Perdana Menteri India Indira Gandhi menyampaikan pidato dalam Konferensi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan PBB di Stockholm, Swedia, Juni 1972. (Yutaka Nagata/UN).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUATU pagi di sela acara Konferensi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan PBB di Stockholm, Swedia, Juni 1972, Emil Salim, ketua delegasi Indonesia, diundang sarapan oleh Perdana Menteri India Indira Gandhi.
Pasal dari undangan tersebut adalah sikap kritis dari Indonesia, Brasil, dan negara-negara berkembang lainnya, yang bersuara keras karena isu lingkungan seolah mengesampingkan kesulitan ekonomi negara-negara berkembang. Alih-alih mempertentangkan, Indira Gandhi menekankan pembangunan yang sekaligus melestarikan lingkungan dan memberantas kemiskinan.
Emil Salim terkesan dengan gagasan Indira Gandhi. “Inilah esensi pembangunan baru yang saya bawa pulang ke Indonesia,” ujar Emil Salim.
SUATU pagi di sela acara Konferensi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan PBB di Stockholm, Swedia, Juni 1972, Emil Salim, ketua delegasi Indonesia, diundang sarapan oleh Perdana Menteri India Indira Gandhi.
Pasal dari undangan tersebut adalah sikap kritis dari Indonesia, Brasil, dan negara-negara berkembang lainnya, yang bersuara keras karena isu lingkungan seolah mengesampingkan kesulitan ekonomi negara-negara berkembang. Alih-alih mempertentangkan, Indira Gandhi menekankan pembangunan yang sekaligus melestarikan lingkungan dan memberantas kemiskinan.
Emil Salim terkesan dengan gagasan Indira Gandhi. “Inilah esensi pembangunan baru yang saya bawa pulang ke Indonesia,” ujar Emil Salim.
Salah satu implikasi politis dari konferensi itu, Presiden Soeharto membentuk Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) –kemudian diubah jadi Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH). Emil Salim jadi menterinya. “Tugasmu bagaimana membangun tanpa merusak dan membangun ekonomi ekologi,” kata Soeharto kepada Emil Salim.
Kendati mendapat dukungan dari presiden, Emil Salim kerap kesulitan meyakinkan menteri-menteri lainnya mengenai pentingnya biaya lingkungan. “Dalam kabinet dia sering berdiri sendirian,” tulis Julia Arnscheidt dalam “Debating” Nature Conservation. Di sektor kehutanan, misalnya, dia merasa para rimbawan bergantung pada pemerintah sehingga kerap diam terhadap eksploitasi hutan. “Mereka lebih mendukung perusak ketimbang pelindung hutan. Jadi kadang-kadang saya benar-benar kesepian [dalam perjuangan saya].”
Demi Pembangunan
Di masa awal Orde Baru, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi jadi prioritas. Isu lingkungan belum mendapat perhatian. “Ada kekhawatiran bahwa kepedulian terhadap pencemaran lingkungan bisa menghambat pelaksanaan Repelita I,” tulis Otto Soemarwoto dalam “Review of Environmental Affairs in Indonesia”, termuat di A Colloquium on Southeast Asian Studies. Repelita adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun I berlangsung dari tahun 1968 sampai 1974.
Demi alasan mempercepat pembangunan ekonomi, pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kebijakan ini mendorong lonjakan investasi di bidang kehutanan dan pertambangan yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Di sektor kehutanan, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan menyerahkan pengelolaan hutan kepada pemilik hak pengusahaan hutan. Ekspor besar-besaran kayu gelondongan menjadi penghasil devisa kedua setelah minyak bumi. Kerusakan hutan kian parah. Spesies di dalamnya ikut terancam.
Kekhawatiran terhadap kerusakan hutan menjadi salah satu faktor dihelatnya Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta pada 16–28 Oktober 1978 bertema “Forest for People”. Dalam kongres ini ditegaskan bahwa hutan di seluruh dunia harus dilestarikan demi kesejahteraan umat manusia dan bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam pengelolaan hutan. Namun, tak ada aksi nyata. Butuh waktu lama hingga Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan tentang Hutan Kemasyarakatan. Keputusan ini beberapa kali diubah.
Menurut Arnscheidt, tujuan itu menjadi fokus kebijakan pemerintah tanpa mencapai hasil yang diharapkan. Salah satunya karena pemerintah cenderung menimpakan kesalahan pada masyarakat yang mencari nafkah dengan perladangan berpindah, bukan pengusaha penebangan dan pertambangan.
“Kendati Repelita IV (1983) untuk kali pertama secara umum mengakui bahwa pertambangan bisa menyebabkan kerusakan lingkungan, itu tidak mengekspresikan kebutuhan untuk mengatasi pelaku di sektor ini,” tulis Arnscheidt.
Sepuluh tahun setelah konferensi Stockholm, pola pembangunan masih saja merusak lingkungan. KLH sendiri tak punya payung hukum. Baru terealisasi dengan terbitnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, UU ini punya kelemahan. KLH tak punya otoritas. Jika ada kasus pengrusakan lingkungan hidup, KLH selalu menyerahkan kepada pihak berwenang. Sejumlah peraturan pelaksana diterbitkan, tetapi tak berjalan. Dua di antaranya peraturan mengenai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan pengenalan Standar Kualitas Lingkungan.
“Celakanya Amdal ini bisa dibeli. Lihat saja, di jalur hijau ada pembangunan gedung, mal, dan pompa bensin,” kata Emil Salim.
Pemerintah kemudian merevisi UU No. 4 Tahun 1982 menjadi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini menyerahkan kebijakan lingkungan kepada masing-masing departemen. Kendati disebutkan perlu dilaksanakan secara terpadu, kebijakan masing-masing departemen sering kali saling bertentangan. Tak ayal KLH seperti berjalan sendirian dalam pelestarian lingkungan hidup.
Kompleksitas
Indonesia mendapat anugerah luar biasa dengan keberadaan hutan tropis terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat kekayaan hayati. Namun, pola pembangunan berdampak pada kerusakan hutan. Laju deforestasi berlari kencang akibat industri pengolahan kayu, perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, transmigrasi, hingga pembakaran hutan. Kondisi ini diperparah oleh korupsi dan lemahnya penegakan hukum.
Hutan rusak, keanekaragaman hayati ikut terancam. Kendati Indonesia memiliki UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menandatangani Konvensi Keanekaragaman Hayati dan menyiapkan rencana aksi, tetapi Bank Dunia pada 2001 menilai konservasi di Indonesia sangat memprihatinkan.
Kerusakan hutan juga memberi andil terhadap pemanasan global. Lebih parah lagi, hutan mungkin juga akan punah. Pada 1999, pemerintah Indonesia, dengan bantuan Bank Dunia, melakukan pemetaan tutupan hutan. Hasilnya, laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Periode berikutnya, 1997–2000, deforestasi meningkat jadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan penelitian World Resource Institute, lembaga penelitian lingkungan yang berkedudukan di Wahisngton DC, Amerika Serikat, tahun 1997, Indonesia telah kehilangan 72% hutan aslinya.
Deforestasi memang jadi pokok perhatian. Namun, Indonesia juga dihadapkan pada isu lingkungan lainnya, dari polusi hingga limbah industri, dari perdagangan satwa hingga penghancuran terumbu karang. Isu lingkungan sudah menjadi agenda global. Dan Indonesia menjadi sorotan dunia atas lemahnya perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Menurut Emil Salim, pembangunan ibarat lempar batu ke danau yang akan menimbulkan gelombang. Pembangunan pasti berdampak terhadap lingkungan dan sosial. Namun, dia meyakini bahwa pembangunan mengentaskan kemiskinan bergantung pada pelestarian lingkungan. Pembangunan yang merusak justru hanya akan memperparah kemiskinan.*