Orang Indonesia betah menonton tarian dan nyanyian dalam film India. Berpengaruh besar terhadap perkembangan film dan musik. Indianisasi belum berakhir.
Adegan dalam film Raja Harishchandra. (starfilminstitute.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
DI depan lahan bekas bioskop Rivoli di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Mansyur berdiri mengamati lalu-lalang kendaraan di jalanan. Dia lalu menjauh dari jalan dan duduk bersandar ke pagar seng. Di balik pagar seng, berdiri hotel setengah jadi. Mansyur bertugas menjaga hotel selama pembangunan. Terik matahari, debu, dan raungan kendaraan bermotor menjadi santapan hariannya. Sebelum Rivoli tutup pada 1999, dia biasa bekerja di dalam ruangan. “Sebagai pemutar rol film di sini,” ujar Mansyur, lelaki berusia 50 tahun, sembari menunjuk ke arah hotel.
Mansyur bekerja di Rivoli sejak 1975. Tugasnya memastikan tayangan film berjalan baik; tak goyang dan macet. Ada tiga kali pemutaran film dalam sehari: pukul 15.00, 18.00, dan 21.00. Khusus Jumat dan Sabtu, ditambah satu kali, pukul 00.00. Hampir semua film berasal dari Bombai, India. “Makanya bioskop ini terkenal sebagai bioskop India,” kata Mansyur.
Penonton film India di Rivoli beragam: anak-anak, remaja, orang tua, orang Indonesia dan orang India. Mereka datang satu setengah jam sebelum pemutaran film.
Film India punya pengaruh besar terhadap perkembangan film dan musik di Indonesia. Semua melalui proses panjang.
DI depan lahan bekas bioskop Rivoli di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Mansyur berdiri mengamati lalu-lalang kendaraan di jalanan. Dia lalu menjauh dari jalan dan duduk bersandar ke pagar seng. Di balik pagar seng, berdiri hotel setengah jadi. Mansyur bertugas menjaga hotel selama pembangunan. Terik matahari, debu, dan raungan kendaraan bermotor menjadi santapan hariannya. Sebelum Rivoli tutup pada 1999, dia biasa bekerja di dalam ruangan. “Sebagai pemutar rol film di sini,” ujar Mansyur, lelaki berusia 50 tahun, sembari menunjuk ke arah hotel.
Mansyur bekerja di Rivoli sejak 1975. Tugasnya memastikan tayangan film berjalan baik; tak goyang dan macet. Ada tiga kali pemutaran film dalam sehari: pukul 15.00, 18.00, dan 21.00. Khusus Jumat dan Sabtu, ditambah satu kali, pukul 00.00. Hampir semua film berasal dari Bombai, India. “Makanya bioskop ini terkenal sebagai bioskop India,” kata Mansyur.
Penonton film India di Rivoli beragam: anak-anak, remaja, orang tua, orang Indonesia dan orang India. Mereka datang satu setengah jam sebelum pemutaran film.
Film India punya pengaruh besar terhadap perkembangan film dan musik di Indonesia. Semua melalui proses panjang.
Bioskop Rivoli, bioskop pemutar film India di Jakarta, 1950-1996. (Repro biografi Djamaludin Malik).
Serangan Film India
Masyarakat kota Bombai, pesisir barat India, beroleh kabar mengejutkan menjelang tutup tahun 1895. Mereka membaca berita di koran tentang pertunjukan teknologi gambar hidup di Prancis. Otak di balik karya itu dua bersaudara asal Prancis, Auguste dan Louis Lumiere, yang menyebut teknologi itu sebagai “film” dan tempat pertunjukannya sebagai “bioskop”.
Marius Sestier, sejawat Lumiere Bersaudara, berkunjung ke Bombai untuk memperkenalkan karya Lumiere Bersaudara pada awal Juli 1896. Pertunjukan berlangsung sebulan dan berbayar. “Media India menyebut pertunjukan itu sebagai ‘sebuah keajaiban dunia’,” tulis B.D. Garga dalam So Many Cinemas The Motion Picture in India.
Masyarakat India terperanjat. Sakharam Bhatavdekar, fotografer setempat, sampai rela memesan kamera sejenis yang dimiliki Lumiere Bersaudara agar bisa membuat film. Sejumlah orang kaya mengikuti langkah Bhatavdekar. Mereka mendengar pertunjukan Lumiere laris di kota India lainnya seperti Madras dan Kalkuta. Mereka berpikir bisa meraup rupe dari membuat film dan mempertunjukannya ke khalayak. Film dokumenter bisu berdurasi pendek dan bioskop keliling pun bermunculan.
Saat orang India mulai jenuh dengan pertunjukan film pendek, Dadasaheb Phalke, pembuat film, mengangkat kebudayaan adiluhung India ke layar lebar. Dia mengambil epos Ramayana dan menampilkan filmnya ke khalayak pada 9 Mei 1913. Berjudul Raja Harischandra, film ini jadi pelopor film cerita berdurasi panjang pertama di India.
Menurut Sangita Gopal dan Sujata Moorti dalam pengantar Global Bollywood: Travels of Hindi Song and Dance, Dada mengklaim filmnya sebagai “fondasi pendirian industri film di India untuk mengekspresikan gagasan swadeshi (berdikari).”
Media sezaman menilai karya Dada sebagai terobosan baru. Khalayak mengapresiasi karyanya. Raja Harischandra meraup dua sukses sekaligus: gagasan dan komersial. Ini merangsang orang-orang kaya India menanam modal ke dunia film. Studio dan bioskop bermunculan. Pemerintah ikut andil dengan membatasi film-film Hollywood. Film India jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Puas dengan keuntungan di dalam negeri, pengusaha film India mencoba peruntungan dengan mengekspor film menjelang Perang Dunia II. Sasarannya beberapa negara di Eropa Timur, Asia, dan Afrika. Sempat terhenti karena Perang Dunia II, ekspor menggeliat lagi. India mendapat 440 juta rupe dari industri filmnya setelah Perang Dunia II.
“Dengan begitu usaha film merupakan pula usaha kedua dari industri India; yang pertama ialah perputaran uang dalam usaha kapas,” tulis Aneka, majalah film dan olahraga terbitan Indonesia, 1 Juli 1952.
Poster film India terbitan Geliga Films Ltd. (Sinematek).
Berebut Tempat
Bioskop-bioskop di Indonesia sudah menayangkan film India pada 1948. Menurut Johan Tjasmadi, dalam 100 Tahun Bioskop di Indonesia, lima film India masuk ke Indonesia kala itu. Apa judul film India pertama di bioskop Indonesia? “Chandralekha,” jawab Djamaludin Malik, pengusaha film nasional, dalam Aneka, No. 27, 1955. Film itu bertutur tentang konflik antar anak raja di sebuah kerajaan dongeng.
Masyarakat menyambut baik kehadiran film India. Mereka terhibur dengan nyanyian dan tarian dalam film. Importir film pun terdorong mengimpor film India lebih banyak lagi pada 1949, menjadi 34 film.
Tak mau kalah bersaing, pengusaha film nasional menggenjot produksi dan mutu film. Strategi mereka berhasil. “Para pengusaha bioskop berebutan untuk memutar film Indonesia,” tulis Aneka, 1 Januari 1956, mengkilas balik perkembangan film. Dampaknya, impor film India menurun pada 1950 dan 1951, masing-masing 12 dan 8 film. Peningkatan impor terjadi lagi pada 1952 menjadi 22 film, namun mereka harus bersaing dengan film-film dari Filipina, Amerika Serikat, dan terutama Malaya.
Alwi Shahab, sejarawan Jakarta kelahiran Kwitang tahun 1936, punya kenangan tentang film Malaya. “Saya hobi menonton. Saya ingat betul waktu itu, sekitar 1952, film-film Malaya mendominasi bioskop. Film India belum begitu banyak di bioskop,” kata Alwi.
Bioskop terbagi tiga: kelas satu, dua, dan tiga. Tiap kelas menunjukkan kualitas gedung dan harga tiket masuk. Seluruh bioskop kelas satu hanya menayangkan film Amerika atau film serius. Alwi biasa menonton di bioskop kelas dua atau tiga, bioskop rakyat kebanyakan. Bioskop itu kerap memutar film Malaya.
“Bahkan anak-anak muda kenalnya juga dengan bintang film Malaya ketimbang Indonesia,” kata Alwi.
“Mereka bukan saja keranjingan film Malaya, malahan sudah begitu lancang sehingga film nasional dengan tidak segan berani dicapnya konyol,” tulis Aneka, 10 Oktober 1952.
Pengusaha film nasional pun meminta pemerintah berlaku adil terhadap kuota film impor. Pemerintah kurang tanggap. Mereka baru mengeluarkan kebijakan pada 1954. “Yaitu peraturan yang dinamakan 1:3. Artinya, tiap 3 buah film kita yang diimpor ke Malaya, Malaya boleh memasukkan 1 buah filmnya ke Indonesia,” tulis Kentjana, 1 Februari 1955.
Poster film India terbitan Harapan Trading Coy. (Sinematek).
Menyebar Pengaruh
Kebijakan pemerintah berhasil menahan peredaran film Malaya, tapi sama sekali tak membantu usaha perfilman nasional. Pengusaha bioskop kelas dua dan tiga mengisi kekosongan slot film Malaya dengan film India. Alasan mereka sederhana. Film India memiliki kedekatan dengan film Malaya, baik dari segi cerita maupun nyanyian.
Menurut Usmar Ismail, film India gabungan antara cerita gaib, ajaib, takhayul, nyanyian, dan tarian yang dikemas secara spektakuler. Banyak film India yang diputar di Indonesia berlawanan dengan akal sehat. Tapi orang Indonesia hirau soal mutu teknis, pencapaian estetis, dan logika cerita dalam film. Film India lekas merebut hati khalayak.
Media hiburan seperti Aneka, Kentjana, dan Terang Bulan kerap membuat resensi film India. Bahkan majalah Dunia Film menyediakan rubrik khusus mulai Juli 1954 yang diasuh Ranjit Singh, penulis pada banyak majalah film di India. Di Surabaya, muncul majalah khusus film India. “Namanya Indian Films. Haji Latief Sulaeman, orang Indonesia keturunan India, jadi pemimpin redaksinya,” kata Alwi.
Menurut Haris Jauhari dkk. dalam Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, peredaran film India di Indonesia sepanjang 1954 mencapai 150 kopi dari 22 judul. Setahun kemudian meningkat drastis menjadi 311 kopi. Kebanyakan film berasal dari Bombai. Ciri film ini antara lain percakapan bertele-tele sehingga tempo film sangat lambat, bisa berdurasi hingga lima jam, penuh tarian dan nyanyian, dan ramai alunan tabla (sejenis kendang). Sampai-sampai orang sedih pun masih bisa menari dan menyanyi beriringan dengan irama tabla.
Film India masuk Indonesia melalui sejumlah perusahaan film seperti Geliga Films, NV Ifdil, Harapan Trading Coy, Persari, dan Perfini. Dua nama terakhir merupakan perusahaan film milik Djamaludin Malik dan Usmar Ismail, dua tokoh idealis pembela perfilman nasional. Apa alasan mereka ikut mengimpor film India?
“Ini sekadar politik dagang mengenai distribusi film belaka. Tegasnya, dengan menawarkan film India yang komersial, akan sangat menguntungkan, di sampingnya ditawarkan film Indonesia buatan sendiri untuk dijadikan goncangan supaya diputar pula,” kata Djamaludin Malik, dikutip Ramadhan KH dan Nina Pane dalam Pengusaha, Politikus, Pelopor Industri Film: Djamaludin Malik Melekat di Hati Banyak Orang.
Djamaludin tak sembarang mengimpor film India. Dia berprinsip film India tak boleh terlalu buruk tapi juga jangan kelewat berat agar orang tetap mau menonton dan idealisme perusahaannya terjaga. Maka dia mengimpor Boot Polish, salah satu film peserta Festival Film Cannes 1955. Film itu tayang di bioskop kelas satu Indonesia dan cukup menguntungkan Persari. Djamaludin menggunakan keuntungan mengimpor film India untuk memproduksi film nasional yang berbobot.
FIlm Boot Polish diproduseri oleh Raj Kapoor, tayang tahun 1954. (Wikimedia Commons).
Usmar Ismail juga bertindak seperti Djamaludin. Dia hanya mengimpor film-film India berbobot seperti Awara dan Adhikar. Tayang di semua bioskop kelas satu, dua film itu meraih sorotan kalangan elite yang menilai film-film itu berbeda dari kebanyakan film India di bioskop kelas dua dan tiga.
Pengusaha dan importir film lain enggan mengikuti jejak Djamaludin Malik dan Usmar Ismail. Mereka berkiblat pada keuntungan semata. Akibatnya film India murahan terus membanjiri bioskop Indonesia hingga 1957. Misbach Yusa Biran, tokoh film, menyebut stok film India saat itu cukup untuk masa putar selama tiga tahun ke depan. Industri film nasional di ambang kehancuran. “Pemerintah terlambat menutup keran kuota pemasukan film India…” tulis Misbach dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel.
Usmar Ismail dan Djamaludin Malik minta bantuan pemerintah. Bahkan mereka mengambil langkah ekstrem dengan menutup studio dan berhenti memproduksi film pada Maret 1957. Pemerintah mengalah dan mulai membatasi film India.
Tahun-tahun setelahnya peredaran film India berkurang, tapi pengaruhnya justru menguat dalam film dan musik Indonesia.
Pengusaha film mencoba resep sukses film India dengan memasukkan tarian dan nyanyian. Ceritanya pun kerap menjiplak film India. Sebagian pengusaha rela mendatangkan tenaga ahli dari India untuk bikin film bersama. Hasil penjualan filmnya bervariasi: kadang laku, kadang jeblok.
Dalam ranah musik, pengaruh film India tersua dalam grup orkes Melayu. Mereka mulai menerjemahkan lagu-lagu dalam film India dan memainkannya. “Awal 1960-an, lagu-lagu India terjemahan ini meletakkan landasan untuk dangdut,” tulis Andrew N. Weintraub dalam Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia. Grup orkes juga meniru pola ritmis musik India. Orang menyebutnya “chalte”.
Penyanyi orkes pun tak lepas dari pengaruh film India. Elya Khadam, misalnya, berdandan dan berpakaian ala India saban manggung. Tapi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia meredam pengaruh itu beberapa lama. Indonesia menilai Malaysia sebagai bentukan Inggris imperialis. Sentimen itu merembet ke India pada Juni 1965, saat berlangsung Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Aljazair.
Pemerintah India berandil memasukkan Malaysia ke KAA. Pemerintah Indonesia kecewa. Sebagai bentuk solidaritas pada pemerintahnya, Organisasi Sedjenis Pengusaha (OPS) Bioskop Djakarta Raja memboikot film India pada September 1965. OPS di daerah bertindak serupa. Tamatlah riwayat film India. Tapi film India tak betah berlama-lama dalam kuburan.
Alwi Shahab, sejarawan Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Masuk Televisi
Keruntuhan Orde Lama mengubah paradigma politik dan ekonomi Indonesia. Pemerintah meninggalkan politik konfrontasi dan lebih mengedepankan pembangunan ekonomi. Salah satunya membuka lagi impor, termasuk dari India. Pemerintah mendapat untung dari bea impor film India. “Bea masuk film India 700 ribu rupiah,” tulis Kompas, 2 Maret 1973.
Kehadiran kembali film India kurang mendapat sambutan masyarakat dan pengusaha bioskop. Sebab film nasional tengah berjaya sehingga film India susah masuk ke bioskop. Importir film India di sekitar Pasar Baru, Jakarta, hanya mendistribusikan film India ke sejumlah bioskop khusus film India. “Rivoli. Bioskop ini dapat pasokan film dari Pasar Baru,” kata Mansyur.
Penggemar fanatik film India terbiasa memanjakan mata dan telinganya di Rivoli selama hampir 20 tahun. Kemunculan stasiun televisi swasta TPI –kini berganti nama jadi MNCTV– mengubah kebiasaan mereka. TPI, yang mengudara pada 1991, menayangkan serial Mahabharata produksi India. “Berdasarkan riset Survey Research Indonesia [SRI], serial yang seluruhnya 91 episode ini selalu menduduki lima besar,” tulis Kompas, 3 Maret 1992.
Sukses Mahabharata mendorong TPI menayangkan serial lain dari India, Ramayana. Ini juga banyak penontonnya. “Menurut survey SRI, episode pertama serial ini, menduduki urutan ke-5 dari seluruh mata acara yang dimiliki TPI,” tulis Kompas, 1 Mei 1992. TPI belum puas. Mereka bikin terobosan baru dengan menayangkan film India lepas.
Stasiun televisi lain latah mengikuti jejak TPI. Film India menyerbu masyarakat lagi. Bangkrutlah bioskop Rivoli; begitu juga bioskop kelas dua dan tiga.
Film India naik pamor ketika Kuch Kuch Hota Hai tayang di bioskop kelas satu di Jakarta menjelang tutup tahun 1998. Filmnya laris dan bintangnya, Shah Rukh Khan (SRK), jadi idola.
“Saya mendirikan Shah Rukh Khan Fans Club Indonesia (SRKFCI) pada Desember 2002. Tujuannya berbagi informasi seputar film yang dibintangi SRK,” kata Jihan, seorang pendiri SRKFCI.
Anggota SRKFCI awalnya puluhan orang, tapi kini mencapai ratusan orang. Sebagian mereka penggemar berat film India, lainnya menggemari SRK secara khusus. “Karena film-film India dan SRK, ada anggota kami yang belajar tari, sejarah, dan bahasa India,” lanjut Jihan.
Sekarang film India masih bertahan tayang di stasiun televisi. Malah kecenderungan demam India seperti berulang. Beberapa stasiun televisi belakangan menayangkan serial India terbaru. Entah pengaruh apa lagi yang bakal disebarnya.*