Mutasem Abuzahra bersama istrinya, Ihsan Idrees, sama-sama mahasiswa asal Palestina yang kuliah S3 di Universitas Airlangga, Surabaya. (Randy Wirayudha/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
OPERASI militer yang dilancarkan Israel di wilayah Gaza membuat para mahasiswa Palestina di Indonesia cemas. Mereka segera mencari informasi mengenai nasib keluarga, kerabat, dan teman. Terlebih, bukan hanya di Gaza, kekerasan terjadi di Hebron, sebuah kota di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel.
“(Orangtua) di Tepi Barat Alhamdulillah masih bisa kontak,” ujar Mutasem Abuzahra, 33 tahun, mahasiswa Palestina yang sedang menempuh pendidikan doktoral (S3) di Program Studi (Prodi) Sains Veteriner Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur.
Tapi Mutasem tak bisa mengontak kerabat dan sejawat di Gaza karena kendala komunikasi. “Banyak teman, berapa orang yang sudah mati, ada yang bisa dipindah ke rumahsakit di West Bank (Tepi Barat),” raut muka Mutasem berubah pilu.
Operasi militer Israel dilancarkan menyusul serangan kelompok militan Hamas di sepanjang perbatasan Gaza-Israel pada awal Oktober 2023. Ribuan orang tewas dan luka-luka. Banyak bangunan, termasuk sekolah, hancur.
OPERASI militer yang dilancarkan Israel di wilayah Gaza membuat para mahasiswa Palestina di Indonesia cemas. Mereka segera mencari informasi mengenai nasib keluarga, kerabat, dan teman. Terlebih, bukan hanya di Gaza, kekerasan terjadi di Hebron, sebuah kota di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel.
“(Orangtua) di Tepi Barat Alhamdulillah masih bisa kontak,” ujar Mutasem Abuzahra, 33 tahun, mahasiswa Palestina yang sedang menempuh pendidikan doktoral (S3) di Program Studi (Prodi) Sains Veteriner Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur.
Tapi Mutasem tak bisa mengontak kerabat dan sejawat di Gaza karena kendala komunikasi. “Banyak teman, berapa orang yang sudah mati, ada yang bisa dipindah ke rumahsakit di West Bank (Tepi Barat),” raut muka Mutasem berubah pilu.
Operasi militer Israel dilancarkan menyusul serangan kelompok militan Hamas di sepanjang perbatasan Gaza-Israel pada awal Oktober 2023. Ribuan orang tewas dan luka-luka. Banyak bangunan, termasuk sekolah, hancur.
“Seluruh dunia melihat apa yang terjadi di Gaza. Inilah wajah hakiki dari mereka (zionis Israel). Setengah dari korbannya anak-anak dan perempuan,” ujar Mutasem dalam perbincangan dengan saya di sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Arief Rahman Hakim, Surabaya, akhir November 2023.
Mutasem tak sendiri. Dia ditemani oleh Ihsan Idrees, 31 tahun, mahasiswi kelahiran Hebron yang kuliah S3 di Prodi Sosiologi Unair. Mereka menikah sekira 2019.
Sebagaimana mahasiswa Palestina lainnya, Mutasem dan Ihsan punya cita-cita untuk membawa pulang ilmu yang diperoleh di Indonesia untuk membangun negerinya.
“Itu pasti tapi belum tahu setelah lulus atau kerja dulu baru (pulang) ke sana. Yang pasti kami belajar, our goal, our target, membantu orang (Palestina) di sana. Walaupun nanti tinggal di sini 10-20 tahun untuk belajar apapun, rencana kami tetap pulang dan bantu Palestina,” ujar Mutasem.
Keterbatasan Akses Pendidikan
Konflik Palestina-Israel berakar dari apa yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour pada 1917. Sebuah janji dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour untuk mendirikan “rumah nasional” Yahudi di Palestina. Inggris, yang kemudian memegang mandat di Palestina, memfasilitasi imigrasi besar-besaran orang Yahudi. Konflik demi konflik pun bergulir.
Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Rencana Pembagian Palestina atau Resolusi 181 yang membagi wilayah Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Setahun kemudian, menyusul berakhirnya mandat Inggris, komunitas Yahudi di Palestina mendeklarasikan berdirinya negara Israel.
Perang Arab-Israel pun pecah. Israel memenangi perang dan bahkan memperluas wilayahnya. Yordania mengambil kendali Yerusalem Timur dan sekitarnya yang sekarang merupakan bagian dari Tepi Barat, sedangkan Mesir memerintah Jalur Gaza.
Perang menambah penderitaan warga Palestina, termasuk anak-anak. Mereka terpaksa tinggal di kamp-kamp pengungsian. Akses pendidikan terbatas. Hingga pengujung 1990-an, sistem pendidikan dan kurikulum yang mereka terima pun berbeda-beda.
Menurut Samira Alayan, dosen dan peneliti di Hebrew University of Jerusalem, dalam “History Curricula and Textbooks in Palestine” di buku yang disuntingnya, Politics of Education Reform in the Middle East,sistem pendidikan dan kurikulum Mesir diperkenalkan di Gaza, sistem pendidikan Yordania diterapkan di Tepi Barat, sedangkan Badan PBB untuk Pengungsi (UNRWA) menyediakan pendidikan sendiri di kamp-kamp pengungsian.
Sistem pendidikan terpisah ini terus berlanjut sampai pasca-Perang Enam Hari pada 1967 ketika Gaza dan Tepi Barat berada di bawah pendudukan Israel. Kurikulum Mesir dan Yordania ditinggalkan. Sistem pendidikan di Tepi Barat dan Gaza diatur oleh Administrasi Sipil Israel.
“Di Tepi Barat dan Jalur Gaza setelah tahun 1967, unsur-unsur dalam buku teks yang berkaitan dengan identitas nasional Palestina dan persoalan Palestina kemungkinan besar akan disensor,” catat Alayan.
Kurikulum Mandiri
Angin segar berembus ketika Otoritas Nasional Palestina (PNA) dibentuk untuk menggulirkan pemerintahan secara terbatas di Gaza dan Tepi Barat. Yasser Arafat jadi presiden pertama.
Yasser Arafat adalah pendiri organisasi perlawanan Fatah yang memimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), wadah untuk menyatukan semua organisasi perlawanan Palestina. Pada 1988, bersama Dewan Nasional Palestina (PNC), PLO mendeklarasikan kemerdekaan Palestina.
Pada 1993, PLO dan pemerintah Israel duduk satu meja dalam Perjanjian Oslo. Deklarasi Prinsip-prinsip tentang Aransemen Pemerintahan Sendiri Sementara ditandatangani. Rencana penerapan solusi dua negara (two-state solution) disetujui. Menyusul kemudian, berdasarkan Perjanjian Gaza-Jericho tahun 1994, PNA dibentuk.
Sejak itu kendali atas semua lembaga pendidikan publik diserahkan kepada PNA, yang kemudian membentuk Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi. Untuk sementara waktu, buku-buku pelajaran Mesir dan Yordania kembali digunakan di sekolah-sekolah Palestina.
“Semua buku teks yang digunakan pada periode ini memiliki stempel di dalamnya, yang menunjukkan kesepakatan antara negara Mesir atau Yordania dan PNA,” tulis Alayan. Kendati demikian, buku-buku tersebut dilengkapi dengan serangkaian buku baru tentang Pendidikan Nasional untuk kelas 1–9.
Sejalan dengan itu, muncul upaya untuk mengembangkan kurikulum mandiri. Pada 1996, Pusat Pengembangan Kurikulum, semula badan otonom tapi kemudian berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, menggulirkan rencana komprehensif. Pegangannya: filosofi yang terkandung dalam dokumen Deklarasi Kemerdekaan Palestina 1988, di mana identitas Palestina memiliki keunikan dalam hal peradaban, agama, kebudayaan, dan geografi.
Dalam A Comprehensive Plan for the Development of the First Palestinian Curriculum for General Education, Ibrahim Abu Lughoud dan Ali Jarbawi menyebut rencana kurikulum itu berniat menularkan pengetahuan yang relevan, memiliki nilai-nilai dan keterampilan yang berakar dari kesadaran bangsa Palestina terhadap warisan nasionalnya, serta sejarah nasional yang terafiliasi dengan tanah Palestina dan kebudayaan Arabnya.
“Filosofinya juga menyimpan aspirasi bangsa Palestina menuju abad ke-21 sebagai bagian dari dunia modern yang produktif dan setara,” tulis mereka.
Kurikulum dan buku teks Palestina dikembangkan secara bertahap mulai tahun 1998 hingga selesai sekitar tahun 2006. Setelah itu diterapkan di semua sekolah Palestina.
Realitas itu dialami Mutasem kala mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Hebron. “Seingat saya sampai kelas 5 (sekolah dasar) masih kurikulum Yordania. Kelas 6 mulai ganti kurikulum Palestina. Tahun 2006–2007 baru semua sekolah sudah kurikulum Palestina,” kenang Mutasem.
Orang Yahudi beda dari zionis. Ada orang Palestina yang Yahudi karena di Palestina ada tiga macam: muslim, Kristiani, Yahudi.
Pelajaran Sejarah
Bagaimana muatan sejarah Palestina dalam “kurikulum baru” ini? “Kurikulum Palestina hampir sama (dengan Yordania). Tapi di mapel Sejarah, Civic (Pendidikan Kewarganegaraan), dan lain-lain lebih fokus tentang Palestina,” ujar Mutasem.
“Sebelumnya kalau mapel Sejarah di secondary school (sekolah menengah) yang kurikulum Yordania masih fokus Yordania, yang Mesir masih fokus sejarah Mesir.”
Alur tema dalam konten kurikulum sejarahnya sedikit mirip dengan Indonesia. Dimulai dari masa prasejarah hingga sejarah modern. Ketika sudah berganti kurikulum Palestina, imbuh Mutasem, beberapa tema kontennya tetap masih ada yang serupa.
“So, kami mulai dari peradaban pertama era (bangsa) Canaan, Babylonia, Assyria sekira 10 ribu tahun lalu, masa-masa sebelum Nabi Muhammad (Saw), dan era Islam,” ujar Mutasem.
Alayan dalam kajian artikelnya yang lain, “Zionism as the Other in Curricula and Textbooks of the Palestinian National Authority” mengungkapkan, rangkaian sejarah yang mengaitkan bangsa Arab dan peradaban Islam di tanah Palestina dalam kurikulum sejarah mulai diajarkan di kelas 8.
“Pusat-pusat peradaban ini berada di Palmyra dan Petra (Suriah), dan Palestina. Peradaban ini tumbuh dan berkembang seiring masa Islam dan bahkan menjadi salah satu peradaban terpenting yang berkontribusi dalam kemajuan peradaban umat manusia,” ungkap Alayan, mengutip salah satu bab sejarah Peradaban Arab-Islam di buku teks mapel Sejarah kelas 8.
Fase-fase sejarah dunia, terutama terkait Palestina, juga masuk dalam buku teks. Misalnya, era Kesultanan Utsmaniyah yang berakhir pada 1917, Resolusi 181 PBB, dan kontroversi berdirinya negara Israel.
Menurut Mutasem, dalam mapel Sejarah juga dibahas mengenai Perang Salib, Perang Dunia I dan II, hingga Resolusi 181. “Sampai masuk Resolusi 181 dari PBB; membahas pasal-pasalnya, siapa yang vote, siapa yang enggak vote,” ujarnya.
Sedangkan perihal zionisme masuk dalam salah satu bab di mapel Sejarah Arab Modern dan Kontemporer di kelas 9, mapel Sejarah Dunia Modern Kontemporer (kelas 10), dan mapel Sejarah Palestina Modern dan Kontemporer: Bagian I–III (kelas 11). Menurut Alayan, tema-tema itu menggambarkan bahwa zionisme yang awalnya hadir di Eropa menjamah tanah Palestina karena dampak kolonialisme Inggris yang bermula pasca-diserahkannya tanah Palestina dari Kesultanan Utsmaniyah pada 1917.
Tema perjuangan Palestina tersaji dalam buku-buku teks untuk mapel Sejarah Arab dan Dunia di Abad ke-20 di kelas 12. Fokus pembahasan: perlawanan kelompok Yasser Arafat dan cenderung mendeligitimasi ekistensi Israel. Selain itu menggambarkan bahwa perjuangan bangsa Palestina untuk membebaskan negerinya adalah ribat atau bagian dari jihad. Juga bahwa Israel yang didukung negara-negara Barat adalah pihak yang menduduki dan mencuri tanah Palestina.
Kebebasan yang Utuh
Selain Fatah, ada faksi besar Hamas di Palestina yang punya pengaruh kuat. Hamas tak mengakui negara Israel dan menentang Perjanjian Oslo. Hamas berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina di wilayahnya sendiri.
Hamas memperoleh momentum penting setelah wafatnya Yasser Arafat, presiden Palestina yang juga tokoh penting Fatah, tahun 2004. Hamas memenangi pemilihan umum Parlemen tahun 2006 dan mendudukkan pemimpinnya, Ismail Haniyeh, sebagai Perdana Menteri Palestina. Pada 2007, presiden PNA membubarkan kabinet dan memecat Ismail Haniyeh. Hamas menolak keputusan itu. Hingga kini, Gaza dikuasai Hamas dan Tepi Barat dikuasai Fatah.
Perubahan lanskap politik ini mempengaruhi kurikulum pendidikan di Palestina. Kementerian Pendidikan sempat mengganti kurikulum pada 2008, 2016, 2018–2019, 2020–2021, dan 2021–2022. Sejumlah tema untuk pemahaman sejarah dipencarkan di rumpun mapel Studi Sosial, Sejarah, dan Pendidikan Islam di atas jenjang kelas 8. Kendati demikian tidak banyak terjadi perubahan atau revisi.
Hal ini bisa ditilik dari laporan Institut Pengawasan Perdamaian dan Toleransi Kebudayaan di Pendidikan Sekolah (IMPACT-SE), organisasi nirlaba Israel yang memantau isi buku pelajaran sekolah yang dinaungi Komisi Eropa.
Laporan berjudul “Palestinian Authority Ministry of Education Study Cards 2021-2022 Grades 1-11: Selected Examples” terbitan Januari 2022, menyebut di kurikulum 2021–2022 pada mapel Studi Sosial di kelas 9, peserta didik diajarkan soal konspirasi kolonial terhadap bangsa Arab yang berawal dari Deklarasi Balfour (1917). Ada juga tema tentang pendudukan, penahanan, penyiksaan terhadap anak-anak Palestina yang ditahan, serta hak menentukan nasib sendiri melalui gerakan perlawanan bersenjata.
Di mapel Pendidikan Islam kelas 9, ditekankan kewajiban jihad dan menjadi martir adalah kehormatan. Hal itu diperkuat dengan pengisahan kemenangan dalam Pertempuran Khaibar (628 M) antara pasukan muslim pimpinan Nabi Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib melawan koalisi Arab Yahudi.
Sementara di kelas 10 ada mapel Geografi dan Sejarah Palestina yang membahas gerakan zionis sebagai bagian dari konspirasi besar yang menumbangkan Kesultanan Utsmaniyah. Bahwa Israel adalah produk kolonialisme yang punya tujuan mencerai-beraikan dunia Arab dan memisahkan Asia dari Afrika.
Pada mapel Sejarah kelas 11 dalam salah satu babnya mempertegas bahwa berdirinya negara Yahudi (Israel, red.) yang berbasis pada ideologi rasis adalah jawaban kaum kolonialis terhadap “masalah Yahudi” yang banyak terusir dari Eropa.
Di sisi lain, solusi dua negara dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel tidak muncul dalam buku-buku teks Palestina. Tidak ada juga referensi atau saran mengenai kemungkinan penyelesaian konflik secara damai. Terlebih lagi, kasus advokasi perdamaian yang paling menonjol dalam kurikulum baru pasca 2017 kini telah dihapus dari buku edisi 2019 dan 2020.
Dengan kurikulum Palestina, hasrat untuk membebaskan negeri pun tertanam di kepala para siswa dan lulusan sekolah. Mereka ingin Palestina terbebas dari pendudukan Israel dan para pemukim zionis. Mereka juga menolak solusi dua negara dengan mendirikan dua negara untuk dua bangsa; Israel untuk bangsa Yahudi dan Palestina untuk rakyat Palestina.
“Kami enggak bisa setuju dengan two-state solution. Orang di luar Palestina berpikir kami cuma hate (benci) orang Yahudi. Tapi itu tidak benar,” ujar Ihsan.
“Orang Yahudi beda dari zionis. Ada orang Palestina yang Yahudi karena di Palestina ada tiga macam: muslim, Kristiani, Yahudi. Nah, orang Yahudi di Palestina juga enggak setuju two-state solution. Karena mereka percaya itu state Palestina, bukan Israel yang zionis.”
“Setiap kali berunding, mencari kesepakatan, mereka (Israel) terus mengambil tanah kami sampai akhirnya wilayah Palestina hanya Tepi Barat (dan Gaza). Jadi bagaimana kami mau percaya two-state solution,” timpal Mutasem.
“Kami menginginkan kebebasan yang utuh, seperti sebelum kolonialisme Inggris 1917. Jadi kalaupun harus berjuang sampai 200–300 tahun lagi, kami akan tetap fight untuk menjadi satu state saja, yaitu state Palestina.”*