Komunitas Armenia, Minoritas yang Punah

Sebuah komunitas kecil tapi kuat pernah mewarnai sejarah Indonesia. Jejak komunitas Armenia seolah terkubur.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Komunitas Armenia, Minoritas yang PunahKomunitas Armenia, Minoritas yang Punah
cover caption
Keluarga Armenia ditandu menuju Tosari, Batavia. (Tropenmuseum).

PADA 5 Mei 1852, sebuah rapat umum dihelat di Batavia. Tujuannya membentuk lembaga amal demi membantu para janda miskin, anak yatim-piatu, dan rekan mereka yang melarat di Jawa. Dalam pertemuan itu, “Haikian Miabanuthiun” atau Komunitas Armenia terbentuk.

Enam bulan kemudian, dalam sebuah pertemuan, mereka memutuskan membangun sebuah gereja baru di lokasi yang sama dengan kapel kayu tua Gang Scott –kini Jalan Budi Kemuliaan No. 1, Jakarta. Pembangunan selesai dua tahun kemudian dan dinamai Gereja St. John. Menyusul kemudian dibangun sekolah dan lembaga-lembaga yang mendukung aktivitas mereka.

Keberadaan gereja mengukuhkan eksistensi komunitas Armenia di Hindia Belanda (Indonesia). Namun, jejak komunitas ini nyaris terkubur karena minimnya catatan yang mereka tinggalkan.

PADA 5 Mei 1852, sebuah rapat umum dihelat di Batavia. Tujuannya membentuk lembaga amal demi membantu para janda miskin, anak yatim-piatu, dan rekan mereka yang melarat di Jawa. Dalam pertemuan itu, “Haikian Miabanuthiun” atau Komunitas Armenia terbentuk.

Enam bulan kemudian, dalam sebuah pertemuan, mereka memutuskan membangun sebuah gereja baru di lokasi yang sama dengan kapel kayu tua Gang Scott –kini Jalan Budi Kemuliaan No. 1, Jakarta. Pembangunan selesai dua tahun kemudian dan dinamai Gereja St. John. Menyusul kemudian dibangun sekolah dan lembaga-lembaga yang mendukung aktivitas mereka.

Keberadaan gereja mengukuhkan eksistensi komunitas Armenia di Hindia Belanda (Indonesia). Namun, jejak komunitas ini nyaris terkubur karena minimnya catatan yang mereka tinggalkan.

“Tampaknya para pemukim awal Armenia di Indonesia sangat serius dan terserap dalam kegiatan komersial sehingga mereka tak meninggalkan catatan tertulis dari kegiatan komersial mereka atau peristiwa penting dalam kehidupan keagamaan, sosial, atau budaya masyarakat yang punya nilai sejarah,” tulis Ellias Hyrapiet Elliasian atau E.H. Ellis, dalam “Concise History of the Armenians in Indonesia”, manuskrip dalam bahasa Inggris tahun 1961 yang tak diterbitkan.

Ellis, kelahiran New Julfa, Isfahan, tahun 1889, pernah tinggal di Indonesia dan meninggal dunia di Surabaya tahun 1963. Catatannya praktis yang terlengkap menggambarkan komunitas Armenia di Indonesia. Sebagian manuskripnya kemudian dimuat dalam armenianhistory.com.  

Faktor lainnya, komunitas Armenia di Indonesia sendiri sudah punah. Menyusul pendudukan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, orang-orang Armenia memilih pindah ke negara-negara lain. Gereja St. John juga lenyap, tergusur perluasan dan pembangunan gedung Bank Indonesia. Penanda yang tersisa hanyalah beberapa bangunan yang sudah berganti pemilik dan makam-makam.

Hubungan dengan Nusantara

Diaspora Armenia di Indonesia mulai marak sejak abad ke-18. Namun, sejatinya keberadaan orang Armenia di Nusantara sudah terjejaki jauh lebih awal.

Orang Armenia dikenal sebagai pedagang yang tangguh. Pada awal abad Masehi mereka sudah menjelajahi daratan dan lautan untuk berdagang barang-barang mewah, kemenyan, dan kamper. Salah satu kota yang mereka kunjungi adalah Barus atau juga dikenal dengan nama Pancur atau Fansur, yang terkenal di Asia sejak sekira abad ke-6 berkat kamper, kemenyan, dan emasnya.

Kehadiran para pedagang Armenia dibuktikan dengan adanya sebuah teks dalam bahasa Armenia yang ditulis sekira tahun 1112. Menurut Keram Kevonian pengajar di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, dalam “Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia”, termuat dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus yang disunting Claude Guillot, teks tersebut dikutip dari sebuah buku kumpulan catatan perjalanan berjudul “Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia”. Tak jelas siapa penulisnya. Teks itu menunjukkan orang Armenia sudah familiar dengan pelabuhan-pelabuhan di utara Sumatra. Setidaknya empat toponim disebutkan dalam buku tersebut: Lamrin (merujuk pada Aceh, Sumatra Utara), Panchur (Barus), Krut (Lho’ Kruet, Aceh, Sumatra Utara), dan Samavi (tampaknya pendahulu Samudra Pasai).

Eksistensi orang Armenia kian kentara pada abad ke-17, yang berdagang di tengah persaingan kongsi dagang Inggris dan Belanda. Beberapa di antaranya memiliki pengaruh kuat, sehingga diminta bertindak sebagai konsultan atau penerjemah dalam mendukung perdagangan. Chodja Soliman diajak VOC dalam pembicaraan damai untuk menyelesaikan sengketa antara VOC dan pangeran Makassar pada 28 Desember 1655.

Pada paruh kedua abad ke-17, Chodja Murad melayani Ethiopia dalam sejumlah misi diplomatik, termasuk ke Batavia untuk berhubungan dengan Belanda pada tiga kesempatan berbeda antara 1674 dan 1697. “Perjalanan-perjalanan ini dilaporkan secara detail, dan jelas bahwa Khoja Murad adalah seorang pedagang profesional yang mengambil pekerjaan diplomatik demi kepentingan jangka panjang,” tulis Phillip D. Curtin dalam Cross-Cultural Trade in World History.

Pedagang Armenia lainnya, Queralos Albertos de Crus, menjalin korespondensi dengan VOC. Sebagaimana dikutip Margaret Sarkissian dalam “Armenians in SouthEast Asia” yang dimuat Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies Vol. 3 No. 2/3 (1987), dia membuat perjalanan bisnis ke Amsterdam pada 1662 dan kembali dengan membawa hadiah untuk raja Persia dari Holland, Hamburg, Glenn Danzig, dan Inggris. Dia kemudian bertindak sebagai wakil raja Persia di Belanda. Pada Februari 1675 kapalnya tiba di Batavia dari Surat, India.

Para pedagang Armenia datang dan pergi mengikuti kegiatan perdagangan mereka. Beberapa menetap sementara waktu. Pola ini berubah setelah terjadi gelombang emigrasi orang-orang Armenia.

Gereja Armenia, 1867. (geheugenvannederland.nl).

Terbentuknya Komunitas Armenia

Pada awal abad ke-17, penguasa Persia Shah Abbas merelokasi ribuan orang Armenia di Julfa ke Persia, khususnya di Isfahan. Di dekat Isfahan, mereka mendirikan kota New Julfa, menurut kota asal mereka. Karena sebagian besar dari mereka dikenal sebagai pedagang, teristimewa sutra, Shah Abbas mengambil perdagangan sutra dari tangan para pedagang Persia yang tidak kompeten dan menyerahkannya kepada orang-orang Armenia terampil, yang lebih diterima di Eropa karena kekristenan mereka. Persia pun berkembang pesat.

Namun, bulan madu itu tak langgeng. Dipandang terlalu kaya dan kuat, penerus Shah Abbas menindas koloni Armenia. Pada abad ke-18, banyak orang Armenia beremigrasi ke Amsterdam, Alexandria, Venesia, Rusia, Tiongkok, beberapa kota di India, hingga Batavia.  

“Sebagian besar orang Armenia tiba langsung dari Isfahan atau dari permukiman Armenia di India. Karena Armenia yang Kristen, penguasa VOC pada 1747 memberikan mereka hak yang sama dengan orang Eropa,” tulis Han T. Siem dalam “The Armenian Minority in the Dutch East Indies”, dimuat hetq.am. Beberapa orang Armenia juga datang dari Belanda terutama setelah Belanda diserbu Prancis pada 1795.

Pedagang Armenia paling penting di Batavia adalah Kevork/Gavork (George) Manouk(ian) Manuchariants atau biasa disingkat George Manook. Dia menjalin pertemanan dengan penguasa VOC. Karena kedekatannya itulah, ketika Napoleon menganeksasi Belanda, Manook menolak untuk membantu Inggris dalam mendapatkan Hindia Belanda.

Manook dikenal sebagai seorang yang baik, murah hati, patriot tulen. Selain membantu orang sebangsanya yang membutuhkan, dia memberikan kontribusi untuk berbagai lembaga sosial, agama, dan pendidikan di Persia, India, dan Armenia. Mesrovb J. Seth dalam History of the Armenias in India, mencantumkan jumlah sumbangan yang diberikan Manook kepada The Armenian Philanthropic Academy of Calcutta, The Armenian School of Madras, The Holy Sea of Etchmiatzin di Armenia, The Armenian Monastery of St. James at Jerussalem, The Cathedral of All Saviour at Julfa di Isfahan, dan The Nunnery of St. Catherine at Julfa di Isfahan.

Dua saudara perempuannya, Mariam dan Thagouhi (Takouni), kemudian menyusul dari Madras ke Batavia. Keduanya datang bersama Hakob Haroutunian (Jacob Arathoon), suami Mariam, yang bekerja pada George Manook dan menjadi pedagang sukses. Menurut E.H. Ellis, Arathoon sosok yang relijius. Dia mendirikan sebuah kapel tahun 1831, yang didedikasikan untuk St. Hripsimeh di Gang Scott. Gereja kecil dari kayu ini pernah terbakar tahun 1841, tapi dibangun lagi sebelum dirobohkan dan diganti Gereja St. John.

George Manook meninggal dunia di Batavia pada 2 Oktober 1827 di usia 64 tahun dalam kondisi membujang dan meninggalkan kekayaan yang sangat besar. “Dalam testamen dan wasiat terakhirnya yang dibuat tahun 1820, dia mewariskan porsi terbesar dari kekayaannya sebesar lima juta gulden untuk adik perempuannya dan anak dari saudara lelakinya, Malcom, yang meninggal di Kalkuta tahun 1826,” tulis Mesrovb J. Seth.

Mariam dan Thagouhi menggunakan warisan itu untuk mendanai Komunitas Armenia dan pembangunan Gereja St. John. Mereka juga membuat yayasan untuk menutupi biaya gereja dan kebutuhan pendetanya. Hal yang sama dilakukan di Kalkuta dan New Julfa.  

Menurut Alle G. Hoekema, mantan dosen Seminari Mennonite dan Vrije Universiteit Amsterdam, umumnya para imam yang melayani di Jawa berasal dari Persia. Kebaktian diadakan dalam bahasa Armenia. “Kadang-kadang ada uskup-uskup Armenia dari luar negeri yang berkunjung; biasanya setiap 10 tahun. Bagi mereka, Hindia-Belanda merupakan suatu diaspora kecil, yang tetap terikat pada pusat di Etsmiadzin dan New Julfa (dan India),” tulis Hoekema dalam “Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah”, dimuat di jurnal Gema Teologi Vol. 37 No. 1 tahun 2013.

Mariam dan Thagouhi juga mendirikan Manuck en Arathoonschool pada 26 Agustus 1855, yang berlokasi di belakang gereja. Mereka ingin anak-anak Armenia punya kesempatan belajar dan mendapatkan pengetahuan mengenai sejarah dan gereja mereka sendiri. Sekolah ini memiliki kelas sore dan malam hari. Murid-muridnya bukan hanya orang Armenia, tapi juga dari bangsa lain. Setelah pemerintah Hindia Belanda mulai menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak Eropa, jumlah murid Manuck en Arathoonschool menurun hingga akhirnya ditutup sekira 1878. Untuk mengajarkan anak-anak mereka bahasa ibu, orang Armenia mengundang guru privat di rumah. Selain itu, komunitas Armenia tetap memberi beasiswa bagi pemuda Armenia untuk belajar di Kalkuta.

Tampaknya Mariam mengambil peran menonjol dalam komunitas Armenia. Tak heran jika setelah kematiannya tahun 1864, monumennya berdiri tegak di teras Gereja St. John.

Marius Buys dalam buku Batavia, Buitenzoeg en Preanger (1891) menulis bahwa bangunan gereja sangat rapi, dengan teras depan terdapat monumen yang dibuat untuk menghormati Ny. Arathoon. Dia juga menyebut komunitas Armenia di Batavia hanya berjumlah 62 orang. “Semua anggotanya memiliki posisi dalam perdagangan. Beberapa dari mereka memiliki kekayaan besar dan tinggal di rumah yang indah di dekat alun-alun,” tulisnya.

Gereja Armenia di Batavia, 1947. (imexbodot.nl).

Mempertahankan Identitas

Kendati umumnya mereka kawin dengan sesama orang Armenia, yang melanggengkan jaringan bisnis mereka, perkawinan campur tak bisa terelakan di sebuah masyarakat kosmopolitan. Demi kepentingan politik dan ekonomi, banyak lelaki Armenia mengambil istri orang Eropa. Hal yang sama dilakukan perempuan Armenia. Pietro della Valle, penjelajah Italia, mencatat bahwa banyak pegawai VOC menikahi perempuan Armenia.

“Hubungan pernikahan seringkali bergandengan dengan kepentingan bisnis,” tulis Bhaswati Bhattacharya dalam “Armenian European Relationship in India, 1500-1800: No Armenian Foundation for European Empire?”, dimuat Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 48, No. 2 (2005). Salah satu alasannya, untuk mendapatkan akses kredit dan jaringan perdagangan yang luas dari pedagang Armenia. Namun, bukan hanya orang Eropa yang meraih keuntungan. Sebaliknya juga.

Karena menerima status yang sama dengan Belanda, orang-orang Armenia tak segan membantu penguasa dalam berbagai kesempatan, dalam bentuk uang maupun tenaga. Mereka juga tak mau kepentingan mereka di Hindia terganggu. Selama Perang Jawa, beberapa pedagang Armenia jadi relawan. Ketika Perang Dunia I pecah, komunitas Armenia di Surabaya menyumbang 13.500 gulden.

Puncak dari proses asimilasi adalah pengajuan naturalisasi untuk menjadi warga Belanda. Iran and the Netherlands: Interwoven Through the Ages, yang disunting Martine Gosselink dan Dirk J. Tang, memuat daftar orang-orang Armenia yang mengajukan naturalisasi selama 1850-1934. Sebagian besar pedagang. Dalam daftar itu, anggota dari keluarga Andreas di Semarang jadi yang pertama mendapatkan naturalisasi. Paulus Andreas mendapatkannya pada 15 April 1854 sementara Carapiet Andreas pada 18 Desember 1855.

Naturalisasi juga memungkinkan keturunan keluarga Armenia menduduki jabatan-jabatan publik. Petrus Blumberger, misalnya, mencapai posisi puncak sebagai asisten residen di Hindia Belanda kemudian Kepala Staf Menteri Koloni Hendrikus Colijn. Paling kentara apa yang dialami keturunan Merchathoen Eleazar Gasper. Sebagian anak, cucu, dan cicitnya lulusan hukum Universitas Leiden dan menduduki jabatan penting di Departemen Kehakiman di Batavia dan Surabaya maupun sebagai pengacara. “Keturunan Merkhatoen Eleazar Gasper, tampaknya, secara bertahap meninggalkan bisnis untuk berkarier di bidang hukum dan pelayanan publik,” tulis Keram Kevonian dalam “Raden Saleh, témoin de la société arménienne de Java”, dimuat Archipel 76 tahun 2008.

Perkawinan campur bukan tanpa masalah. Sebuah sengketa dalam hubungan perkawinan menjadi persoalan karena perbedaan Hukum Perdata Internasional. Seperti dialami Arathoon Abraham Galstaun pada 1928 yang ribut dengan istrinya, Eugenie Ambrosina van Stralendorf, terkait harta gono-gini. Galstaun menggunakan hukum Persia, sementara istrinya Hindia. Raad van Justite (Mahkamah Agung) di Semarang akhirnya menyimpulkan, berdasarkan hukum Persia, seorang Persia Armenia yang menetap di luar negeri tunduk pada hukum di tempat baru. Kasus ini kemudian jadi yurisprudensi di Indonesia.  

Toh, akibat proses asimilasi itu, anak-anak keturunan Armenia tumbuh dalam budaya Eropa. Kendati beberapa orang Armenia memilih menikah dengan perempuan bumiputra –sebagian juga karena kepentingan ekonomi, secara kultural mereka tetap menggunakan jatidiri Eropanya. Ini menjadi kekhawatiran beberapa tokoh Armenia. Uskup Kouchaguian, yang pernah bertugas di Jawa, pun terus menekankan pentingnya mempertahankan bahasa Armenia dan keanggotaan gereja nasional.

Orang-orang Armenia berusaha mempertahakan identitas mereka dan loyalitas kepada gereja Armenia. Mereka menggunakan bahasa ibu mereka dan bahkan menuliskannya dengan alfabet Armenia. Menurut L. Ter-Mkrtchyan dan A. Geokchyak dalam “Armyane Indonezii”, dimuat Istoriko-filologicheskiy zhurnal 3 tahun 1963, komunitas Armenia di Hindia mengikuti contoh koloni Armenia di India, dengan mendirikan lembaga amal dan budaya. Organisasi-organisasi ini beroperasi secara independen dan melaporkan setiap tahun kepada “kongres umum koloni Armenia”.

Monumen Mariam Haroutunian di pintu masuk Gereja Armenia di Batavia sekira 1865. (Keram Kevonian/Archipel Vol. 76, 2008).

Di Tengah Gejolak Perang Jawa

Selain di Batavia, orang-orang Armenia tersebar di Semarang. Mereka juga melakoni aktivitas perdagangan. Joseph Johannes adalah salah satu pedagang Armenia kaya di Semarang. Sebelumnya dia pernah bekerja pada George Manook. Saudaranya, Amirkhan Hovhannes Amiriants (alias Amirkhan Johannes Amirian), adalah pedagang kaya di New Julfa yang punya cabang di Basra dan Konstantinopel.

Johannes punya perkebunan besar dan memonopoli perdagangan opium. Dia juga memiliki tanah yang luas di Simongan di mana terdapat Kelenteng Sam Po Kong. Tanah itu kemudian dibeli Oei Tjie Sien, ayah “Si Raja Gula” Oei Tiong Ham, sekira 1879. Sementara di atas tanahnya di Jomblang dia membuat pekuburan untuk orang-orang Armenia. Menurut keturunannya dalam imexbo.nl/joseph-johannes-1.html, dia menjual makam itu kepada keluarga Andreas yang lalu menjualnya lagi kepada seorang kapiten Cina dengan klausul makam-makam Armenia akan dirawat dengan baik. Praktiknya tidak terjadi dan pada akhir 1930 seluruh makam Armenia hancur.

Pedagang Armenia lainnya yang juga eksis di Jawa Tengah adalah keluarga Martherus, Andreas, dan Soekias. Bersama Johannes, mereka terlibat dalam pergolakan di Jawa.  

Selama Perang Jawa, salah satu dari keluarga Johannes yang menjadi kepala pachter (tukang pajak atau pemborong) candu untuk daerah Kedu terbunuh. Menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, dalam perjalanan dari Magelang ke Yogyakarta, dia dibunuh Kiai Tirtodrono (Tirtodirono), yang ikut Diponegoro dari kalangan orang dekat Kiai Mojo, bersama pasukan Diponegoro dan uang hasil pachter-nya dirampas.

Karena kepentingan mereka terganggu, bersama orang-orang Eropa, orang Armenia jadi relawan yang bergabung dengan 5.000 pasukan Jenderal de Kock di Salatiga. Salah satunya adalah H. Israel, pemilik Land, Tegal Tappen 1816 (atau J. Israel, pemilik Land, Karang, Anjer, 1818).

Donald Maclaine Campbell dalam Java: Past & Present menyertakan catatan orang-orang “Inggris” dan lainnya yang terlibat di Dempet dalam perjalanan ke Demak. Dua di antaranya C. Chatoir dan J. Martherus, yang bekerja di kantor dagang milik keluarga Johannes. C. Chatoir tewas dalam pertempuran, sementara J. Martherus tewas dalam perjalanan kembali ke Semarang. Campbell juga menyebut di bukit di bawah Jomblang, Semarang, beberapa kuburan tua Armenia terlihat. Tampaknya ini kuburan di lahan milik Johannes.

Markar Soekias, yang kemudian jadi pengusaha gula kaya di Sumbring, Jepara, ikut sebagai relawan dalam schutterij (perhimpunan penembak) di Semarang, yang pada 1825 melawan tentara Pangeran Diponegoro. “Soekias mendapat sebuah medali sebagai tanda penghargaan dari pemerintah kota,” tulis Hoekema.

Menurut Hoekema, Soekias dikenal sebagai patriot tulen yang memberi sokongan kepada sekolah di tanah kelahirannya, New Julfa. Pada 1837 dia membangun suatu kapel di Soembring. Imam Armenia dari Batavia terkadang berkunjung ke sana untuk membaptis anak-anak dari keluarga-keluarga Armenia di Semarang dan sekitarnya. Soekias juga punya perhatian pada penginjilan di Jawa. Dia sering mengirim beberapa pemuda ke penginjil W. Hoezoo di Semarang untuk dididik sebagai penginjil di antara kaum Armenia. Dia juga membantu Pieter Janz dan Ibrahim Toenggoel Woeloeng untuk melakukan penginjilan.

Pada paruh kedua 1880-an, pusat aktivitas orang-orang Armenia di Hindia pindah ke Surabaya, yang tumbuh sebagai kota industri penting di Hindia.

Aktivitas Dagang Hingga Budaya

Pada 1891, Onnes Kurkdjian, fotografer Armenia terkenal di Surabaya, memprakarsai pembentukan Lembaga untuk Memajukan Armenia (Armenian Advancement Society). Jalinan komunitas dengan komunitas di Batavia dan Semarang terus terjalin. Pada 1895, misalnya, sebuah pertemuan dihelat di Batavia yang dihadiri perwakilan komunitas Armenia di Surabaya dan Semarang. Agenda utamanya, tulis buklet “Armenians in Indonesia” karya Arsan Annassian, dimuat di majalah triwulan The Austral Armenian Association September 1976, bagaimana membantu negara Armenia.

Surabaya segera menjadi “kota Armenia” paling penting di Hindia. Jumlah Armenia di sana juga terus meningkat. “Sekitar 1900 Surabaya adalah ‘kota Armenia’ yang paling penting di Hindia Belanda,” tulis Han T. Siem. Sebagian arus mirgasi Armenia berasal dari Persia melalui Madras.

Menurut Hoekema, antara 1900 dan 1940 jumlah orang Armenia di Batavia turun, sampai sekitar 40. Di Semarang dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah mereka hampir hilang. Di Bandung tinggal sekitar sepuluh. Namun demikian, seluruh komunitas Armenia di Hindia bertambah, antara lain karena Persia mengalami krisis ekonomi, sehingga sejumlah orang baru beremigrasi ke Hindia. Sekelompok kecil orang Armenia tinggal di Bali (Singaraja, Ampenan, Buleleng), Makassar, dan Manado (sekitar 75). Surabaya menjadi pusat dengan sekitar 350 orang.

Sama seperti di Batavia, segala kebutuhan komunitas Armenia segera dipenuhi sendiri. Pada 1922, atas inisiatif Mr. Mac Hacobian, komunitas Armenia mendirikan Armenian Sports Club (ASC) di Surabaya. Mula-mula mereka menyewa lapangan olahraga dari klub lain tapi dua tahun kemudian menyewa lahan milik pemerintah kota di Karangmendjangan. Melalui ASC inilah orang-orang Armenia berkiprah dalam berbagai cabang olahraga: sepakbola, rugbi, hoki, kriket, atletik, tenis, baseball, hingga golf. Menurut E.H. Ellis, perlahan ASC menjadi salah satu klub paling populer di Surabaya. Mereka kerap memenangi pertandingan-pertandingan, terutama hoki.  

Di cabang sepakbola, beberapa orang Armenia mendirikan klub sepakbola, yaitu Football Club Victoria, Football Club Sparta, dan The Armenian Merchants’ Football Club. “Seorang pemain sepakbola terkenal ialah John Edgar, perintis sepak bola di Hindia-Belanda (tahun 1895 dia mendirikan klub pertama, Victoria, di Surabaya) yang juga main dalam tim nasional Hindia Belanda,” tulis Hoekema.

ASC juga memiliki lapangan golf ciamik yang dirancang pegolf profesional asal Inggris, James Braid. Hario Kecik mengingat masa kecilnya dengan bermain bola di lapangan terbuka yang berdampingan dengan lapangan golf itu. Dia dan teman-temannya selalu bermain pada hari Jumat karena pasti tak ada orang bermain golf. “Mereka bermain pada hari Sabtu dan Minggu,” kisahnya dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit. “Pernah kami diusir waktu bermain bola pada hari Sabtu.”

Tak mau ketinggalan, kaum perempuan Armenia menyibukkan diri dengan aktivitas amal. Mereka membentuk Armenian Ladies Benevolent Society of Java pada 1925 untuk membantu orang-orang atau lembaga yang membutuhkan di Armenia, Persia, maupun Hindia. Mereka kerap menggalang dana melalui penjualan kerajinan tangan hingga acara pertunjukan.

Dengan bantuan dana dari komunitas Armenia di Batavia, dibangunlah Gereja St. George yang berlokasi di Jalan Patjar 15 Surabaya dan diresmikan pada 11 November 1927. Di sebelah gereja didirikan pusat kebudayaan, Edgar Hall. Di sana segala macam acara diselenggarakan, dari perayaan agama hingga pertunjukan seni, termasuk yang ditampilkan Armenian Musical and Dramatic Society of Surabaya. Dibangun pula sebuah sekolah dengan tiga kelas.

Lukisan Wilhelmina Margaretha Martherus, putri dari pasangan Armenia dan Indo-Belanda, karya Jan Daniel Beynon. (Tropenmuseum).

Komunitas yang Hilang

Sikap tertutup terbukti menjadi kelemahan utama mereka, yang mengubur komunitas Armenia menyusul pendudukan Jepang dan ketegangan Indonesia-Belanda pada masa pemerintahan Sukarno.

Selama pendudukan Jepang, orang-orang Armenia ditangkap dan dijebloskan ke kamp-kamp interniran. Anak-anak dan perempuan juga jadi korban. S.A. Martherus, kelahiran Bandung tahun 1929, ditangkap dan dijebloskan ke kamp anak-anak di Leuwi Gajah, Cimahi. Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik bukanlah akhir dari penderitaan. Pada Oktober 1945, dia ditangkap dalam sebuah razia pemuda nasionalis dan dimasukkan ke Pundung Camp, khusus untuk anak laki-laki di Yogyakarta, sebelum ditransfer ke Kamp Barongan lalu ke Batavia.

Martherus sempat melanjutkan sekolah dan bekerja sebagai penjual tiket Garuda. Pada 1952, dia akhirnya memutuskan meninggalkan Indonesia menuju Belanda. Kisah Martherus terekam dalam proyek oral history dan dikompilasi Fridus Steijlen dalam Memories of ‘the East: Abstracts of the Dutch Interviews about the Netherlands East Indies, Indonesia and New Guinea (1930-1962).

Sementara W. Martin berada di luar kamp selama 1,5 tahun pada awal pendudukan Jepang. Menurutnya, layanan Gereja Armenia tetap berjalan meski dilakukan seadanya. Namun, pada akhirnya orang-orang Armenia dikumpulkan dan para perempuan harus pindah ke Kamp Kramat. Setelah masa perang, dia bekerja untuk Konsulat Inggris. Sadar bahwa kehidupan orang-orang Eropa di alam kemerdekaan akan sulit, dia memutuskan pergi ke Belanda.

Menurut Hoekema, karena secara hukum orang-orang Armenia setingkat dengan orang-orang Belanda, mereka cenderung menganut cara hidup borjuis yang konservatif secara politis dan tak terbuka untuk perubahan-perubahan di masyarakat dan gerakan nasionalisme Indonesia.  

“Kaum Armenia dari Makassar dan Malang juga sangat menderita dalam kamp-kamp tahanan. Cuma orang Armenia di Surabaya yang tidak mengalami nasib pahit itu, karena di Surabaya Angkatan Laut Jepang yang berkuasa memiliki pertimbangan terhadap kehidupan manusia,” tulis Hoekema. Korban kekejaman Jepang berkisar 80 sampai 100 orang, kendati ada yang menyebut angka 20 persen dari seluruh warga Armenia di Hindia Belanda.

Pascaperang, beberapa orang Armenia memutuskan bermigrasi ke sejumlah negara. Sentimen anti-Belanda mendorong evakuasi warga Belanda, yang memuncak pada 1960-an akibat tensi ketegangan hubungan Indonesia-Belanda terkait Irian Barat.  

Kejayaan komunitas Armenia satu per satu ambruk. Tak ada firma dagang yang bertahan. Oranje Hotel milik keluarga Sarkies terselamatkan tapi akhirnya dijual. Lapangan golf rusak selama pendudukan Jepang dan setelahnya dipenuhi gelandangan dan gubuk-gubuk liar. Menurut Howard W. Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000, pada 1953 pemerintah Kota Surabaya melakukan pembersihan dan lahan bekas lapangan golf ini diperuntukkan bagi kampus baru Universitas Airlangga.

Eksistensi Gereja St. John di Jakarta juga terancam. Dewan Umum Gereja St. John meminta Dewan Gereja Armenia di Sidney untuk intervensi. Pada 1961, Aramis Mirzaian, imam resmi di Sidney, berkunjung ke Indonesia. Tapi upayanya untuk menyelamatkan Gereja St. John gagal. Maka, kebaktian terakhir dihelat pada 25 Mei 1961, yang dipimpin Aramais Mirzaian.  

Bangunan gereja dibongkar untuk perluasan dan pembangunan gedung Bank Indonesia. Sebagai ganti rugi, pemerintah Indonesia membangun gereja baru untuk umat Armenia di tempat lain di Jakarta. “Bangunan baru ini jauh dari standar yang diminta dan tak bisa dipakai untuk komunitas,” tulis Arsan Annassian. Akhirnya, Dewan Gereja memutuskan menjual gereja baru tersebut pada 1963.

Sementara Gereja St. George di Surabaya bertahan sedikit lebih lama. Namun, karena semua anggota Armenia bermigrasi ke Australia, gereja itu dijual kepada Gereja Kristen Abdiel Gloria tahun 1977.  

Maka, setelah berabad-abad mewarnai bumi Nusantara, komunitas Armenia punah.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
676bacb143ad54e68d66a140
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID