Setelah Jepang kalah, Laksamana Muda Tadashi Maeda memimpin kamp tentara Jepang. Ia kemudian menjalani penahanan dan pemeriksaan. Di masa tua, usahanya bangkrut dan hidupnya susah.
Tadashi Maeda bersama anggota pengurus Dewan Harian Angkatan 45, Chalik, Masjkur dan Aziz diterima Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, 18 September 1974. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 15 September 1945, Kepala Staf Angkatan Darat Mayjen Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Urusan Umum Mayjen Otoshi Nishimura, dan Laksamana Muda Tadashi Maeda menandatangani penyerahan Jepang kepada Sekutu di kapal HMS Cumberland di bawah pimpinan Laksamana Madya Sir Wilfred R. Patterson, yang merapat di Tanjung Priok, Jakarta.
Selain itu, Maeda memberikan surat kepada Patterson mengenai keadaan Indonesia yang sudah berubah karena pergerakan kemerdekaan. “Kalau Sekutu akan datang ke Indonesia, baiknya pasukan Amerika. Kalau tidak bisa, maka pasukan Inggris. Kalau pasukan Belanda masuk akan terjadi keributan,” kata Maeda dalam wawancara dengan sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo pada 23 Agustus 1973, sebuah proyek sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Sekutu yang datang berasal dari pasukan Inggris, kemudian pasukan Belanda juga masuk. Perang kemerdekaan pecah antara Indonesia berhadapan dengan Sekutu dan Belanda. Kekacauan pun terjadi seperti yang telah diingatkan Maeda.
PADA 15 September 1945, Kepala Staf Angkatan Darat Mayjen Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Urusan Umum Mayjen Otoshi Nishimura, dan Laksamana Muda Tadashi Maeda menandatangani penyerahan Jepang kepada Sekutu di kapal HMS Cumberland di bawah pimpinan Laksamana Madya Sir Wilfred R. Patterson, yang merapat di Tanjung Priok, Jakarta.
Selain itu, Maeda memberikan surat kepada Patterson mengenai keadaan Indonesia yang sudah berubah karena pergerakan kemerdekaan. “Kalau Sekutu akan datang ke Indonesia, baiknya pasukan Amerika. Kalau tidak bisa, maka pasukan Inggris. Kalau pasukan Belanda masuk akan terjadi keributan,” kata Maeda dalam wawancara dengan sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo pada 23 Agustus 1973, sebuah proyek sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Sekutu yang datang berasal dari pasukan Inggris, kemudian pasukan Belanda juga masuk. Perang kemerdekaan pecah antara Indonesia berhadapan dengan Sekutu dan Belanda. Kekacauan pun terjadi seperti yang telah diingatkan Maeda.
Memimpin Kamp Jepang
Setelah Kantor Penghubung (Kaigun Bukanfu) ditutup pada akhir September 1945, Maeda dan Shigetada Nishijima bekerja pada Biro Kontak Maritim Jepang di Gang Chaulan (sekarang Jalan Hasyim Asy’ari) Jakarta, sampai akhir Desember 1945.
“Bagian di mana saya bekerja dinamakan Chosabu Economical and Political Research Centre (Pusat Penyelidikan Ekonomi dan Politik). Wakil kepala bagian itu Kobayashi Ryosei. Kepala bagian itu Laksamana Maeda. Pekerjaan itu terdiri dari studi mendalam tentang hubungan-hubungan ekonomi dan politik,” kata Nishijima dalam laporan pemeriksaan, 10–13 Maret 1947. Dokumen yang tersimpan di Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie (Lembaga Kerajaan untuk Dokumentasi Perang) Amsterdam, Belanda ini diterjemahkan Sarwono Pusposaputro dan dimuat Kompas, 16 Agustus 1995.
Sementara itu, tentara Angkatan Laut sejak akhir Agustus 1945 dikonsentrasikan di kamp Ciater dan Cikole, Lembang, Bandung. Masing-masing kamp menampung sekira 700–800 pria dan kurang lebih 50 wanita (pengetik, perawat, dan sebagainya). Dari semua itu, sekira seribu orang berada di bawah Maeda. Sisanya berasal dari berbagai kantor Angkatan Laut di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta korps penerbang ke-31 di Yogyakarta, yang berada di bawah Markas Besar Angkatan Laut di Surabaya.
Di dekat Cikampek, ada 83 tentara Jepang, terdiri dari seorang kolonel, seorang letnan kolonel dan beberapa opsir, dalam perjalanan dengan kereta api ke kamp konsentrasi, dibunuh pejuang Indonesia. Mereka baru saja menyelesaikan likuidasi kantor dan menyerahkan senjata kepada Sekutu sehingga mereka tidak bersenjata.
Di kamp Cikole hanya orang-orang dari Markas Besar Angkatan Laut di bawah komando Laksamana Muda Takeda dari Yogyakarta. Namun, Takeda ditawan di Madiun oleh pejuang Indonesia. Sekutu memindahkannya ke Singapura, lalu kembali ke Jepang. Oleh karena itu, Maeda harus memegang komando di kamp Ciater dan Cikole.
“Maeda dan beberapa orang dari kantor kami antara lain saya sendiri, sejak kapitulasi hingga akhir Desember 1945 berada di Batavia (Jakarta). Pada waktu itu, Maeda meneruskan perintah-perintahnya ke kamp-kamp di Ciater dan Cikole. Sebelum kami pada akhir Desember 1945 untuk seterusnya berangkat ke kamp-kamp itu dengan seizin Sekutu,” kata Nishijima.
Sebenarnya Belanda sendiri ingin saya berkata bahwa saya sudah membantu kemerdekaan Indonesia.
Di kamp Ciater dan Cikole diperkirakan tidak lebih dari 200 orang dengan senapan dan mitraliyur (paling banyak lima pucuk). Sekira akhir Agustus 1945 gudang mesiu Angkatan Laut di Jalan Lembang meledak karena kecelakaan. Rumah-rumah di sekitarnya hancur dan beberapa orang Indonesia terbunuh atau terluka. Persediaan mesiu sebagian besar musnah. Ledakan itu mengesankan bahwa pasukan Angkatan Laut ingin berperang terus atau ingin menciptakan huru-hara.
Menurut Nishijima, dengan persenjataan yang ada terlalu kurang untuk mengamankan kamp-kamp dan rumah sakit di Ciater, sehingga mustahil dapat memberikan senjata-senjata itu kepada pihak Indonesia. Dengan demikian, Nishijima membantah berita radio dari Singapura pada Maret 1946 tentang penyeberangan seribu anak buah Maeda.
“Saya tahu dengan pasti bahwa dari pasukan ini tidak lebih dari 30 orang yang menyeberang,” kata Nishijima.
Ketika Maeda pada akhir Desember 1945 datang ke kamp melalui Bandung, dan telah memeriksa data para penyeberang, ia langsung memberikan perintah panjang lebar kepada para komandan bawahannya untuk melacak dan menahan orang-orang itu. “Perintah itu saya baca sendiri dan ada lima orang yang ditahan karenanya,” kata Nishijima.
Namun, menurut Maeda, seperti dikutip Kompas, 3 September 1973, pemimpin-pemimpin Jepang di Indonesia, mengeluarkan perintah tak tertulis, agar senjata-senjata sedapat mungkin diserahkan kepada Indonesia. Misalnya, Laksamana Muda Yaichiro Shibata yang menyerahkan senjata kepada pejuang Indonesia di Surabaya. Jika terjadi kontak senjata dengan pejuang Indonesia, serdadu Jepang supaya menembakkan senjata ke atas. Perintah itu diberikan tidak tertulis untuk mencegah agar tidak diketahui Sekutu, yang memerintahkan Jepang mempertahakan status quo.
Penyerahan Jepang kepada Sekutu di kapal HMS Cumberland di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 15 September 1945. Duduk (kiri-kanan): Kolonel Obana, Mayjen Nishimura, Mayjen Yamamato, Laksamana Muda Tadashi Maeda. Berdiri (kiri-kanan): Letkol Momova, Letkol Miyamoto, Kapten Nagasuki, dan Mayor Yamagucki. (Imperial War Museum).
Penahanan dan Pemeriksaan
Pada April 1946, Sekutu menahan Maeda di penjara Glodok, kemudian dipindahkan ke penjara Gang Tengah. Menurut Nishijima, pada akhir Desember 1946, seorang tahanan dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Ia dimasukkan ke double sel yang tadinya ditempati Maeda. Kemudian Maeda dipindahkan ke dalam sel Nishijima.
“Hal ini kesalahan pengurus penjara. Karena Maeda dan saya belum diperiksa mengenai rapat dan kejadian di rumah Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding betul-betul sampai mana boleh terus terang dan harus tinggal diam saja mengenai perumusan naskah proklamasi. Karena pada waktu itu Belanda berusaha keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang,” kata Nishijima dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap, dimuat Kompas, 16 Agustus 2001.
Maeda mengakui selama ditahan di penjara Glodok beberapa kali diperiksa oleh Belanda dalam waktu tiga bulan. Di Singapura, ia kembali diperiksa oleh Inggris. “Selama tiga minggu diperiksa, lalu ada keputusan saya dibebaskan. Tapi Belanda di Jakarta meminta kepada Singapura supaya saya kembali ke Jakarta untuk diperiksa lagi,” kata Maeda.
Belanda beberapa kali memeriksa Maeda dengan bahan hasil pemeriksaan di Singapura. Pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan Maeda selalu sama. “Belanda sampai capai dan putus asa memeriksa. Sebenarnya Belanda sendiri ingin saya berkata bahwa saya sudah membantu kemerdekaan Indonesia,” kata Maeda.
“Ketika berada di penjara Glodok maupun Singapura, Maeda juga mengatakan, bahwa bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya sendiri. Tidak mungkin satu orang seperti ia menggerakkan delapan puluh juta orang untuk menyatakan kemerdekaan,” tulis Kompas, 3 September 1973.
Usaha yang Gagal
Maeda dibebaskan pada Mei 1947 dan kembali ke Jepang. Ia kemudian bekerja sebagai konsultan dan mendirikan perusahaan. Pada 1960-an, ia datang ke Jakarta untuk membangun pabrik gula di Pulau Seram, Maluku. Ada enam perusahaan Jepang yang siap berinvestasi.
“Terutama dari perusahaan besar di Jepang seperti Ebara, Komatsu, Tayse Kensutsu, Marubeni, Fuji Seito, dan perusahaan yang kecil punya saya sendiri,” ujar Maeda.
Pembangunan pabrik yang sudah setengah jadi dihentikan karena pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965. “Meskipun proyek ini tidak jadi, perusahaan-perusahaan besar tidak bangkrut. Yang bangkrut hanya perusahaan saya,” kata Maeda.
Maeda kembali mencoba menjajaki usaha di Indonesia, namun gagal. Hal ini yang memungkinkan membuat hidupnya susah. “Ia tidak mampu membayar tiket pesawat terbang ketika ke Indonesia. Mungkin dibantu teman-temannya. Dari sini saya mengerti kehidupan ekonominya susah,” kata sejarawan Aiko Kurasawa kepada Historia.
Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri peringatan kemerdekaan Indonesia ke-28 pada 17 Agustus 1973. Menurut penerjemahnya, Terutake Kikuchi, seperti dikutip Kompas, 3 September 1973, “Ketika sudah tidak bekerja lagi, ia tinggal sebatang kara. Istrinya sudah tiada dan anak pun tidak punya. Sebenarnya Maeda ingin tinggal di Indonesia.”
Saya melihat sendiri hidupnya merana. Ia tinggal di kota Tokyo dengan uang pensiun pas-pasan.
Menurut Aiko yang menemani Maeda di pesawat kembali ke Jepang, Maeda membungkus makanannya untuk istrinya. “Orang besar jarang seperti itu. Jadi image saya terhadap mantan laksamana bawa pulang makanan kecil dari pesawat itu sangat mengesankan,” kata Aiko. Namun, Aiko tidak begitu yakin apakah makanan itu untuk istrinya. “Bila bukan istrinya, wanita itu partner tidak resmi.”
Namun, pada peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia, Nishimura Toaji (73 tahun) mengaku anak Maeda. Ia datang ke Jakarta atas undangan Majapahit Admiration Community, untuk mengikuti napak tilas proklamasi di bekas rumah Maeda, yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jl. Imam Bonjol No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, 16 Agustus 2015.
Menurut Aiko, Maeda tidak berstatus veteran perang. Ia dianggap warga sipil dengan hak pensiun pas-pasan. Ia di masa tuanya merana. “Saya melihat sendiri hidupnya merana. Ia tinggal di kota Tokyo dengan uang pensiun pas-pasan,” kata Aiko dikutip Kompas, 30 September 2014.
Pemerintah Indonesia menganugerahkan bintang Jasa Nararya kepada Maeda pada perayaan 17 Agustus 1977 –sumber lain menyebut tahun 1976– yang disampaikan Duta Besar Indonesia di Tokyo, Witono. Tidak lama kemudian, Maeda dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan.
“Tidak seorang pun, kecuali anggota keluarganya dapat menjenguknya. Para dokter melarang keras setiap pengunjung untuk menjenguknya. Tatkala saya berada di Tokyo dan ingin menjumpainya, permintaan saya ditolak. Pada akhirnya beliau wafat (13 Desember 1977, red.). Berita wafatnya saya terima tanggal 14 Desember 1977,” tulis Ahmad Subardjo dalam “In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda,” Kompas, 19 Desember 1977.
“Dengan wafatnya Laksamana Maeda,” Subardjo mengingatkan, “Indonesia kehilangan seorang setia kawan yang besar jasanya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Laksamana Maeda menunjukkan sifat samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia merdeka.”