Lucky Loeki

Loekitaningsih memikat hati banyak pejuang. Ia memimpin para wanita dalam Pertempuran Surabaya.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Lucky LoekiLucky Loeki
cover caption
Loekitaningsih, pemimpin Palang Merah 45. (Dok. Wirawati Catur Panca).

SURABAYA, suatu siang semasa pendudukan Jepang. Sekelompok gadis mengidam-idamkan mangga di pohon tetangga. Tapi tak satu pun dari mereka berani meminta kepada pemiliknya. Mereka memilih jalan pintas: mencuri. Dan tugas itu mereka lemparkan kepada Loekitaningsih, yang dikenal pemberani dan setiakawan. Ketika ia beraksi, pemilik rumah memergokinya. Teman-temannya kabur. Tinggallah ia sendiri, memikul tanggung jawab kolektif seorang diri.

Teman-temannya memanggilnya Yu Loeki. Di hari-hari awal kemerdekaan, namanya begitu tenar. “Beken sekali di Jawa Timur,” ujar Truus Iswarni Sardjono, teman Loeki sejak kecil hingga akhir hayatnya. “Loekitaningsih ini yang paling populer,” ujar Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang Pertempuran Surabaya.

SURABAYA, suatu siang semasa pendudukan Jepang. Sekelompok gadis mengidam-idamkan mangga di pohon tetangga. Tapi tak satu pun dari mereka berani meminta kepada pemiliknya. Mereka memilih jalan pintas: mencuri. Dan tugas itu mereka lemparkan kepada Loekitaningsih, yang dikenal pemberani dan setiakawan. Ketika ia beraksi, pemilik rumah memergokinya. Teman-temannya kabur. Tinggallah ia sendiri, memikul tanggung jawab kolektif seorang diri.

Teman-temannya memanggilnya Yu Loeki. Di hari-hari awal kemerdekaan, namanya begitu tenar. “Beken sekali di Jawa Timur,” ujar Truus Iswarni Sardjono, teman Loeki sejak kecil hingga akhir hayatnya. “Loekitaningsih ini yang paling populer,” ujar Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang Pertempuran Surabaya.

Lahir di Surabaya tahun 1927, Loeki merupakan anak yang aktif, cerdas, dan berani. Waktu itu masih jarang anak bisa berbahasa Indonesia, tapi “Bu Loeki memang pinter bahasa Indonesianya,” ujar Truus, menjelaskan bagaimana anak-anak di kelompoknya waktu itu rata-rata payah dalam berbahasa. Truus ingat bagaimana di kelompoknya, Loeki selalu jadi pemimpin. Padahal ada banyak gadis di kelompok mereka seperti Isbandiyah, kemudian jadi istri Panglima Divisi VI Narotama Mayjen TNI Sungkono; dan Chatidjah, anggota Palang Merah 45.

Di sekolah, Loeki aktif berorganisasi. Bersama Truus, ia masuk Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), memulainya dari pandu kurcaci untuk anak-anak usia 7 tahun. Pada masa Jepang, Loeki bergabung dengan Yoshi Seinen Suishintai atau Seinendan Putri. Di situ ia ikut latihan kemiliteran. “Dalam setiap kesempatan diadakan kegiatan untuk melatih dan menggladi diri, baik fisik maupun mental, bagi kesiapsiagaan untuk dapat ikut memperjuangkan kemerdekaan tanah air,” tulis Loekitaningsih mengenang masa revolusi dalam Seribu Wajah: Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45.

Jiwa perjuangan Loeki mengalir deras dari kedua orang tuanya. Ayahnya, R. Supandhan, aktivis bawah tanah sementara ibunya aktif di Wanita Sedar. Mereka sering mengajak Loeki muda ikut rapat-rapat gelap. “Kedua orang tua saya bercita-cita ikut melepaskan belenggu penjajah dengan kegiatan yang mereka lakukan,” tulis Loeki.

Orang tua Loeki menyusup dari tangsi ke tangsi guna memprovokasi mereka yang main mata dengan Belanda. Namun upaya itu gagal lantaran ada pengkhianat. Selain sang ayah kehilangan pekerjaan, polisi rahasia Belanda (PID) selalu mengejar mereka. PID beberapa kali menangkap ayahnya. Loeki ingat betul, setelah menangkap ayahnya, PID biasanya memporak-porandakan rumah mereka. “Hal ini terjadi berulang kali, sehingga menimbulkan kebencian dan dendam terhadap pemerintah Belanda, bagaikan api dalam sekam,” tulis Loekitaningsih. Ayah Loeki bahkan nyaris dibuang ke Digul, namun tak jadi karena dianggap masih terlalu muda.

Loekitaningsih beramah tamah dengan mantan anggota Palang Merah 45 selepas menerima Bintang Gerilya. (Dok. Wirawati Catur Panca).

Pemuda Puteri

Menjelang akhir pendudukan Jepang, Loeki mulai melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama Isbandiyah dan Mulyaningsih Mursia, Loeki mengikuti kursus kader yang dihelat Jawa Hokokai di Menteng Raya 31 (kini Gedung Joang 45). Kursus itu diikuti sejumlah tenaga muda dari seluruh Jawa yang diharapkan kelak bisa menggantikan para pemimpin tua.

Setelah kursus, di Surabaya Loeki dan teman-temannya mengikuti berbagai latihan keterampilan, termasuk bela diri yang diadakan di balai kota serta perawatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan di Centrale Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ) –kini Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Simpang.

Organisasi yang pertama mereka ikuti adalah Panitia Pemuda Surabaya, yang dibentuk untuk menyambut kemerdekaan. Loeki dan Isbandiyah jadi bendaharanya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Loeki menjadi ketua Gabungan Pemuda Puteri Surabaya –lalu berubah nama jadi Pemuda Puteri Republik Jakarta (PPRI)– yang dihasilkan dalam rapat kesatuan pemuda puteri di Gedung Nasional, Bubutan, pada akhir September 1945. Di sinilah perannya mulai menonjol.

Di hari-hari awal kemerdekaan, nama Loekitaningsih begitu tenar di Jawa Timur.

Ketika arek-arek Surabaya menggelar rapat umum di Lapangan Tambaksari, dua hari setelah pidato Presiden Sukarno di Lapangan Ikada Jakarta, Loeki ikut berpidato. Malamnya, pukul 19.00, ia ditahan bersama 11 orang lainnya di markas Kenpetai (kini Tugu Pahlawan). Namun, tengah malam mereka dibebaskan.

Untuk merespons keadaan kota yang kian genting, PPRI menyusun rencana kerja yang meliputi empat bidang: pembentukan laskar wanita, palang merah, dapur umum, dan bantuan pengungsian. Siapapun boleh bergabung asal memenuhi syarat. Untuk merekrut sukarelawati, PPRI memasang pengumuman di Soeara Rakjat, 24 Oktober 1945. Bunyinya: “Pelajar, pekerja dan pemudi gabungan umur 17 sampai 25 (belum kawin) diperkenankan masuk dan mengikuti gerakan ini. Penjelasan: 1. Pengikut harus seizin orang tua. 2. Pemudi dan pekerja, diperkenankan belajar dan bekerja, tetapi sepulangnya dari sekolahan dan kantor, kembali ke asrama masing-masing.” Loeki juga turun tangan untuk mendapatkan anggota. “Yu Loeki sudah merekrut teman-teman untuk dimasukkan asrama,” ujar Truus.

Awalnya, Loeki dan korpsnya ikut mengoordinasi dapur umum dan mengumpulkan makanan guna dibagikan ke front-front. Tapi mereka akhirnya fokus ke penanganan korban melalui Palang Merah 45 yang diketuai Loeki dan didirikan sebagai unit PPRI.

Loeki dan Palang Merah 45 bekerja tanpa henti, mempertaruhkan jiwa demi menyelamatkan nyawa para korban. “Loeki juga [turun]. Nggak karena ia pemimpin ia nggak bekerja. Justru ia yang kasih contoh,” ujar Truus.

Loekitaningsih dan suaminya, dr. Irsan Radjamin. (Dok. Wirawati Catur Panca).

Cinta Bersemi

Ketika Inggris-NICA menguasai kota Surabaya, para pejuang menyingkir ke kantong-kantong pertahanan di luar kota, termasuk ke Mojokerto. Loeki dan teman-temannya mengikuti gerak para pejuang. Jika jatuh korban, mereka membawanya ke Rumah Sakit Umum Mojokerto. Rumah sakit ini membantu Palang Merah 45 dengan obat-obatan, peralatan, dan tempat perawatan selain juga tenaga dokter.

Kepala rumah sakit itu adalah dr. Irsan Radjamin. Loeki kerap bertemu dengannya. Bibit cinta mulai bersemi ketika mereka menyingkir lagi ke Kediri. Keduanya kemudian menikah dan dikaruniai empat anak. Pernikahannya dengan Irsan membuat banyak pria patah hati. Kabarnya, Loeki jadi pujaan banyak pejuang, salah satunya Bung Tomo. Konon, pengobar semangat Pertempuran Surabaya itu berikrar takkan memangkas rambut gondrongnya sebelum meraih cinta Loeki.

Setelah berjuang selama dua tahun, pada 1947 Palang Merah 45 dibubarkan secara resmi. Loeki lalu fokus mengurus keluarga. Tahun 1955, Loeki mengikuti suami yang ditempatkan di Palembang. Irsan merupakan ahli bedah, sementara waktu itu Palembang belum memiliki dokter ahli bedah. Di Palembang, Loeki menghidupkan kembali Kesenian Sriwijaya yang kala itu “mati suri”. Loeki juga aktif menulis. “Bu Loeki itu kegiatannya 1001 macem,” ujar Truus.

Suatu ketika, pada 1970-an, Letjen TNI M. Jasin, deputi Kepala Staf Angkatan Darat, bertanya apakah Loeki sudah memperoleh Bintang Gerilya. Belum, jawab Loeki. Jasin lalu minta Loeki mengurusnya. Loeki tak mau. Alasannya, perjuangannya tanpa pamrih. Namun bila pemerintah tetap berniat memberikan, Loeki minta agar semua temannya di Palang Merah 45 juga mendapatkannya. “Meski saya pemimpin, tanpa mereka saya nggak bisa apa-apa,” ujar Loeki sebagaimana ditirukan Truus.

Jasin setuju lalu mengutus bawahannya membagikan formulir administrasi pengurusan Bintang Gerilya kepada para mantan anggota Palang Merah 45. Ketika formulir itu dikembalikan, tak satu pun yang mengisi formulir itu. Ada satu pertanyaan yang membuat para mantan anggota Palang Merah 45 keberatan karena bernada “mengemis”. Mereka bersikukuh dengan pendiriannya. Pemerintah mengalah, para anggota Palang Merah 45 lalu menerima Bintang Gerilya dalam sebuah upacara yang dihelat di Surabaya.

Loekitaningsih dan mantan anggota Palang Merah 45 menerima Bintang Gerilya. (Dok. Wirawati Catur Panca).

Kontak dengan teman-temannya, terutama di Palang Merah 45, tetap terjalin. Tiap mempunyai hajat, Loeki tak pernah absen mengundang mereka. Truus biasanya kebagian jatah koordinasi. “Pokoknya semua pasrah bongkokan. Yang dipasrahi saya,” ujarnya. Truus pula yang biasanya jadi penghibur karena kemahirannya membanyol.

Ketika Wirawati Catur Panca, organisasi yang didirikan untuk mewadahi para perempuan pejuang 1945, terbentuk, Loeki aktif hingga terpilih menjadi ketua umum. “Tujuh kali musyawarah nasional ia terpilih terus,” ujar Truus. Setelah itu ia mengundurkan diri lantaran alasan kesehatan.

Loeki juga terjun ke dunia bisnis. Di bawah payung PT Wisma Loekita, ia menjalani beragam bisnis dengan fokus utama perkayuan. “Ia dapat konsesi di perbatasan Palembang-Jambi,” ujar Truus. Kadang kala Loeki mengajak teman-temannya berpetualang ke lahan konsesinya. Salah satu bekas anak buahnya di Palang Merah 45, Chatidjah, ia ajak bekerja di perusahaannya.

Memang dasarnya pemberani, Loeki tak segan-segan memarahi orang yang “mengusiknya” meski seorang menteri. Suatu hari Menteri Kehutanan Soedjarwo mengeluarkan peraturan yang merugikan pengusaha pribumi. Tak terima, ia mendatangi sang menteri, yang kebetulan ia kenal, dan mencak-mencak. Entah bagaimana, usaha Loeki akhirnya tenggelam. Seiring usia yang menua, Loeki lebih intens menjalankan organisasi ketimbang bisnis. Bahkan hingga menjelang tutup usia.

Pada 2007, di usia 80 tahun, Loeki tutup usia karena serangan diabetes, yang merembet ke jantung. Ia dimakamkan di sebelah makam suaminya di Taman Bahagia Palembang.

Banyak orang merasa kehilangan, terutama bekas teman-temannya di Pertempuran Surabaya. “Ia seorang pemimpin yang menurut saya tidak ada duanya,” ujar Truus.*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642bcf651f4fc161c0a56536