TERIK mentari, tiupan angin, dan tebaran debu tak menyurutkan semangat anak-anak berlatih sepakbola di Lapangan Banteng, Jakarta. Mereka menggiring bola melewati rintangan-rintangan sambil terus mendengarkan instruksi pelatih.
“Sebenarnya pengen jamnya kita ubah, cuma masalahnya banyak tim lain yang sewa,” ujar Angela Handayani, sekretaris Sekolah Sepakbola Plus Football Academy.
Sejak dijadikan taman kota oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1981, Lapangan Banteng menjadi area publik yang menarik buat warga kota. Nyaman untuk tempat bercengkerama, enak buat olahraga, bahkan aman untuk kencan ataupun transaksi prostitusi jalanan.
TERIK mentari, tiupan angin, dan tebaran debu tak menyurutkan semangat anak-anak berlatih sepakbola di Lapangan Banteng, Jakarta. Mereka menggiring bola melewati rintangan-rintangan sambil terus mendengarkan instruksi pelatih.
“Sebenarnya pengen jamnya kita ubah, cuma masalahnya banyak tim lain yang sewa,” ujar Angela Handayani, sekretaris Sekolah Sepakbola Plus Football Academy.
Sejak dijadikan taman kota oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1981, Lapangan Banteng menjadi area publik yang menarik buat warga kota. Nyaman untuk tempat bercengkerama, enak buat olahraga, bahkan aman untuk kencan ataupun transaksi prostitusi jalanan.
Lapangan Banteng mulanya belantara dan rawa yang menjadi rumah bagi binatang buas, dari banteng hingga harimau. Konflik hewan-manusia kerap terjadi. Sampai-sampai Kongsi Dagang Belanda (VOC) pada 1762 memberi hadiah besar kepada seorang pemburu yang berhasil menaklukkan 27 ekor macan kumbang.
Namun, keliaran tempat ini justru menarik para penggemar berburu. Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker salah satunya. Pada 1644, ia dan 300 pembantunya menggiring satwa-satwa liar di hutan itu ke utara (dalam kota). Hewan-hewan itu sengaja tak dibunuh untuk dipelihara. Kala itu memelihara hewan jadi simbol status. Banyak orang kaya melakukannya.
Membuka Hutan
Pada pertengahan abad ke-17, seorang pedagang kaya bernama Anthonij Paviljoen membeli hutan-rawa itu. “VOC menjual tanah begitu saja, seolah-olah tanah-tanah di Jakarta milik mereka,” ujar sejarawan Alwi Shahab.
“Orang-orang Belanda membeli tanah di luar kota ada yang bangun tempat peristirahatan; ada yang kayak sekarang, membeli tanah untuk mereka jual; membeli tanah untuk investasi,” sambung Alwi. Paviljoen membiarkan hutan-rawa itu begitu saja.
Pada 1657 VOC membangun sebuah benteng kecil bernama Noordwijk (kini di sekitar Masjid Istiqlal) di barat lautnya. “Pos militer ini dianggap perlu, karena daerah di sebelah selatan Kota tetap dijelajahi sisa tentara Kerajaan Mataram maupun patroli Kesultanan Banten, serta gerombolan budak yang melarikan diri,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Selain untuk mengawasi musuh, benteng Noordwijk sering dipakai para penggembala untuk mengawasi ternak yang merumput di Paviljoensveld.
Menjelang abad ke-18, anggota Dewan Hindia Cornelis Chastelein membeli Paviljoensveld dan mengubahnya jadi persawahan. Ia mendatangkan budak-budak yang dibelinya dari raja-raja Bali untuk menggarapnya. Chastelein juga mencoba menanam kopi, yang kemudian jadi komoditas unggulan setelah meredupnya rempah-rempah, di tanahnya, Weltevreden –membentang dari Senen hingga Pasar Baru sekarang; Paviljoensveld berada di tengah-tengahnya.
Sempat beberapa kali ganti pemilik, pada akhir abad ke-18 Paviljoensveld –dan Weltevreden– dibeli gubernur jenderal terakhir era VOC Pieter Gerardus van Overstraten. Overstraten membangun markas militer baru di sekitar lapangan itu. Menurut Alwi Shahab, VOC membangun tanah tersebut untuk dijadikan pusat Batavia baru. “Waktu dibuka itu ternyata banyak makan korban karena di situ ada banyak binatang buas,” ujarnya.
VOC sendiri kala itu berada di jurang kehancuran. Timbul konflik dan perpecahan, yang membuat Paviljoensveld jadi rebutan para petinggi VOC. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang mulai berkuasa pada 1808, akhirnya mengambil paksa wilayah itu dari Overstraten yang menjadikannya alun-alun dan tempat latihan militer. “Pemiliknya hanya diberi ganti rugi 10 ribu ringgit,” ujar Alwi.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Waktu dibuka itu ternyata banyak makan korban karena di situ ada banyak binatang buas.</div>
Daendels memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (kini Kota), yang sudah tak kondusif karena padat penduduk dan terjangkit wabah penyakit, ke Weltevreden atau Nieuw Batavia. “Kota lama tidak dapat digunakan sebagai pusat pertahanan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris,” tulis Heuken.
Daendels mempercantik Paviljoensveld. Ia membangun Istana Putih (Witte Huis) atau Rumah Besar (Groote Huis), yang rampung pada era Gubernur Jenderal Joseph Du Bus Gisignies –kini jadi kantor Kementerian Keuangan. Selain menjadi kantor gubernur jenderal, Istana itu “dipergunakan untuk segala macam kantor pemerintahan, percetakan negara, kantor pos dan pengadilan tinggi (sejak 1829),” tulis Heuken.
Di sana, setiap sore, rutin digelar parade militer. Nama Paviljoensveld pun berubah menjadi Lapangan Parade (Paradeplaats). Ramai orang berdatangan menonton parade militer sembari berharap mendapat pasangan, terutama para gadis dengan dandanan terbaiknya.
Band-band militer juga biasa unjuk kebolehan di lapangan ini. Para penonton, umumnya orang kaya, biasa memarkir sado mengelilingi band. “Pengunjung mungkin berkesempatan melihat salah satu konser-konser di lapangan terbuka tersebut yang merupakan contoh awal konsep drive-in theater,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Selain itu, pacuan kuda menjadi aktivitas yang rutin digelar di sebelah barat laut lapangan sejak era pemerintahan Inggris. Selama abad ke-19, lapangan itu pun menjadi pusat kehidupan sosial.
Pada 1828, pemerintah membangun tugu singa di tengah lapangan untuk memperingati Pertempuran Waterloo di Belgia di mana Napoleon Bonaparte, yang mencaplok Belanda, kalah perang. Sejak itu lapangan tersebut dikenal dengan nama Lapangan Waterloo (Waterlooplein), kendati ada juga yang menyebutnya Lapangan Singa. Pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge lalu melengkapi lapangan itu dengan patung Jan Pieterszoon Coen, yang berdiri di bagian timur menghadap Istana Putih, pada 1876.
“Selama abad ke-19, Lapangan Waterloo adalah pusat kehidupan sosial,” tulis Heuken.
Pusat Politik
Ketika Jepang masuk pada 1942, Dai Nippon menghancurkan semua peninggalan Belanda di Waterlooplein, kecuali patung Jan Pieterszoon Coen. Ketika Indonesia merdeka, Presiden Sukarno mengganti nama Waterlooplein menjadi Lapangan Banteng –untuk mengidentifikasi semangat Indonesia– meski masyarakat masih menyebutnya Waterlooplein hingga 1950-an. Pemerintah kemudian merobohkan patung Jan Pieterszoon Coen, yang dianggap peninggalan kolonial.
Lapangan Banteng kemudian menjadi tempat rapat akbar, demonstrasi, dan kampanye politik. Presiden Sukarno beberapa kali berpidato di sana, termasuk soal pemebebasan Irian Barat. Pada 1963, Sukarno membangun Tugu Pembebasan Irian Barat di bekas tempat tugu singa era kolonial. Menjelang kejatuhannya, demonstrasi mahasiswa sering menempati lapangan terluas kedua setelah Lapangan Monas itu. Yang paling terkenal adalah penembakan Arief Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia.
Eddy Hidayat, putra Kapten Saleh Wiranatakusumah (ajudan Pangdam Jaya Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah), masih ingat cerita orang tuanya ketika pada 1965 situasi di Lapangan Banteng mencekam. “Saya, waktu itu masih umur kira-kira dua tahun, pernah tinggal di dalam panser di Lapangan Banteng bersama Ibu Umar demi keamanan,” ujarnya.
Fungsi sebagai arena politik terus berlanjut hingga Orde Baru. “Dulu waktu zaman kampanye (Lapangan Banteng) selalu dijaga ketat. Tapi walaupun begitu tetap ada kericuhan-kericuhan,” kenang Eddy.
Kericuhan terbesar terjadi pada 18 Maret 1982, ketika Golkar menggelar kampanye di Lapangan Banteng. Massa menyerang para anggota dan simpatisan partai berlambang beringin itu selain membakar podium dan peralatan sound system. Massa juga mengadang siapa saja yang mengenakan pakaian Korpri. Akibatnya, beberapa orang terluka. Pascakerusuhan, Lapangan Banteng tak lagi digunakan sebagai gelanggang politik.
Selain sebagai arena kegiatan politik, Lapangan Banteng menjadi terminal bus antarkota sejak 1968. Gubernur Ali Sadikin yang menggagasnya, demi membuat Jakarta memiliki terminal yang baik dan bersih. Terminal sebelumnya, terminal Bungur, sangat “kotor” oleh calo. Ali memilih Lapangan Banteng karena letaknya di pusat kota dan lahannya milik negara sehingga tak perlu biaya pembebasan lahan.
Namun, Lapangan Banteng sebagai terminal hanya bertahan hingga 1981. Setelah itu, pemerintah Jakarta menjadikannya sebagai taman kota. “Setelah terminal dipindahkan ke Grogol, terus dipindahkan lagi ke Cililitan, Lapangan Banteng sempat dijadikan tempat mangkal tukang jualan makanan,” ujar Eddy.
Kini, Lapangan Banteng lebih berfungsi sebagai areal hijau bagi warga kota. Pameran-pameran flora dan fauna kerap menempati lapangan seluas lebih dari empat hektar itu. Cerita lainnya, tak seperti noni-noni Belanda yang mencuri perhatian serdadu KNIL di zaman Belanda, para penjaja cinta berkeliaran begitu malam tiba.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 11 Tahun I 2013.