T.D. Pardede sedang memberikan instruksi kepada para pemain Pardedetex. (Dok. Tonggo Tambunan).
Aa
Aa
Aa
Aa
TANPA ragu, Herry Kiswanto menerima tawaran dari Tumpal Dorianus (T.D.) Pardede, pemilik klub sepakbola profesional Pardedetex. toDia pun hengkang dari Persib Bandung, klub yang sudah dibelanya selama beberapa musim. Pada 1979, Herry bertolak ke Medan dan memulai petualangannya sebagai pemain Pardedetex.
Herry memilih Pardedetex bukan tanpa alasan. Dia merasa lelah dan tak fokus bermain bola ketika membela Persib Bandung, yang berlaga di Liga Perserikatan. Selain bermain di lapangan hijau, dia harus bekerja sebagai pegawai bank. Sementara Pardedetex berlaga di Liga Sepakbola Utama atau dikenal dengan sebutan Galatama.
“Saya tertarik dengan Ketua (T.D. Pardede) yang memang gila bola. Dia berani keluar uang, tanpa pamrih untuk kemajuan sepakbola nasional,” ujar Herry Kiswanto kepada Historia.
TANPA ragu, Herry Kiswanto menerima tawaran dari Tumpal Dorianus (T.D.) Pardede, pemilik klub sepakbola profesional Pardedetex. toDia pun hengkang dari Persib Bandung, klub yang sudah dibelanya selama beberapa musim. Pada 1979, Herry bertolak ke Medan dan memulai petualangannya sebagai pemain Pardedetex.
Herry memilih Pardedetex bukan tanpa alasan. Dia merasa lelah dan tak fokus bermain bola ketika membela Persib Bandung, yang berlaga di Liga Perserikatan. Selain bermain di lapangan hijau, dia harus bekerja sebagai pegawai bank. Sementara Pardedetex berlaga di Liga Sepakbola Utama atau dikenal dengan sebutan Galatama.
“Saya tertarik dengan Ketua (T.D. Pardede) yang memang gila bola. Dia berani keluar uang, tanpa pamrih untuk kemajuan sepakbola nasional,” ujar Herry Kiswanto kepada Historia.
T.D. Pardede bukan sosok yang asing. Namanya tersohor sebagai pengusaha terkemuka asal Sumatra Utara. Ketika sepakbola Indonesia sedang lesu akibat pergolakan politik pada akhir masa Sukarno, Pardede membuat gebrakan. Dia merintis sepakbola profesional di Indonesia dengan membangun klub Pardedetex.
“Pak Ketua itu galak, tapi dia sayang sama pemain,” kenang Herry, kini berusia 60 tahun, yang menutup karier sepakbola profesional sebagai pelatih PSS Sleman.
Pilihannya tak salah. Selama empat musim (1979–1983) membela Pardedetex, dia menjadi kesayangan publik Medan. Klub ini pula yang melambungkan namanya sebagai punggawa tim nasional sepakbola Indonesia pada 1980-an.
Pak Ketua
Klub Pardedetex tak lepas dari kegilaan pemiliknya terhadap sepakbola. Kala remaja, Pardede adalah pemain sepakbola antarkampung di Saberlawan, Sumatra Timur. Kamarudin Panggabean, kelak menjadi pendiri klub PSMS Medan, adalah rekan setim Pardede di kesebelasan Sahata.
Pardede juga pernah menangani klub sepakbola di perkebunan Rambang, Kabupaten Simalungun pada pengujung 1930-an. Di sana, selain bekerja sebagai kerani (juru tulis), Pardede dipercayakan mengurus klub sepakbola milik pembesar perkebunan orang-orang Belanda. “Siapa yang pintar main bola, diterimanya bekerja di perkebunan,” tulis Tridah Bangun dalam Dr. T.D. Pardede 70 tahun: Pejuang Patriot.
Jalan hidup menuntunnya sebagai taipan kelas atas kota Medan, bukan pemain sepakbola profesional. Kerajaan bisnisnya meliputi berbagai sektor: perkebunan, perikanan, tekstil, hingga perhotelan.
Pada 1953, Pardede dengan 40 karyawannya mendirikan pabrik tekstil Pardedetex di Medan. Selama satu dekade, Pardedetex maju pesat. Sebanyak 3.000 karyawan ditampung di kompleks Pardedetex yang dipindahkan ke luar kota Medan, yang berjarak 10,8 km ke arah kota Binjai. Pada 1960-an, Pardedetex termasuk salah satu pabrik tekstil terbesar di Indonesia.
Reputasi Pardede sebagai raja tekstil dari Medan terdengar hingga Jakarta. Pada Juni 1965, Pardede diangkat menjadi Menteri Perindustrian Rakyat urusan Berdikari pada Kabinet Dwikora Presiden Sukarno.“Pardede adalah pendukung finansial terpercaya Sukarno,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang.
Ketika Pardedetex berkembang, Pardede kembali memberi perhatian pada sepakbola. Pada 1960, dia membentuk kesebelasan PS (Persatuan Sepakbola) Pardedetex. Pemainnya terdiri dari para karyawan. Mereka mengikuti pertandingan antartim perusahaan di kota Medan atau kompetisi internal yang diselenggarakan PSMS Medan.
Orang Medan menyebutnya “Pak Ketua” (dengan aksen Batak terlafal: Katua). Gelar itu dipopulerkan wartawan-wartawan dan orang-orang yang terlibat urusan sepakbola di Medan. “Dalam setiap pertemuan atau rapat yang menyangkut sepakbola, Pardede hampir selalu memegang jabatan ketua,” tulis Tridah Bangun.
Tim Bertabur Bintang
Pada Maret 1968, Pardede memanggil S.P. Gultom, karyawan sekaligus kapten kesebelasan Pardedetex.
“Gultom, kau harus tahu, kalau aku ikut campur dalam setiap usaha haruslah menjadi nomor satu, semua nomor satu, tak ada nomor dua. Kau lihat pabrik tekstil, semua nomor satu. Sekarang aku mau ikut sama parbola (pemain bola), jadi harus nomor satu,” ujar Perdede kepada Gultom dalam “To be Number One,” termuat di 75 Tahun Dr. T.D. Pardede: Pengusaha Mandiri, Pejuang Berani suntingan Samuel Pardede.
Pada akhir 1968, kesebelasan Pardedetex didirikan dengan format baru: klub profesional. Saat itu belum ada klub sepakbola Indonesia yang menerapkan sistem profesional (baca: berbayar). Hanya ada Liga Perserikatan kelas amatir yang klub-klubnya dikelola pemerintah daerah.
Tak tangung-tanggung, pemain top ibukota diboyong ke Medan. Di antaranya Soetjipto Sundoro, Judo Hadijanto, Sinyo Aliandu, Anwar Udjang, Iswardi Idris, Abdul Kadir, dan Candra Basri. Semuanya pemain klub Persija Jakarta yang baru saja menjuarai turnamen King’s Cup di Bangkok. Mereka juga langganan tim nasional. Endang Witarsa, pelatih tim nasional, didatangkan pulang pergi Jakarta-Medan, khusus untuk mengasuh Pardedetex.
“Kami dikontrak sebagaimana pemain-pemain sepakbola profesional di luar negeri, yang tentunya belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia,” tulis Judo Hadijanto disunting Samuel Pardede.
Agar total dalam bermain bola, Pardede memenuhi segala kebutuhan pemain. Endang Witarsa, dikutip Kompas, 9 Desember 1968, menyatakan kekagumannya terhadap organisasi dan fasilitas Pardedetex kepada para pemainnya. Menurut Witarsa, Pardede punya kepedulian yang besar untuk meningkatkan persepakbolaan dalam negeri. “Pardede adalah orang yang jujur dan berani berkorban untuk kemajuan sepakbola kita,” katanya.
Para pemain, lanjut Witarsa, diberi jaminan yang baik, misalnya perumahan tersendiri bagi pemain yang sudah berkeluarga dan mes bagi pemain bujangan. Selain itu, pemain mendapat uang saku Rp15.000 per bulan di luar kebutuhan sehari-hati yang dicukupi seluruhnya. Witarsa sendiri menurut pengakuannya tidak dibayar untuk melatih Pardedetex. “Saya cuma minta tiket ke World Cup 1970 di Meksiko dan itu telah disetujui oleh Pardede,” ujar Witarsa.
Kritik dan kecaman ditujukan kepada Pardede. Petinggi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) khawatir Pardedetex akan menahan para pemainnya untuk membela tim nasional. Dalam pandangan para penentang, profesionalisme yang digagas Pardede akan mendorong komersialisasi sepakbola. Tudingan pun dilontarkan: Pardedetex menjadi etalase untuk mempromosikan bisnis Pardede. Pardede tak menampik. Menurutnya, dalam Kompas, 19 September 1969, dengan memajukan keolahragaan di Indonesia, yang menjadi tujuan utamanya, secara otomotis akan berdampak terhadap peningkatan citra perusahaannya.
Pada kenyataannya, visi Pardede melalui Pardedetex sejalan dengan pengembangan PSSI. Dengan relasi yang dimiliki Pardede, Pardedetex bisa menjalani laga antarklub internasional mewakili Indonesia. Tim Pardedetex generasi Soetjipto juga tak lain merupakan kesebelasan PSSI dalam turnamen antarnegara. Singkatnya, tim nasional Indonesia saat itu terdiri dari para pemain Pardedetex.
“Hasilnya, kami atas nama PSSI, khususnya Pardedetex satu demi satu dapat memenangkan tiap turnamen dalam maupun luar negeri. Dan kami merupakan salah satu kesebelasan yang sangat disegani di Asia pada saat itu,” tulis Judo Hadijanto, mantan penjaga gawang Pardedetex dan tim nasional.
Pada 1969, tim nasional Indonesia menjuarai Merdeka Cup, turnamen antarnegara Asia, di Kuala Lumpur. Nama-nama seperti Soetjipto Sundoro dan Jacob Sihasale merupakan pemain bintang Pardedetex yang cukup tenar di Asia Tenggara. Mereka adalah pencetak gol Indonesia saat mengalahkan Malaysia 3-2 dalam partai final. Pardedetex mulai mendapat tempat dan menjadi sorotan publik pecinta sepak bola Indonesia.
Namun, karena tak punya tempat yang menaungi, semacam kompetisi atau liga di dalam negeri, Pardedetex vakum sejak 1970. Kevakuman ini juga disebabkan konsentrasi Pardede dalam mengurusi bisnisnya. Pardedetex baru dihidupkan kembali pada 1975. Kendati demikian, nama Pardedetex yang telah populer mendorong para taipan lain untuk menggarap sepakbola.
Sejak era Pardedetex, beberapa pengusaha turut membentuk klub sepakbola. Pengusaha pabrik cat, Benny Muljono, membentuk klub Warna Agung Jakarta (1971); Sigit Harjoyudanto, putra Presiden Soeharto, mendirikan klub Arseto di Solo (1978); Mayor Jenderal TNI (Purn.) Acub Zainal membentuk klub Perkesa ‘78 di Jakarta sebelum pindah ke Sidoarjo (1978); Syarnoebi Said, agen tunggal mobil Mitsubishi, mendirikan Krama Yudha Tiga Berlian Palembang; Beniardi, pengusaha farmasi, membentuk tim Tunas Inti di Jakarta. Sepakbola Indonesia pun mulai semarak dengan kemunculan klub-klub profesional. Bersama Pardede, para pengusaha swasta penggila bola itu kemudian menggulirkan ide membentuk kompetisi tingkat nasional bernama Galatama.
Galatama dan Prahara
Memasuki musim kompetisi pertama Galatama pada 1979, Pardedetex menjadi kesebelasan dengan jumlah pemain tim nasional terbanyak. Tak pelak, Pardedetex diunggulkan menjuarai Galatama. Namun, menyadari kompetitornya makin banyak, Pardede tak mematok target juara. “Masuk 4 besar saja sudah lumayan bagi kami,” kata Pardede dilansir Kompas, 15 Maret 1979.
Menurut Kadir Jusuf, pengamat dan kolumnis sepakbola, dalam Sepak Bola Indonesia, Pardedetex di Galatama menampilkan permainan ala power football, sepakbola yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan fisik untuk menutup ruang gerak lawan (pressing).
Hasil perdana yang diraih Perdedetex mengecewakan. Mereka kalah dari Arseto dengan skor 2-3. Bahkan, dalam dua musim Galatama, Pardedetex tak begitu menggigit. Berturut-turut ia hanya menempati peringkat kelima di klasemen akhir.
Di musim ketiga, Johny Pardede, anak bungsu Pardede, mulai terlibat dalam Pardedetex sebagai manajer. Gairah menjuarai Galatama tersulut. Uang bukan persoalan. Untuk menggaji para pemainnya, Pardedetex menggelontorkan Rp300.000–500.000 tiap bulan per pemain. Jumlah itu termasuk yang tertinggi di antara tim Galatama. Bonus menggiurkan pun dijanjikan untuk tiap kemenangan dan gol yang dilesakkan ke gawang lawan.
“Ketua itu modalin sendiri kesebelasanya, tak pernah mengandalkan sponsor. Gaji kita pun tak pernah telat,” kata Tonggo Tambunan, 57 tahun, mantan pemain Pardedetex kepada Historia.
Animo masyarakat terhadap Galatama di musim ini kian besar ketika Pardedetex menjadi klub pertama yang mendatangkan legiun asing: Jairo Matos. Jairo, gelandang tengah asal Brasil, direkrut dari klub Jepang, Yomiuri. Nyatanya, di akhir kompetisi, Pardedetex duduk di peringkat ketiga –pencapaian terbaiknya di Galatama.
Menurut Tonggo Tambunan, Pardede tak cuma menonton kesebelasannya dari tribun VIP tetapi ikut juga melatih. “Pak Ketua tahu kelemahan kami ada di stamina. Makanya, sebelum latihan, kami harus keliling kompleks Pardedetex 25 kali yang dia pantau langsung,” ujar Tonggo, yang bermain di posisi bek kiri.
Laga yang diakhiri dengan kemenangan adalah hari penuh sukaria bagi para pemain Pardedetex.
Masih lekat dalam ingatan Herry Kiswanto, kala Pardedetex menang, Pak Ketua menghampiri para pemain dengan saku baju safari penuh segepok uang. “Kantong sebelah kiri biasanya 250.000 kalau kantong kanan 500.000. Tergantung mood Ketua mau merogoh saku yang mana. Setelah itu kita dibawa untuk pijit dan sauna di hotel milik Pardede. Gratis,” ujar Herry.
Namun, apabila Pardedetex kalah, para pemain ketar-ketir. Dengan gayanya yang spontan, tak jarang Pardede mengumpat pemainnya. Tonggo berkisah, pernah suatu kali Pardede bukan main murkanya ketika Pardedetex kalah. “Kau main seperti anjing,” kata Pardede kepada seorang pemain yang bermain jelek. Si pemain tak terima dan menyahut, “Kenapa saya dibilang anjing, Pak?” Dengan mimik khasnya, Pardede menimpali, “Masih bagus kau dibilang anjing, kalau kubilang taik sudah dimakan anjing kau,” kenang Tonggo sambil tergelak.
“Kalau Pak Ketua lagi meledak-meledak marahin pemain, Ibu bakal menghampiri dan membisikkan sesuatu dalam bahasa Batak, lantas Pak Ketua menjadi kalem lagi,” kata Herry Kiswanto, merujuk pada Hermina br. Napitupulu, istri Pardede.
Kiprah Pardedetex di Galatama tak panjang. Musim 1983/1984 menjadi kompetisi terakhirnya. Pada 10 Februari 1984, Pardede mengumumkan keputusan mengejutkan: pembubaran Perdedetex. Alasannya karena Johny jatuh sakit, terserang radang hati dan sakit jantung, lantaran terlalu memforsir diri mengurusi klub.
Banyak isu berembus seputar pembubaran Pardedetex. Masalah finansial sempat mengemuka tetapi dibantah Pardede. Ditaksir, tak kurang dari 2 miliar rupiah telah dikucurkan Pardede untuk membiayai Pardedetex. “Kami memang rugi banyak. Tetapi pengeluaran kesebelasan Pardedetex selalu bisa ditutup dengan dukungan perusahaan… Saya lebih sayang Johny daripada sepakbola” ujar Pardede dilansir Kompas, 12 Februari 1984.
Selain alasan keluarga, skandal suap dalam Galatama menjadi rahasia umum di balik pembubaran Pardedetex. Dalam Kompas, 11 Februari 1984, diberitakan bahwa Pardede sudah palak (jengkel) terhadap beberapa wasit yang dianggap tak tegas memimpin laga. Pardedetex ditengarai telah lama menjadi sasaran para cukong judi bola sehingga sempat terlontar ucapan dari Pardede untuk membubarkan Pardedetex pada Desember 1983.
“Pengaturan skor memang marak di Galatama. Tapi saya jamin tak ada suap terhadap pemain Pardedetex,” ujar Tonggo.
Banyak pihak menyayangkan pembubaran Pardedetex. Acub Zainal, ketua Galatama dan pemilik Perkesa ‘78 menyampaikan simpatinya. “Pardede adalah pionir sepakbola profesional. Namanya terlalu besar untuk hilang begitu saja,” katanya kutip Kompas, 11 Februari 1984.*