Kisah Suharti dan Nakasone

Mantan perdana menteri Jepang mendirikan ianjo di Balikpapan. Salah satu korban perbudakan seksual di rumah bordil itu datang menemuinya.

OLEH:
Eka Hindra
.
Kisah Suharti dan NakasoneKisah Suharti dan Nakasone
cover caption
Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan bersama Perdana Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone di Camp David, 13 April 1986. (NARA/Wikimedia Commons).

PADA 1944, ketika berusia 15 tahun, Suharti diambil paksa dari desanya di Kediri, Jawa Timur. Bayan dan jogoboyo, keduanya staf lurah, datang ke rumah memintanya bekerja untuk Jepang. Ayahnya menolak dengan alasan anaknya buta huruf dan tak bisa bekerja. Namun, dua perangkat desa itu mendesak: “Ini perintah Jepang.” 

Siapa yang bisa menolak keinginan Jepang. Di desa, cerita tentang kekejaman Kenpeitai sering terdengar. Dengan berat hati, ayahnya melepas kepergian Suharti. 

Suharti dan rombongannya diberangkatkan dengan truk militer Jepang ke Surabaya. Setelah menunggu dua hari, kapal Nichimaru berlabuh dan mengangkut mereka ke Borneo (Kalimantan). Tiba di sana, kapal Nichimaru hanya menurunkan 14 orang, termasuk Suharti. “Sisanya, 36 orang, melanjutkan perjalanan yang tidak saya ketahui tujuannya,” ujar Suharti.

PADA 1944, ketika berusia 15 tahun, Suharti diambil paksa dari desanya di Kediri, Jawa Timur. Bayan dan jogoboyo, keduanya staf lurah, datang ke rumah memintanya bekerja untuk Jepang. Ayahnya menolak dengan alasan anaknya buta huruf dan tak bisa bekerja. Namun, dua perangkat desa itu mendesak: “Ini perintah Jepang.” 

Siapa yang bisa menolak keinginan Jepang. Di desa, cerita tentang kekejaman Kenpeitai sering terdengar. Dengan berat hati, ayahnya melepas kepergian Suharti. 

Suharti dan rombongannya diberangkatkan dengan truk militer Jepang ke Surabaya. Setelah menunggu dua hari, kapal Nichimaru berlabuh dan mengangkut mereka ke Borneo (Kalimantan). Tiba di sana, kapal Nichimaru hanya menurunkan 14 orang, termasuk Suharti. “Sisanya, 36 orang, melanjutkan perjalanan yang tidak saya ketahui tujuannya,” ujar Suharti.

Suharti dan tujuh perempuan ditempatkan di “rumah panjang”, sebutan lain untuk ianjo karena berbentuk rumah papan yang memanjang. Rumah itu terlihat baru dibangun, terletak di pusat kota Balikpapan. Janji tinggal janji. Bukannya mendapat pekerjaan, Suharti harus menjadi pemuas seksual sipil dan militer Jepang. Suharti mendapat nama Jepang: Miki. Suharti hanya bisa pasrah. Setiap hari dia harus melayani belasan lelaki yang datang. 

“Saya sudah mati perasaan. Bahkan untuk saling berbagi cerita pahit kepada teman sebelah kamar pun, saya sudah tidak sanggup karena merasa tak ada gunanya,” ujarnya. 

Menjelang tahun 1945, tiba-tiba “rumah panjang” menjadi sepi. Tak ada tentara Jepang berkunjung. Ternyata pasukan Sekutu mulai menggempur pasukan Jepang. Bom berjatuhan. Kilang minyak, pasokan bahan bakar yang penting bagi peralatan militer Jepang, hangus terbakar. Balikpapan berselimut asap tebal. 

“Tak lama, ada pengumuman dari Usman yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga loket tiket. Dia mengatakan bahwa Jepang sudah pergi ke pedalaman karena dikalahkan Sekutu,” ujar Suharti.

Tinggallah Suharti, dan enam temannya, menentukan nasib sendiri. Balikpapan adalah daerah yang asing bagi mereka, yang semuanya berasal dari Jawa. Namun, mereka harus kembali ke Jawa. Menurut Usman, jalan laut terputus karena adanya pertempuran. Usman pula yang memberikan alamat ketika mereka memutuskan menuju Banjarmasin dengan jalan kaki. 

Mereka terus berjalan. Masuk hutan. Memakan apa saja untuk bertahan hidup. Di kampung Dayak, penduduk menolong mereka dengan memberikan makanan dan tempat menginap. Memasuki hari ke-52, mereka tiba di Banjarmasin dan segera mencari alamat yang diberikan Usman. Alangkah terkejutnya mereka. Ternyata alamat tersebut adalah “asrama”, sebutan untuk ianjo di Banjarmasin. Suharti dan kawan-kawannya kembali menjalani penderitaan sebagai ianfu. Di sini Suharti bertemu dengan Mardiyem –kelak menjadi sahabat dan sama-sama berjuang menuntut keadilan.

Suharti akhirnya bisa kembali ke Jawa setelah Jepang kalah. Dia menikah dan tinggal di Bantul, hingga anaknya mengajaknya tinggal bersama di Balikpapan. 

Yasuhiro Nakasone saat menjabat kepala juru bayar pada Unit Yabe Angkatan Laut. (Dok. Eka Hindra).

Arsitek Ianjo

Yasuhiro Nakasone lahir di Takasaki, Gunma, sebuah prefektur pegunungan yang miskin di Jepang pada 27 Mei 1918. Ayahnya seorang pedagang kayu. Selama Perang Dunia II, Nakasone yang berpangkat letnan muda dan berusia 23 tahun pergi ke Davao, Filipina pada Desember 1941 dan kemudian Balikpapan pada Januari 1942.

Dalam Pengadilan Internasional Timur Jauh (IMTF) di Tokyo pada 19 Januari 1946, yang mengadili kejahatan perang Jepang, Nakasone lolos dari tiang gantungan berkat konspirasi tingkat tinggi antara Sekutu dan Angkatan Laut (Kaigun). Mayoritas penjahat perang yang diseret ke pengadilan berasal dari Angkatan Darat (Rikugun). 

Nakasone lalu membangun karier politik. Dia masuk Diet sebagai anggota Parlemen dari Partai Liberal Demokrat (LDP). Sikapnya kritis. Pada 1951, dia mengirim surat ke Jenderal MacArthur yang mengkritik pendudukan atas Jepang. Setahun kemudian dia menyalahkan Kaisar Hirohito atas kekalahan Jepang dalam perang. Kariernya melesat. Dia menduduki beberapa jabatan menteri. 

Di tengah puncak karier, Nakasone berbagi pengalamannya sebagai perwira Angkatan Laut Jepang di masa perang. Dalam memoarnya, yang masuk dalam antologi cerita perang berjudul Owarinaki Kaigun (Angkatan Laut Tak Pernah Berakhir) karya Takanori Matsuura dan terbit tahun 1978, Nakasone mengakui membuat ianjo di Balikpapan. Nakasone menulis: “Saya mengomandani 3.000 laki-laki. Saat tiba di sana, beberapa anak buah saya memperkosa perempuan-perempuan lokal atau memuaskan diri dengan berjudi. Sehingga saya berusaha keras membangun ianjo untuk mereka. Orang-orang ini seperti kentang berdesakkan di dalam bak cucian.” 

Pengakuan ini mengejutkan publik Jepang. Namun, ianfu bukanlah isu mainstream kala itu. Sekalipun pada 1970-an sudah muncul sejumlah laporan dan buku mengenai ianfu, termasuk karya Senda Kako, wartawan Mainichi Shimbun, isu ini mengendap begitu saja. Terlebih kemudian Nakasone menjadi perdana menteri pada 1982–1987 dan selepas itu menjadi anggota Diet hingga 2003. 

Saya datang ke sini untuk mendengar permintaan maaf dari Bapak Nakasone, karena dialah saya terpaksa harus menderita di ianjo Balikpapan.

Ketika isu ianfu mengemuka pada 1990-an, dengan munculnya kesaksian korban dan penyingkapan dokumen-dokumen militer, nama Nakasone mulai disebut-sebut. Lila, kelompok mantan ianfu Filipina, berencana menggugat Nakasone di pengadilan Tokyo untuk menuntut permintaan maaf dan kompensasi. Mereka menggunakan memoar Nakasone sebagai buktinya. Mantan ianfu Indonesia, diwakili kelompok Koalisi Perempuan Indonesia, juga menjajaki kemungkinan yang sama. Tampaknya rencana ini batal.

Kiyomi Tsujimoto, anggota Majelis Rendah dari Partai Sosial Demokrat, mengajukan pertanyaan kepada pemerintah apakah pemerintah pernah memintai keterangan Nakasone selama penyelidikan kasus ianfu pada 1991–1993, dan jika tidak, apakah berencana melakukannya. Pemerintah menjawab: “Kita tahu tentang cerita mengenai rumah hiburan dalam memoarnya, tapi kami menolak memberikan tanggapan mengenai penyelidikan terhadap orang-orang terkait.” 

Setelah lama menahan diri, Nakasone akhirnya menjawab pertanyaan seputar memoarnya dalam sebuah konferensi pers di Klub Koresponden Asing di Jepang, Maret 2007. Nakasone membantah keterlibatannya dalam pembangunan ianjo di Balikpapan. Dia mengatakan, tempat yang dia bangun merupakan tempat bagi para insinyur sipil bersantai dan bermain shogi, permainan catur ala Jepang, bukan rumah bordil. 

“Saya tidak tahu apapun mengenai masalah ini,” ujarnya, sebagaimana dikutip Associated Press, 23 Maret 2007. “Saya hanya tahu tentang hal itu dari apa yang saya baca di koran.” 

Nakasone menambahkan bahwa perbudakan seksual semacam itu sangat disesalkan dan dia mendukung permintaan maaf pemerintah Jepang kepada korban pada 1993.

Dokumen Yabe yang menyebut peran Yasuhiro Nakasone dalam pembangunan ianjo di Balikpapan. (Dok. Eka Hindra).

Awal November 2011, publik Jepang kembali heboh. Surat kabar Asahi Shimbun memuat berita konferensi pers yang dihelat Grass Roots House Peace Museum pada 27 Oktober yang mengungkap dokumen Angkatan Laut Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II berisi keterlibatan mantan perdana menteri Nakasone dalam pembangunan ianjo di Balikpapan. 

Dokumen setebal 25 halaman itu berjudul “Dokumen Konstruksi Pangkalan Udara Militer Angkatan Laut ke-2”, berisi aktivitas kelompok konstruksi kedua Unit Yabe –sehingga dikenal sebagai Dokumen Yabe. Di dalamnya terdapat daftar orang-orang yang terlibat, dari kapten hingga kepala distrik. Nakasone disebut bertugas sebagai juru bayar. Kelompok itu bergerak dalam bidang pemeliharaan bandara Balikpapan pada 1942. 

Dokumen Yabe menyebut: “Keadaan hati tentara Jepang menjadi makin kasar, sehingga mereka mulai berkelahi satu sama lain. Kepala juru bayar (Nakasone) mendirikan rumah hiburan; dengan kebijaksanaannya mengumpulkan perempuan pribumi. Ianjo itu membuat suasana hati para tentara menjadi tenang.” 

Dokumen Yabe kedua memuat daftar nama-nama pemimpin dari kesatuan Yabe, Angkatan Laut, serta alat-alat yang mereka miliki. Di dalam dokumen terdapat lima nama pemimpin kesatuan Yabe. Nakasone berada di nomor urut empat. 

“Jelas bahwa Nakasone membuat rumah hiburan dengan merekrut perempuan lokal. Ini adalah sumber yang sangat penting untuk menunjukkan keterlibatan militer,” ujar Grass Roots House Peace Museum dalam konferensi persnya. 

Penyelesaian kasus ianfu masih butuh waktu panjang karena banyak penjahat perang yang terlibat penerapan sistem perbudakan seksual masih hidup dan menempati posisi penting di pemerintahan Jepang.

Eka Hindra dan Suharti di depan kantor Yasuhiro Nakasone.

Sebuah Pertemuan

Pada akhir 2009, Suharti berkeliling kota-kota besar di Jepang: Osaka, Nagoya, Tokyo, Fukuoka, dan Kagoshima. Koichi Kimura, seorang teolog Jepang yang melakukan penelitian ianfu di Indonesia tahun 1992–2002, merencanakan pertemuan antara Suharti dan Nakasone. Suharti satu-satunya mantan ianfu penghuni ianjo bikinan Nakasone yang masih hidup. 

Kimura membuat janji pertemuan dengan sekretaris Nakasone. Sempat muncul ketegangan. Dalam pembicaraan itu, Kimura menyampaikan rencana kedatangan Suharti untuk mendengar dan menerima permintaan maaf dari Nakasone. 

Si sekretaris mengatakan: “Perang selalu menginjak-injak hak asasi manusia dan menghancurkan kehormatan perempuan. Jadi kalau dunia ini ikut pikiran Pak Kimura, banyak orang akan masuk penjara. Undang-undang internasional tidak menolak adanya perang untuk mempertahankan perdamaian. Jadi kalau menurut Pak Kimura perang menjadi ilegal yang melanggar hukum, pikiran ini sangat berbahaya. Saya ingin katakan, bukan bermaksud setuju dengan sistem ianfu, kalau kita mempersoalankan masalah ianfu seperti Pak Kimura, masyarakat Jepang akan terguncang dan dunia ini akan hancur.” 

Namun, si sekretaris tetap memberikan jadwal pertemuan. Malam hari, setelah Kimura memberitahukan rencana itu, Suharti kelihatan gelisah. “Mungkin saya sudah tak mengenalinya lagi sekarang karena dia dulu masih muda,” ujarnya. 

Keesokan harinya Suharti sudah terlihat tenang dan siap untuk pertemuan penting ini. Ditemani beberapa aktivis Jepang dan Indonesia, pada 3 Desember 2009, Suharti yang duduk di kursi roda memasuki gedung, tempat salah satu organisasi nonprofit Nakasone berada. Tiba di lantai dua, rombongan disambut sekretaris Nakasone. 

Pertemuan digelar di sebuah ruangan berukuran 8 x 10 meter. Sekira 20 foto Nakasone berpose dengan para pemimpin dunia dari berbagai negara terpajang di dinding. Beberapa keramik dengan berbagai ukuran menghiasi lemari kayu. Si sekretaris bilang Nakasone tak bisa hadir dengan alasan sakit batuk. Raut wajah Suharti menampakkan kekecewaan. Tapi dia tetap memperkenalkan diri. Dengan tenang dia menceritakan pengalaman pahitnya selama tinggal di ianjo yang dibangun Nakasone. 

“Saya datang ke sini untuk mendengar permintaan maaf dari Bapak Nakasone, karena dialah saya terpaksa harus menderita di ianjo Balikpapan.” 

Semua yang hadir menahan napas, takjub dengan keberanian Suharti. “Karena Bapak Nakasone tak bisa datang bertemu saya, tolong sampaikan maksud kedatangan saya. Semoga dia masih mengingat peristiwa di Balikpapan.”*

Majalah Historia No. 3 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64b22695f25be5384eab4320