Kantor Lembaga Sensor Film. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
TIGA anggota Badan Sensor Film (BSF) menonton film baru berjudul Perawan Desa pada 1978. Film ini disutradarai Frank Rorimpandey, penulis skenario Putu Wijaya, dan diproduksi Safari Sinar Sakti.
Seperti film lainnya, Perawan Desa harus lolos sensor sebelum diputar di bioskop. Sebagai tanda lolos sensor, Surat Tanda Lulus Sensor harus disertakan bersama roll film yang dikirim ke bioskop.
Perawan Desa dibuat berdasarkan kisah nyata Sumarijem, 17 tahun, di Yogyakarta pada 1970. Dia diperkosa beramai-ramai oleh anak-anak pejabat. Pada akhirnya, anak pejabat terbebas dari tuntutan penjara. Kasus ini dikenal oleh masyarakat Yogyakarta sebagai kasus Sum Kuning. Dalam film, karakter Sumarijem diubah menjadi Sumira, yang dimainkan Yati Surachman.
TIGA anggota Badan Sensor Film (BSF) menonton film baru berjudul Perawan Desa pada 1978. Film ini disutradarai Frank Rorimpandey, penulis skenario Putu Wijaya, dan diproduksi Safari Sinar Sakti.
Seperti film lainnya, Perawan Desa harus lolos sensor sebelum diputar di bioskop. Sebagai tanda lolos sensor, Surat Tanda Lulus Sensor harus disertakan bersama roll film yang dikirim ke bioskop.
Perawan Desa dibuat berdasarkan kisah nyata Sumarijem, 17 tahun, di Yogyakarta pada 1970. Dia diperkosa beramai-ramai oleh anak-anak pejabat. Pada akhirnya, anak pejabat terbebas dari tuntutan penjara. Kasus ini dikenal oleh masyarakat Yogyakarta sebagai kasus Sum Kuning. Dalam film, karakter Sumarijem diubah menjadi Sumira, yang dimainkan Yati Surachman.
Setelah menonton seluruh film, ketiga anggota BSF itu menilai Perawan Desa tidak lolos sensor. Ada dua klausul dalam pedoman film yang dilanggar film ini: mengandung unsur yang menimbulkan ketegangan sosial dan film bertentangan dengan kebijakan pemerintah.
Untuk lebih meyakinkan, film ini ditonton semua anggota BSF. Keputusan lebih lunak diambil: film bisa diedarkan dengan syarat menambahkan adegan penutup sekitar tujuh menit.
Produser film menuruti saran BSF. Dalam adegan tambahan, Sumira menjadi seorang perawat di rumah sakit. Saat sedang bekerja, dia mendapati pelaku pemerkosaannya menjadi korban tabrakan. Saat ditanya apakah dia telah memaafkan mereka, Sumira menjawab, “Mereka telah mendapatkan hukuman yang pantas.”
Menurut Irawan Saptono dkk. dalam Tidak Bebas Berekspresi: Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi, akhir film telah mengubah secara halus kritik sosial yang ingin disampaikan oleh film. Dalam versi awal, Perawan Desa menggambarkan keadilan yang tak berpihak pada orang-orang kecil seperti Sumira. Pelakunya belum ditangkap sementara Sumira sebagai korban justru menghadapi tuduhan menciptakan kabar bohong mengenai pemerkosaan. “Dengan tambahan cerita yang diminta oleh BSF itu, kritik yang hendak disampaikan oleh film itu menjadi kurang menggigit. Persoalan keadilan lantas seolah menjadi persoalan personal,” tulis Irawan.
Ternyata ada kisah lain di balik lolosnya Perawan Desa. Menurut Krishna Sen, profesor Indonesian Studies di University of Western Australia, Perawan Desa bisa beredar karena rumah produksinya dekat dengan Golkar. Hanya di Yogyakarta film ini tidak bisa diputar.
Begitulah peran dari Badan Sensor Film, dia berwenang mengutak-atik film sebelum ditonton masyarakat. “Sensor adalah aspek kontrol paling kentara pemerintah terhadap bentuk dan isi film,” tulis Krishna Sen dalam Sinema Indonesia Membingkai Orde Baru.
Awal-Mula Sensor
Masyarakat Hindia Belanda (kini, Indonesia) mulai bisa menikmati gambar idoep pada 1900. Film pertama yang diputar adalah dokumenter perjalanan Ratu Wilhelmina. Segera bioskop-bioskop bermunculan di Batavia dan kemudian seluruh Hindia.
“Kemunculan film di Hindia Belanda yang memperlihatkan adegan seks dan kekerasan memicu kekhawatiran akan adanya pandangan buruk dari pihak pribumi,” kata Nunus Supardi, penulis Sejarah Sensor Film di Indonesia 1916-2011, kepada Historia.
Maka, didorong pula oleh, meningkatnya perkembangan bioskop, pemerintah mengeluarkan Bioscoop Ordonantie pada 18 Maret 1916 dan dimasukkan dalam dua Staatblad (Lembaran Negara). Staatblad No. 276 mengatur pengawasan pertunjukan film di bioskop. Sementara Staatblad No. 277 berisi ketetapan tentang Pengawasan Pertunjukan Film di empat kota: Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan.
“Kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan gangguan umum, kesusilaan umum dan ketentuan umum tidaklah ada. Namun, diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan pemerintah daerah empat kota tersebut,” tulis M. Syarief Arief dalam Politik Film Hindia Belanda.
Karena dianggap tak optimal, pemerintah berkali-kali mengubah ordonansi perfilman. Perubahan juga dilakukan karena adanya protes terutama dari pengusaha bioskop terhadap kebijakan film. “Namun, pembaharuan tersebut tetap belum mencantumkan dengan rinci batasan bagi film yang diizinkan atau ditolak,” tulis Lembaga Sensor Film dalam lamannya.
Ordonansi film tahun 1940 menjadi yang terakhir. Dalam ordonansi tersebut, film tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, kasar atau memiliki pengaruh buruk. Semua film wajib disensor terlebih dahulu sebelum diputar di bioskop (untuk umum).
Di masa pendudukan Jepang, semua ordonansi masa kolonial dihapuskan. Penguasa militer menyerahkan persoalan film kepada Badan Propaganda atau Sendenbu.
Selepas Indonesia merdeka, Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan tentang film, yang membentuk sebuah badan pemeriksa film untuk mengawasi pembuatan dan peredaran film. Panitia Pengawas Film (PPF) dibentuk pada 10 September 1946, yang dipimpin Ali Sastroamidjojo. Namun, karena tengah berperang melawan Belanda, PPF tidak berjalan dengan baik. Sementara itu Belanda menghidupkan kembali Komisi Sensor Film di daerah-daerah yang dikuasainya.
Lembaga sensor film Indonesia berjalan baik setelah pengakuan kedaulatan. Ketentuan film diperbaharui melalui surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Bahder Djohan tahun 1952. Selain yang telah disebutkan dalam ordonansi film tahun 1940, film tidak boleh bersifat menganjurkan perang, mendatangkan pengaruh buruk bagi kesusilaan dan nilai prajurit, melanggar codex perwira (asas kesatriaan), memperlihatkan usaha untuk merobohkan pemerintah, memperlihatkan suatu tujuan dan maksud baik maupun buruk dengan kekerasan dan menggunakan senjata secara berlebihan dan berulang-ulang.
Salah satu film yang terkena gunting sensor adalah Antara Bumi dan Langit karya sutradara Huyung. Naskah skenarionya dibikin sastrawan Armijn Pane. Dalam film itu terdapat adegan ciuman –dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah film Indonesia. Masalah muncul ketika adegan itu muncul di suratkabar. Kontroversi pun merebak. Film ini pun tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah revisi dan perubahan judul jadi Frieda. Revisi ini membuat Armijn Pane menolak pencantuman namanya.
Saat itu yang menjabat ketua PPF adalah Maria Ullfah, yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah Antara Bumi dan Langit, tak ada lagi film yang kena gunting sensor. Sesuai suasana zaman, film-film dari Barat, terutama Amerika Serikat, jadi sasaran. Setelah konsep Manifesto Politik (Manipol) dicetuskan oleh Soekarno pada 1959, PPF kian gencar menolak film yang dianggap memuat faham imperalis dan kontrarevolusi. Di masa ini kelompok komunis dan Sukarnois menguasai lembaga sensor. Utami Suryadharma menjabat ketua PPF dan juga Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIS).
Salah satu film nasional yang tersangkut masalah adalah Pagar Kawat Berduri (1961) karya Asrul Sani. Film ini menampilkan karakter Koenen, perwira Belanda pada masa revolusi, yang memiliki sifat humanis. Suratkabar Bintang Timur menuding Asrul Sani mengebiri partiotisme dan heroisme pejuang-pejuang revolusi. Sekalipun Presiden Sukarno menonton dan mengizinkan film ini beredar, tetap saja film ini tidak bisa beredar di masyarakat.
Setahun kemudian, film Anak Perawan di Sarang Penyamun karya sutradara Usmar Ismail kena giliran. Film ini dilarang karena diangkat dari novel Sutan Takdir Alisjahbana, anggota PSI, partai yang sudah dibubarkan Presiden Sukarno karena keterlibatan dalam PRRI.
Usmar Ismail pun buka suara. Dia menolak keberadaan lembaga sensor. Baginya, lembaga sensor bertentangan dengan demokrasi. Sensor tidak bisa dilakukan pada nilai-nilai seni. “Orang yang paham dan menghargai ciptaan-ciptaan kesenian dapat merasakan bagaimana pedih hati seorang pencipta melihat hasil kerjanya harus dipotong-potong. Betapa pahitnya hati Einstein ketika melihat film Tujuh Hari Yang Mengguncangkan Dunia habis dipotong-potong di Jerman!” tulis Usmar Ismail, “Masalah Sensor di Indonesia”, termuat di Usmar Ismail Mengupas Film.
Pada 1964, berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1964 yang antara lain menegaskan bahwa “film bukanlah semata-mata barang dagangan, melainkan alat penerangan”, urusan film dialihkan ke Kementerian Penerangan. Menteri penerangan kemudian membuat surat keputusan pada Mei 1965 yang mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu lembaga bernama Badan Sensor Film (BSF). Adapun fungsi dan tugas BSF tetap menitik beratkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi dan fungsi film dalam turut memantapkan program nation and character building.
Atas Nama Ketertiban
Di masa awal kekuasaan Soeharto, elemen-elemen kiri dalam lembaga sensor dibersihkan. Awalnya, anggota BSF adalah perwakilan dari beberapa organisasi, termasuk partai politilk. Namun, seiring berkurangnya pengaruh partai politik, pada kepengurusan BSF tahun 1971-1972, partai politik dihilangkan dalam struktur BSF yang diketuai oleh Martono. Pada masa itu, BSF diisi seniman dan intelektual terkemuka seperti Arif Budiman dan Gunawan Mohammad.
“Jika dilihat sekarang bisa dikatakan sebagai dewan paling liberal dan terbuka sejak 1965,” tulis Krishna Sen.
Pada 1973, BSF memiliki dua puluh anggota yang terdiri dari perwakilan dari departemen-departemen pemerintah dan nonpemerintah. Ketika Ali Murtopo menjabat menteri penerangan, jumlah anggota ditambah menjadi 37 orang, termasuk perwakilan dari Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin), Kejaksaan Agung, dan kepolisian.
Film disensor oleh panitia kecil berjumlah tiga orang anggota. Jika film ditolak dapat meminta keputusan dari dewan pleno yang dihadiri sebagian atau seluruh anggota, termasuk ketua.
Sebagai pegangan, pada 1977, menteri penerangan mengeluarkan pedoman sensor. Pemerintah memberi batasan dalam agama, kebudayaan, kesusilaan, sosial politik, dan keamanan. Pemerintah juga melarang film yang dapat merusak citra negara atau memuat ajaran komunisme. Film Max Havelaar (1977) terkena imbasnya karena dianggap memuat ajaran komunisme dan imperialisme. Film ini baru lulus sensor tahun 1987 setelah dipotong sana-sini.
Lembaga sensor merepersentasikan gambaran dari corak penguasa. Menurut Nunus, tidak mudah untuk meloloskan film yang mengkritik penguasa. “Inilah gambaran sejarah kita. Sikap politik mereka seperti itu. Kita cuma telaah, politik kebudayaan waktu itu represif,” kata Nunus yang pernah menjadi anggota dan wakil ketua Lembaga Sensor Film dari 2005 sampai 2015.
Sebelum BSF melakukan tugas penyensoran, draft film yang mencakup judul, tema, isi, hingga adegan harus diserahkan kepada Direktorat Film untuk dinilai. Setelah mendapat Surat Izin Produksi Film, produksi film bisa diteruskan. Setelah jadi, film disensor oleh BSF.
Sejumlah film merasakan tajamnya gunting BSF. Yang Muda Yang Bercinta (1977) karya Sjuman Djaja dilarang beredar karena dianggap mengkritik pemerintah –baru pada masa Reformasi ia bisa diputar di bioskop-bioskop. Setahun kemudian, selain Perawan Desa, film Bung Kecil harus mengalami proses panjang sebelum akhirnya lulus sensor tahun 1983. Film ini berkisah tentang seseorang yang menentang sifat feodal ayahnya.
Pada masa ini muncul upaya dari kelompok Islam untuk mengesampingkan lembaga sensor negara. Film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang sudah lolos sensor menuai protes dari kelompok Islam karena dianggap porno. Karena kontroversi itu, film ini ditarik dari bioskop bioskop. Keberadaan “lembaga sensor jalanan” terus bertahan dan menguat pada masa Reformasi.
“Protes kelompok Muslim yang didorong oleh film-film yang dianggap tidak pantas bukanlah sesuatu yang baru. Di bawah kekuasaan Orde Baru maupun selama Reformasi, film dilarang, ditarik dari peredaran, tidak ditayangkan, atau bahkan tidak diproduksi karena mengantisipasi protes Muslim,” tulis Katinka van Heeren dalam Contemporary Indonesian Film. Yang membedakannya, lanjut van Heeren, selama Reformasi protes itu disuarakan lebih keras.
Menyusul keluarnya Undang-undang No. 8/1992 tentang Perfilman, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/1994 tentang Lembaga Sensor Film. BSF berubah nama jadi Lembaga Sensor Film (LSF). LSF beranggotakan 45 orang yang terdiri dari perwakilan pemerintah, militer, produser film hingga organisasi keagamaan.
Di masa ini, kelompok Islam mulai muncul sebagai kekuatan penekan. Dan film menjadi salah satu perhatian mereka. Film True Lies (1994) harus ditarik dari peredaran karena dianggap menghina umat Islam. Film Schindler’s List (1993) bahkan tak sempat tayang di Indonesia karena keburu muncul kontroversi karena dituding berisi propaganda Yahudi.
Keberadaan lembaga sensor mulai digugat setelah Orde Baru ambruk. Terlebih setelah Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan. LSF, yang kembali ditempatkan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akhirnya tetap dipertahankan dengan alasan masih dibutuhkan untuk mengontrol isi film, terutama yang menyangkut nilai dan norma masyarakat dan agama.
Ketika gunting LSF tak setajam dulu, ada fenomena munculnya “lembaga sensor jalanan”. Sejumlah film yang lolos sensor akhirnya ditarik dari peredaran karena protes dari masyarakat. Salah satunya Buruan Cium Gue (2004) karya Findo Purwono HW. Bermula dari komentar Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym bahwa judul film itu sebagai “ajakan berzinah”, produser film menarik film itu. Setelah dilakukan beberapa revisi, setahun kemudian film ini diedarkan kembali dengan judul Satu Kecupan.
Kendati demikian, beberapa film yang bersinggungan dengan isu politik masih dilarang tayang atau tak lolos sensor LSF seperti Balibo (2009) karya Robert Connolly tentang jurnalis Australia yang terbunuh selama aneksasi Indonesia atas Timor Timur tahun 1975 dan Senyap (2014) karya Joshua Oppenheimer tentang kesaksian korban 1965. Karya dalam negeri yang tak lolos sensor antara lain Dendam Pocong (2006) karya Monty Tiwa, yang terkesan horor padahal berlatar kerusahan etnis Tionghoa 1998, dan Penjara dan Nirwana (2010) karya Daniel Rudi Haryanto tentang bom Bali.
LSF kini berusia seabad. Kepada media, terkait peringatan seabad LSF, Ketua LSF Ahmad Yani Basuki mengatakan LSF bukan lagi “jagal film”. Mari kita tunggu pembuktiannya.*