Langkah Pemuda dari Rotterdam

Henk Sneevliet terlahir dari keluarga kelas pekerja. Menempuh lakon sejarah dari sebelah kiri jalan.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Langkah Pemuda dari RotterdamLangkah Pemuda dari Rotterdam
cover caption
Henk Sneevliet (ketiga dari kanan) berfoto bersama pengurus NVSTV. (Dok. Keluarga Henk Sneevliet/Historia.ID).

HENK Sneevliet baru menginjak usia tiga tahun ketika ibunya, Hendrika Johanna Mackelenbergh meninggal dunia karena sakit paru-paru kronis. Suaminya, Antonie Sneevliet, pembuat cerutu di Rotterdam yang berpenghasilan minim tak mampu membiayai perawatan terbaik bagi istrinya. Nyawa Hendrika tak tertolong lagi. Dia meninggalkan dua anak: Henk dan adiknya yang masih kecil, Christina. 

Henk sebenarnya anak kedua. Lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Dia punya abang yang meninggal saat masih kecil, juga karena penyakit paru-paru. Ellen Santen, cucu tiri Henk dari istri keempatnya, Mien Draaijer, mengisahkan keluarga Antonie hidup serba kekurangan di tengah merebaknya wabah TBC. “Warga Belanda kelas bawah waktu itu banyak menderita TBC. Mereka hidup miskin dan Henk dibesarkan dalam keadaan demikian,” ujar Ellen kepada Historia saat ditemui di rumahnya di bilangan Nieuwe Prinsengracht, Amsterdam, pertengahan April yang lalu.

HENK Sneevliet baru menginjak usia tiga tahun ketika ibunya, Hendrika Johanna Mackelenbergh meninggal dunia karena sakit paru-paru kronis. Suaminya, Antonie Sneevliet, pembuat cerutu di Rotterdam yang berpenghasilan minim tak mampu membiayai perawatan terbaik bagi istrinya. Nyawa Hendrika tak tertolong lagi. Dia meninggalkan dua anak: Henk dan adiknya yang masih kecil, Christina. 

Henk sebenarnya anak kedua. Lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Dia punya abang yang meninggal saat masih kecil, juga karena penyakit paru-paru. Ellen Santen, cucu tiri Henk dari istri keempatnya, Mien Draaijer, mengisahkan keluarga Antonie hidup serba kekurangan di tengah merebaknya wabah TBC. “Warga Belanda kelas bawah waktu itu banyak menderita TBC. Mereka hidup miskin dan Henk dibesarkan dalam keadaan demikian,” ujar Ellen kepada Historia saat ditemui di rumahnya di bilangan Nieuwe Prinsengracht, Amsterdam, pertengahan April yang lalu.

Sepeninggal istrinya, Antonie membawa Henk dan Christina dari Rotterdam ke rumah ibunya di s-Hertogenbosch, sebuah kota kecil di sebelah selatan Belanda. Sementara kedua anaknya dititipkan di rumah ibunya, dia bekerja sebagai penjaga penjara di Roermond, 90 kilometer ke selatan s-Hertogenbosch. Ketika menikah lagi, Henk dan Christina diboyong ke Roermond. Namun Henk tak betah tinggal dengan ibu tirinya dan memilih pulang ke rumah neneknya di s-Hertogenbosch. Dari pernikahan keduanya, Antonie punya dua anak. 

Di rumah neneknya, Henk menjadi pusat perhatian. Dua tantenya yang tak menikah mencurahkan kasih sayangnya pada Henk kecil. Sebagaimana mayoritas warga s-Hertogenbosch lainnya, Henk kecil dibesarkan neneknya dalam keluarga Katolik yang taat. 

Henk Sneevliet kecil. (Dok. Keluarga Henk Sneevliet).

Henk kecil pergi ke gereja, belajar agama pada pendeta yang disebutnya terlalu elitis dan tak peka pada kehidupan orang kecil. “Pendeta yang mengajar kami tampak angkuh dalam jubahnya dan mengabaikan kehidupan proletar,” ujar Henk seperti dikutip oleh Max Perthus dalam bukunya Henk Sneevliet: Revolutionair-Socialist in Europa en Azie. Ada banyak kejanggalan di s-Hertogenbosch yang mengusik Henk: kemiskinan merebak, kaum buruh hidup tak layak. “Tak jauh dari rumah, saya bisa mengamati kemiskinan yang mengerikan,” kata dia menambahkan.

Kemiskinan juga membelit masa kecil Henk. Ayahnya tak sanggup membiayainya sekolah. Kalau saja bukan karena jasa kolega keluarganya, dia tak mungkin bisa bersekolah ke HBS (Hogere Burgere School) sampai selesai. Semua perlengkapan Henk menjadi tanggungan tantenya. H.P.L. Wiessing, kawan Henk semasa muda mengenang kalau “Celana dan jas untuk Sneevliet menjadi beban bagi tante-tantenya yang (hidup) amat hemat. Mereka tak punya uang untuk menyenangkan anak ini (Henk, red.),” kata Wiessing dalam otobiografinya Bewegend Portret

Wiessing mengingat Henk sebagai siswa yang cerdas. Pada tahun-tahun pertama di HBS, dia telah menampakkan diri sebagai anak yang haus pengetahuan. Kesenjangan sosial di kalangan anak-anak HBS membangkitkan kesadarannya untuk memberontak. Meskipun Henk salah satu siswa yang cemerlang, namun karena sifat berontaknya, kepala sekolah HBS membecinya. “Kamulah apel busuk di dalam keranjang,” kata kepala sekolah itu kepada Henk seperti ditirukan oleh Wiessing. 

Semua kejadian yang dialaminya itu kelak membekas dan mempengaruhi perkembangan pemikirannya pada periode kehidupan Henk selanjutnya. Henk kecil tumbuh menjadi seorang pemberontak yang tak bisa diam melihat ketidakadilan di sekitarnya. 

Bob de Wilde, suami Ellen Santen, mengisahkan aksi heroik Henk ketika kelak bermasa kemudian dia berada di Semarang. Suatu hari Henk melihat seorang kuli dicambuk oleh seorang pria Belanda. Dihampirinya pria itu untuk merebut cambuknya. “Henk kemudian memberikan cambuk itu kepada kuli tadi dan memintanya mencambuk balik lelaki Belanda itu,” kata Bob yang semasa muda aktif di gerakan pemuda sosialis itu. 

Antonie Sneevliet. (Dok. Keluarga Henk Sneevliet).

Selepas sekolah menengah HBS, pada 1901 Henk memulai kariernya sebagai pegawai jawatan kereta api di Zutphen. Saat itu dia berusia 17 tahun dan diharuskan mengikuti pelatihan selama tiga tahun. Namun Henk sama sekali tak menunjukkan minatnya untuk bekerja di perusahaan itu. Dia malah lebih banyak berkecimpung di dalam serikat pekerja perusahaan ketimbang memikirkan jenjang kariernya. Tertarik pada ide-ide sosialisme, Henk bergabung dengan Partai Buruh Sosial-Demokratik (SDAP, Sociaal-Demoratische Arbeiders Partij). 

“Setelah saya lulus sekolah menengah (HBS, red.), saya terpincut pada gerakan sosialis dan dengan segala daya upaya saya lakukan untuk mengenal apa itu sosial-demokrasi,” kata Sneevliet. 

Pada 1904 Henk pindah ke Zwolle untuk bekerja sebagai pegawai stasiun. Zwolle kota bersejarah bagi gerakan sosialis Belanda di mana kongres nasional Liga Sosial Demokrat dilangsungkan pada 1892. Di kota yang terletak 111 kilometer ke arah timur laut Amsterdam itu Henk menemukan suasana yang mendukung minat aktivismenya. Di kota itu pula dia berkenalan dengan Henriette Roland Holst, penyair sekaligus aktivis sosialis terkemuka. 

Sejak saat itu Henriette jadi mentor politik bagi Henk, dan untuk beberapa tahun lamanya, mereka saling berkirim surat. Dia menggilai puisi-puisi Henriette dan mampu mengingatnya di luar kepala. “Henk menganggap Henriette seperti ibunya sendiri dan memanggilnya Tante Jet,” tulis Perthus dalam bukunya. 

Karier politik Henk terus melesat. Pada 1907 sampai 1910 dia terpilih sebagai anggota dewan kotapraja di Zwolle mewakili SDAP. Henk juga terpilih jadi ketua Perhimpunan Buruh Keretaapi dan Trem Belanda (Nederlandsche Vereeniging van Spoor –en-Tramweg Personeel, NVSTP) setelah sebelumnya menjabat wakil ketua sejak 1909. Pusat kegiatan NVSTP yang berada di Utrecht membuatnya harus meninggalkan Zwolle. 

Semenjak itu langkah Henk pun semakin mantap: menekuni laku politik pada sisi kiri jalan. 

Henriette Roland Holst. (Wikimedia Commons).

Pecah Kongsi: Jalan Menuju Hindia

Henriette Roland Holst dan Anton Pannekoek, seorang ideolog Marxis, mengelola bulanan De Nieuw Tijd, yang juga dikenal sebagai kelompok Marxis ortodoks. Majalah ini adalah corong propaganda SDAP. Henk berada di dalam jangkauan radar kelompok ini. 

Pada 1903, ketika terjadi gelombang pemogokan besar buruh kereta api, Pannekoek cum suis berseteru melawan Ketua SDAP P.J. Troelstra. Pangkal masalahnya perbedaan strategi. Menurut sejarawan Hilmar Farid, Troelstra menginginkan gerakan massa mendukung posisi mereka di parlemen. 

“Itu jelas berbeda dengan kaum ‘ortodoks’ seperti Pannekoek, Henriette Roland Holst dan David Wijnkoop yang strateginya gerakan massa untuk menumbangkan rezim,” kata doktor sejarah dari National University of Singapore itu. 

Semenjak itu bibit perpecahan di tubuh SDAP mulai bersemai. Kelak Pannekoek mendirikan “konsil komunis”. Pada 1909, ketika konflik semakin meruncing, mereka keluar dari SDAP dan mendirikan SDP (Sociaal Democratische Partij). David Wijnkoop jadi ketua pertamanya. SDP adalah cikal bakal Partai Komunis Belanda (CPN, Communistische Partij van Nederlands).

Menurut Hilmar, dalam awal-awal konflik pertama tersebut, Henk belum terlalu begitu radikal dan tidak serta merta lompat pagar bergabung dengan kubu SDP. “Dia bergabung dengan SDP justru ketika ISDV sudah terbentuk,” ujar Hilmar. ISDV didirikan oleh Henk pada Mei 1914 di Surabaya. 

Namun dalam soal haluan politik, Henk memilih strategi yang sama dengan Pannekoek cs. Ketika pada 14 Juli 1911 buruh pelabuhan Belanda melakukan pemogokan, Henk dan NVSTP yang dinakhodainya berada di pihak buruh. SDAP dan Federasi Buruh Belanda (NVV, Nederlandsch Verbond van Vakvereenigingen) yang memayungi NVSTP menolak keterlibatan tersebut. Perbedaan sikap itu membawa Henk berdiri berseberangan melawan SDAP dan NVV. 

P.J. Troelstra. (RCJ Hofker/Spaarnestad Photo).

Melalui artikel yang dimuat di De Nieuw Tijd dan diberi kata pengantar oleh Henriette Roland Holst, Sneevliet menggugat keputusan NVV dan SDAP di bawah kepemimpinan Troelstra. Henk dan Troelstra segera terlibat dalam sebuah perdebatan panjang mengenai siasat dalam gerakan. Berbeda dengan sikap Henk yang frontal dalam membela kepentingan buruh, Troelstra tampak berhati-hati dalam menentukan sikap politiknya. 

“Kawan yang baik, saya sudah membaca artikel Anda di majalah De Nieuw Tijd yang sangat penting di dalam membentuk opini tentang permasalahan ini... Namun ada satu hal yang luput dari pandangan Anda: di atas segalanya kita perlu menulis seutuhnya tentang kekuasaan dan kesatuan antara SDAP dan NVV. Jangan ada perpecahan. Jangan hempaskan NVV dan SDAP,” kata Troelstra melalui suratnya kepada Sneevliet, 7 November 1911. 

Konflik tersebut melambungkan nama Henk Sneevliet sebagai tokoh politik terkenal di Belanda. Menurut Fritjof Tichelman dalam Henk Sneevliet: Een Politieke Biografie, perselisihan tersebut membuat posisi Henk tidak aman. “Sebagai akibatnya dia harus keluar dari semua kegiatan politiknya,” tulis Fritjof Tichelman. 

Konflik kian meruncing. Jurang perbedaan pendapat terlalu lebar menganga. Henk terlalu bersikeras pada pendiriannya. Pada Juli 1912, atas desakan kelompok sayap kanan NVSTP, dia dipecat dari jabatannya sebagai ketua. Untuk sementara, karier politiknya tamat. Sneevliet harus memilih tetap berlawan atau mengasingkan diri dari segala macam kegiatan politik di negerinya. “Dalam keadaan demikian dia merasa perlu mengambil jarak dengan gerakan buruh di Belanda. Maka dia mengambil satu dari sekian banyak jalan: pergi ke Hindia,” tulis Fritjof Tichelman. 

Pada Februari 1913, Sneevliet berkemas menuju tanah harapan: Hindia, sebuah negeri yang telah lama dia kenal lewat karya Multatuli, Max Havelaar.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
651620eecf56120cacfbf959