Penerbangan pertama KNILM menuju lapangan terbang Oelin (sekarang Bandara Syamsudin Noor) Banjarmasin, Kalimantan. (Wereldmuseum Amsterdam).
Aa
Aa
Aa
Aa
KERAMAIAN memenuhi Lapangan Udara Tjililitan, Batavia (kini Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta). Penduduk berjubel. Di bawah tarup sederhana, sejumlah tokoh penting hadir. Di hadapan mereka, dua pesawat Fokker terparkir rapi.
Acara dimulai dengan sambutan-sambutan. Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff mendapat giliran terakhir. Setelah memberikan sepatah dua patah kata, de Graeff menyingkirkan pengganjal roda kiri pesawat dengan nomor registrasi H-NAFB –kemudian diregistrasi ulang jadi PK-AFB. Maka, Maskapai Penerbangan Hindia Belanda (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij atau KNILM) pun resmi beroperasi.
De Graeff lalu menaiki pesawat. Sejurus kemudian, pesawat melakukan penerbangan komersial perdananya menuju Semarang. Pesawat kedua dengan registrasi H-NAFA menyusul kemudian dengan tujuan Bandung.
Hari itu, 1 November 1928, dunia penerbangan sipil di Hindia Belanda membuat sejarah baru. KNILM adalah maskapai penerbangan pertama di Asia, yang melayani penumpang, kargo, dan pos hingga keruntuhan kolonial Belanda.
KERAMAIAN memenuhi Lapangan Udara Tjililitan, Batavia (kini Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta). Penduduk berjubel. Di bawah tarup sederhana, sejumlah tokoh penting hadir. Di hadapan mereka, dua pesawat Fokker terparkir rapi.
Acara dimulai dengan sambutan-sambutan. Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff mendapat giliran terakhir. Setelah memberikan sepatah dua patah kata, de Graeff menyingkirkan pengganjal roda kiri pesawat dengan nomor registrasi H-NAFB –kemudian diregistrasi ulang jadi PK-AFB. Maka, Maskapai Penerbangan Hindia Belanda (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij atau KNILM) pun resmi beroperasi.
De Graeff lalu menaiki pesawat. Sejurus kemudian, pesawat melakukan penerbangan komersial perdananya menuju Semarang. Pesawat kedua dengan registrasi H-NAFA menyusul kemudian dengan tujuan Bandung.
Hari itu, 1 November 1928, dunia penerbangan sipil di Hindia Belanda membuat sejarah baru. KNILM adalah maskapai penerbangan pertama di Asia, yang melayani penumpang, kargo, dan pos hingga keruntuhan kolonial Belanda.
Jalan Agar Terbang
Jauh sebelum pesawat-pesawat KNILM mengudara, upaya mendirikan maskapai penerbangan sudah lama dirintis. Orang pertama yang menggagasnya adalah M.F. Onnen, seorang insinyur, ahli penerbangan, dan pendiri Nederlandsch Indisch Luchtvaart Syndicate yang berkantor pusat di Semarang.
Pada 1908, Onnen menghadap gubernur jenderal dan meminta agar konsorsiumnya diberi konsesi untuk menjadi maskapai penerbangan sipil swasta yang melayani transportasi antarkota dan antarpulau. Permintaannya ditolak pemerintah, yang masih ragu dengan aspek permodalan dan manfaat ekonominya.
Pemerintah bukan tak menaruh perhatian. Terbukti pada Februari 1913, pemerintah mengadakan ujicoba terbang pesawat Fokker, kendati gagal, dan setahun kemudian mendirikan Proef Vlieg Afdeling di Surabaya untuk ujicoba penerbangan. Lalu, pada 1923, pemerintah mendirikan Technische Dienst Luchtvaart Afdeling, sebuah industri pesawat terbang, di Sukamiskin, Bandung.
Di Belanda sendiri, sebuah tonggak penting dalam penerbangan sipil ditancapkan ketika pada Oktober 1919 berdiri Maskapai Penerbangan Belanda atau Koninklijke Luctvaart Maatschappij (KLM). KLM mulai beroperasi lima bulan berikutnya. Ia membuka rute penerbangan Amsterdam-Batavia pada Oktober 1924, kendati baru berjalan reguler lima tahun kemudian.
Berdirinya KLM mendorong Onnen untuk kembali mengajukan permintaan kepada pemerintah. Permintaannya, sekali lagi, ditolak.
Namun, gagasan pentingnya Hindia memiliki maskapai penerbangan sendiri tak pernah surut. Kali ini datang dari kalangan pengusaha, bankir, petinggi perusahaan hingga militer. Dimotori E. Enthoven, komisaris Deli Maatshappij, dan C.J.L. van Aalst, presiden Nederlandsch Handel Maatshappij (NHM), mereka berhimpun ke dalam Panitia Van Aalst. Panitia itu menghimpun dana sekira lima juta gulden dari Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN), Senembah Maatschappij, Deli-Batavia Maatschappij, dan 28 perusahaan lain yang punya kepentingan di Hindia Belanda.
Pada April 1927, Enthoven menghadap Menteri Urusan Jajahan J.C. Koningsberger. Dia menanyakan sejauh mana dan bagaimana caranya agar swasta bisa terlibat dalam pembangunan di Hindia Belanda, terutama di bidang penerbangan komersial.
Menurut Marc Dierikx dari Institute of Netherlands History, Den Haag, Belanda, Koningsberger juga punya impian yang sama. Idenya, sebuah maskapai penerbangan kolonial bisa berperan dalam mengangkut pasukan ke wilayah-wilayah di Nusantara di masa-masa sulit.
“Membangun sistem transportasi udara terjadwal dipandang sebagai manfaat tambahan,” tulis Marc Dierikx dalam “Routes Versus Revenue: Pioneering Commercial Aviation in Holland 1919-1940”, dimuat jurnal Revue Belge de Philologie et d’Histoire 78, tahun 2001.
Menindaklanjuti pembicaraan dengan Enthoven, Koningsberger membicarakan masalah itu dengan berbagai pihak, termasuk KLM.
Sejak didirikan, KLM sendiri berharap suatu hari nanti bisa menyediakan layanan udara di wilayah Hindia Belanda. Namun, ia harus realistis. “Karena kesulitan keuangan, KLM mengalah pada tawaran untuk membentuk anak perusahaan di Hindia Belanda,” tulis Dierikx.
KLM satu-satunya perusahaan di Belanda yang punya keahlian dalam transportasi udara. Demi mendapatkan bantuan teknis dan manajerial, para pendiri KNILM menandatangani sebuah perjanjian pada Juni 1927. Sebagai imbalan, KLM pasang harga tinggi. KNILM terpaksa menyetujui hak monopoli KLM untuk pengangkutan penumpang, kargo, dan surat antara Belanda dan Hindia Belanda.
Pada 16 Juli 1928, maskapai yang diimpi-impikan berdiri dengan nama Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (NILM). Karena nama NILM dikhawatirkan tertukar dengan sebuah perusahaan asuransi, pada 15 Oktober pemerintah menambahkan “Koninklijke” di depan NILM menjadi KNILM. Pemerintah juga memberikan subsidi satu juta gulden selama lima tahun pertama. Subsidi itu dikurangi 60 persen per 1934.
Hendrik Nieuwenhuis ditunjuk sebagai kepala dan perwakilan KNILM di Hindia Belanda. Di bawahnya ada T.H.J. de Bruyn selaku kepala administrasi keuangan, Meal De Jong (kepala bagian niaga), dan Behege (kepala dinas teknik).
Tak hanya Enthoven. Koningsberger pun senang.
“Salah satu alasan utama kenapa Belanda tertarik mendirikan sebuah maskapai penerbangan kolonial yang terpisah di Hindia Timur, Koninklijke NederlandshIndische Luchtvaart Maatschappij (KNILM), pada 1927, adalah punya pengangkut pasukan dalam menghadapi kemungkinan kasus pemberontakan antikolonial, seperti pernah terjadi di beberapa tempat di Sumatra dan Jawa pada akhir 1926,” tulis Marc Dierikx dalam Clipping the Clouds: How Air Travel Changed the World.
Tantangan
Untuk tahap awal, KNILM mendatangkan empat pesawat dari Belanda. Dua pesawat tiba di Batavia sebelum acara peresmian. Dua lainnya sempat mengalami kerusakan selama pengiriman. Menurut majalah Flight, 20 Juni 1930, sebagian besar staf dan pilot diambil dari KLM. Staf teknis mendapatkan pendidikan dalam workshop di Bandung.
Untuk mengoperasikan pesawat-pesawatnya, KNILM menggunakan lapangan udara yang tersedia seperti Tjililitan di Batavia dan Andir di Bandung, di samping kemudian membangun baru.
Tak butuh waktu lama bagi KNILM untuk mengepakkan sayapnya. Setelah Batavia-Bandung dan Batavia-Semarang, mereka membuka rute Batavia-Surabaya. Secara bertahap, layanan diperluas ke kota-kota lain seperti Balikpapan, Makassar, Ambon, Kupang, Medan, dan Pekanbaru.
Dengan cepat pesawat menjadi pilihan moda transportasi. Dalam satu tahun saja, 11.300 penumpang diangkut. “Tak ada pendaratan paksa dilakukan, dan catatan baik tahun pertama itu membuat KNILM sangat populer di Hindia Belanda dan memenangi kepercayaan dari masyarakat,” tulis majalah Flight.
Namun, menurut Marc Dierikx, ekspansi KNILM berjalan lambat; terhambat perjanjian dengan KLM di satu sisi dan penurunan dalam jumlah penumpang di sisi lain. Pada 1931 jumlah penumpang anjlok akibat stagnasi ekonomi, dan baru kembali normal dan meningkat setelah 1937. Untuk perusahaan yang normal hasil tersebut akan dianggap bencana, tetapi tidak untuk KNILM yang mendapat subsidi dari pemerintah.
Di luar penumpang, pengangkutan barang belum memberi hasil. “Pada tahun-tahun awal barang hanya memainkan peran kecil dalam transportasi udara,” tulis Adriaan Jacob Marks, “Accounting for Services: The Economic Development of the Indonesian Service Sector, ca. 1900-2000”, disertasi di Universitas Utrecht, 2009.
Untuk mendongkrak pendapatan, KNILM membuka rute internasional. Pada awal 1930, KNILM membuka rute internasional dengan tujuan Singapura. Menyusul kemudian Manila dan Saigon. Namun, sebagaimana diuraikan Marc Dierikx, upaya membuka rute ke Australia mendapat tantangan serius.
Pada awal 1929 perwakilan KNILM membuka diskusi dengan otoritas pos Australia tentang kemungkinan memulai layanan pos udara. Australia menolak dengan alasan layanan itu hanya bisa dioperasikan maskapai Australia atau Inggris.
Alhasil, pada 1934, Belanda terpaksa memberi hak angkut yang dijanjikan dalam perjanjian bilateral Inggris-Belanda tahun 1930 ke sebuah layanan udara Inggris-Australia, yang menghubungkan Singapura dan Sydney. Layanan ini dioperasikan Imperial Airways dari Inggris dan Qantas dari Australia. Namun, timbal baliknya tak didapat KNILM. Untuk menekan Australia, Belanda menolak pembangunan stasiun pengisian bahan bakar untuk layanan Inggris-Australia. Australia akhirnya memberikan hak mendarat. Sebuah rancangan kesepakatan dicapai pada April 1937, meskipun kata-kata akhir butuh sepuluh bulan.
Pada 3 Juli 1938, layanan KNILM ke Sydney akhirnya bisa dibuka.
“Saat itu sudah terlambat bagi rute itu memberi dampak positif bagi kondisi keuangan KNILM: bersaing melawan layanan Qantas Empire Airways/Imperial Airways yang mapan terbukti sulit,” tulis Dierikx. Qantas Empire Airways (QEA) dibentuk Qantas dan Imperial Airways pada 1934.
KNILM kalah dalam pelayanan. Sementara Imperial Airways dan QEA menawarkan kemewahan, KNILM mengandalkan kecepatan. Bahkan, KNILM membeli pesawat baru untuk tujuan itu. Namun, penumpang KNlLM mengeluh kabin sempit, pengap, dan tak nyaman untuk penerbangan panjang ke Australia. Akibatnya, jumlah penumpang menurun setiap tahun. Sejak Agustus 1939 KNILM hanya mengoperasikan satu penerbangan tunggal per minggu ke Sydney, yang selanjutnya mengurangi daya tarik layanan ini.
Di luar cerita pahit soal Australia, sebagai maskapai KNILM tetap tumbuh. “Jumlah kilometer penumpang tahunan meningkat dari 3,2 juta pada 1930 menjadi 10 juta pada 1939 atau rata-rata 12,2 persen per tahun,” tulis Marks. Kilometer penumpang adalah jumlah kilometer dari semua penumpang yang berangkat.
Namun, peningkatan itu berbanding terbalik dengan laba yang dihasilkan KNILM, yang terus merosot sejak 1935.
Agen Rasialis
Keberadaan KNILM dimanfaatkan para orang kaya untuk keperluan mereka. Sultan Kedah dan anggota keluarganya, misalnya, melakukan perjalanan menggunakan KNILM untuk melihat wilayah Sultan dari udara. Untuk menarik penumpang, KNILM juga menyediakan penerbangan wisata khusus.
“Penerbangan wisata khusus… paling populer adalah penerbangan dari Bandung ketika pesawat melintas di atas kawah Tangkuban Perahu, dari Batavia saat pesawat berada di atas Teluk Tanjung Priok dan kepulauan di sekitarnya, dan dari Surabaya ketika pesawat melintasi Gunung Bromo dan laut,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony.
Bukan hanya Tangkuban Perahu. Majalah Flight, 26 April 1934, mencatat penerbangan wisata khusus dibuat untuk melintasi Gunung Sibayak di Sumatra Utara dan Gunung Slamet di Jawa Tengah.
KNILM juga serius menggarap pariwisata, yang menjadi dagangan pemerintah sejak awal 1920-an. Mereka melakukan promo wisata ke Hindia dengan brosur, buku, hingga iklan di media, yang menawarkan pesona budaya dan keindahan alam Mooi Indie selain kenyamanan perjalanan menggunakan pesawat terbang. “Tidak ada, di masa akhir kolonial Hindia Belanda, yang lebih nyaman, “nyaman”, daripada bepergian dengan pesawat,” tulis Mrazek.
Bagi kaum bumiputra, KNILM jelas hampir tak punya arti. Ia tak ubahnya sesuatu yang hanya bisa dilihat tanpa pernah bisa dirasakan, kecuali oleh segelintir bangsawan.
Hal itulah yang membut Mr. Soeroso, anggota Volksraad (Dewan Rakyat), sejak awal menentang pembentukan maskapai di Hindia Belanda. Pada Juli 1938, dia mengatakan bahwa dukungan pemerintah kepada industri penerbangan membuat cemburu kaum bumiputra.
“Saya berpendapat [tahun 1928] bahwa pengenalan transportasi udara tidak memiliki makna bagi penduduk pribumi... Kita sekarang sudah sepuluh tahun lebih, tapi belum ada satu pun petani atau kuli yang telah melakukan perjalanan [dengan] pesawat terbang [KNILM],” katanya, disitir Mrazek.
Menurut Marc Dierikx dalam Clipping the Clouds, sekira 90-95 persen penumpang KNILM adalah orang Eropa, 5-7 persen Tionghoa, dan 1 persen bumiputra. Ketidakadilan itu membuat kaum bumiputra kerap mengolok-olok KNILM dengan kepanjangan “Kalo Naik Ini Lekas Mati.”
Keruntuhan
Ketika Belanda diduduki Jerman pada 1940, manajemen KNILM terisolasi di Den Haag. Pemerintah Belanda di pengasingan di London memutuskan mengalihkan tanggungjawab operasional KLM ke KNILM di Batavia.
Namun, KNILM juga memasuki masa suram dengan meletusnya Perang Dunia II. Pada 3 Maret 1942, Pelikan, pesawat DC-3 KNILM dengan registrasi PK-AFV, di bawah Kapten pilot Ivan Vasilyevich Smirnov dihajar tiga pesawat tempur Mitsubishi Zero milik Jepang sesaat sebelum mencapai Broome Internatinal Airport, Australia Barat. Pilot dan beberapa penumpang terluka sementara mesin sebelah kiri pesawat terbakar.
Ketika Jepang menduduki Jawa, KNILM mengevakuasi sebagian personel kunci ke Australia. Begitu pula pesawat-pesawat mereka. KNILM menghentikan operasi dan pesawat-pesawatnya digunakan militer Amerika Serikat. Beberapa di antaranya kemudian dijual ke Australia dan Amerika Serikat. KNILM lalu memindahkan kantor pusatnya ke New York.
Usai perang, Willem Versteegh, direktur utama KNILM berikutnya, berusaha membangun kembali KNILM. Pesawat KNILM kembali beroperasi pada November 1945. Tapi keputusan politik berkata lain. Pemerintah Belanda telah membentuk sebuah organisasi semipemerintah bernama Netherlands Indies Government Air Transport (NIGAT) yang mengurusi lalu lintas udara sipil di bekas Hindia Timur.
Dan akhir dari cerita ini pun tiba. Pada 1 Agustus 1947, pemerintah Belanda menutup KNILM, berbarengan dengan peresmian anak perusahaan KLM bernama KLM Interinsulair-Bedrijf, yang di kemudian hari bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mendirikan Garuda Indonesia Airways.*