kan lain. Perempuan dan anak-anak akan lebih terbuka saat diinterogasi (polwan). Pendekatannya berbeda, dengan naluri perempuan, sehingga penyidikan menjadi lebih lancar. Lain kalau dengan laki-laki. Mereka akan menjadi malu dan tidak akan terbuka,” ujar Kombes Dede Rahayu, kepala Sekolah Polwan (Sepolwan), kepada Historia.

Peresmian Seksi Polwan, 1 Juli 1963. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Di Tengah Maskulinitas

Memasuki tahun 1970, peran polwan direduksi sebatas tugas-tugas administrasi. Dalam struktur Polri, Pusat Polisi Wanita ditempatkan di bawah Jawatan Administrasi Personel Polri. Pada 1977, dilansir situs resmi polwan.polri.go.id, Pusat Polisi Wanita dilebur menjadi Biro Polisi Wanita di bawah Perwira Pembantu (Paban) V yang menaungi bidang Pers Polri.

Peran polwan meningkat di era kepemimpinan Kapolri Awaloedin Djamin. Pada 1983, personel polwan dicanangkan berjumlah 2.500 personel atau 2 persen dari jumlah seluruh anggota Polri saat itu. Selain administrasi, polwan ditugaskan di bidang operasional, yang pada prinsipnya disamakan dengan polisi laki-laki. Penempatannya pun meliputi semua Kodak (kini Polda) sampai Kosek (kini Polsek). Kebijakan ini diikuti dengan pembangunan Sekolah Polwan pada 1984 di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.  

Beberapa perwira polwan mulai memegang fungsi komando seperti kapolsek, kapolsekta, maupun Seksi Lalu Lintas. Jeanne Mandagi bahkan menjadi polwan pertama yang meraih pangkat jenderal bintang satu di Indonesia dan Asia. Pencapaian ini diperolehnya setelah menjabat kepala Dinas Penerangan Polri pada 1990.  

Pada periode ini pula polwan mulai mendapat tunjangan khusus, yakni sejumlah uang untuk perawatan fungsi reproduksi (pembalut). “Kami kan mendapat tunjangan kosmetik. Kosmetik, gunanya tentu saja agar mereka, para anggota polisi wanita itu, tetap tampak rapi, luwes dan feminin. Hingga bagi yang berurusan dengan para polisi ini, tidak merasa terganggu karena bau yang tak sedap atau penampilan yang semrawut,” ujar Mandagi dikutip Pertiwi No. 118 tahun 1989.  

Kendati demikian, tak dapat dipungkiri ruang gerak polwan dilingkupi budaya militeristik yang machois dan seksis. Hal ini karena sejak 1984, Polri direorganisasi ke dalam tubuh Angkatan Bersenjata Repuplik Indonesia (ABRI).  

“Pada masa Polri menjadi bagian ABRI, penolakan terhadap perempuan bahkan muncul dalam berbagai aturan formal yang diskriminatif dan bias gender,” tulis Irawati Harsono dalam disertasinya di Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia berjudul “Polwan yang Bekerja dalam Dunia Kerja Laki-laki: Posisi Polwan di Polrestro Jakarta Selatan”.  

Perubahan datang setelah Polri mandiri tahun 2000. Polri menentukan kebijakan paradigma baru yang berupaya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghilangkan hal-hal diskriminatif. Pembinaan polwan dan polisi laki-laki diatur dalam berbagai aturan dan regulasi yang sama. Untuk wadah pembinaan, polwan berada di bagian Polisi Wanita yang bernaung di bawah Direktur Personel Polri dan Biropers untuk tingkat daerah.  

Namun, diskriminasi terhadap polwan ternyata masih berlangsung. Pada 2014, di website rekrutmen Kepolisian, status keperawanan tercantum sebagai salah satu syarat pelamar polwan. Menurut Human Rights Watch (HRW), berdasarkan pengakuan para calon polwan, praktik tes keperawanan ini menyakitkan dan membuat trauma. HRW menemukan adanya pemeriksaan rahim dan genitalia, termasuk “tes dua jari”, untuk menguji keperawanan pelamar polwan.  

“Tes keperawanan yang dilakukan Kepolisian Indonesia merupakan praktik diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan. Apa yang disebut tes keperawanan ini merupakan diskriminasi serta kekerasan berdasarkan gender –bukan ukuran seorang perempuan bisa bekerja sebagai polisi,” kata Nisha Varia, direktur HRW bidang hak perempuan, dilansir hrw.org.

HRW juga mengungkapkan, “tes keperawanan” merupakan praktik lama. Seorang pensiunan polwan mengatakan, saat seleksi angkatan 1965, dia menjalani tes keperawanan –dan dampaknya lama sekali. Isu ini mencuat ke tengah publik. Desakan yang kuat membuat praktik ini dihentikan dalam rekrutmen kepolisian.

Kombes Dede Rahayu, kepala Sekolah Polisi Wanita. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Polwan Cantik

Kini, citra polwan ditampilkan sebagai sosok polisi penolong yang familiar. Dengan semboyan 3S: Senyum, Sapa, dan Salam, polwan hadir di tengah masyarakat untuk menegakkan ketertiban dan keamanan. Sebagai perempuan, kecantikan turut menjadi salah satu faktor yang menunjang kinerja polwan. Citra polisi cantik memang begitu digandrungi publik belakangan ini.  

“Salah satu persyaratan seorang polwan itu memang harus cantik. Tapi yang paling penting harus humanis. Ikhlas melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas pokoknya,” ujar Dede Rahayu.  

Di balik kecantikannya, tak jarang polwan terlibat dalam operasi-operasi penting yang justru tak muncul ke permukaan. Polwan menjadi garda terdepan untuk meringkus pelaku kejahatan, baik dengan aksi penyamaran, investigasi, penangkapan, maupun negosiator.  

“Penangkapan Zarima Si Ratu Narkoba di AS (1996), penanganan pengungsian besar-besaran di Nunukan (2010), hingga penangkapan teroris perempuan baru-baru ini, polwan juga ikut andil dalam penugasan-penugasan seperti itu,” ujar Dede Rahayu.*

Majalah Historia No. 37 Tahun III 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67624e9add686ad642aaad30