Amir Sjarifuddin (kiri) berbincang dengan Sutan Sjahrir (kanan) di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta. (Cas Oorthuys/Nederlands Fotomuseum).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon. Dalam pertemuan tersebut hadir Soebagio, Hamdani, Soemitro Reksodipoetro, Sastra, Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, Soegra, Leon Salim, Kartamoehari, Roesni Tjoentjoen, dan lain-lain.
Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya. Sjahrir tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, Soepeno, L.M. Sitorus, dan T.B. Simatupang.
PNI-Pendidikan didirikan pada 1932 sebagai respons Mohammad Hatta dan Sjahrir terhadap pembubaran PNI setelah penangkapan Sukarno. Menurut Rudolf Mrazek, PNI-Pendidikan tidak pernah dibubarkan, kendati Hatta dan Sjahrir juga pada akhirnya ditangkap pemerintah kolonial. Eksekutif pusat terakhir berada di tangan Soebagio. Sejatinya pertemuan di Grand Hotel, Cirebon itu diselenggarakan untuk serah terima mandat.
PADA 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon. Dalam pertemuan tersebut hadir Soebagio, Hamdani, Soemitro Reksodipoetro, Sastra, Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, Soegra, Leon Salim, Kartamoehari, Roesni Tjoentjoen, dan lain-lain.
Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya. Sjahrir tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, Soepeno, L.M. Sitorus, dan T.B. Simatupang.
PNI-Pendidikan didirikan pada 1932 sebagai respons Mohammad Hatta dan Sjahrir terhadap pembubaran PNI setelah penangkapan Sukarno. Menurut Rudolf Mrazek, PNI-Pendidikan tidak pernah dibubarkan, kendati Hatta dan Sjahrir juga pada akhirnya ditangkap pemerintah kolonial. Eksekutif pusat terakhir berada di tangan Soebagio. Sejatinya pertemuan di Grand Hotel, Cirebon itu diselenggarakan untuk serah terima mandat.
Namun mencuat keinginan untuk menyesuaikan dengan situasi politik yang baru dengan mengubah PNI-Pendidikan menjadi partai politik. “Akhirnya dalam pertemuan tersebut diputuskan nama PNI-Pendidikan diubah menjadi Partai Rakyat Sosialis atau Paras,” tulis Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Paras bertujuan: “menentang mentalitas kapitalistik, ningrat dan feodal; melenyapkan otokrasi dan birokratisme; berjuang ke arah masyarakat sama rasa sama rata; memperkaya semangat rakyat Indonesia dengan pandangan demokratik, dan mendesak pemerintah untuk bekerja sama dengan semua organisasi di dalam dan luar negeri untuk menggulingkan kapitalisme.”
Sementara itu, sebelum Paras berdiri, Amir Sjarifuddin telah terlebih dahulu mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) pada 12 November 1945 di Yogyakarta. Tujuannya membentuk Volksfront (front rakyat) “guna mempertahankan dan memperkuat Republik; bekerja menuju sosialisasi perusahaan-perusahaan besar, hutan-hutan, dan tanah; dan meningkatkan industrialisasi, transmigrasi, ekonomi koperasi, mendorong perbaikan pertanian, dan membentuk serikat-serikat buruh. Volksfront harus menjadi sarana untuk mempersatukan kaum buruh, kaum tani, tentara, dan pemuda.”
Setelah Parsi dan Paras berdiri, Hatta selaku salah satu pemimpin PNI-Pendidikan, juga mengadakan pertemuan di rumahnya di Jakarta menyoal nama baru PNI-Pendidikan. Mayoritas peserta termasuk Hatta memutuskan nama Partai Daulat Rakjat Indonesia. Akan tetapi, menurut Hatta dalam Pendidikan Nasional Indonesia, “mereka yang berunding di rumah saya tidak mampu memperoleh cukup dukungan, dikalahkan oleh yang lain, yang setuju dengan keputusan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin untuk membentuk Partai Sosialis.”
Kawin Politik Kaum Sosialis
Menurut Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda, dengan posisi Sjahrir (perdana menteri) dan Amir Sjarifuddin (menteri penerangan dan keamanan umum) di puncak pimpinan kabinet, kehidupan partai mereka sebagai kekuatan terpisah tidak masuk akal.
Maka pada 16–17 Desember 1945, Paras dan Parsi mengadakan kongres fusi di Cirebon.
Kedua partai setuju bergabung karena antara Sjahrir dan Amir tidak ada perbedaan prinsipil. “Terlebih, Sjahrir yang sangat sibuk sebagai perdana menteri. Dia hampir tidak memiliki waktu untuk mengurus organisasi,” tulis Soe Hok Gie, kelak menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Pada 17 Desember 1945 dilangsungkan kongres fusi. Sekira 57 anggota pimpinan dari kedua partai menyepakati penggabungan partai. “Berdasarkan front rakyat, antikapitalisme, dan antiimperialisme, sekali lagi di Cirebon, Parsi dan Paras bergabung menjadi satu, Partai Sosialis. Sjahrir kini menjadi ketua partai yang baru, sedangkan Amir Sjarifuddin menjadi wakil ketua,” tulis Mrazek.
Sebelum Partai Sosialis dibentuk, sebenarnya Sjahrir pernah meminta Tan Malaka untuk menjadi ketuanya. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan menguntungkan partai. Namun, Tan Malaka menolak.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner. “Tan Malaka mengatakan bahwa ‘saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat’. Dia juga tidak suka jabatan resmi. Dia ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai,” ujar Poeze.
Persatuan Parsi dan Paras hanya berdasarkan antifasis dan kepentingan bersama menghadapi Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangannya.
Partai Sosialis terbagi ke dalam beberapa kelompok yang menginduk kepada Amir dan Sjahrir. Kelompok Surabaya terdiri dari kawan-kawan Amir dalam PKI-Ilegal, Gerindo, Partindo, dan organisasi gerakan bawah tanahnya. Kelompok Yogyakarta berpusat di sekeliling Wijono dan Muhammad Tauchid, yang terlibat dengan Amir mendirikan Parsi. Kelompok Cirebon berakar pada PNI-Pendidikan dan hubungannya dengan gerakan bawah tanah Sjahrir. Kelompok Jakarta terdiri dari pemuda metropolitan dan sahabat dekat Sjahrir. Terakhir adalah kelompok kecil orang komunis yang baru datang dari Belanda, di sana terlibat dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.
Hubungan Sjahrir dan Amir cukup baik, namun perbedaan dalam gaya dan pandangan cenderung ditonjolkan oleh pengikut masing-masing. Menurut Anderson, para pengikut Sjahrir menganggap kawan-kawan Amir bersifat ndesa, romantis, dan berpikiran “kacau”; sementara dalam kelompok Amir sering timbul perasaan bahwa pengikut Sjahrir bersifat congkak dan enggan mengalami kesulitan dan risiko pekerjaan politik praktis di tengah massa.
Watak dan kepentingan dua sayap Partai Sosialis ini digambarkan dalam pembagian fungsi dalam partai. “Amir yang sesungguhnya memimpin partai karena bakatnya dalam pengorganisasian dan kebosanan Sjahrir terhadap urusan seperti itu,” tulis Anderson. Pengikut Amir juga dipusatkan dalam dewan pimpinan, sekretariat, dan badan komunikasi; sementara kelompok Sjahrir menguasai badan penerangan dan badan pendidikan.
Menurut Gie, walaupun pertentangan internal tidak muncul dalam Partai Sosialis, baik grup Amir maupun grup Sjahrir memiliki rencana sendiri untuk mencapai tujuan masing-masing. Persatuan Parsi dan Paras hanya berdasarkan antifasis dan kepentingan bersama menghadapi Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangannya. “Setelah bahaya ini hilang, persatuan yang terbentuk akan meretak,” tulis Gie.
Oposisi dan Diplomasi
Persatuan Perjuangan, aliansi 141 organisasi politik bentukan Tan Malaka, menjadi kelompok oposisi yang paling sengit terhadap Kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir, menurut Tan Malaka, terlalu lemah menghadapi Belanda lewat politik perundingannya. Tan Malaka ingin agar Indonesia merdeka 100% lewat perjuangan bersenjata, sementara Sjahrir menghindari pertumpahan darah.
Menurut Direktur Center for Social Democratic Studies, Imam Yudotomo, Sjahrir bersama kelompoknya mempunyai wawasan internasional yang cukup. Pada waktu revolusi, mereka tahu persis bahwa yang dihadapi Indonesia bukan Belanda, tetapi Sekutu. Jadi, strategi Sjahrir dan kawan-kawannya termasuk Amir, adalah berunding menghadapi Sekutu.
“Sementara Tan Malaka tetap berjuang sampai Indonesia merdeka 100%. Oleh Sjahrir, ini dianggap tidak realistis karena tidak mungkin melawan Sekutu yang baru saja menang perang. Kalau meneruskan perang opini internasional pasti berada di tangan Sekutu karena oleh dunia Sekutu dianggap sebagai pembebas dari fasisme. Opini akan sangat tidak mendukung,” kata Imam, anak anggota Partai Sosialis, Muhammad Tauchid.
Kabinet Sjahrir-Amir semakin tertekan oleh Persatuan Perjuangan. Masyumi dan PNI juga menyatakan tidak percaya karena Kabinet Sjahrir-Amir berkompromi dengan Barat. Sjahrir mengundurkan diri pada 28 Februari 1946. Tidak lama kemudian Hatta mengumumkan bahwa Sjahrir dipilih kembali menjadi formatur kabinet. Kabinet ini mengumumkan Program Lima Pokok yang utama adalah “pemerintah berunding dengan van Mook atas dasar pengakuan negara Republik Indonesia (100%)”.
Usaha membentuk kabinet koalisi gagal, karena menurut Anderson, kabinet “masih dikuasai oleh pemimpin-pemimpin Partai Sosialis dan tokoh-tokoh nonpartai yang bersimpati kepada gagasan-gagasan mereka atau dipertalikan kepada mereka oleh hubungan keluarga.”
Kepada pengikut setianya Aboe Bakar Loebis, Sjahrir mengeluhkan agitasi dari Persatuan Perjuangan. Loebis dan temannya Imam Slamet, mendapatkan tugas melakukan penangkapan dengan bekal surat yang ditandatangani dua menteri dari Partai Sosialis: Amir Sjarifuddin dan Soedarsono.
Mayor Soenadi, komandan Polisi Tentara di Madiun, melaksanakan tugas penangkapan itu. Pada 17 Maret 1946, Tan Malaka bersama pengikutnya, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Yamin dan Sukarni, ditangkap dan baru dilepaskan pada 15 September 1948. Persatuan Perjuangan praktis lumpuh dan dibubarkan pada 4 Juni 1946. Tetapi beberapa gelintir pengikut Tan Malaka masih melakukan oposisi dengan menculik Sjahrir pada 27 Juni namun segera dilepaskan karena Sukarno menuntut pembebasan Sjahrir, dan melakukan kudeta yang gagal pada 3 Juli.
Jadi, strategi Sjahrir dan kawan-kawannya termasuk Amir, adalah berunding menghadapi Sekutu.
Untuk memulai perundingan lagi dengan Belanda, Kabinet Sjahrir III dibentuk pada 2 Oktober 1946. Periode ini terjadi perundingan gencatan senjata di Jakarta pada 14 Oktober 1946 dan Perundingan Linggarjati pada pertengahan November 1946. Berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Republik Indonesia diakui secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
“Dengan Perjanjian Linggarjati, dari sama sekali tidak diakui, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra. Ini dimulai dari daerah penting dulu,” kata Agustanzil Sjahroezah, anak pendiri dan sekretaris jenderal PSI, Djohan Sjahroezah.
Kelompok oposisi yang bergabung dalam Banteng Republik Indonesia menentang Perundingan Linggarjati. Sayap Kiri –koalisi Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Pemuda Republik Indonesia (Pesindo)– semula mendukung Perundingan Linggarjati. Namun, mereka mencabut dukungannya setelah Sjahrir berpidato radio pada 19 Juni 1947 yang menyatakan persetujuannya untuk mengakui, selama masa peralihan, kedudukan khusus wakil Mahkota Belanda dalam memerintah di Indonesia.
Menurut Subadio Sastrosatomo dalam “Sjahrir: Suatu Perspektif Manusia dan Sejarah,” termuat dalam Mengenang Sjahrir, Sayap Kiri yang didominasi komunis tidak dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir karena Sjahrir bukan komunis. “Dia mengadakan pidato tadi dengan tidak minta persetujuan dulu dari Sayap Kiri. Atas pertimbangan ini Sayap Kiri menolak kebijaksanaan Sjahrir,” tulis Subadio.
Sjahrir meletakkan jabatan pada 27 Juni 1947. Dia kemudian menjadi penasihat presiden dengan tugas mengemban misi diplomasi ke berbagai negara dan memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat.
“Jatuhnya Sjahrir terutama disebabkan oleh ‘pengkhianatan’ Sayap Kiri,” tulis Gie. “Sejak itu, hubungan di antara kedua kelompok makin memburuk.”
Perpecahan Partai Sosialis
Sebagai pengganti Sjahrir, Amir diangkat sebagai perdana menteri dalam dua periode (Juli 1947–Januari 1948). Ini diduga karena Sukarno-Hatta memerlukannya untuk perundingan selanjutnya dengan Belanda. “Ada kegetiran antara Sjahrir dan Amir, yang secara luas dianggap sebagai meninggalkan Sjahrir untuk menjadi perdana menteri,” tulis Mrazek.
Tapi kemudian Amir juga jatuh. Dia menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948 karena Perjanjian Renville. Masyumi dan PNI menarik diri dari kabinet, tentara kecewa karena harus hijrah meninggalkan kantong-kantong pertahanannya. Kelompok Sjahrir mengkritik Perundingan Renville karena secara de facto wilayah Indonesia yang diakui tinggal sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Apa yang dilakukan Amir terhadap Sjahrir (menentang Perundingan Linggarjati, red.), kita lakukan begitu terhadap Amir dalam Perundingan Renville,” kata L.M. Sitorus, pengikut Sjahrir yang menduduki bagian organisasi Partai Sosialis, dalam wawancara dengan Yuwono D.P. pada 6 September 1989.
Presiden Sukarno menunjuk Hatta untuk membentuk kabinet baru. Amir melancarkan oposisi dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat, gabungan partai dan organisasi Sayap Kiri: Partai Sosialis, PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI).
Tokoh gaek PKI, Musso tiba di Yogyakarta pada Agustus 1948 dengan membawa misi baru Kominform –perubahan dari Komintern pada 1947– dari Moskow. Dia mendorong fusi tiga partai bermazhab Marxisme-Leninisme: Partai Sosialis, PKI-Ilegal, dan PBI menjadi PKI. PKI kemudian memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan pemerintahan front nasional. Pecahlah Peristiwa Madiun 1948.
Sementara itu, kelompok Sjahrir menyadari telah menjadi outsider dalam Partai Sosialis. Jika meneruskan perjuangan di dalam, mereka pasti dipecat. Sebelum dipecat, mereka keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 12 Februari 1948. Sedangkan kelompok Amir mempertahankan Partai Sosialis.
Menurut Gie, perpecahan Partai Sosialis memiliki arti mendalam. Amir merupakan gas, sementara Sjahrir merupakan rem. Partai Sosialis berjalan tanpa rem menjadi semakin radikal. Sementara itu, PSI yang kurang memiliki gas dalam perjuangan politik akhirnya mandek serta kehilangan vitalitas dan keberanian dalam merintis pemikiran-pemikiran politik baru. Tujuh tahun setelah berdirinya, PSI memfosil dan dikalahkan dalam pemilihan umum 1955.*