Kusut Masai Aset Partai

Pada masa jayanya, PNI membentuk yayasan untuk mengelola aset partai. Kini beralih tangan tak tentu rimbanya.

OLEH:
Arief Ikhsanudin
.
Kusut Masai Aset PartaiKusut Masai Aset Partai
cover caption
Lahan bekas kantor PNI di Jl. Salemba Raya No. 73, Jakarta Pusat. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

DI persimpangan antara Jalan Salemba Raya dan Jalan Pramuka, terhampar lahan seluas 1.600 meter persegi. Tak ada bangunan berdiri di areal tanah itu, hanya tembok yang mengitari sekelilingnya, membatasi akses warga sekitar. Sebuah papan pengumuman terpampang di sana: Tanah Ini Milik PT Solid Gold Abadi berdasarkan sertifikat hak milik dilarang memasuki lahan ini/melakukan kegiatan tanpa izin dari pemilik akan dikenakan sanksi pidana dengan pasal 167 KUHP.

Lahan itu terlihat bertahun tak pernah digunakan. Janggal untuk ukuran lokasi lahan di kawasan strategis di pusat Jakarta. Beberapa warga sekitar nekat menjebol pagar untuk akses masuk. Tanpa peduli larangan di papan pengumuman, mereka menjadikan lahan yang ditumbuhi semak itu jadi tempat adu merpati.

Jauh sebelum semak-semak tumbuh lebat dan dibiarkan kosong, pada lahan yang sama itu pernah berdiri kantor Partai Nasional Indonesia (PNI). Di sanalah kegiatan partai yang didirikan oleh Sukarno cs. itu berpusat. Petunjuk keberadaan kantor bisa dilacak dari kepala surat PNI dari era 1950-an, yang menyebutkan alamat sekretariatnya di Jl. Salemba Raya No. 73, Jakarta Pusat. Di tempat yang sama pula rapat perumusan fusi partai menjadi PDI pada 10 Januari 1973 dilaksanakan.

DI persimpangan antara Jalan Salemba Raya dan Jalan Pramuka, terhampar lahan seluas 1.600 meter persegi. Tak ada bangunan berdiri di areal tanah itu, hanya tembok yang mengitari sekelilingnya, membatasi akses warga sekitar. Sebuah papan pengumuman terpampang di sana: Tanah Ini Milik PT Solid Gold Abadi berdasarkan sertifikat hak milik dilarang memasuki lahan ini/melakukan kegiatan tanpa izin dari pemilik akan dikenakan sanksi pidana dengan pasal 167 KUHP.

Lahan itu terlihat bertahun tak pernah digunakan. Janggal untuk ukuran lokasi lahan di kawasan strategis di pusat Jakarta. Beberapa warga sekitar nekat menjebol pagar untuk akses masuk. Tanpa peduli larangan di papan pengumuman, mereka menjadikan lahan yang ditumbuhi semak itu jadi tempat adu merpati.

Jauh sebelum semak-semak tumbuh lebat dan dibiarkan kosong, pada lahan yang sama itu pernah berdiri kantor Partai Nasional Indonesia (PNI). Di sanalah kegiatan partai yang didirikan oleh Sukarno cs. itu berpusat. Petunjuk keberadaan kantor bisa dilacak dari kepala surat PNI dari era 1950-an, yang menyebutkan alamat sekretariatnya di Jl. Salemba Raya No. 73, Jakarta Pusat. Di tempat yang sama pula rapat perumusan fusi partai menjadi PDI pada 10 Januari 1973 dilaksanakan.

Daniel, pedagang di sekitar persimpangan, membenarkan bahwa di lahan kosong tersebut pernah berdiri kantor PNI.

“Dulu, saya beberapa kali main ke sana,” kata Daniel.

Lantas, bagaimana kisah gedung tersebut sampai akhirnya berpindah tangan dan dibongkar?

Historia menelusuri empunya lahan kosong tersebut. Dari situs daring Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, ahu.go.id diperoleh keterangan bahwa PT Solid Gold Abadi berkantor di Jl. Mayjen Sungkono, Bundaran Tol, Surabaya. Namun, dari keterangan layanan informasi Telkom 108, nama perusahaan di alamat tersebut tak dikenal dan tak memiliki nomor telepon. Kalau pun ada nama perusahaan yang sama, itu adalah PT Solid Gold Berjangka dan PT Solid Gold Kencana.

Ketika dikonfirmasi, PT Solid Gold Berjangka mengatakan tak memiliki hubungan apa-apa dengan PT Solid Gold Abadi. Sementara itu, PT Solid Gold Kencana yang beralamat di Sidoarjo, Jawa Timur pun memberikan jawaban yang sama. “Perusahaan kami mengurus properti Lippo Plaza, Sidoarjo,” ujar operator telepon.

Alex Widya Siregar. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Menurut Alex Widya Siregar (76 tahun) anggota Badan Musyawarah PNI, lahan di Jalan Salemba itu diperoleh dari hibah Adnan Kapau Gani, salah satu tokoh PNI. A.K. Gani, menteri kemakmuran di Kabinet Sjahrir III, tokoh PNI yang kemudian bergabung dengan Partindo pascapembubaran PNI pada 1931.

Akhir era 1970-an, setelah PNI berfusi menjadi PDI, gedung sekretariat di Jalan Salemba Raya No. 73 itu dijual. Menurut pengakuan Alex, lahan tersebut dijual kepada seorang pengusaha dari Surabaya. Bangunan pun dibongkar. Rencananya, di atas lahan tersebut akan dibangun pasar, tetapi tak kunjung terlaksana.

Alex mengaku tak berdiam diri dengan rencana itu. Kebetulan dia dekat dengan Soeprapto, gubernur DKI Jakarta periode 1982–1987. Kepada Soeprapto, Alex menyampaikan akan melakukan berbagai macam cara untuk menggagalkan pembanguan pasar di atas bekas lahan gedung sekretariat PNI itu.

“Dia (pengusaha Surabaya, red.) minta uang dikembalikan karena tidak bisa dibangun. [Lahan] dibeli oleh Bank Harapan Sentosa,” kata Alex kepada Historia.

Bank Harapan Santosa (BHS) salah satu dari 16 bank yang izinnya dicabut oleh pemerintah pada 1 November 1997 akibat krisis moneter. Sebagaimana lazimnya bank yang dilikuidasi pemerintah saat itu, aset-aset milik bank tersebut diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Nama PT Solid Gold Abadi juga tak bisa ditemukan melalui laman mesin pencari google. Dalam papan pengumuman pun tak terdapat alamat perusahaan.

Pengelola Aset Partai

Semua berawal ketika Iskaq Tjokrohadisurjo, salah satu pendiri PNI, membentuk Yayasan Marhaenis saat dia menjabat menteri perekonomian di kabinet Ali Sastroamidjojo (1953–1954). Alex mengatakan, pada saat itu berlaku aturan partai politik tak diizinkan memiliki harta kekayaan, termasuk aset bangunan. Pembentukan yayasan merupakan respons atas berlakunya aturan itu sehingga PNI tetap bisa menguasai aset-asetnya.

“Yayasan ini ditunjuk dan dikelola oleh PNI,” kata Alex.

Tak hanya di lahan bekas kantor sekretariat di Salemba, PNI juga memiliki beberapa aset lain, salah satunya percetakan di Jalan Kran Kemayoran. Di tempat yang sama, koran Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan PNI dicetak. Selain itu, PNI memiliki bangunan di Kebayoran, Jalan Sawah Lunto, Manggarai, Jalan Pintu Besi, dan Jalan Salemba Raya.

Yayasan Marhaenis tetap bertahan melewati peristiwa G30S 1965. Setelah kongres luar biasa di Bandung pada 1966, Mohammad Isnaeni, ketua DPP PNI, terpilih menjadi ketua Yayasan Marhaenis. Setelah itu, Alex mendengar kabar bahwa nama Yayasan Marhaenis berubah nama menjadi Marinda (Marhaenis Indonesia) pada Desember 1972.

“Kalau [Isnaeni] ditanya, Marinda itu apa pak. [Isnaeni menjawab] Marhaenis Indonesia,” kata Alex.

Wisma Marinda di Jalan Percetakan Negara XI No. 131B, Jakarta Pusat. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Setelah fusi, Alex mengetahui terjadi penjualan aset milik PNI oleh Yayasan Marinda. Penjualan itu dilakukan sebelum terjadi fusi partai. Sampai Fusi pada 1973, aset yang dimiliki PNI hanya gedung sekretariat di Jalan Salemba Raya No. 73. Gedung itu tidak hanya diisi oleh PNI, tetapi ormas-ormas marhaenis. Alex, yang menjadi sekretaris jenderal Lembaga Kebudayaan Nasional, sering berkantor di gedung tersebut.

Penjualan aset ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi di beberapa daerah seperti Medan, Purwokerto, Semarang, dan Surabaya.

Tindakan penjualan aset itu sempat menimbulkan pertanyaan beberapa kader PNI, termasuk Alex. Mereka menggagas pembentukan tim kerja yang mengurusi permasalahan aset partai. Alex menempuh jalur hukum, tetapi tak banyak berhasil. Salah satu aset yang bisa terselamatkan adalah gedung PNI di Purwokerto.

Menurut Alex, kekalahan mereka karena pihak Marinda memiliki surat-surat tanah dan dokumen pendukung lainnya. “Kita sudah sulit menghadapinya,” kata Alex.

Setelah menjual lahan dan gedung sekretariat PNI di Jl. Salemba Raya yang kini dibiarkan kosong oleh pemiliknya, Marinda membeli tanah dan bangunan di Jalan Percetakan XI No. 131B, Jakarta Pusat. Di Wisma Marinda, terdapat lima sekretariat organisasi, yaitu Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM), dan Jemaat Muslimin Indonesia.

Saat ini, Wisma Marinda tidak terawat. Beberapa tumbuhan dibiarkan tumbuh liar. Atap bagian depan sudah berlubang. Di halaman gedung terlihat beberapa gerobak pedagang kaki lima parkir, dan kandang merpati milik warga sekitar.

Yayasan Marinda juga sudah tidak aktif berkegiatan. “Ketua terakhir Pak Jakob Nuwa Wea, setelah beliau meninggal [9 April 2016] belum ada gantinya lagi. Saya saja sudah lama tidak digaji,” kata Gesang, penjaga Wisma Marinda.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6693c70c224705fc71d3cb09