Rofi, penjaga arena permainan dingdong. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
TAK jauh dari perempatan Senen, Jakarta Pusat, sebuah gedung bioskop tua berlantai dua berdiri kokoh. Namun cat dinding dan poster-poster filmnya sudah kusam. Di gerbang masuk, beberapa orang duduk santai sembari mengobrol. Masuk ke dalam, debu-debu beterbangan dari ubin merah yang kotor. Cat pada pilar-pilar yang menopang gedung itu mengelupas, sebagian menghitam. Di salah satu sudut ruangan, teronggok mesin-mesin mainan yang rusak. Jumlahnya 15 mesin. Tertutup debu dan sarang laba-laba. Kumuh.
“Mesin-mesin itu sudah lama rusak. Susah mencari onderdilnya. Namanya juga mesin tua,” kata Rofi, 58 tahun, penjaga arena permainan itu.
TAK jauh dari perempatan Senen, Jakarta Pusat, sebuah gedung bioskop tua berlantai dua berdiri kokoh. Namun cat dinding dan poster-poster filmnya sudah kusam. Di gerbang masuk, beberapa orang duduk santai sembari mengobrol. Masuk ke dalam, debu-debu beterbangan dari ubin merah yang kotor. Cat pada pilar-pilar yang menopang gedung itu mengelupas, sebagian menghitam. Di salah satu sudut ruangan, teronggok mesin-mesin mainan yang rusak. Jumlahnya 15 mesin. Tertutup debu dan sarang laba-laba. Kumuh.
“Mesin-mesin itu sudah lama rusak. Susah mencari onderdilnya. Namanya juga mesin tua,” kata Rofi, 58 tahun, penjaga arena permainan itu.
Di sudut lainnya, enam mesin menyala tanpa suara. Beberapa anak kecil memainkannya dengan riang. Dua orang dewasa, lelaki dan perempuan, ikut larut dalam permainan. “Mengisi waktu saja sehabis mengamen. Main ginian murah, cuma 500 rupiah satu koin. Yah, mainan jadul,” kata Jonathan, 35 tahun.
Dingdong, demikian orang menyebut mesin itu. Untuk bermain, seseorang harus menukar uang Rp500 dengan koin khusus ke penjaga. Begitu mencemplungkan koin ke lubang di mesin, permainan bisa dimulai. Jenisnya tak banyak. Hanya permainan perang luar angkasa dan ketangkasan mencocokkan warna bola (seperti Zuma).
Mesin-mesin itu berumur lebih dari 20 tahun. “Hanya satu yang bisa dibilang masih baru. Yang mobil-mobilan itu sebelum kerusuhan Mei,” terang Rofi sembari menunjuk mesin bertuliskan Power Wheels. “Itu pun sekarang kemudinya cuma sebelah yang bisa. Kemudi satunya lagi sudah rusak.”
Serupa usia mesinnya, arena permainan itu beroperasi pada 1980-an. Rofi tak ingat tepatnya. Ia hanya ingat kala itu bioskop masih ramai. “Sambil menunggu film diputar, orang biasa main di sini. Wah ramai,” kenang Rofi.
Bioskop itu sendiri berdiri sejak 1920-an. Waktu itu namanya Rex Bioscoop. Setelah kemerdekaan, namanya berubah jadi Grand Bioscoop. Memasuki 1970-an, berubah lagi jadi Bioskop Kramat. Terakhir, pada 1980-an, namanya Mulia Agung Theatre dan terbilang tersohor bagi para penikmat film.
“Jangan lihat sekarang. Sekarang mah bioskop ini sudah mau ambruk. Tak ada yang bisa diceritakan. Kalau waktu 1980-an sih iya, boleh berbangga. Tapi buat apa? Toh, sekarang sudah bangkrut,” kata Rudy, pengelola bioskop berusia 66 tahun, putus asa.
Rudy malas bercerita soal masa lalu. Termasuk arena permainan di lantai satu. “Saya kenal pemiliknya. Tapi tak akrab. Lagian saya cuma pengelola gedung, bukan pemilik. Pokoknya arena itu sudah ada waktu bioskop ini masih ramai. Jadi tempat itu juga penuh.”
Rofi juga enggan menjelaskan siapa bosnya. “Saya mah cuma orang kecil. Jangan ditanya macam-macam soal bos,” pintanya.
Pepen, berusia 40 tahun, penjaga pintu bioskop lantai satu, menuturkan, “Nama pemilik arena itu Pak Patar. Tinggalnya di Tanah Abang. Tapi ia gak bisa dihubungi.”
James, berusia 44 tahun, preman yang mangkal di arena permainan itu sejak 2000, mengatakan, “Kemungkinan mereka malas bercerita karena masanya sudah lewat. Tinggal menunggu nasib.”
James terkenang ketika kali pertama datang ke Jakarta pada 1994. Ia menjadi sopir Metromini 17 jurusan Manggarai-Pasar Senen. Kala ada kesempatan, ia berkunjung ke tempat permainan itu. Ia berbaur bersama pengunjung bioskop yang menunggu film. Ada juga serombongan pelajar yang memang hanya ingin bermain dingdong. Waktu itu masih banyak dingdong yang berfungsi. Tempatnya nyaman. Ragam permainannya juga lebih banyak.
“Ada motor-motoran, Bang, yang itu, tuh, yang sudah rusak,” ungkap James sambil menunjuk mesin dingdong bermerk “Namco”. Pada masanya, mesin itu salah satu favorit pengunjung, selain mesin bertulis “Street Fighter”.
Kotak Koin dari Amerika
Kehadiran mesin dingdong di Jakarta tak terlepas dari perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat pada 1970-an. Revolusi teknologi komputer tengah bersemi. Komputer tak lagi hanya dipakai untuk urusan serius, tapi juga santai. Nolan Bushnell, mahasiswa Universitas Utah, berhasil mereka cipta komputer menjadi permainan yang mengasyikkan. Mulanya ia cuma iseng memainkan potongan gambar yang diambil dari layar TV. Potongan itu ia masukan ke dalam komputernya.
Melalui program khusus, Bushnell mempertarungkan potongan gambar itu. Keasyikan, ia mengajak segelintir temannya. Sembari menikmati mesin pinball, mereka berpikir membuat temuan Bushnell itu untuk umum. Setelah bersepakat, mereka meluncurkan permainan komputer yang diberi nama Spacewar pada 1971. Permainannya berupa piring terbang dan sebuah kapal roket yang saling menyerang. Meski hanya diproduksi 2.000 buah, permainan ini laku keras.
Kami melarang karena mainan ini berpengaruh buruk terhadap pendidikan dan perkembangan tunas bangsa Indonesia.
Sukses pertama itu mendorong Bushnell mereka cipta sebuah kotak permainan dengan koin (arcade). Bushnell meletakkannya di luar sebuah toko di California pada 1972. Untuk memainkannya, orang harus memasukkan koin, seperti memakai mesin Pinball. Hanya saja, ada beberapa tombol khusus yang tak dijumpai pada mesin Pinball. Di monitor, tampak beberapa garis dan sebuah lingkaran. Permainan ini menyerupai tenis meja. Lingkaran akan terpantul jika mengenai garis. Garis itu diumpamakan sebuah bed yang dapat dimainkan orang.
Pengunjung toko sangat tertarik dengan Pong, nama permainannya. Pada hari kedua, orang rela mengantre untuk menjajal permainan itu. Hari-hari berikutnya, kotak permainan ini segera diminati seantero Amerika Serikat. “Dalam dua minggu, mesin ini rusak karena terlampau banyak dipenuhi koin,” tulis Leonard Herman dalam The History of Video Games.
Bushnell kemudian mendirikan perusahaan bernama Atari dan menempatkan mesin ini di toko-toko lain. Butuh waktu delapan tahun bagi mesin ini untuk sampai ke Indonesia. Dan warga Jakarta menjadi salah satu yang beruntung bisa menjajal kotak permainan ini.
Polemik Dingdong
Belum banyak mainan listrik di Jakarta sebelum 1980. “Kebanyakan anak-anak memainkan permainan tradisional seperti layangan, galasin, bola bekel, halma, dan petak ingglo (permainan anak laki dan perempuan dengan cara sembunyi),” tulis Zeffry Al-Katiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai: Sisi Melik Jakarta 1970-an. Penyedia tempat mainan listrik sangat terbatas. Kala itu yang terkenal berada di Toko Serba Ada Sarinah di Jalan Thamrin.
Memasuki 1980-an, kotak mainan dengan koin dari Amerika diperkenalkan di Jakarta. Hotel-hotel menjadi agen pertamanya. Tamu-tamu menjajalnya dengan uang yang dapat ditukarkan dengan koin di lobi hotel. Kehadiran kotak permainan ini cepat menyebar dan kemudian menjadi berita di koran-koran.
Apalagi kotak permainan yang datang ke Jakarta termasuk generasi baru mesin arcade Atari dan sudah bersuara. Langgam permainannya meliputi olahraga, adu balap, petualangan, adu tarung, dan peperangan.
Tak seperti di Amerika, di Jakarta mesin ini populer dengan nama dingdong. Istilah ini diambil dari bunyi mesin pinball. Karena itu, dingdong kerap kali disandingkan dengan mesin judi. Padahal, ia mulanya hanya sebuah mainan biasa. Tempat-tempat hiburan semacam pub, plaza, restoran, bioskop, dan diskotek pun berlomba menghadirkan mesin itu sebagai pelengkap mesin keping lain yang lebih dulu dikenal seperti jackpot dan pinball.
Sementara beberapa pengusaha memilih menitipkan mesin itu ke tempat-tempat hiburan. Seketika arena permainan itu menjamur bak cendawan di musim hujan. Beberapa di antaranya terdapat di Aldiron Plaza di Kebayoran Baru dan Dunia Anak-Anak Bobo di Pusat Perdagangan Senen. Untuk membuka usaha itu, para pengusaha perlu mengurus izin ke Biro Ketertiban DKI Jakarta.
Tak peduli usia, entah anak-anak atau dewasa, warga Jakarta mendatangi arena ini; menghabiskan uang dan melepas penat. Sekeping koin dapat ditebus dengan uang Rp50. Seorang pengunjung bisa menghabiskan uang hingga Rp500. Terhadap kegandrungan ini, muncul beragam reaksi.
Beberapa orang tua khawatir. Banyak pelajar menipu dan membolos hanya untuk bermain di arena dingdong. Orang tua yang mampu lebih memilih membelikan alat itu untuk anaknya ketimbang mengizinkannya bermain di arena dingdong. Harga mesin dingdong ketika itu berkisar satu juta rupiah per unit. Sedangkan untuk produk permainan video nonkoin lebih murah, Rp150-200 ribu. Produk ini tak lama hadir setelah dingdong. Untuk memainkannya, orang hanya tinggal menyambungkannya dengan pesawat televisi. Meski begitu, dingdong tetap diminati.
Pada Desember 1981, dingdong menjadi kekhawatiran nasional. Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) G.P.H. Djatikusumo menyarankan pelarangan jual-beli dan memainkan dingdong, kecuali untuk perorangan. Saran ini disampaikan kepada Presiden Soeharto. Menurut Djatikusumo, presiden sependapat dengan DPA.
“Kami melarang karena mainan ini berpengaruh buruk terhadap pendidikan dan perkembangan tunas bangsa Indonesia,” kata Djatikusumo, seperti dikutip Kompas, 16 Desember 1981. Djatikusumo mengambil contoh Filipina yang telah melarang dingdong dan mainan sejenisnya.
Banyak orang tua setuju usulan Djatikusumo. Mereka menganggap mesin dingdong terlampau banyak. Di Jakarta, dalam Desember 1981, terdapat 867 mesin dingdong. Sementara menurut Kompas, 18 Desember 1981, total mesin dingdong mencapai 532 buah. Tempatnya tersebar di empat wilayah kotamadya: Jakarta Barat 226 titik, Jakarta Selatan 150 titik, Jakarta Pusat 90 titik, dan Jakarta Timur 75 titik. Hanya Jakarta Utara yang tak memiliki tempat dingdong.
Pengusaha memprotes rencana itu. Alasannya, mereka sudah keluar banyak modal. Beberapa bahkan menyebut hingga milyaran. Terkait masuknya pelajar berseragam ke arena dingdong, mereka mengatakan sulit mencegahnya.
“Di Pulomas dan Pancoran, sekelompok pelajar menyerang petugas dingdong yang melarang mereka masuk,” tulis Kompas, 17 Desember 1981.
Seorang cendekiawan membela pengusaha. Dali S. Naya, kala itu dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Jakarta, menyatakan tak seharusnya dingdong ditertibkan. “Sebaiknya isinya yang ditertibkan. Sebab, kalau begitu logikanya, televisi dan radio juga mesti dilarang,” ungkapnya.
Larangan pemerintah tak bisa dicegah. Lewat Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib) Soedomo, pada 18 Desember 1981 tempat-tempat dingdong disegel. Tapi rupanya hanya berlaku sehari. Pengusaha tempat dingdong kemudian bertemu dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sardjono Soeprapto untuk meminta keringanan.
Mereka menganggap pemerintah plin-plan; sudah mengizinkan tapi malah melarang. Akhirnya larangan tersebut tak pernah diberlakukan secara ketat. Pengusaha yang berizin diperkenankan melanjutkan usaha dengan syarat: tak boleh ada perjudian di arena dingdong dan pelajar berseragam pada jam sekolah.
Meski banyak keberatan dari orang tua, usaha dingdong tetap semarak. Rofi ingat betul bagaimana ia kewalahan melayani permintaan koin kala usaha dingdong di Mulia Agung Theatre baru dibuka. “Stok koinnya sampai habis.”
Rofi juga menyadari dingdong tak lepas sepenuhnya dari perjudian. “Ada saja yang taruhan. Tapi ya tak ketahuan. Lagian di sini dari buka hingga sekarang cuma menyediakan mainan dingdong, bukan mesin jackpot atau judi lainnya,” ujarnya. Satu kejadian lain yang sering terjadi adalah orang tua datang ke arena itu untuk memaksa anaknya pulang.
Kini keadaan jauh berbeda. Mainan elektronik sudah sangat maju dan mudah didapat. Arena dingdong itu sepi. Hanya segelintir tunawisma, penjaja seks, dan kaum sesama jenis yang sering mondar-mandir di sana. Kadang mereka bermain dingdong, yang berarti sedikit menambah pemasukan bagi Rofi. Lepas itu, Rofi hanya bisa menatap kosong mesin-mesin dingdong tua yang masih menyala. Nirsuara.*