Liangan, Menggali Peradaban yang Hilang

Sebuah dusun hilang oleh letusan gunung berapi. Jejak-jejaknya ditemukan, kendati butuh penelusuran lebih jauh.

OLEH:
Risa Herdahita Putri
.
Liangan, Menggali Peradaban yang HilangLiangan, Menggali Peradaban yang Hilang
cover caption
Situs Liangan di Lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).

MENDUNG bergelayut di atas Liangan, sebuah dusun di Temanggung, Jawa Tengah. Di tengah lahan pertanian, di sebuah lahan seluas sekira 6.000 meter persegi, terhampar kotak-kotak galian dengan pembatas semacam garis polisi. Tak ada aktivitas penambang pasir yang biasanya ramai. Tak ada pula aktivitas penggalian arkeologis yang mencoba menyibak misteri kejayaan masa lalu dusun itu.  

Sejak beberapa tahun belakangan ini, warga dusun dibuat penasaran dengan penemuan sisa-sisa rumah panggung, candi, dan artefak lainnya. Bayangan tentang desa yang hilang akibat gunung meletus, yang pernah mereka dengar turun-temurun, kembali muncul.

Dahulu kala, di lereng timur laut Gunung Sindoro, berdirilah sebuah keraton yang diperintah seorang penguasa yang dikenal dengan sebutan Gopati –di masa kini mungkin merujuk pada bupati. Menurut kisah, hidup Sang Gopati begitu tercela. Ia gemar main perempuan.

Seorang sakti bernama Joko Bodo mendengar perbuatan Sang Gopati. Ia marah. Gunung Sumbing disentilnya hingga meletus. “Letusannya menutup daerah kekuasan Sang Gopati,” kata Sirmadi, warga Dusun Liyangan, Purbosari, Ngadirejo, Temanggung.

MENDUNG bergelayut di atas Liangan, sebuah dusun di Temanggung, Jawa Tengah. Di tengah lahan pertanian, di sebuah lahan seluas sekira 6.000 meter persegi, terhampar kotak-kotak galian dengan pembatas semacam garis polisi. Tak ada aktivitas penambang pasir yang biasanya ramai. Tak ada pula aktivitas penggalian arkeologis yang mencoba menyibak misteri kejayaan masa lalu dusun itu.  

Sejak beberapa tahun belakangan ini, warga dusun dibuat penasaran dengan penemuan sisa-sisa rumah panggung, candi, dan artefak lainnya. Bayangan tentang desa yang hilang akibat gunung meletus, yang pernah mereka dengar turun-temurun, kembali muncul.

Dahulu kala, di lereng timur laut Gunung Sindoro, berdirilah sebuah keraton yang diperintah seorang penguasa yang dikenal dengan sebutan Gopati –di masa kini mungkin merujuk pada bupati. Menurut kisah, hidup Sang Gopati begitu tercela. Ia gemar main perempuan.

Seorang sakti bernama Joko Bodo mendengar perbuatan Sang Gopati. Ia marah. Gunung Sumbing disentilnya hingga meletus. “Letusannya menutup daerah kekuasan Sang Gopati,” kata Sirmadi, warga Dusun Liyangan, Purbosari, Ngadirejo, Temanggung.

Dalam bahasa Jawa yang campur aduk, halus-kasar, kakek berusia 65 tahun itu menceritakan kisah yang dia dengar turun-temurun kepada Historia. Sirmadi gembira, kisahnya seolah mendapatkan pembenaran dengan penemuan situs kuno Liangan di bawah hamparan lahan pertanian di dusunnya.  

Penemuan situs kuno Liangan berawal dari kejadian 16 lalu. Sucipto, warga Dusun Liangan, menemukan konstruksi serupa tembok kuno saat menggali pasir untuk mendirikan rumah. Konstruksi itu ditemukan pada kedalaman dua meter, di antara dapur dan kandang kambing, di halaman samping rumahnya. Sempat ditengok peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta, konstruksi itu akhirnya terkubur begitu saja menjadi rumah.

Setelah itu, selama hampir delapan tahun, penemuan struktur pagar di halaman rumah Sucipto terlupakan. Warga setempat beraktivitas seperti biasanya, menanami lahan pertaniannya dengan tembakau, sayuran, dan jagung. Pada 2008, ketika harga sayuran dan tembakau turun, beberapa petani menyewakan lahan kepada penambang pasir.  

Suatu ketika, warga dan penambang pasir tanpa sengaja menyingkap keberadaan talud batu, batu candi, dan beberapa fragmen artefak. Lokasi temuan hanya berjarak 400 m dari rumah Sucipto, mendekati punggung Gunung Sindoro. Penemuan ini memancing Balar Yogyakarta untuk melakukan penelitian. Balar Yogyakarta yakin temuan itu merupakan awal dari temuan kompleks situs yang lebih luas.  

“Secara keruangan, talud besar kan untuk memperkuat tebing. Tebing kalau makin ke atas jadi bukit. Dugaan kami ini pasti pinggiran dari unit peradaban yang kita nggak tahu seperti apa bentuknya,” ujar Sugeng Riyanto, ketua Tim Peneliti Situs Liangan Balar Yogyakarta, ketika ditemui di kantornya.  

Dugaan itu terbukti. Pada awal 2010, sebuah bangunan candi ditemukan. Turun sedikit menjauhi arah puncak gunung dari temuan talud batu sebelumnya, candi itu muncul di kedalaman tujuh meter dari permukaan tanah. Dengan talud awal yang ditemukan, keberadaan candi hanya berjarak 100 m dan dipisahkan sebuah aliran sungai yang tak terlalu lebar. Ditemukan pula beberapa yoni tunggal yang tersebar di sekitar situs, di bagian atas lereng gunung.  

“Kalau kita ukur dari sebaran yoni, luasnya (situs) bisa sampai 9-10 ha. Jadi bukan unit peradaban kecil, meski candinya tidak besar,” ujar Sungeng.

Situs Liangan di Lereng Gunung Sindoro. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).

Masa Transisi

Perkiraan luasnya situs dan kompleksnya temuan membuat para peneliti menyusun penelitian jangka panjang. Tahap penelitian dibagi per periode: 2010-2014, 2015-2019, dan 2020-2024. Rangkaian penelitian ini diharapkan bisa memperdalam penggalian data di Liangan.  

Pada penelitian periode pertama, Balar Yogyakarta menemukan data yang menggambarkan peribadatan dengan pemujaan berteras. Setidaknya terdiri dari empat teras. Teras pertama adalah lahan dengan candi dengan yoni dan empat batur lain yang berdiri berjajar. Teras kedua, dipisahkan tangga, adalah lahan dengan dua batur. Teras ketiga adalah lokasi bangunan candi lainnya; pada teras ini pun ditemukan banyak perkakas rumah tangga. Sementara teras keempat adalah tempat bangunan pentirtaan.  

“Saya yakin akan ada teras berikutnya, teras lima, enam, tujuh, sampai ke arah lebih ke bawah mungkin ada,” ujar Sugeng.  

Tinggi candi dari batuan andesit itu tak menjulang bak Prambanan maupun Borobudur. Orang dewasa yang berdiri bisa mengintip lantai biliknya yang sudah kehilangan atap. Meski tak memiliki bangunan yang cantik dan hiasan yang kaya, yoni di tengah candi menarik perhatian para peneliti.  

Kebanyakan yoni dilengkapi satu lubang di tengah untuk diisi pasangannya, yaitu lingga. Yoni dan lingga adalah wujud penyatuan Siwa dan Parvati. Bentuknya relatif persegi dengan ujung cerat pada salah satu sisinya. Pada kasus candi di Liangan, yoni berbentuk memanjang dengan cerat di ujungnya. Di atasnya, bukan hanya ada satu lubang, tapi tiga. Lubang pertama di dekat cerat berbentuk persegi, lingganya telah hilang. Sementara lubang kedua dan ketiga tak beraturan bentuknya.  

“Tapi bukan itu yang membuatnya unik. Yoni ini dibuat dengan menyusun batu-batu. Padahal biasanya yoni dibuat dengan mengukir batu monolit. Sepertinya ini tradisi pra-Hindu. Caranya masih sama dengan pra-Hindu,” ujar Sugeng. Indikasi unsur pra-Hindu lainnya terlihat dari konstruksi bangunan yang didominasi batuan kali bulat yang disebut batuan boulder.  

Menariknya, bentuk pelipit setengah lingkaran pada kaki candi menunjukkan periode klasik Jawa Tengah abad ke-9 M. Hasil analisis terhadap pecahan keramik juga menunjukkan era Dinasti Tang pada abad yang sama.  

Kemudian, pada 2013, rangka seorang gadis desa Liangan Kuno ditemukan dari balik tanah pada teras ketiga. Rangka itu hanya menyisakan bagian gigi, fragmen tengkorak, dan tulang panjangnya. Gadis ini diperkirakan mati pada umur 22 tahun.  

Sugeng mengatakan, rangka ini bukanlah korban letusan yang mengubur Situs Liangan. Namun, keberadaannya menunjukkan budaya pra-Hindu yang bersentuhan dengan masa penyebaran Hindu di tanah Liangan.  

“Dekat tulang panjangnya ditemukan buli-buli keramik Dinasti Tang dari abad ke-9, seperti bekal kubur. Ini mungkin perkuburan sekunder, jadi dulunya pernah dikubur lalu dikubur lagi. Ini gaya penguburan pra-Hindu,” papar Sugeng.  

Hasil analisis karbon dari beberapa lokasi, yang dilakukan sejak 2011 hingga 2014, memang tak menunjukkan satu waktu yang sama. Angka pertanggalan yang muncul adalah 581, 742, 846, 913, dan 971 M. Angka ini menunjukkan satu kronologi sejarah yang sama, yaitu masa kerajaan Mataram Kuno.  

Pada 2016 bukti pertanggalan yang diambil dari areal batuan boulder dan pertanian menunjukkan masa yang lebih tua lagi, yaitu abad ke-3-4 M. Bukti ini untuk sementara memperkuat Liangan bukanlah tanah kosong yang kemudian dihuni koloni masyarakat beragama Hindu. Ada transformasi bentuk pada area pemujaannya. Dari kepercayaan awal, mereka turut berkembang dan terpengaruh budaya yang masuk dari India itu.  

“Ini memang masa-masa transisi. Kalau kita gambarkan abad ke-7-8 M kerajaan Mataram Kuno sudah berkembang. Abad ke-7 M mungkin (Liangan) belum terpengaruh. Terpengaruhnya baru abad ke-9-10 M. Padahal komunitas di sana sudah sangat kuat,” lanjutnya lagi.  

Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, mengatakan, bangunan punden berundak yang kemudian dipakai untuk tempat pemujaan dengan konsep lebih modern memang lumrah dijumpai. Dia pun melihat kemungkinan wilayah Liangan pernah ditinggali masyarakat yang hidup dengan cara pra-Hindu. Kemudian datang pengaruh Hindu, yang berkembang dari wilayah Dieng sebagai salah satu pusatnya lalu bergerak ke pedalaman.  

“Bisa jadi memang bertahap, jadi orang-orang di sini terpengaruh Hindu,” ujar Daud ketika ditemui di kantornya.

Candi dengan yoni dan empat batur berdiri berjajar di teras satu. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).

Permukiman Keagamaan?

Penemuan candi pada awal 2010 mengawali penemuan spektakuler lainnya. Di atas struktur talud batu halus terdapat arang kayu, bambu, dan ijuk. Arang ini diyakini sisa dari bangunan rumah. “Memang lengkap (sisa rumah). Jadi, papan ketemu, tiang ketemu, atap ijuk dan dinding bambu ketemu. Bisa direkonstruksi. Jadi ada bentuknya, rumah panggung,” ujar Sungeng.  

Tim peneliti juga menemukan bulir padi, alat logam berupa baki dari perunggu, dan alat-alat logam lainnya untuk pertanian. Dengan ditemukannya aspek peribadatan, pertanian, dan hunian, Liangan pun sulit dibantah sebagai permukiman kuno.  

Menurut Sugeng, setidaknya para pemukim di situs Liangan dahulu memiliki hak otonom dalam mengelola wilayah sebagai bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Mereka dizinkan mengelola sistem pertanian sendiri. Bahkan ada dugaan, Liangan menerima anugerah sima; dibebaskan dari pajak tapi memiliki kewajiban memelihara bangunan suci.  

Prasasti Rukam yang ditemukan di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Temanggung seringkali dikait-kaitkan. Hal ini dibahas Agni Sesaria M, anggota tim Balar Yogyakarta, dalam artikel “Wanua I Rukam, Nama Asli Situs Liangan” yang diterbitkan dalam Liangan: Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro suntingan Novida Abbas. Dia menulis, kata Wanua I Rukam pada prasasti berangka tahun 907 M itu merujuk pada desa yang menggantikan status sima dari desa lain yang hilang karena letusan gunung berapi. Menurutnya, terbuka kemungkinan Situs Liangan adalah desa yang hilang itu kendati dalam prasasti tak disebut nama desa yang hilang maupun gunung yang meletus.  

“Diperkirakan sebelum tahun 907 M terjadi letusan Gunung Sindoro yang mengubur Situs Liangan, kemudian sima atas Liangan itu diganti dengan desa yang ada di lereng Gunung Sumbing yang tidak aktif,” tulisnya.  

Terlepas dari kemungkinan Liangan adalah desa penerima sima, Liangan memang bukanlah permukiman biasa. Dari pola bangunan yang tersingkap mengindikasikan Liangan adalah permukiman keagamaan.  

“Kira-kira ada empat unit (rumah panggung). Bukan rumah tinggal ya. Ia bangunan pengurus. Semacam hunian pengelola bangunan suci,” ujar Sugeng.  

Pendapat berbeda dilontarkan Daud. Menurutnya, temuan yang didapat hingga kini belum bisa menunjukkan situs itu permukiman keagamaan. Di masa lalu, antara keagamaan dan kehidupan sehari-hari tidak selalu terpisah. Bahkan, pada kasus Situs Liangan, unsur keagaman tak terlalu menonjol. Polanya tak begitu jelas. Bangunan yang jelas-jelas dijadikan tempat pemujaan hanya candi yang memiliki yoni.  

“Yang lain kan hanya batur; apakah itu candi pemujaan? Kan tidak tahu. Kalau pentirtaan, di mana-mana juga butuh sumber air,” ujarnya.  

Daud menilai saat ini masih sulit menjawab permukiman macam apa yang tinggal di sana. Dalam hal ini, Daud cenderung melihat Liangan berada pada jalur dinamika pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno.  

Penemuan Situs Liangan memperkuat hipotesis, deretan pegunungan Merapi, Sindoro, Sumbing, dan Dieng merupakan poros berkembangnya permukiman Mataram Kuno. Era Mataram Kuno mencapai perkembangan pesat di wilayah Kedu dan Prambanan. Poros Kedu-Prambanan kini meliputi daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan wilayah Prambanan, Sleman, Yogyakarta saat ini.  

“Dalam prasasti disebutkan ibukota Mataram kadang disebut Mataram Medang ri poh pitu dan Mamratipura. Berarti kan tidak hanya satu pusatnya,” katanya.

Kabupaten Temanggung, yang berada di utara Magelang, menurutnya juga merupakan wilayah yang menarik. Temuan candi dan prasasti di wilayah itu cukup masif.  

“Harus dingat juga, kenapa ada toponim Desa Pikatan di Temanggung misalnya?” ujar Daud.

Maka bisa jadi, Daud melanjutkan, jika bukan berada di tingkat wanua, Liangan justru merupakan tempat tinggal seorang rakryan atau rakai, penguasa daerah di tingkat yang lebih luas. Jika dianalogikan dengan masa kini, wilayah kekuasaannya setingkat provinsi. Di antara para rakai itu nantinya dipilihlah seorang raja. Sementara wanua hanyalah setingkat desa.  

Hal itu didukung pula dengan keragaman temuan keramik. Menurutnya, walaupun tidak banyak yang utuh, kualitas keramik yang ditemukan cukup bagus. Ragam keramik semacam itu hanya mungkin dimiliki masyarakat berkedudukan cukup tinggi. “Kemungkinan ya bisa rakryan,” ujar Daud.  

Lebih jauh lagi, jika melihat orientasi bangunan, khususnya bangunan candi beryoni dan empat batur di sampingnya justru tidak mengarah seperti pada umumnya bangunan candi. Umumnya candi-candi di Jawa Tengah mengarah ke timur atau ke barat. “Candi-candi kecil di Liyangan arahnya ke tenggara dan tenggara itu ke arah Prambanan,” jelas Daud.  

Menurutnya, kenyataan ini semakin mendukung dugaannya bahwa Liangan dulunya adalah wilayah tempat tinggal seorang rakai dan bukan permukiman keagamaan.  

“Seringkali mereka mengarahkan ke daerah pusat, yang dianggap sebagai ibukota mereka dan seringkali juga permukiman diarahkan ke tempat asal-usulnya, karena dianggap sebagai sumber awalnya kalau itu dalam tingkat rakryan,” lanjutnya.  

Selain kemungkinan menghadap ke arah ibukota, Daud menambahkan, arah Prambanan bisa dilihat sebagai pusat pemujaan Siwaisme. Konsekuensinya, candi dan batur kecil di Liangan dibangun setelah Candi Prambanan berdiri.  

“Jadi masa pembangunannya (Situs Liangan) berbeda-beda, tapi ini masih perlu dibuktikan lagi,” ungkapnya.

Temuan guci keramik yang telah direkonstruksi. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).

Hadapi Ancaman

Di balik diskusi yang terus bergulir, para arkeolog sebenarnya beruntung. Selama ini bukti-bukti organik Situs Liangan relatif utuh berkat material pengubur yang mampu mengawetkannya secara alami.  

Data-data arkeologi yang tersebar di situs Liangan rata-rata terpendam di kedalaman 6-10 meter. Ia terlindung di bawah lapisan pasir berpartikel renggang yang berwarna coklat kekuningan seperti terbakar. “Ini pasir yang pertama kali terlontar dari Sindoro. Sangat panas membakar bahan organik di permukiman,” ujar Sugeng.  

Di atas lapisan pasir berbutir renggang itu, baru ditemukan lapisan abu setebal 5-10 cm. Kemudian lapisan pasir yang lebih dingin dengan partikel lebih kompak berada di atasnya.  

Lapisan material pengubur seperti itulah yang membuat data-data organik seperti kayu, bambu, dan ijuk tak terbakar. Lapisannya kedap oksigen. “Makanya jadi arang. Kalau waktu itu hanya pasir saja, ya jadi abu selesai. Hilang datanya,” tutur Sugeng.  

Meski begitu, bukan berarti data-data berharga itu benar-benar aman. Sejak awal, penggalian peradaban Liangan selalu harus adu cepat dengan aktivitas penambang pasir. Tak jarang penambang pasir justru menjadi penemu artefak penting, termasuk temuan-temuan arang. Karena ketidaktahuan, tentu saja tidak dipedulikan. Misalnya, selain temuan bekas rumah kayu kuno yang relatif masih utuh, para peneliti menduga ada rumah kayu lain yang tak sengaja rusak akibat penambangan pasir.  

“Makanya kami beri penjelasan justru arang itu temuan penting yang bisa mengungkap sejarah masa lalu tempat itu,” katanya.  

Di sisi lain, penelitian berjangka yang dilakukan Balar Yogyakarta dinilai berisiko. Jeda waktu yang terlalu panjang antar-waktu penelitian memberikan kemungkinan rusak dan hilangnya data. “Jelas itu sangat disesalkan. Seharusnya ada keberlanjutan,” ujar Daud.  

Menurutnya, dalam melakukan penelitian ini Balar bisa bekerjasama dengan instansi terkait lainnya. Mereka bisa saling mengatur untuk bergantian melakukan penelitian di situs itu.  

“Jadi ada yang terus mengawasi. Selama ini kebanyakan temuan adalah laporan dari penambang atau masyarakat. Sebenarnya yang sampai ke kita itu berapa persen?” katanya. Inilah yang menurutnya perlu diperhatikan pemerintah, khususnya Balar dalam menyusun rencana penelitian.  

Selama ini, penemuan situs permukiman tidaklah mudah. Kebanyakan para arkeolog hanya mendapati alas umpak atau pondasi dari batu. Bangunan kayu sulit melawan proses alami yang menjadikannya lapuk dan musnah.  

Para peneliti berkejaran dengan waktu. Misteri di balik keberadaan Situs Liangan akan terpecahkan atau lenyap selamanya.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III Tahun 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6704f9677e4aacd3e123e327