Kudeta di Bogor

Sebuah pemerintahan baru terbentuk. Hanya bertahan selama dua hari.

OLEH:
Tenu Permana
.
Kudeta di BogorKudeta di Bogor
cover caption
Parada tentara KNIL di depan Istana Bogor tahun 1946. Pemimpin kudeta di Bogor adalah Wargo, bekas tentara KNIL. (Nationaal Archief).

23 DESEMBER, sebuah kudeta terjadi di Bogor. Pejabat pemerintah dan militer setempat disandera. Sebuah pemerintahan baru dibentuk dan nyaris diakui pemerintah pusat. Namun, kudeta atau daulat itu hanya bertahan dua hari.

Aksi itu dipimpin oleh Ki Narija. Tak banyak catatan mengenai dirinya. Menurut Edi Sudrajat dalam Bogor Masa Revolusi 1945–1950 Jilid I, sejak lama Ki Narija terkenal sebagai kiai “ahli hikmah”, yang biasa mengajarkan doa-doa tertentu (amalan-amalan) dan latihan batin agar orang berani berkelahi dan kebal bacok.

Ki Narija juga dikenal sebagai “bapak rakyat” yang memiliki pengaruh di Dramaga dan Ciomas, dua daerah yang masuk wilayah Keresidenan Bogor. Pada awal kemerdekaan, dia mendirikan Laskar Hitam yang beranggotakan lebih dari 5.000 orang. 

23 DESEMBER, sebuah kudeta terjadi di Bogor. Pejabat pemerintah dan militer setempat disandera. Sebuah pemerintahan baru dibentuk dan nyaris diakui pemerintah pusat. Namun, kudeta atau daulat itu hanya bertahan dua hari.

Aksi itu dipimpin oleh Ki Narija. Tak banyak catatan mengenai dirinya. Menurut Edi Sudrajat dalam Bogor Masa Revolusi 1945–1950 Jilid I, sejak lama Ki Narija terkenal sebagai kiai “ahli hikmah”, yang biasa mengajarkan doa-doa tertentu (amalan-amalan) dan latihan batin agar orang berani berkelahi dan kebal bacok.

Ki Narija juga dikenal sebagai “bapak rakyat” yang memiliki pengaruh di Dramaga dan Ciomas, dua daerah yang masuk wilayah Keresidenan Bogor. Pada awal kemerdekaan, dia mendirikan Laskar Hitam yang beranggotakan lebih dari 5.000 orang. 

Aksi daulat didahului oleh sebuah rapat umum di Desa Petir, Dramaga, pada 27 Oktober 1945. Ki Narija tampil sebagai pembicara utama. Rapat membicarakan upaya menjaga keamanan dan kemakmuran di wilayah bekas tanah partikelir tersebut. Untuk maksud itulah dibentuk Dewan Rakyat yang diketuai oleh Ahmad. Tujuh desa di Dramaga mengirimkan wakil sebagai anggota Dewan.

Dewan Rakyat dan Ki Narija menganggap Residen Bogor Barnas Wiratanoeningrat tidak revolusioner dan harus diturunkan. Dan mereka mendapatkan momentum. 

Suasana Bogor tahun 1947. (Nationaal Archief).

Istana Dikosongkan

Pasukan Sekutu sudah memasuki kota Bogor. Karena mendapat perlawanan, Sekutu memberikan ultimatum; termasuk untuk mengosongkan Istana Bogor. Ultimatum ini semula ditolak oleh aparat pemerintah dan keamanan setempat tapi akhirnya dituruti. 

Menurut Riani Anggraeni dalam “Bogor Pada Masa Bersiap 1945–1946”, skripsi di Universitas Indonesia tahun 2010, hal itu tak lepas dari perintah Sutan Sjahrir, ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), agar bekerja sama dengan Sekutu.

Maka para pembesar, termasuk Residen Barnas dan putrinya serta Komandan Resimen II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat Letkol Husein Sastranegara dan istrinya, diungsikan ke Dramaga. 

“Di tempat ini ditampung lebih-kurang tigaratus limapuluh empat orang keluarga dengan dikawal oleh satu regu polisi,” catat Suhatno dalam biografi Jenderal Mayor R.H. Abdul Kadir: Karya dan Pengabdiannya

Di pusat kota, para pejuang bersiap menghadapi Inggris dengan cara evakuasi dan bumi hangus. Menurut rencana, bumi hangus dimulai dari Istana Bogor. Pelaksananya adalah pasukan Penyelidik Bangsa (PB) yang dipimpin oleh A.K. Jusuf.

Pada waktu yang ditentukan, Residen Barnas bersama sekretarisnya menuju Istana Bogor. Mereka menemui A.K. Jusuf agar gerakan dimulai. “Akan tetapi ternyata pasukan PB sudah meninggalkan Istana Bogor yang semula menjadi markasnya,” catat Suhatno.

Kendati demikian, pertempuran demi pertempuran terjadi antara Sekutu dan para pejuang. Situasi ini dimanfaatkan oleh Ki Narija untuk melancarkan kudeta. Yang memimpin kudeta adalah Wargo. Menurut Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda, Wargo adalah bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), “yang dalam masa Jepang sudah di bawah pengawasan polisi.”

Rencana kudeta sebenarnya sudah terendus oleh Komisaris Polisi R. Enoch Danubrata, Kepala Polisi Keresidenan Bogor. Enoch tidak turut mengungsi tapi tetap di markasnya di Cibalagung. Dia kebetulan berada di Dramaga. Saat itulah dia mendapat informasi banyak orang berbaju hitam di kampung-kampung sekitar Dramaga. 

Enoch berunding dengan Residen Barnas dan Komandan TKR Husein Sastranegara. “Pasukan-pasukan TKR didatangkan untuk memperkuat polisi dan keadaan menjadi tenteram kembali, sehingga kemudian Letnan Kolonel Husein Sastranegara mengirim mereka kembali,” tulis Nasution. 

Tapi ketenteraman di Dramaga itu hanya sebentar.

Masyarakat Bogor gotong royong memperbaiki jalan pada masa perang kemerdekaan. (Repro Propinsi Djawa Barat).

Pemerintahan Baru

Pada 23 Desember 1945, Wargo menemui Residen Barnas dan Komisaris Polisi Enoch. Dia membawa resolusi yang menuntut agar Residen menyerahkan kekuasaannya kepada Direktorium, yakni satu pemerintahan baru yang dipimpin Ki Narija dan dibantu Wargo, S. Tjipto, M. Ali, Soekandar, sedangkan Ismail Ning sebagai penasihat. Residen menolak dengan alasan setiap pejabat hanya dapat diberhentikan oleh pemerintah yang sah. 

Wargo mendesak dengan dalih atas nama rakyat. Enoch balik bertanya, rakyat yang mana? Wargo tak menjawab dan memilih pergi. Melihat gelagat tidak baik, Enoch menyarankan Residen untuk menyelamatkan diri dengan kawalan pasukan polisi.

“Residen Barnas menolak usul Komisaris Polisi Enoch,” catat Suhatno.

Wargo kemudian kembali dengan membawa pasukan dan mengepung Dramaga. Dia mengumumkan semua pembesar ditahan dan penggantian pemerintahan oleh Direktorium dengan Ki Narija sebagai residen yang baru. Mayor Effendi ditunjuk sebagai Komandan Resimen. Komisaris Enoch diangkat sepihak sebagai Kepala Polisi Direktorium Bogor.

Residen Barnas mengikuti kemauan Wargo; mencoba menenangkan keadaan agar tak terjadi pertumpahan darah. Enoch berpura-pura menerima pengangkatan tersebut dengan tujuan dapat berunding dan mengakhiri kudeta –tapi upayanya gagal.

Berita kudeta sampai ke telinga Komandan Batalyon II Resimen Bogor Mayor M. Toha. Dia mendatangi Ki Narija, yang dikenalnya sejak masa pendudukan Jepang. Karena bisa meyakinkan bahwa dia mendukung Narija sebagai residen, Toha diangkat sebagai Kepala Keamanan. Dia bahkan diperintahkan untuk menghabisi Residen Barnas dan para pembesar lainnya di Gunung Kapur di wilayah Ciampea.

Toha berpura-pura melaksanakan perintah itu. Dia mengangkut para tawanan dengan truk tapi membawa mereka ke markas TKR di Bondongan, Bogor. Dia juga menghubungi pasukan di Bogor untuk menangkap Ki Narija dkk.

Pemeriksaan kesehatan tentara di Bogor pada masa perang kemerdekaan. (Repro Propinsi Djawa Barat).

Operasi Pembersihan

Di hari kedua kudeta, Wargo memerintahkan Enoch untuk melaporkan persediaan senjata dan menyerahkannya kepada Direktorium. 

Enoch minta izin untuk menelpon markas. Kendati mendapat kawalan ketika menelpon, dia sempat menyampaikan pesan untuk membawa “telur”, kata sandi untuk granat tangan. 

Pada pukul 17.00, dua inspektur polisi tiba. Bersamaan dengan itu terdengar kabar pertempuran antara para pejuang dan Sekutu di kampung Sindang Barang, tak jauh dari markas Direktorium. Memanfaatkan situasi, Enoch menakut-nakuti Wargo dkk. dan menyarankan mereka untuk menyelamatkan diri. Saran itu diikuti.

“Mereka mengungsi ke arah Cikampak (daerah kabupaten Bogor sebelah barat, red.),” tulis Edi.

Enoch bersama dua inspektur polisi tancap gas kembali ke markas. Mereka melaporkan aksi daulat di Bogor ke pemerintah pusat, yang tak tahu apa sesungguhnya terjadi. Tanpa informasi dari Enoch, mungkin pemerintah pusat memberikan pengakuan kepada Direktorium.

Mendapat laporan itu, turun perintah dari pemerintah pusat untuk operasi penumpasan. Semua pasukan di Bogor mengkonsolidasikan kekuatan. 

Pada 25 Desember 1945, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II, Batalyon III, Polisi Istimewa, Laskar Hizbullah, Laskar Bogor, Pasukan Jabang Tutuka, dan Laskar Rakyat Leuwiliang mengepung dan menyergap Ki Narija dkk. di Dramaga. 

Praktis, Direktorium atau pemerintahan baru di Bogor hanya bertahan dua hari.

Menurut Riani Anggraeni, Ki Narija yang disebut sebagai pemimpin kudeta hanya dimanfaatkan kewibawaannya. Sebenarnya Wargo dkk. yang menyusun dan melakukan aksi. Selain itu, aksi Direktorium tidak lepas dari dukungan Tje Mamat.

Mohamad Mansur atau dikenal dengan Tje Mamat, yang pernah jadi sekretaris Patai Komunis Indonesia cabang Anyer dan dekat dengan Tan Malaka, melancarkan aksi daulat dan kekerasan di beberapa wilayah di Banten. Ketika TKR melakukan operasi penumpasan, dia lolos dan bergabung dengan Ki Narija di Bogor. 

Saat penyergapan pasukan gabungan terhadap Direktorium Ki Narija, Tje Mamat kembali bisa meloloskan diri. Sampai akhirnya, berapa minggu kemudian, Januari 1946, Tje Mamat dan laskarnya disergap oleh Laskar Rakyat Leuwiliang. Mereka lantas dikirim ke markas Komandemen I Jawa Barat, yang berkedudukan di Purwakarta.

Setelah aksi kudeta digagalkan, Residen Barnas kembali memimpin pemerintahan di Bogor.*

Penulis adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor. Sedang aktif bertani di Work Ti Farm.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65866eab4a6901198af892f4
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID