Lakon Cavaradossi Si Kapten Turki

Sebagai penyanyi opera, Westerling menuai banyak kritik. Suaranya mirip orang dicekik. Ia disebut lebih berhasil mengangkat senjata ketimbang mengangkat tenggorokannya.

OLEH:
Joss Wibisono
.
Lakon Cavaradossi Si Kapten TurkiLakon Cavaradossi Si Kapten Turki
cover caption
Westerling sebagai penyanyi opera. (C. Ferguson/gahetna.nl).

MUNGKIN suatu kebetulan jika bertahun kemudian, setelah petualangannya di Indonesia berakhir, Westerling mencoba peruntungannya jadi pemain opera. Lakon yang diperankannya pun menarik: Westerling jadi sosok perupa Cavaradossi, karakter yang mengalami korban penyiksaan. Sebuah peran yang berlawanan dengan lakon kehidupannya di masa perang.

Semua bermula pada 1956, ketika Westerling menginap di sebuah hotel di Den Haag. Menurut koran Utrechts Nieuwsblad edisi 24 Desember 1956, di tempat itulah dia mendengar pementasan paduan suara, yang membuat sang kapten begitu terkesan. Kemudian dia menemui pemimpin paduan suara Coen Ruivenkamp, yang juga terkenal sebagai zangpedagoog, guru menyanyi, khusus lagu-lagu seriosa atau opera. “Saya berharap banyak darinya. Dia adalah seorang tenor besar yang dramatis,” kata Coen kepada Utrechts Nieuwsblad.

MUNGKIN suatu kebetulan jika bertahun kemudian, setelah petualangannya di Indonesia berakhir, Westerling mencoba peruntungannya jadi pemain opera. Lakon yang diperankannya pun menarik: Westerling jadi sosok perupa Cavaradossi, karakter yang mengalami korban penyiksaan. Sebuah peran yang berlawanan dengan lakon kehidupannya di masa perang.

Semua bermula pada 1956, ketika Westerling menginap di sebuah hotel di Den Haag. Menurut koran Utrechts Nieuwsblad edisi 24 Desember 1956, di tempat itulah dia mendengar pementasan paduan suara, yang membuat sang kapten begitu terkesan. Kemudian dia menemui pemimpin paduan suara Coen Ruivenkamp, yang juga terkenal sebagai zangpedagoog, guru menyanyi, khusus lagu-lagu seriosa atau opera. “Saya berharap banyak darinya. Dia adalah seorang tenor besar yang dramatis,” kata Coen kepada Utrechts Nieuwsblad.

Pemberitaan Utrechts Nieuwsblad tentang alih profesi Westerling itu memang cukup lengkap. Pada edisi yang sama diwartakan bahwa pelajaran menyanyi itu mulai berlangsung sejak Oktober 1956. Menurut Westerling, dia ingin memenuhi harapan ibunya dengan berkarier sebagai penyanyi opera. Semasa kecil Westerling mengaku harus memilih antara menyanyi atau gulat, dan dia memilih gulat. Karena itu ketika ada kesempatan menyanyi, dia segera meraihnya. Tawaran rekaman pun berdatangan, meminta Westerling membawakan tembang satu opera komplet.

“Dalam setengah tahun lagi, Westerling akan mampu melakukannya,” demikian pemberitaan Utrechts Nieuwsblad. Karena dalam waktu itu, menurut koran yang terbit di kota Utrecht, dia akan pentas di gedung opera, dengan suara tenor dramatisnya. Untuk itu Westerling sibuk mempelajari opera selengkapnya, antara lain Aïda dan La Forza del Destino ciptaan Verdi, Tosca ciptaan Puccini serta Andrea Chernier ciptaan Umberto Giordano. 

Yang menarik, dalam pemberitaan itu Westerling masih dikait-kaitkan dengan Indonesia. Pada pemberitaan tahun 1956 ditegaskan bahwa sang kapten telah sepenuhnya melepaskan diri dari masalah politik. Tetapi pada pemberitaan di bulan Juni 1958, beberapa hari sebelum dia pentas sebagai perupa Mario Cavaradossi, masalah Indonesia kembali ditanyakan padanya. “Saya tidak campur tangan lagi dengan urusan politik,” katanya. 

Belakangan, saat muncul masalah Kolonel Maludin Simbolon dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra, menurut Westerling, ada orang-orang yang ingin supaya dia berangkat ke Indonesia. “Tetapi seperti Anda lihat, keinginan itu tidak saya turuti,” ujarnya menampik desas-desus itu. 

Westerling sebagai penyanyi opera. (De Volkskrant).

Dalam pemberitaan Utrechts Nieuwsblad 5 Juni 1958 itu juga terlontar pertanyaan sudahkah Westerling siap untuk tampil sebagai penyanyi opera dengan peran besar seperti Mario Cavaradossi? Gurunya, Coen Ruivenkamp mendukung sepenuhnya, “Seorang penyanyi yang mengawali kariernya pada usia di atas 30 tahun hal itu sangat mungkin.” 

Utrechts Nieuwsblad juga mencatat banyak kalangan berminat terhadap penampilan Westerling di pentas opera ini. Tidak hanya kalangan Belanda, tetapi juga kalangan internasional. Misalnya BBC Inggris dan Radio Köln di Jerman juga sudah melaporkan rencana debut (penampilan perdana) Westerling ini. Pelbagai majalah luar negeri juga memberitakan aspirasi baru Westerling sebagai penyanyi opera ini. Beberapa pakar opera Italia juga menyatakan akan hadir. 

Soprano Belgia Huberte Vercray tampil sebagai Tosca dan penyanyi bariton Belanda Cees Berger yang tergabung dalam Stichting Nederlandse Opera (Yayasan Opera Belanda) memegang peran Il Barone Scarpia. Mereka jelas penyanyi-pemyanyi ternama. Menariknya untuk pentas di Gedung Concordia di Kota Breda, Belanda Selatan itu, selain kelompok opera Breda, juga akan tampil Orkestra Kamar Rotterdam. 

Pada edisi 5 Juni itu, Utrechts Nieuwsblad tampil dengan berita panjang lebar tentang “karier baru” Westerling. Menariknya, berita tanggal 9 Juni 1956, sehari setelah pertunjukan Tosca di Gedung Concordia Breda itu, soal debut Westerling itu hanya kecil saja. Yang paling menarik atau mungkin mengejutkan adalah alinea terakhir berita itu yang berbunyi: “Para pakar menyatakan bahwa suara Westerling memang cocok untuk opera, tetapi menurut mereka waktu persiapan terlalu singkat untuk bisa tampil sekarang.” Begitu berita kecil itu berakhir. Jelas berita yang tidak terlalu positif bagi karier baru Westerling. 

Teater Concordia di Breda sebelum dipugar. (G. Lanting/rijksoverheid.nl).

Uraian yang lebih jelas lagi bisa dibaca pada koran Nieuwsblad van het Noorden edisi 10 Juni 1958. Di situ tertera resensi yang lebih gamblang lagi. Misalnya: “Baik dari segi vokal maupun peran Westerling tampil jauh di bawah standar.” Lebih lanjut tentang suaranya Het Noorden menulis, “Karena suaranya tidak begitu berkembang, terutama nada-nada tinggi tidak disertai resonansi dan suaranya terdengar seperti dicekik, juga nasal (maksudnya bersuara sengau di hidung). Westerling tidak memiliki kemampuan dramatis yang sangat dibutuhkan dalam opera Italia.” 

Tentang kemampuannya dalam seni peran pun tak luput dari kritik media massa saat itu. Koran Het Noorden itu pun melontarkan kritik pedas: “Cara aktingnya datar dan tidak bergerak. Dia terlalu berpegang pada dirijen. Tapi ini bisa dimaafkan karena dia masih belum berpengalaman.” 

Sama miringnya dengan komentar beberapa koran tadi, surat kabar De Telegraaf menyebut penampilan perdananya itu sebagai “fiasco” alias kegagalan. Cara bernyanyi dan suara si kapten seperti “tertutup cadar, bahkan kadang-kadang serak dan sering tidak indah, padahal bagi telinga yang terlatih pada awalnya suara itu terdengar alami.”

Koran De Volkskrant menulis bahwa tokoh yang “nakal dan penuh petualangan” ini sebenarnya punya bakat menyanyi, tetapi ternyata suara yang keluar “cuma desahan, nada-nada tinggi bahkan tidak terdengar dengan suara yang sulit dicerna.” Walau begitu koran itu berpendapat, kalau dididik dengan baik, Westerling bisa berkembang menjadi penyanyi tenor yang baik. Terlebih menurut De Volkskrant Westerling punya dua kelebihan: pertama, ketenaran secara internasional dan kedua, keinginannya yang keras untuk berhasil. 

Kritik mingguan Vrij Nederland tidak diarahkan terhadap kemampuan Westerling menyanyi, tetapi terhadap para penonton di Gedung Concordia. Mingguan itu kaget melihat sambutan hangat para hadirin. “Satu-satunya penjelasan adalah hadirin masih ingat bagaimana ulah Westerling di Sulawesi Selatan atau wilayah Indonesia lain, karena itu mereka memilih untuk berhati-hati dan berupaya menunjukkan simpati, walaupun sebenarnya telinga mereka terganggu dengan nyanyian Westerling.”

Menteri Kebudayaan Belanda Jo Cals.

Skandal Nyanyian

Menurut Vrij Nederland, Westerling lebih berhasil mengangkat senjata ketimbang mengangkat tenggorokannya. Resensi yang hancur-hancuran ini menandai berakhirnya petualangan Westerling dalam dunia opera. Setelah penampilannya di Breda itu, dia tak lagi masuk ke dalam daftar penyanyi pesanan untuk tampil dalam opera-opera lain. 

Tapi itu tidaklah berarti bahwa Westerling berhenti menyanyi. Empat tahun kemudian, pada 1962 khalayak Belanda dikejutkan oleh apa yang disebut Zangaffaire atau affair nyanyian Westerling. Affair itu melibatkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Jozef Maria Laurens Theo alias Jo Cals dan Westerling. Jo Cals, atas keputusannya sendiri, meminta De Nederlandse Opera (DNO) untuk melatih Westerling jadi penyanyi opera profesional. Untuk keperluan itu dia mengucurkan dana dari kementeriannya sebesar 2 ribu gulden kepada DNO untuk mendidik Westerling selama enam bulan. 

Kabarnya Jo Cals memutuskan untuk membantu Westerling setelah dia menerima surat dari pensiunan kapten tentara komando Belanda itu. Dalam surat itu, Westerling menulis setengah bernada mengancam akan membuka kontroversi tewasnya seorang kolonel Belanda di Indonesia. Merasa tersudutkan, Jo Cals meluluskan permintaan Westerling untuk membantunya. 

Kontan saja DNO melancarkan penolakan atas kebijakan Jo Cals. Apalagi pekerjaan utama DNO adalah merancang pertunjukan opera, bukan mendidik seseorang untuk menjadi penyanyi. Jo Cals juga menuai kritik dari politisi Communistische Partij van Nederlands (CPN) Markus Bakker. Seperti dikutip dari koran De Waarheid, edisi 22 September 1962, kritik keras diarahkan kepada Jo Cals untuk menghentikan dukungan bagi Westerling. “Tiada lagi uang nyanyi dan tutup mulut untuk Westerling,” demikian judul berita yang dimuat koran yang berafiliasi dengan komunis itu. 

Karier Westerling sebagai penyanyi pun tamat secara dramatis, sedramatis akhir kariernya sebagai serdadu.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64fefe7977689a0c5648563a