Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Pro dan kontra masih membayangi pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto. Cara Golkar untuk meraih dukungan publik?

OLEH:
Risa Herdahita Putri
.
Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional untuk SoehartoKontroversi Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
cover caption
Aktivis KontraS, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), dan mahasiswa berdemonstrasi menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, 12 Juni 2014. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

KADER partai Golongan Karya sepakat akan terus berusaha agar pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Kesepakatan itu diputuskan dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Nusa Dua, Bali bulan Mei 2016. 

“Ya, ini kan keputusan Munas, jadi harus direalisasikan oleh partai,” ujar Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamaruzzaman ketika dihubungi Historia

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, besarnya Partai Golkar tak lepas dari jasa Soeharto. Sementara munculnya Golkar tak bisa dipisahkan dari pendirian golongan fungsional yang digagas pada era Sukarno. Menurutnya, falsafah kekaryaan yang diusung Golkar berhasil dijabarkan Soeharto ke dalam pembangunan nasional. Itu di mana sebagai kader partai harus turut memiliki peran dan karya dalam membangun bangsa. 

“Intinya harus berbuat, berkarya, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, dari latar belakang perjuangannya wajar Soeharto diberi gelar,” ujar Rambe.

KADER partai Golongan Karya sepakat akan terus berusaha agar pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Kesepakatan itu diputuskan dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Nusa Dua, Bali bulan Mei 2016. 

“Ya, ini kan keputusan Munas, jadi harus direalisasikan oleh partai,” ujar Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamaruzzaman ketika dihubungi Historia

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, besarnya Partai Golkar tak lepas dari jasa Soeharto. Sementara munculnya Golkar tak bisa dipisahkan dari pendirian golongan fungsional yang digagas pada era Sukarno. Menurutnya, falsafah kekaryaan yang diusung Golkar berhasil dijabarkan Soeharto ke dalam pembangunan nasional. Itu di mana sebagai kader partai harus turut memiliki peran dan karya dalam membangun bangsa. 

“Intinya harus berbuat, berkarya, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, dari latar belakang perjuangannya wajar Soeharto diberi gelar,” ujar Rambe. 

Rambe pun menampik pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto terkait persoalan politik. Pengusulan gelar ini, menurutnya, supaya masyarakat dapat memahami warisan para pemimpinnya. “Kita sudah harus selesaikan rasa saling curiga begini,” ucapnya. 

Mengenai masalah pro dan kontra yang berkembang di tengah masyarakat, kata Rambe, itu pun sudah harus disudahi. Ia bahkan menyebut slogan yang dipopulerkan Sukarno, bahwa jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah (Jasmerah). “Apa nggak dirasakan, jasa-jasa beliau. Apa yang dirasakan positif, lihat yang positifnya saja,” paparnya. 

Rambe kembali menegaskan, sebaiknya pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada presiden kedua RI itu harus dipisahkan dari kepentingan Golkar. Pengusulan ini, menurutnya, sudah sesuai dengan ketentuan pemberian penghargaan kepahlawanan yang diatur dalam undang-undang. “Kalau ada yang tanya urgensinya apa mengajukan Soeharto jadi Pahlawan Nasional? Memang urgensi apa kalau tidak?” lanjutnya. 

Adapun kriteria pemberian gelar Pahlawan Nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dalam Pasal 25 dan 26 tentang syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum seseorang untuk memperoleh gelar pahlawan, adalah seorang Warga Negara Indonesia, atau mereka yang berjuang di wilayah yang sekarang disebut NKRI. Orang itu juga harus memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.

Orang itu pun harus tidak pernah dipidana penjara. Itu berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. 

Sementara syarat khusus di antaranya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan dalam bidang lain. Ia tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Orang itu telah melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya. Ia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. 

Di antara catatan sejarahnya ia mungkin juga pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat atau meningkatkatkan harkat martabat bangsa. Dia memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi, dan atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional. 

Dalam hal ini, catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut Soeharto bertanggung jawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan HAM berat, serta tindak pidana korupsi. Meski Soeharto tak pernah dipidana bukan karena Soeharto terbukti tidak bersalah. Namun karena kondisi kesehatan yang memburuk. 

Dalam pernyataan resminya, koordinator KontraS, Haris Azhar menegaskan, kenyataan itu tidak bisa menghilangkan fakta adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang Soeharto praktikkan selama 30 tahun. “Sebagaimana disebutkan dalam TAP MPR XI/1998 yang mendorong dilakukannya pengadilan bagi Soeharto dan kroninya,” sebutnya dalam siaran pers.

Dengan itu pun artinya negara belum menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa rezim Soeharto. Konsekuensinya, menurut KontraS, jika pemberian gelar Pahlawan Nasional tetap dilakukan untuk Soeharto, ini dapat memberikan pemutihan secara ilegal terhadap segala bentuk kejahatan negara yang pernah terjadi. 

“Pemberian gelar pahlawan ini adalah tindakan yang tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan,” kata Haris. 

Partai Golkar menghidupkan Soeharto dengan AI atau kecerdasan buatan untuk materi kampanye dalam Pemilu 2024. (Dok. Golkar).

Alur Pengajuan Pahlawan Nasional

Sebelum keputusan Munaslub Golkar kembali menyerukan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, sebenarnya wacana ini sudah muncul beberapa kali. Kali pertama pada 2010 ketika namanya lolos sebagai calon penerima gelar Pahlawan Nasional dari wilayah Jawa Tengah oleh Kementerian Sosial. Kemudian pada 2014, ketika calon presiden Prabowo Subianto berjanji akan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto seandainya terpilih menjadi presiden.

Dari sejak awal pengusulannya hingga kini, pro dan kontra masih menyelimuti. Meski begitu, untuk melabeli seseorang dengan gelar Pahlawan Nasional memiliki beberapa tahapan yang diatur dalam undang-undang. 

Dalam tata cara pengusulan gelar Pahlawan Nasional yang diunggah dalam laman resmi Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) disebutkan, masyarakat memiliki hak dalam pengusulan gelar Pahlawan Nasional. Mereka dapat mengajukan usulan ini kepada bupati atau walikota setempat. Kepala daerah nantinya mengajukan usulan itu kepada gubernur melalui instansi sosial provinsi setempat. 

Instansi sosial provinsi kemudian menyerahkan usulan gelar Pahlawan Nasional kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). Di dalam tim itu usulan akan dikaji dan diteliti. Jika memenuhi syarat, TP2GD meneruskan pengajuan pada menteri sosial. Setelahnya masih ada verifikasi kelengkapan administrasi. Setelah memenuhi syarat, usulan diajukan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) untuk kembali diteliti, dikaji, dan dibahas.

Selanjutnya, jika memenuhi kriteria, menteri sosial akan mengusulkannya kepada presiden. Pengusulan ini diajukan melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Di sini persetujuan akhir pemberian gelar pahlawan akan didapatkan setelah surat keputusan dari menteri sosial diterbitkan.

Soeharto lebih pantas menyandang gelar Bapak Pembangunan. Sementara gelar Pahlawan Nasional, apapun alasannya, Soeharto tak memenuhi syarat untuk menyandangnya.

Proses Pengajuan Berdasarkan Voting

Pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi mantan Presiden Soeharto dalam proses yang panjang itu telah lulus seleksi dari tim pengkaji yang terdiri dari 13 orang. Anggota tim ini berasal dari berbagai bidang, di antaranya dari pemerintah, seperti Pusjarah TNI, Biro Gelar Sekneg, legiun veteran, Perpustakaan Nasional, dan Arsip Nasional. Sisanya adalah sejarawan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) maupun sejarawan universitas. 

“Meski dibentuk oleh Kemensos tim ini cukup independen,” ungkap sejarawan yang tak ingin disebutkan namanya kepada Historia.

Cara kerjanya, mereka akan saling mempresentasikan hasil kajian dan penelitian terkait calon penyandang gelar Pahlawan Nasional. Anggota tim boleh menerima maupun menolak. Kata dia, terkadang terjadi beda pendapat. Seperti kasus pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto. Saat itulah penentuan persetujuan didasarkan atas suara terbanyak. “Nah, Pak Harto ini suara terbanyaknya setuju,” kata dia. 

Akhirnya, hasil keputusan di TP2GP ini tetap dikirim ke Dewan Gelar pada 2011. Setelah sampai Dewan Gelar, menurutnya, tak pernah ada koordinasi dengan pihak TP2GP. “Kadang ketika di tim disetujui [tetapi] di sana ditolak tanpa alasan yang jelas,” katanya. 

Adapun Dewan Gelar adalah tim yang terdiri dari tujuh orang hasil bentukan presiden. Penunjukkan Dewan Gelar diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 

Pada 2010, Dewan Gelar yang menerima pengusulan Soeharto di antaranya Marsekal Djoko Suyanto sebagai ketua dan Haryono Suyono sebagai wakil. Masing-masing pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009–2014) dan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra) Kabinet Reformasi dan Pembangunan era Soeharto tahun 1998. 

Sementara anggotanya adalah T.B. Silalahi, mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan VI (1993–1998). Ada pula Juwono Sudarsono, Menteri Pertahanan era Kabinet Indonesia Bersatu dan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada masa Soeharto tahun 1998. Di antara Dewan Gelar itu juga muncul nama Quraish Shihab, Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, Jimly Asshiddiqie, Staf Ahli Menteri Pendidikan era Soeharto (1993–1998). Edi Sedyawati, Dirjen Kebudayaan (1993–1999) juga menjadi anggota Dewan Gelar kala itu. 

“Nggak ada sejarawan di Dewan Gelar zaman SBY itu. Dewan Gelar itu jadinya menteri, bekas menteri, tentara, nggak ada sejarawan,” tuturnya.

Presiden Soeharto memulai panen perdana padi Supra Insus di Desa Jatimulya, Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. (Bisnis Indonesia, 8 Juli 1987/Perpusnas RI).

Mengenai pengkajian di tahap TP2GP, dia yang kala itu termasuk di dalamnya, mengaku menjadi salah satu yang menolak pengusulan itu. Alasannya, ada hal kontroversial yang menyangkut periode tahun 1965 sampai 1970. “Tapi yang lain kan lihat argumen lain, kalau yang tentara ya biasa lah sudah pasti kan mereka,” lanjutnya. 

Menurutnya, pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebaiknya menunggu satu hingga dua generasi berikutnya. Diharapkan dengan begitu akan ada jarak emosi. Terutama bagi mereka yang merasa sebagai generasi yang dikorbankan secara politik. Setelah generasi itu berlalu, katanya, generasi selanjutnya diyakini akan sudah lebih bisa menerima, lebih terbuka, dan menilai persoalan ini secara lebih adil. “Kami cuma menghindari supaya tidak terjadi Bharatayuddha. Saya aneh kok orang ngotot,” ungkapnya. 

Menurutnya, Golkar sebagai pihak yang kembali memunculkan wacana ini tidak melihat situasi dengan baik. Desakan Golkar saat ini justru semakin memperlihatkan adanya krisis identitas di dalam partai itu. “Dengan harapan warga yang masih mengharapkan Orba itu akan melihat, itu kan memang diakui,” ucapnya. 

Pasalnya, terlepas dari kontroversi yang ada, menurutnya, jasa Soeharto dalam pembangunan memang tak bisa begitu saja dikesampingkan. Pada periode pertama 32 tahun masa pemerintahannya keadaan negara berhasil dipulihkan. Dengan latar belakangnya sebagai petani, Soeharto dinilai mengerti kebutuhan rakyatnya. 

Harga kebutuhan pokok yang murah di era Soeharto, berbanding terbalik dengan masa sekarang. Programnya berhasil mensejahterakan petani, karena Indonesia tak lagi menjadi negara pengimpor beras. Indonesia berubah menjadi negara swasembada beras. “Zaman Pak Harto beras Rp800 sudah paling top. Kita kesalahannya sesuatu yang tidak disenangi dihapus semua, nggak belajar sejarah,” ujarnya. 

Maka, dalam argumentasinya di TP2GP, dia menuturkan, Soeharto lebih pantas jika menyandang gelar Bapak Pembangunan dibanding Pahlawan Nasional. Sementara gelar Pahlawan Nasional, apapun alasannya, Soeharto tak memenuhi syarat untuk menyandangnya karena adanya isu masalah kemanusiaan yang menyelimuti Sang Jenderal Besar TNI itu. Pemerintahannya yang otoriter, di mana saat itu demokrasi ditekan, terlebih anggapan keterlibatannya pada peristiwa pembantaian 1965–1966 menjadi pemberat Soeharto mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.

“Kalau bunuh orang itu nggak bisa, apapun alasannya,” tegas dia. Sementara, hingga kini proses pengajuan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto terus berjalan, meski proses pengajuan usulan itu masih mengendap di Dewan Gelar.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65e1504e1e47ee1be7350409