Kongsi Dagang Meneer Komandan

Westerling menjadi pengusaha angkutan setelah dibebastugaskan dari militer. Namun, ia tetap menjalin kontak rahasia dengan para serdadu dan membangun aliansi untuk kembali beraksi.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Kongsi Dagang Meneer KomandanKongsi Dagang Meneer Komandan
cover caption
Kapten Raymond Westerling (paling kanan) dalam penyerahan komando pada 21 November 1948. (NIMH).

SETELAH melewati masa menegangkan di Sulawesi Selatan, hidup Westerling memasuki masa rehat. “Een korte rustperiode (waktu istirahat yang singkat),” demikian Westerling mengenang jeda itu, yang diakuinya sebagai salah satu masa paling indah dalam hidupnya. Masa-masa di mana dia bisa melarikan diri dari permasalahan masa lalu, menjalani suasana hidup yang baru, lalu merancang babak kedua drama karier militernya yang kontroversial.

Periode ini dimulai pada 11 November 1948, ketika Westerling mengikuti upacara terakhirnya sebagai kepala Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus). Hari itu dia resmi dibebastugaskan dari KNIL dan akan menghadapi kehidupan baru sebagai warga sipil, di mana dia berharap: “saya akan pensiun di rumah saya sendiri, di suatu tempat di negara ini, di mana di sekitarnya tidak ada orang Eropa yang tinggal.” Dia pun meninggalkan Batujajar untuk menjalani hidup sebagai warga sipil dan menanggalkan baret hijaunya.

Westerling memulai kehidupan barunya ini dengan menikahi kekasihnya, Fernanda Yvonne Fournier, wanita keturunan Indo-Perancis. Fournier, adalah putri seorang pengelola hotel asal Prancis yang menikah dengan wanita pribumi (versi lain menyebutkan wanita Vietnam). Sebelum menikah dengan Westerling, yang ditemuinya pertama kali tahun 1946, Fournier telah memiliki dua anak: Jacquelenna (lahir 1941) dan Johnny (lahir 1945). Lalu dari pernikahan dengan Westerling, Fournier dikaruniai Celia (Westerling menyebut namanya Cecilia), yang lahir tahun 1948.

SETELAH melewati masa menegangkan di Sulawesi Selatan, hidup Westerling memasuki masa rehat. “Een korte rustperiode (waktu istirahat yang singkat),” demikian Westerling mengenang jeda itu, yang diakuinya sebagai salah satu masa paling indah dalam hidupnya. Masa-masa di mana dia bisa melarikan diri dari permasalahan masa lalu, menjalani suasana hidup yang baru, lalu merancang babak kedua drama karier militernya yang kontroversial.

Periode ini dimulai pada 11 November 1948, ketika Westerling mengikuti upacara terakhirnya sebagai kepala Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus). Hari itu dia resmi dibebastugaskan dari KNIL dan akan menghadapi kehidupan baru sebagai warga sipil, di mana dia berharap: “saya akan pensiun di rumah saya sendiri, di suatu tempat di negara ini, di mana di sekitarnya tidak ada orang Eropa yang tinggal.” Dia pun meninggalkan Batujajar untuk menjalani hidup sebagai warga sipil dan menanggalkan baret hijaunya.

Westerling memulai kehidupan barunya ini dengan menikahi kekasihnya, Fernanda Yvonne Fournier, wanita keturunan Indo-Perancis. Fournier, adalah putri seorang pengelola hotel asal Prancis yang menikah dengan wanita pribumi (versi lain menyebutkan wanita Vietnam). Sebelum menikah dengan Westerling, yang ditemuinya pertama kali tahun 1946, Fournier telah memiliki dua anak: Jacquelenna (lahir 1941) dan Johnny (lahir 1945). Lalu dari pernikahan dengan Westerling, Fournier dikaruniai Celia (Westerling menyebut namanya Cecilia), yang lahir tahun 1948.

Tahun 1949, Westerling bersama sahabatnya Chia Piet Kay menjalankan bisnis di Pacet, sebuah wilayah di Puncak, Cianjur. Westerling memiliki beberapa truk bekas KNIL, yang disulapnya menjadi alat pengangkut hasil perkebunan ke berbagai tempat, utamanya ke pelabuhan-pelabuhan. Koneksi Westerling yang luas, terutama dengan para pengusaha terutama pengusaha perkebunan, pejabat publik, dan pejabat militer, plus reputasinya sebagai bekas pemimpin pasukan khusus, membuat usahanya berjalan nyaris tanpa hambatan. Kelak Chia Piet Kay juga akan kembali menolong Westerling saat pelariannya ke Singapura.

Pacet kini terkenal sebagai salah satu daerah ramai di kawasan Puncak. Memang Pacet masih mengabulkan impian Westerling untuk hidup tidak berdekatan dengan orang Eropa. Namun kini Pacet sering kali ramai oleh wisatawan dari Timur Tengah. Daerah perkebunan di Pacet pun makin terhimpit. Wilayah Cipanas makin melebarkan keramaiannya, sehingga perkebunan di Pacet pun hanya tersisa di sekitar Puncak Pass.

Yvonne Fournier (tengah), istri Westerling, di Schiphol, Belanda, 24 Agustus 1950. (Joop van Bilsen/Anefo/Nationaal Archief).

Pacet kini bukanlah Pacet era Westerling. Bukan rahasia bahwa saat itu dalam usaha transportasi, hambatan utamanya adalah begal jalanan, atau dalam istilah Sunda “bajing luncat”. Kondisi politik dan keamanan yang tidak stabil saat itu memang merembet ke masalah-masalah lain seperti masalah ekonomi, yang mengerucut pada timbulnya gangguan-gangguan keamanan. Para jagoan-jagoan lokal, seolah-olah memanfaatkan kondisi ini untuk show off. Tak jarang kendaraan-kendaraan pengangkut dibegal di tengah perjalanan. Namun kegarangan para begal ciut begitu mendengar supir Westerling berseru “Westerling auto!” alias “mobilnya Westerling!” Maka tidak heran jika dalam satu tahun berjalan, bisnis Westerling telah menghasilkan keuntungan 600.000 gulden, yang saat itu setara dengan 160.000 dolar Amerika.

Menurut ibu Tinah, yang sudah berdiam di Pacet sejak tahun 1940-an, memang banyak orang Eropa yang menjalankan perkebunan di daerah Pacet. Berbeda dengan kawasan lain di sekitarnya, dulu di Pacet perkebunan yang dominan bukanlah teh, namun kentang dan sayur-mayur. Ibu Tinah mengingat bahwa banyak orang bule yang menjalankan bisnis pengangkutan hasil kebun dengan truk. Tapi dia tidak bisa mengingat seorang bernama Raymond Westerling.

“Mungkin salah satu dari bule-bule itu,” katanya. Tinah mengingat bahwa bule-bule itu baik dan ramah, meskipun tetap agak menjaga jarak dengan penduduk pribumi. 

Kini wilayah perkebunan-perkebunan itu telah menjadi deretan hotel, warung, dan vila. Yang masih tersisa sebagai kebun sayur hanya di wilayah pedalaman, agak jauh dari jalan raya.

Westerling saat itu juga menekuni kembali hobinya, yaitu menjinakkan hewan liar. Tak tanggung-tanggung, dalam otobiografinya Mijn Memoires, Westerling mengaku telah menjinakkan kadal, ular kobra, bahkan seekor ular piton dengan panjang empat meter. Saat itu daerah Pacet masih berbatasan dengan hutan-hutan. Hobi ini sudah melekat sejak Westerling remaja. Bahkan hingga penugasan selama Perang Dunia II, mulai dari masa pelatihan di Inggris, hingga penugasan-penugasan di Belanda maupun Belgia, hobi ini masih aktif dilakukannya. Hanya ketika pangkatnya sudah semakin tinggi, dan misi-misi yang diembannya semakin berat, fokusnya hanya pada urusan militer.

Selain itu, Westerling juga membangun hubungan baik dengan warga sekitar, baik orang Eropa maupun pribumi. Dia sering berkunjung ke rumah-rumah tetangganya. Bahkan dia beberapa kali diminta melatih warga cara membela diri dari para begal, meskipun dia lebih sering menolak permintaan tersebut. 

Petrik Matanasi, penulis buku Westerling: Kudeta yang Gagal, menyebutkan bahwa Westerling banyak mengembangkan jaringannya di masa reses ini. Posisinya sebagai warga sipil memungkinkan untuk berhubungan dengan siapa pun secara bebas. Hotel Preanger, Groote Postweg Bandung (kini Jl. Asia Afrika) dan Black Cat Noir, Jakarta, menjadi tempat Westerling biasa turun gunung bersosialisasi. Meskipun sosialisasi Westerling ini sangat jauh dari sosialisasi yang biasa-biasa saja.

Puncak Pass di Cipanas, Cianjur tahun 1871. (Tropenmuseum).

Kembali Beraksi

Masa istirahat Westerling telah usai. Dia kembali mendapat mandat dari KNIL untuk babak kedua karier militernya di Indonesia: membuat sebuah gerakan pengacau keamanan. Tujuannya menggoyang pemerintahan Sukarno, yang kala itu sedang disibukkan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun. Gerakan untuk menggoyang sebuah Republik tentunya memerlukan konsep yang matang, pasukan yang kuat, serta simpati dari rakyat banyak.

Hidup membaur dengan pribumi, Westerling mendapat ilham dari pola pikir dan kepercayaan politik mayoritas masyarakat. Semenjak dipopulerkan awal abad ke-18 oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Sarekat Islam, dan dilanjutkan oleh S.M. Kartosoewirjo dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), ternyata tahun 1950-an gerakan yang bercorak mesianis masih sangat efektif dalam menjaring simpatisan.

Maka, Westerling mendesain gerakannya dengan nama Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI). Ia mengangkat kembali mitos Ratu Adil yang sejak diramalkan oleh Jayabaya menjadi harapan kaum pribumi akan nasib yang lebih baik. RAPI dalam mencapai tujuannya, memiliki instrumen militer, yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Suherman, guru sejarah lulusan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dalam skripsinya tentang APRA menyebutkan dalam setiap pertemuan dengan “pasukannya”, Westerling senantiasa berbicara layaknya seorang muslim yang saleh. Dia selalu membuka pembicaraan dengan kalimat “bismillahirramanirrahim” dan “assalamualaikum”. Dengan tujuan menggiring persepsi publik bahwa aksi yang akan mereka lakukan adalah sebuah misi suci.

Dengan disponsori KNIL, Westerling membuat aliansi dengan golongan-golongan yang anti-Republik ataupun merasa terpinggirkan oleh Republik. Tanggal 4 Oktober 1949, Westerling menggelar rapat konsolidasi rahasia di Hotel Preanger yang dihadiri Mayor Jenderal Edu Engels dari KNIL dan beberapa perwira Belanda lain. Berawal dari pertemuan itu, akhir bulan tersebut Westerling dengan ditemani Van der Plaas, menemui perwakilan gerakan DI/TII, KH Engkar di Bogor dan berujung dengan kesepakatan menggabungkan kekuatan DI/TII dengan “barisan sakit hati” yang sudah terlebih dahulu dirangkul, yaitu sisa eks pasukan KNIL yang ditolak masuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Seolah tak cukup dengan KNIL dan DI/TII, Westerling menjalin pula aliansi rahasia dengan para tokoh pribumi yang profederasi seperti Sultan Hamid II dari BFO (Bijeenkomst voor Federale Orvleg atau Majelis Permusyawaratan Negara Federal) dan tokoh-tokoh Negara Pasundan, yang tidak puas dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Ditambah dengan sejumlah massa Tionghoa yang dipimpin Goan Yoe Thio. Meskipun demikian dalam praktiknya aliansi ini tidak berjalan efektif.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64f581aeb3a5c3edcd5cf70d