LOKASINYA agak tersembunyi, menjorok masuk dari gang Sekolah Tangki di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Papan penunjuk arah ke toko pun terlalu kecil untuk dilihat orang. Namun, begitu tiba di tujuan, Anda mungkin akan terkesiap; toko kopi Warung Tinggi ini adalah salah satu produsen kopi tertua di Indonesia.
“Buat yang baru memang agak sulit mencarinya. Rata-rata yang datang ke sini pelanggan-pelanggan lama,” kata Eki, pekerja di Warung Tinggi.
Jangan bayangkan Warung Tinggi seperti kafe modern yang bertebaran di kawasan elite atau mal-mal. Kendati memungkinkan, Rudy Widjaja, sang pemilik, lebih memilih tempatnya dijadikan toko untuk menawarkan produk-produk kopinya. “Di sini memang bukan kafe, lebih fokus berjualan kopi bubuk. Tapi kalau ada yang ingin mencicipi ya bisa kami seduhkan,” kata Ibu Mimi, istri Rudy Widjaja.
LOKASINYA agak tersembunyi, menjorok masuk dari gang Sekolah Tangki di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Papan penunjuk arah ke toko pun terlalu kecil untuk dilihat orang. Namun, begitu tiba di tujuan, Anda mungkin akan terkesiap; toko kopi Warung Tinggi ini adalah salah satu produsen kopi tertua di Indonesia.
“Buat yang baru memang agak sulit mencarinya. Rata-rata yang datang ke sini pelanggan-pelanggan lama,” kata Eki, pekerja di Warung Tinggi.
Jangan bayangkan Warung Tinggi seperti kafe modern yang bertebaran di kawasan elite atau mal-mal. Kendati memungkinkan, Rudy Widjaja, sang pemilik, lebih memilih tempatnya dijadikan toko untuk menawarkan produk-produk kopinya. “Di sini memang bukan kafe, lebih fokus berjualan kopi bubuk. Tapi kalau ada yang ingin mencicipi ya bisa kami seduhkan,” kata Ibu Mimi, istri Rudy Widjaja.
Memasuki ruangan toko, semerbak harum kopi segera menyergap indera penciuman. Di sebuah meja para pekerja sibuk menyortir biji kopi jantan dan betina di atas sebuah tampah besar. Melewati bagian tengah ruangan, beberapa barista(pembuat minuman kopi) meracik, menggiling, dan menimbang kopi. Kaleng-kaleng kopi berisi kopi giling dan biji kopi tersusun rapi.
Rudy Widjaja, berusia 70 tahun, adalah generasi keempat dari trah keluarga Liauw Tek Sun, imigran Hakka asal Guangdong, provinsi yang terletak di selatan China, pendiri toko kopi ini pada 1887. “Tek Sun dari sananya memang saudagar kaya. Makanya ketika datang langsung bisa bangun warung yang lumayan besar saat itu,” ujar Rudy.
Kopi Warung Tinggi tahun 1878. (Dok. Rudy Widjaja).
Harum Warung Tinggi
Tanaman kopi kali pertama didatangkan ke Nusantara dari Malabar, India, oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC) pada 1696. P.J.S. Cramer, kepala bagian budi daya tanaman Departemen Pertanian di Hindia Belanda, mencatat dalam A Review of Literature of Coffee Research in Indonesia bahwa biji kopi itu gagal dibudidayakan akibat gempa dan banjir di Batavia. Budi daya kopi baru berhasil setelah Batavia menerima kiriman biji kopi untuk kali kedua sekira 1700-an. Tak lama berselang, kopi menjadi komoditas ekspor andalan VOC.
Aroma kesuksesan kopi tercium Liauw Tek Sun, pemilik warung makan di Molenvliet Oost, Batavia –kini Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Dia mulai menyajikan kopi bagi para pelanggannya. “Menurut kakek saya, dulu orang sehabis makan senang menghabiskan waktu di warung sambil meminum segelas kopi,” kata Rudy.
Untuk mendapatkan bahan-bahannya, setiap pagi Tek Sun menunggu ibu-ibu yang menyunggi bakul berisi biji kopi. Setelah membelinya, dia mengolah biji kopi itu sebagai minuman siap saji. Warungnya dikenal orang. Penduduk setempat biasa menyebutnya “Warung Tinggi”, karena lokasinya lebih tinggi dari area sekitarnya.
Sejak 1878, Tek Sun memfokuskan usahanya pada jualan kopi. Pelanggannya tak hanya Tionghoa, tapi penduduk bumiputra, Belanda, Arab, dan Jepang. Harum kopinya terus terjaga ketika wafat dan mewariskan bisnis kopinya kepada anak angkatnya, Liauw Tek Siong, pada 1927.
“Sebenarnya Tek Sun punya dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Tapi anak laki-lakinya agak terganggu pikirannya, sedang anak perempuannya dianggap tak akan mampu melanjutkan usaha. Maka dia ambil anak angkat, anak saudaranya, masih bermarga Liauw. Nama aslinya Liauw Sim Yao ketika diangkat jadi Liauw Tek Siong,” kisah Rudy. “Tek Siong itu sebenarnya penjahit bersertifikat. Waktu diangkat anak dia sempat dikirim ke Tiongkok untuk belajar.”
Di tangan Tek Siong bisnis keluarga Tek Sun kian mengilap.
Kopi Warung Tinggi tahun 1938. (Dok. Rudy Widjaja).
Peralihan Generasi
Tek Siong merenovasi warung makan sederhana itu menjadi toko, yang kemudian tak hanya menyediakan kopi siap minum tapi juga menjual kopi bubuk kemasan. Untuk itu, dia mendirikan sebuah pabrik sederhana. Dia juga berinovasi merancang alat penggorengan khusus agar biji kopi bisa matang merata. Untuk mengabadikan jasa para ibu bakul kopi, Tek Siong membuat logo perempuan menyunggi bakul anyaman bambu.
Tek Siong lalu menancapkan merek Tek Sun Ho yang ditulis vertikal dengan huruf Cina di sisi kanan tembok. Baru saat perayaan ulang tahun toko ke-60 pada 1938, sebuah papan nama besar terpampang di atas toko bertuliskan merek itu dalam bahasa Belanda: Tek Sun Ho Eerste Weltevredensche Koffiebranderij. Pada perayaan itu siapa pun yang datang bisa makan dan minum kopi sepuasnya.
“Sejak 1938, ayah saya, Liuaw Thian Djie, secara tidak langsung sebenarnya sudah diberi kepercayaan menjalankan usaha toko,” kata Rudy.
Di masa pendudukan Jepang, karena kondisi keamanan tak stabil, toko sempat tutup. Ayah Rudy sempat membawa keluarga mengungsi ke Mega Mendung, Ciawi, Jawa Barat. “Kita mengungsi hanya sekitar setahun, pada 1943 toko sudah buka kembali,” kata Rudy.
Sebetulnya, Tek Siong dan Thian Djie tak punya modal lagi. Tapi, para pemasok lama, termasuk ibu-ibu bakul kopi, tak keberatan mereka berutang bahan baku. Pelan-pelan bisnis keluarga Liauw berjalan normal kembali.
Selepas Tek Siong tutup usia pada 1948, pengelolaan toko beralih ke tangan Thian Djie. Saat itu Warung Tinggi masih menjual satu jenis kopi, dibungkus dalam kertas cokelat sederhana dan diberi cap. Memasuki 1950-an, Thian Djie mulai menjual kopi racikan dengan mencampurkan beberapa jenis kopi.
Bisnis itu intinya jujur, kerja keras, dan kepercayaan. Waktu saya buka kembali, banyak pelanggan yang sudah menanti.
Pada 1967, karena larangan menggunakan nama Tionghoa, toko pun resmi mengunakan nama “Warung Tinggi”. Nama keluarga Liauw berubah jadi Widjaja. Thian Djie beralih nama menjadi Udjan Widjaja. Perubahan kekuasaan politik tak mengendurkan bisnis kopi ini. Pada 1976, kopi-kopi Warung Tinggi jadi komoditas ekspor.
“Waktu itu kita benar-benar tanpa pesaing. Saya masih ingat tahun 1960–1970-an, pagi sekira pukul 7.00 orang sudah antre di depan toko untuk beli kopi. Padahal toko baru buka pukul 08.00,” kata Rudy. “Begitu pula saat toko ditutup pukul 5 sore. Pukul 6 atau 7 malam masih ada pembeli yang mengetuk pintu belakang.”
Rudy mulai mengelola perusahaan sepeninggal Udjan Widjaja pada 1978. Dia tak sendirian. Tiga saudaranya ikut membantu: Darmawan, Suyanto, dan Yanti. “Kami sebelas bersaudara. Tapi dari sebelas, hanya empat anak yang waktu itu sudah terbiasa menangani kopi,” kata Rudy.
Sebagai anak kedelapan, Rudy bukan yang paling berhak mewarisi usaha keluarga. Namun, ketika pembagian warisan pada pertengahan 1990-an, tak satu pun yang berminat meneruskan bisnis kopi keluarga, kecuali Rudy. Karena rumah di Hayam Wuruk, tempat mula Warung Tinggi, jatuh ke tangan kakak-kakaknya, Rudy pun memindahkan pabrik ke Jalan Daan Mogot. Dia lalu menjadikan rumahnya di Jalan Tangki Sekolah, masih di bilangan Hayam Wuruk, sebagai toko kopi.
Kopi Warung Tinggi tahun 1942. (Dok. Rudy Widjaja).
Selalu Dinanti
Malam, 13 Mei 1998. Mencium gelagat bakal menjalarnya kerusuhan, Rudy Widjaja bersama keluarga merancang jalur pelarian. “Naik ke atap rumah, lalu turun dari tembok belakang, menelusuri sebuah pabrik besi, baru kemudian sampai ke perumahan warga. Warga perumahan sekitar dekat dengan kami,” ujar Rudy.
Tapi Rudy salah perkiraan. Kerusuhan melanda rumah dan pabriknya di Daan Mogot keesokan harinya. “Tanggal 14 Mei, pukul 8 pagi, kita kabur dari rumah. Untungnya sudah latihan terlebih dahulu jadi bisa berjalan lancar. Di kawasan perumahan warga kita sudah ditunggu oleh RT setempat dan seorang ‘jago’ di sana. Merekalah kemudian yang menyelamatkan saya dan keluarga,” kenangnya.
Keesokan harinya, menjelang pukul 03.00, Rudy beserta keluarga bergegas menuju bandara Sukarno-Hatta. Dia sudah merasa tak nyaman dan ingin segera berada di Singapura. Demi keselamatan, selama di perjalanan, Rudy mengenakan peci di kepala, sedang istrinya menggunakan jilbab.
“Pukul 10 pagi kami sampai di Singapura, saya yang waktu itu cuma menggunakan sandal jepit dan menenteng tas berisi surat berharga, segera dikerubungi wartawan,” ujarnya. “Tapi awal 1999, saya sudah balik lagi ke Indonesia. Apa yang saya bisa lakukan di Singapura? Hidup saya ada di Indonesia.”
Begitu balik ke Indonesia, Rudy yang trauma segera memindahkan pabriknya di Daan Mogot ke kawasan Dadap, Tangerang. Showroom di Jalan Sekolah Tangki yang berbentuk ruko pun dia fungsikan sebagai rumah tinggal.
“Dari kejadian-kejadian yang pernah melanda negeri ini, dari G30S hingga Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), peristiwa 98-lah yang pengaruhnya terparah. Rumah saya hancur. Semua dijarah. Bahkan tegel lantai pun dicongkel. Saya benar-benar habis-habisan. Tapi saya tidak dendam, karena itu peristiwanya nasional, bukan saya sendiri yang merasakan,” kata Rudy.
Sama seperti pengalaman ayahnya di zaman Jepang, saat balik ke Tanah Air, Rudy harus membangun kembali usahanya dari bawah. Untunglah salah seorang sudaranya rela membantu. Dia membolehkan Rudy mengambil biji kopi apa saja, sedang pembayaran menjadi urusannya. Mesin-mesin pabrik juga tak dijarah dan tak rusak sehingga langsung bisa digunakan untuk produksi kembali. Perlahan usahanya bangkit.
“Bisnis itu intinya jujur, kerja keras, dan kepercayaan. Waktu saya buka kembali, banyak pelanggan yang sudah menanti,” kata Rudy.
Sadar kini banyak kompetitor, Rudy memodernisasi peralatan dan mesin. Dia juga melakukan inovasi dengan mengembangkan racikan kopi. Kini dia menjual 13 jenis kopi. Khusus jenis excellence, jantan, dan betina, hanya diperuntukkan bagi maniak kopi karena rasanya cukup keras.
Sejak 2004, Warung Tinggi membuka sebuah kantor di Jalan Batu Jajar, Hayam Wuruk. Di kantor itulah para pembeli partai besar, biasanya untuk ekspor, dilayani. “Anak lelaki pertama saya, Ferry, meninggal akibat kecelakaan pada 2002. Sejak lima tahun lalu sebenarnya bisnis sudah saya wariskan kepada anak perempuan saya, Angelica. Saya yakin, dia bisa,” ujarnya.
Keturunan keluarga Widjaja lainnya, Hendra dan Syenny Widjaja, kemudian menggeluti bisnis kopi dengan membuka Bakoel Koffie. Rudy tidak menganggap usaha keponakannya itu sebagai saingan. “Yang paling penting adalah menjaga kualitas kopi kami. Itulah yang menjadi resep kelangsungan hidup kami selama bertahun-tahun,” ujarnya.*