Langkah Van Mook di Tengah Amok

Van Mook mengusung federalisme bagi Hindia Belanda dengan Republik Indonesia masuk di dalamnya. Namun, dia akhirnya mendukung agresi militer Belanda.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Langkah Van Mook di Tengah AmokLangkah Van Mook di Tengah Amok
cover caption
Hubertus Johannes van Mook di ruang kerjanya di Istana Rijswijk, Batavia, November 1945. (KITLV).

BEGITU kembali menginjakkan kaki di Indonesia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook dilanda bimbang. Janji Ratu Wilhelmina pada Desember 1942 tentang Persemakmuran Belanda bukan tawaran bagus di tengah situasi politik dan semangat revolusioner di Jawa. Penyelesaian militer jelas tak memungkinkan; selain baru saja mengalami pendudukan Jerman, pertempuran hanya akan menarik perhatian dunia internasional.

Saat itulah van Mook mengusulkan federalisme sebagai jawaban untuk mempertahankan negeri bekas jajahan Belanda ini. “Ketika memulai tugasnya, dia masih menguasai wilayah Indonesia di luar Jawa. Di sana dia mencoba membangun sebuah federasi yang relatif terbuka, demokratis, dan tenang. Dia condong akomodatif. Dia mau mengakui keabsahan Republik Indonesia dan memasukkannya ke dalam Indonesia yang federal,” ujar Gerry van Klinken, peneliti senior KITLV. 

BEGITU kembali menginjakkan kaki di Indonesia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook dilanda bimbang. Janji Ratu Wilhelmina pada Desember 1942 tentang Persemakmuran Belanda bukan tawaran bagus di tengah situasi politik dan semangat revolusioner di Jawa. Penyelesaian militer jelas tak memungkinkan; selain baru saja mengalami pendudukan Jerman, pertempuran hanya akan menarik perhatian dunia internasional.

Saat itulah van Mook mengusulkan federalisme sebagai jawaban untuk mempertahankan negeri bekas jajahan Belanda ini. “Ketika memulai tugasnya, dia masih menguasai wilayah Indonesia di luar Jawa. Di sana dia mencoba membangun sebuah federasi yang relatif terbuka, demokratis, dan tenang. Dia condong akomodatif. Dia mau mengakui keabsahan Republik Indonesia dan memasukkannya ke dalam Indonesia yang federal,” ujar Gerry van Klinken, peneliti senior KITLV. 

Pada 15 Desember 1942, ditemani Menteri Urusan Daerah Seberang Lautan Logemann, Van Mook pergi ke Belanda untuk menjelaskan gagasannya. Dalam sidang-sidang dewan menteri memperdebatkan gagasannya, namun secara umum mereka setuju. Van Mook pun siap berunding dengan Republik Indonesia.

Van Mook bercengkerama dengan peserta Konferensi Malino. (Arsip Nasional Belanda).

Gagasan Lama

Jauh sebelum Van Mook melontarkannya, federalisme sudah menjadi gagasan di kalangan intelektual Belanda. Termasuk di antaranya Ritsema van Eck, kepala kehutanan di Jawa, dalam karyanya Kolonial-Staatkundige Studi 1912–1918, serta Hendrikus Colijn, yang kemudian jadi perdana menteri Belanda, dalam makalah berjudul Staatkundige hervomingen in Nederlandsch-Indie.

“Masalahnya, gagasan itu amat konservatif. Ritsema van Eck, misalnya, pada tahun 1919 mengusulkan semacam apartheid bagi Hindia Belanda, di mana kota besar dikuasai golongan kulit putih dan yang disamakan sedangkan daerah rural masih dikuasai adat. Colijn kemudian mengusulkan agar jauh ke depan (ratusan tahun ke depan!) pulau-pulau besar akan menjadi republik sendiri. Jadi Republik Jawa, Republik Sumatra, dan seterusnya. Konservatismenya konsep federal terletak dalam asumsi feodalis. ‘Adat’ yang dibayangkan akan melegitimasi pemerintahan di masing-masing daerah berakar di kaum ningrat,” ujar Van Klinken. 

Namun, gagasan keduanya punya pengaruh kuat di antara birokrat dan kaum konservatif. Salah satunya Menteri Daerah Jajahan A.W.F. Idenburg. 

Pada 8 Oktober 1918, setelah mempelajari gagasan Van Eck dan Colijn serta laporan Montagu-Chelmsford yang menganjurkan federalisme dalam tata negara Hindia Belanda, Idenburg mengirimkan telegram kepada Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum. Dia mengusulkan, “pertama pemisahan mutlak antara wewenang pribumi dan wewenang Belanda, kedua pengembangan Persemakmuran Hindia menjadi federasi provinsi-provinsi,” tulis Idenburg, dikutip Elsbeth Locher-Scholten dalam Etika yang Berkeping-keping.

Surat Idenburg tiba terlambat. Praktis, Van Limburg Stirum hanya berpedoman pada laporan Montagu-Chelmsford yang dianggapnya bisa diterapkan di Hindia Belanda. 

Dia semakin ke kanan hingga akhirnya mendukung agresi militer Belanda, dengan akibat tragis.

Pada 11 Oktober 1918, Van Limburg Stirum menyampaikan perspektifnya kepada Volksraad, badan perwakilan di Hindia Belanda. Namun, situasi di Hindia Belanda dan Eropa membuat pernyataannya kurang mendapat perhatian. Dia pun menyerahkannya kepada sebuah komisi di bawah J.H. Carpentier Alting, ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda. 

Laporan komisi Alting, terbit akhir Juli 1920, menghendaki pemerintah Hindia yang kuat dan terdiri atas gubernur jenderal bersama Dewan Hindia dengan anggota para direktur kepada departemen (pemerintah kolegial). “Dengan bersemangat, komisi melawan sistem federasi, pijakan mereka ialah ‘satu negeri Hindia’,” tulis Elsbeth Locher-Scholten. 

Van Limburg Stirum harus menerima laporan komisi. Karena langkah-langkah dianggap terlalu jauh, dia digantikan oleh G.G. Fock. Pada Februari 1921, satu setengah bulan sebelum meninggalkan Hindia Belanda, dia merumuskan usul-usulnya kepada menteri –yang baru diterbitkan pada 1967. Menurut Locher-Scholten, meski dia mengakui semangat hidup yang terpancar dari negara kesatuan, dia lebih memilih bentuk federatif. 

Namun, bentuk hubungan antara pemerintah Belanda dan Hindia tetap menjadi pembicaraan. Salah satunya kelompok De Stuw, pendukung politik emansipasi yang akhirnya bertujuan mendirikan Persemakmuran Hindia –tanpa pernah menjelaskan bentuk federalisasi atau sentralisasi. Van Mook, yang lahir di Semarang, adalah anggota kelompok ini. Ketika itu tak terwujud karena pendudukan Jepang, seperti diutarakan dalam karyanya Indonesie, Nederland en de Wereld, dia hanya bisa mengeluh: “Setiap gairah terhadap masa depan itu dibendung dalam batas-batas yang teramat sempit.” 

Jalan Menuju Malino

Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang digariskan pemerintahnya, Van Mook kembali ke Indonesia untuk berunding. Maret 1946, Van Mook dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir mulai melakukan pembicaraan resmi di bawah pimpinan Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris. Sjahrir menyambut baik pengakuan Belanda atas hak Indonesia menentukan nasib sendiri, namun ikatan dengan kerajaan baru akan dikukuhkan sesudah adanya pengakuan kemerdekaan Indonesia. Perundingan macet. 

Dalam keadaan sulit, Van Mook menoleh pada pemecahan Prancis di Vietnam: mengakui Republik Vietnam sebagai negara merdeka yang akan menjadi bagian dari Federasi Indochina dan Uni Prancis. Van Mook mengajukan tawaran itu, sekalipun menyimpang dengan kebijakan pemerintah Belanda. 

Ketika pembicaraan dalam Konferensi Hoge Veluwe mengalami kebuntuan, Van Mook menggandeng elite-elite lama dan memanfaatkan sentimen lokal di luar Jawa untuk mewujudkan gagasannya. 

Gagasan negara federal diterima dengan suara bulat dalam Konferensi Malino, yang benih pertamanya muncul dalam Konferensi Denpasar dengan nama Negara Indonesia Timur. Setelah itu, menyusul kemudian negara-negara bagian lainnya. 

“Di Malino inilah tercipta istilah-istilah yang belakangan menjadi pegangan dalam Konferensi Linggarjati,” tulis Jan Bank dalam Katolik di Masa Revolusi Indonesia.

Pada Agustus 1946, Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia. Killearn berhasil membawa kedua negara duduk dalam Perundingan Linggarjati pada November 1946.

Van Mook dan Sutan Sjahrir bertukar berkas penandatanganan Persetujuan Linggarjati di Istana Rijswijk, 25 Maret 1947. (Cas Oorthuys/nederlandsfotomuseum.nl).

Di tengah tawar-menawar yang berjalan alot, terjadilah apa yang dikenal sebagai insiden Kuningan. Dalam sebuah pertemuan, yang tak dihadiri Sjahrir, ketua Komisi Jenderal Wim Schermerhorn dan Van Mook meminta persetujuan Sukarno atas pasal-pasal yang belum mendapat persetujuan kedua pihak. Menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo, Sukarno yang tak mengikuti jalannya perundingan senang dengan pasal tentang Negara Indonesia Serikat yang berdaulat. Bagi Schermerhorn dan Van Mook, penerimaan pasal itu berarti Sukarno mengakui Belanda. Inilah yang membuat Sjahrir marah. “Yang menentukan politik adalah PM, bukan presiden,” kata Sjahrir dikutip Rosihan.

Untuk menyiasatinya, Sjahrir memasukkan pasal tentang arbitrase; jika ada perselisihan akan dibawa ke sidang Dewan Keamanan PBB. Hasil perundingan antara lain kesepakatan membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Mahkota Negeri Belanda sebagai kepala uni. 

“Persetujuan Linggarjati pada hakikatnya merupakan pemecahan atas masalah hubungan antara Belanda dan Indonesia, yang di kemudian hari ternyata selalu menjadi pegangan. Pembentukan Negara Indonesia Serikat dan Uni Belanda-Indonesia akan selalu menjadi tema pembicaraan dalam setiap perundingan diplomatik sesudah itu,” tulis Jan Bank. 

Puncaknya, dalam Konferensi Meja Bundar tercapai kesepakatan pembentukan Republik Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia masuk di dalamnya.

Van Mook sendiri tak merampungkan tugasnya karena mengundurkan diri di tengah jalan. Dia merasa pemerintah Belanda menyingkirkannya karena lebih berpihak pada pendirian kalangan federal di Indonesia, yang juga mau menyingkirkannya. 

“Setelah beberapa waktu, ketika banyak rencananya mulai gagal, dia kehilangan kesabaran. Dia semakin ke kanan hingga akhirnya mendukung agresi militer Belanda, dengan akibat tragis. Jadi, Van Mook mencerminkan dengan baik seluruh masalah Belanda pada periode 1945–1950 –di balik perasaan ingin berbuat baik bagi Indonesia ada arogansi kolonial yang tak bisa melihat situasi sebenarnya, hingga seluruh budaya kesopanannya tertelan oleh agresi militer,” ujar Van Klinken.

“Dengan kepergian Van Mook, hilanglah wakil terkuat politik kemandirian Hindia yang sudah menduduki ‘takhta Buitenzorg’ sejak Van Limburg Stirum,” tulis Jan Bank. 

Keinginan Van Mook mendirikan pemerintahan Hindia-Indonesia di tanah kelahirannya pupus sudah.*

Majalah Historia No. 8 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
649500a5ca95035b5ffc668c