Layu Setelah Melaju

Koran Suluh Indonesia sebagai corong PNI pernah menjadi yang terbesar di zamannya. Terbit terakhir setelah peristiwa 1965.

OLEH:
Hendi Jo
.
Layu Setelah MelajuLayu Setelah Melaju
cover caption
Satya Graha dan Firman Mutaqo. (Koleksi Satya Graha).

SABAN pagi, lurah Djoearta tak pernah absen menunggu lalu membaca Suluh Indonesia (Sulindo). Sebagai anggota fanatik PNI, dia tak mau melewatkan waktu untuk mengikuti perkembangan partai. “Saya ingat Sulindo selalu ditunggu-tunggu bapak saya, karena hanya dari koran itu ia bisa mendapatkan berita terbaru mengenai perkembangan politik di tanah air,” ujar Tresnawati (70), salah satu putri Djoearta, kepala desa Nagrak, Cianjur, era 1960-an.  

Sulindo, yang dikelola bagian Penerangan Propaganda (Penprop) PNI, terbit perdana pada 1 Oktober 1953, dengan empat halaman. Meski masih sederhana, partai mencetaknya 75.000 eksemplar. Distribusi dilakukan melalui dua cara: agen-agen suratkabar dan cabang-cabang partai. Penerbitan pertama ini langsung ludes, tetapi nyaris tanpa laba.

SABAN pagi, lurah Djoearta tak pernah absen menunggu lalu membaca Suluh Indonesia (Sulindo). Sebagai anggota fanatik PNI, dia tak mau melewatkan waktu untuk mengikuti perkembangan partai. “Saya ingat Sulindo selalu ditunggu-tunggu bapak saya, karena hanya dari koran itu ia bisa mendapatkan berita terbaru mengenai perkembangan politik di tanah air,” ujar Tresnawati (70), salah satu putri Djoearta, kepala desa Nagrak, Cianjur, era 1960-an.  

Sulindo, yang dikelola bagian Penerangan Propaganda (Penprop) PNI, terbit perdana pada 1 Oktober 1953, dengan empat halaman. Meski masih sederhana, partai mencetaknya 75.000 eksemplar. Distribusi dilakukan melalui dua cara: agen-agen suratkabar dan cabang-cabang partai. Penerbitan pertama ini langsung ludes, tetapi nyaris tanpa laba.  

“Ya maklum saja, kaum marhaen ini kan bacanya mau tapi bayarnya susah,” ujar Satya Graha (81), eks wartawan sekaligus salah satu pendiri Sulindo, seraya terkekeh.  

Sejatinya, sejak awal pendirian PNI pada 4 Juli 1927, partai berlambang banteng segitiga tersebut sudah memiliki banyak media. Sebut saja di antaranya Persatuan Indonesia, Banteng Priangan, dan Pesat. Namun, tak ada yang lebih fenomenal dibanding Sulindo, yang memainkan peranan penting bagi kemenangan PNI dalam pemilihan umum (pemilu) 1955.

Suluh Indonesia, koran PNI.

Lahir lalu Berjaya

Awal 1950-an, elite PNI ketar-ketir. Pemilu hendak digelar, tetapi mereka belum memiliki corong partai. Berbeda dengan partai-partai lain. Masyumi punya Abadi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) mendapat dukungan dari Pedoman, Nahdlatul Ulama dengan Duta, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Harian Rakjat.  

Ketua Umum PNI Sidik Djojosukarto pun bergerak cepat. Dia menugaskan kader senior PNI, M. Tabrani dan Sajuti Melik, untuk membuat Sulindo. Rekrutmen pun dilakukan. Sebagai pemimpin redaksi, Sajuti lantas mengambil Satya Graha sebagai redaktur pelaksana. Setelah persiapan yang matang, Sulindo nomor perdana terbit.  

Menjelang pemilu 1955, oplah Sulindo digenjot hingga 150 ribu eksemplar. Warna PNI dikentalkan dalam setiap pemberitaan. Hasilnya, PNI menjadi jawara dalam pemilu 1955.  

Usai pemilu, posisi Sajuti Melik digantikan M. Supardi, eks pendiri koran Nasionalis. Namun, jabatan pemimpin redaksi Sulindo tak selalu lama diduduki. Setahun kemudian, Manai Sophiaan menggantikan Supardi. Setelah Manai, Jusuf Muda Dalam dapat giliran. Tahun 1957, Mohamad Isnaeni, tokoh muda sekaligus anggota parlemen dari PNI, naik.  

Seiring pengangkatan Isnaeni, posisi Satya terdongkrak menjadi wakil pemimpin redaksi. Saat itulah Satya membentuk dan memimpin tabloid mingguan Berita Minggu (BM), anak perusahaan Sulindo, yang mengangkat berita-berita kriminalitas, seks, dan dunia anak muda.  

“Supaya mengurangi beban keuangan partai, saya setting BM jadi mesin uang buat Sulindo,” ujar Satya.  

BM tampil dalam perwajahan yang trendy. Tulisan-tulisannya dirancang sepopuler mungkin. Strategi tersebut menjadikan BM berjaya. Sukses BM menciprati induk semangnya. Terlebih saat itu Satya membuat aturan kepada para distributor: membeli 10 tabloid BM harus membeli juga satu eksemplar Sulindo. Kondisi mapan ini tentu saja berpengaruh terhadap posisi tawar Sulindo secara politik di PNI, terutama dalam isi pemberitaan.

Satya Graha, mantan pemimpin redaksi Suluh Indonesia. (Hendi Jo/Historia.ID).

Ditolak Kiri-Kanan

Suatu hari di tahun 1964, Satya mendapat kabar yang membuatnya geram: ratusan eksemplar Sulindo dibuang di sawah-sawah sepanjang jalur kereta api Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disebut-sebut itu ulah buruh kereta api Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) atas perintah Harian Rakjat, koran PKI.  

“Cara mereka kasar, maka saya putuskan membalas aksi mereka,” ujar Satya, yang juga eks kader PSI.  

Satya lantas meminta bantuan kepada para buruh kereta api Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM), onderbouw PNI, agar “menahan” Harian Rakjat terlambat tiba di pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rupanya aksi balasan tersebut sampai ke telinga Presiden Sukarno, yang lantas memanggilnya. Satya pun menceritakan duduk perkaranya.  

“Dia diam saja. Tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,” ujar Satya.

Sulindo memang kerap memilih “jalur keras” terkait PKI. Saat ramai aksi sepihak yang dilakukan aktivis tani komunis, Sulindo mengecamnya sebagai “revolusi kebablasan”. Bukan saja PKI, Bung Karno pun sempat “kena sikat”. Saat Si Bung menikahi Hartini, Sulindo memuat artikel S.K.Trimurti, tokoh perempuan terkemuka, berjudul “Kambing Tua Memakan Daun Muda”.  

Kala bandul PNI mengarah ke kiri, tak jarang Sulindo mendapat peringatan dari beberapa tokoh partai. Sikap kritis itu juga tak serta-merta membuat Sulindo dan Satya mendapat tempat di kalangan kanan PNI. Malah sebaliknya, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Perpolitikannya, Satya pernah disebut-sebut oleh orang-orang sayap kanan PNI sebagai “orang yang diselundupkan PKI” ke tubuh PNI.  

“Ya memang, Pak Osa Maliki (tokoh sayap kanan PNI) pernah menjuluki saya sebagai ‘kuda troya’ kaum komunis,” kata Satya.  

Pada Juli 1965, terjadi pembersihan terhadap orang-orang kanan di tubuh PNI. Sebagai kader yang pro-kubu Osa Maliki, Isnaeni diturunkan sebagai pemimpin redaksi Sulindo. Yang mengejutkan, Ali Sastroamidjojo menunjuk Satya sebagai pengganti Isnaeni.

“Isnaeni sempat bertanya apakah saya akan menerima itu? Saya tegas saja berkata, tentu saja karena saya tak mau Sulindo yang saat itu sudah sangat besar hancur karena konflik politik di tubuh partai,” kenang Satya.

Penerbitan Terakhir

Pada 2 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengangkat Mayjen TNI Pranoto Reksosamudra sebagai caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu belum jelas keberadaannya. Namun, di pihak lain, Markas Besar Angkatan Darat justru menetapkan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto sebagai pengganti Ahmad Yani.  

Tak mau diombang-ambing ketidakjelasan, Satya memutuskan Sulindo memuat kedua versi pengangkatan tersebut pada edisi Minggu, 3 Oktober 1965. “Saya tak menyangka koran yang memuat berita tersebut menjadi penerbitan kami yang terakhir,” kenangnya.  

Pada 4 Oktober, ketika berangkat ke kantor redaksi sekaligus percetakan di Jalan Pintu Besi No. 31 Pecenongan, Jakarta Pusat, Satya menemukan kantor Sulindo sudah dikuasai massa sayap kanan PNI. Semua isi kantor dikeluarkan, termasuk mesin-mesin cetak mutakhir milik Sulindo.

Beberapa waktu kemudian, saat di Bandung, Satya ditahan militer. Dia kemudian dibawa ke Jakarta dan tanpa pengadilan dijebloskan ke penjara Salemba sebagai “tahanan komunis” dan meringkuk di hotel prodeo hingga lima tahun lamanya. “Tahun 1970, saya bebas begitu saja,” ujarnya dalam nada pahit.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668ccd399e8361a5536233db