Kue Bika Bernama Majelis Ulama

Pada awal pembentukan MUI sempat menimbulkan kontroversi. Ucapan selamat justru datang saat Hamka mengundurkan diri sebagai ketua MUI.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Kue Bika Bernama Majelis UlamaKue Bika Bernama Majelis Ulama
cover caption
Musyarawah Nasional II MUI yang diketuai Buya Hamka dan dihadiri Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara di Sahid Hotel Jakarta, 26 Mei 1980. (Perpusnas RI).

TELEPON di rumah Hamka berdering. Hamka beranjak menyongsong telepon, meninggalkan tayangan tinju Muhammad Ali vs Joe Bugner di televisi pada akhir Juni 1975. 

Si penelepon orang Departemen Agama. Dia menyampaikan pesan bahwa Menteri Agama Mukti Ali ingin segera bertemu Hamka. Pokok bahasannya seputar rencana pemerintah mendirikan majelis ulama dan menjadikan Hamka sebagai ketuanya. Hamka berjanji pertemuan bakal terlaksana dalam waktu dekat. Percakapan telepon berakhir. 

Gagasan pembentukan majelis ulama muncul dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970. Gagasan itu berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah. Mereka meminta partisipasi ulama dalam pembangunan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama. 

TELEPON di rumah Hamka berdering. Hamka beranjak menyongsong telepon, meninggalkan tayangan tinju Muhammad Ali vs Joe Bugner di televisi pada akhir Juni 1975. 

Si penelepon orang Departemen Agama. Dia menyampaikan pesan bahwa Menteri Agama Mukti Ali ingin segera bertemu Hamka. Pokok bahasannya seputar rencana pemerintah mendirikan majelis ulama dan menjadikan Hamka sebagai ketuanya. Hamka berjanji pertemuan bakal terlaksana dalam waktu dekat. Percakapan telepon berakhir. 

Gagasan pembentukan majelis ulama muncul dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970. Gagasan itu berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah. Mereka meminta partisipasi ulama dalam pembangunan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama. 

Menteri Agama KH Dachlan menyokong gagasan tersebut. Saat membuka musyawarah, Dachlan mengemukakan alasan mendasar pembentukan majelis ulama. “Untuk memperlancar pembangunan dalam segala bidang, dalam hal ini bidang pemersatuan dan peningkatan partisipasi umat Islam pada umumnya dan alim ulama pada khususnya terhadap usaha-usaha pemerintah di bidang pembangunan…,” dikutip Panji Masyarakat, 15 April 1975.

Sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo, tak lantas menyetujui pembentukan majelis ulama. Mereka berpendapat majelis ulama bakal lebih menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. 

Berbeda dengan para rekannya, Hamka memandang penting pembentukan majelis ulama. Sebab, majelis ulama justru bisa berfungsi sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Selain itu, majelis ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. 

Hamka mengajukan dua syarat jika pemerintah hendak meminangnya sebagai ketua majelis ulama.

“Mereka (ulama, red.) berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu dia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya diapun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu diapun akan dibenci oleh rakyat,” tulis Hamka dalam Panji Masyarakat, 1 Juli 1974. 

Pemerintah bersedia mengakomodasi syarat Hamka. Mukti Ali dan Hamka lalu bertemu beberapa kali selama Juli 1975. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun terbentuk pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Dan Hamka menjabat sebagai ketuanya sejak 27 Juli 1975.

Pada hari itu juga, Hamka berpidato kali pertama sebagai ketua MUI. Hamka menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat. “…Laksana kue bika,” kata Hamka, “Api membakar kue dari atas dan bawah. Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam.” Hamka berusaha menjinakkan dua api itu melalui berbagai cara.

Presiden Soeharto menerima Ketua MUI Buya Hamka di Bina Graha, Jakarta, 22 Mei 1980. (Perpusnas RI).

Keberatan pada Kristenisasi

Tugas penting pertama Hamka datang pada 17 September 1975. Presiden Soeharto mengundang MUI hadir di Istana Negara untuk berbincang mengenai kerukunan antarumat beragama. Di hadapan Soeharto, Hamka mengutarakan kekhawatiran umat Islam terhadap Kristenisasi.

Mengutip laporan dari Bukittinggi tentang pendirian rumah sakit baptis di tengah perkampungan umat Islam, Hamka menyatakan umat Islam telah jadi target Kristenisasi. Hamka berkeberatan dengan cara orang Kristen menyebarkan agama. “Orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain,” kata Buya Hamka, dikutip Hasan Basri dalam “Catatan Kenangan Untuk Buya” termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka

Hamka melihat kehadiran rumah sakit berpotensi menukar iman orang Minangkabau melalui pengobatan. Jika tak ada penyelesaian soal keberadaan rumah sakit, kerukunan antarumat beragama bisa terganggu. Maka, Hamka meminta pemerintah membeli rumah sakit itu. ”Presiden setuju dengan usul pemecahan yang masuk akal itu,” kata Kafrawi, sekjen MUI saat itu, dikutip Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka

Soeharto juga sepaham dengan Hamka terkait etika penyebaran agama. Soeharto menerangkan bahwa orang beragama tak boleh jadi sasaran penyebaran agama. Hamka gembira mendengar pernyataan Soeharto. Selepas bertemu Soeharto, Hamka pergi ke Makkah sore hari. Hamka membawa kemenangan. Aspirasi umat Islam sejalan dengan sikap pemerintah.

Sawito Kartowibowo (tengah berkaca mata).

Terpeleset Dokumen Sawito

Masa harmonis MUI dengan pemerintah berjalan hampir setahun. Lalu muncul ketegangan pertama MUI dengan pemerintah. Pangkalnya berasal dari Sawito Kartowibowo, seorang penganut kebatinan. Dia datang ke rumah Hamka membawa dokumen berjudul “Menuju Keselamatan” pada 6 Agustus 1976. 

Hamka membaca sekilas. Isinya soal kemerosotan budi pekerti bangsa. Sawito meminta Hamka menandatangani dokumen. Dalam dokumen tertera tandatangan Bung Hatta, TB Simatupang, dan Kardinal Darmojuwono. Tanpa berpikir panjang, Hamka ikut menandatangani. 

Sebulan kemudian, dokumen itu tersebar luas. Masyarakat dan pemerintah sama-sama membaca. Mereka tersentak. Dokumen memuat pernyataan dari para penandatangan agar pemerintah menyerahkan mandatnya kepada Bung Hatta. Polisi lekas menangkap Sawito dan menginterogasi para penandatangan. Termasuk Hamka. 

Selama interogasi, pemerintah melarang Hamka berceramah di RRI dan TVRI. Sedangkan MUI mendapat sorotan dari masyarakat. Sebab, Hamka menandatangani dokumen atas nama MUI. “Sehubungan dengan itu, Buya Hamka telah mengirim surat permintaan maaf kepada presiden,” tulis Deliar Noer dalam Administrasi Islam di Indonesia

Hamka mengaku menandatangani tanpa membaca seluruh isi dokumen. Pemerintah menerima dan memahami penjelasan Hamka. Begitu pula MUI. Melalui pernyataan resmi MUI pada 7 Oktober 1976, MUI percaya penjelasan Hamka. 

Sebaliknya, MUI tak membenarkan tindakan Sawito. Kepada pemerintah, MUI menganjurkan pencabutan larangan Hamka berceramah. Menilai masalah Hamka sudah jernih, pemerintah memenuhi anjuran MUI. Hamka bisa berceramah lagi, baik sebagai pribadi maupun ketua MUI.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef.

Bersimpangan Jalan

Lepas dari kasus dokumen Sawito, Hamka berhadapan dengan situasi pelik. Umat Islam meminta MUI bersikap menghadapi Pemilu 1977. Paling tidak, MUI berkenan memberi rekomendasi umat Islam untuk memilih partai tertentu. Sementara pemerintah berharap MUI tak aktif berpolitik. 

Hamka bersikap jelas. MUI absen dari politik praktis. Apalagi sampai mengeluarkan fatwa politik. Hamka menegaskan MUI hanya menyarankan peserta pemilu mengendalikan diri. Pengurus MUI boleh berpolitik sebagai pribadi. Tanpa memakai nama organisasi. 

Kepada pemerintah, Hamka berseru agar menegakkan keadilan selama pemilu. Untuk umat Islam, Hamka berpesan “menjaga dan memelihara isi pengajian dan ceramah yang tidak merusak suasana pemilu,” tulis Buletin Majelis Ulama, Maret 1977. Pemilu pun terlaksana tanpa keterlibatan MUI. Golkar keluar sebagai pemenang. Soeharto terpilih lagi sebagai presiden.

Bersama MPR, Soeharto merancang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) baru. Salah satu rencananya memasukkan aliran kepercayaan atau kebatinan ke GBHN. Hamka menyatakan keberatannya secara terbuka. Bahkan, Hamka mengirim surat ke Soeharto. KH Hasan Basri, rekannya di MUI, seiya seperkataan dengan Hamka.

“Kalau aliran kepercayaan dimasukkan dalam GBHN dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila, kami menilai aliran kepercayaan menjadi semacam agama baru,” kata KH Hasan Basri, dikutip Panji Masyarakat, 1 Desember 1977. Pemerintah mengabaikan keberatan MUI. Aliran kepercayaan akhirnya masuk GBHN pada 1978. 

MUI dan pemerintah kembali berbeda pandangan pada awal 1979. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mencabut libur puasa Ramadan sekolah negeri. Dia melakukannya tanpa berkonsultasi dengan MUI. Hamka pun menemui Daoed pada 29 Maret 1979. Hamka menyampaikan keberatan ormas dan umat Islam terhadap kebijakan Daoed. 

Daoed enggan menganulir kebijakannya. Sekalipun Hamka berargumen bahwa libur puasa sudah mentradisi sejak zaman Belanda. Hamka menemui Soeharto. Tapi Soeharto ternyata berpihak pada Daoed. Hamka mulai kecewa. Puncak kekecewaan Hamka meledak pada 1981. 

Bermaksud menjaga akidah umat Islam, MUI mengeluarkan fatwa larangan umat Islam menghadiri perayaan Natal. “Dalil-dalil yang diajukan fatwa itu sangat terperinci… mengutip serangkaian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis… dengan beberapa dalil berdasarkan akal pikiran,” tulis Mohamad Atho’ Mudzhar dalam Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Pemerintah menolak mentah-mentah fatwa itu. Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara marah-marah. Dia meminta Hamka membatalkan fatwa itu atau dirinya bakal mundur sebagai menteri agama. Hamka menjawab, “…Bukan beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai ketua MUI.” Hamka lalu mundur dari ketua MUI pada 18 Mei 1981. 

Rekan-rekan Hamka menyambut gembira sikap Hamka. “Waktu saya diangkat dahulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram surat-surat mengucapkan selamat,” kata Hamka. Maka dua kobar api tak lagi membakar Hamka.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65dd91e105df2f10b63c7fba