Majnun di Melbourne

Kota yang terbilang muda. Berusia dua abad setengah. Demam pencarian emas membuatnya melaju cepat.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Majnun di MelbourneMajnun di Melbourne
cover caption
Patung Kapten Matthew Flinders, navigator dan kartografer Inggris yang memimpin pelayaran pertama mengelilingi Australia.

MELBOURNE di bulan Mei adalah sejuk yang datang di awal musim gugur. Dedaunan meranggas. Orang-orang mulai membalut tubuhnya dengan pakaian tebal, menangkis udara dingin yang terbawa angin Kutub Selatan. Pada kota yang mengabadikan nama pendirinya itu, Lord Melbourne, sepi adalah kawan sehari-hari. Apalagi di daerah pinggiran kota (suburbs), hanya gemerisik bunyi daun diterpa angin yang menyemarakkan malam.

Tapi bukan berarti Melbourne sepi dari segala-galanya. Di kota yang baru berusia kurang dari 250 tahun itu berbagai kegiatan seni dan kebudayaan mewarnai hari. Paling tidak ada dua tempat publik yang selalu menyelenggarakan perhelatan budaya: Perpustakaan Negeri Victoria (State Library of Victoria) dan Galeri Nasional Victoria (National Gallery of Victoria).

MELBOURNE di bulan Mei adalah sejuk yang datang di awal musim gugur. Dedaunan meranggas. Orang-orang mulai membalut tubuhnya dengan pakaian tebal, menangkis udara dingin yang terbawa angin Kutub Selatan. Pada kota yang mengabadikan nama pendirinya itu, Lord Melbourne, sepi adalah kawan sehari-hari. Apalagi di daerah pinggiran kota (suburbs), hanya gemerisik bunyi daun diterpa angin yang menyemarakkan malam.

Tapi bukan berarti Melbourne sepi dari segala-galanya. Di kota yang baru berusia kurang dari 250 tahun itu berbagai kegiatan seni dan kebudayaan mewarnai hari. Paling tidak ada dua tempat publik yang selalu menyelenggarakan perhelatan budaya: Perpustakaan Negeri Victoria (State Library of Victoria) dan Galeri Nasional Victoria (National Gallery of Victoria).

Pada Mei 2012, roh Persia datang di Melbourne. Sebuah pameran bertajuk “Love and Devotion: From Persia and Beyond” digelar di Perpustakaan Negeri Victoria. Spirit Persia terasa menyergap saat kaki melangkah masuk ke ruang pameran. Musik tradisional Persia yang mengalun syahdu, membawakan syair-syair pujangga Persia tentang cinta dan tragedi kehidupan manusia.

Syair-syair yang tercatat dalam manuskrip dari abad ke-13 sampai 18 itu pun turut dipamerkan di State Library. Mulai penyair Firdausi (Abu Al Qasim) sampai Nava’i (Mir Ali Shir). Sebagian besar naskah merupakan koleksi dari Perpustakaan Bodleian, University of Oxford, Inggris. Selebihnya milik Perpustakaan Negeri Victoria.

State Library of Victoria.

Di Persia sendiri, sebelum masuknya Islam, puisi dituturkan dan ditularkan secara lisan dari satu generasi ke generasi. Pada pertengahan abad ke-7, syair-syair yang semula dituturkan secara lisan mulai ditulis. Pada abad ke-12, seiring meningkatnya pengikut sufi, kesusasteraan Persia pun ikut dipengaruhi oleh tradisi sufisme.

Yang menarik dari pameran itu adalah turut dipamerkannya karya-karya sastra Eropa klasik yang terpengaruh oleh karya sastra Persia. Romeo dan Juliet karya William Shakespeare misalnya yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan kisah Layla dan Majnun karya Nizami. Bahkan lagu “Layla” karya Eric Clapton pun terinspirasi dari kisah legendaris tersebut. Bukan hanya Shakespeare, penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe juga disebut terpengaruh oleh kesusasteraan Persia.

Dalam pameran itu pengunjung diajak untuk menyumbang uang sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian naskah kuno sastra Persia. beberapa manuskrip kuno yang dipamerkan memang tampak ringkih dan melapuk. Penggalangan dana pun dilakukan dengan menjual berbagai macam suvenir yang temanya tak jauh dari pameran. Yang tak kalah mengagumkannya ialah cara penyajian materi pameran yang bukan hanya kronologis tapi mampu menjalin benang merah dari sebuah karya ke karya lainnya. Menjadikan kesusasteraan Persia bagian tak terpisahkan dari kesusasteraan dunia.

Sementara di Perpustakaan Negeri Victoria memamerkan warisan kebudayaan Persia, di Galeri Nasional Victoria menampikan karya-karya seni yang juga menimbulkan decak kagum. Pada Mei 2012 galeri ini sedang bersiap mengadakan pameran Napoleon: From Revolution to Empire yang diselenggarakan 2 Juni–7 Oktober 2012. Dalam pameran tersebut akan ditampilkan semua hal yang berkaitan erat dengan Napoleon, mulai lukisan sampai dengan pertunjukan film.

Lukisan Layla & Majnun.

Di Galeri Nasional Victoria pameran karya seni selalu dibuka setiap hari sepanjang tahun. Galeri ini memiliki ribuan koleksi karya seni dari berbagai belahan dunia. Lukisan dari zaman pertengahan di Eropa sampai dengan karya seniman-seniman Asia bisa disaksikan tanpa dipungut bayaran. “Kami memiliki semua koleksi yang ada di sini, itu sebabnya Anda bisa menyaksikannya tanpa harus bayar,” ujar seorang penjaga ruang pameran.

Galeri tersebut juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran bagi siswa-siswa sekolah. Siswa yang berkunjung ke Galeri Nasional Victoria akan dibimbing oleh seorang pemandu yang bisa menjelaskan secara detail, bukan hanya tentang gambar apa yang dilukis melainkan pula konteks proses kreatif lukisan tersebut. Siswa-siswa sekolah dasar pun sudah disuguhi penjelasan yang menurut ukuran siswa di Indonesia mungkin terlampau berat. Tapi, istilah berat atau ringan itu bisa diselesaikan dengan baik oleh pemandu (dan tentu sang guru) karena penguasaan mereka yang lengkap tentang sejarah seni.

Dari dua tempat itu muncul kesan kuat bahwa Melbourne adalah kota yang sangat berbudaya. Padahal, saat kali pertama bangsa Eropa datang ke daratan yang mereka kira tak berpenghuni itu, kata budaya sama sekali jauh. Mereka datang ke Melbourne, sebagaimana juga bangsa Inggris (dan Eropa) lain yang datang ke tempat lain di Australia, dipicu oleh demam emas (goldrush). Sebelumnya benua yang ditemukan oleh Kapten James Cook pada 1770 itu malah dijadikan tempat buangan tahanan kriminal Inggris.

Tapi setelah demam emas di abad 19, Australia merayap cepat. Mulai 1880 perluasan kota Melbourne kian pesat. Melebar dari arah pusat kota yang semula di Port Philip dan Lembah Yarra. Dan kini menjadi salah satu negara maju di dunia. Negeri Barat yang terletak di Timur. Bangsa Eropa yang berada jauh dari daratan Eropa, yang acapkali bersitegang dengan tetangganya, Indonesia, untuk beberapa soal.

Flinders Street Train Station, salah satu cagar budaya Melbourne.

Melbourne punya cita rasanya tersendiri. Pusat keramaian kotanya tak terlalu luas. Terdiri atas blok-blok yang saling terhubung dan mudah dijelajahi. Pusat keramaian utama itu terhampar di sepanjang Jalan Swanston. Kafe, restoran, pertokoan berdiri di sepanjang jalan itu. Bahkan kafe yang sama sekali baru, franchise dari luar Australia, semakin menyemarakkan Jalan Swanston.

Penjelajahan di negara bagian Victoria belum lengkap jika belum melihat kekayaan faunanya. Ada beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi, dua di antaranya adalah Melbourne Zoo dan Healesville Sanctuary. Healesville Sanctuary cukup mengesankan, terletak di utara Melbourne. Dalam perjalanan menuju Healesville, sejauh mata memandang hamparan kebun anggur dan ternak yang sedang merumput menghiasi kiri dan kanan jalan.

Tumbuhan dan hewan asli benua Australia bisa dilihat di Healesville Sanctuary. Suaka margasatwa ini dirintis oleh Dr. Colin MacKenzie pada 1920 dan menjadi suaka pertama yang berhasil mengembangbiakan platypus pada 1943. Tentu kangguru, tazmanian devil dan koala menjadi hewan yang wajib ditengok. Di suaka margasatwa Healesvile pengunjung bisa menyambangi kandang hewan dengan berjalan kaki.

Federation Square.

Sekarang soal makanan. Tentu saja untuk urusan satu itu Melbourne adalah surga. Di kota yang multikultural ini berbagai jenis makanan bisa dengan mudah ditemui. Mulai dari yang bercita rasa Italia sampai dengan nasi goreng pete ala Indonesia semua ada. Keragaman budaya menjadikan kuliner di Melbourne kaya.

Tempat berburu makanan yang cukup terkenal di Melbourne terletak di Lygon Street. Di tempat ini beberapa kafe yang nyaman dan terjangkau banyak tersedia. Tapi lebih unik untuk dikunjungi bagi pemburu makanan adalah Victoria Market. Pasar ini tak buka setiap hari sepanjang minggu. Hanya hari Rabu dan Kamis. Selebihnya tutup. Di pasar tradisionalnya warga Melbourne ini, semua jenis makanan dari berbagai latar belakang budaya dan negara bisa dinikmati. Tak merepotkan karena semua ada di satu tempat.

Melbourne kota yang mungkin cukup membosankan saat malam tiba. Tak semua kafe buka hingga larut malam. Pada banyak tempat semua akan tutup pada pukul lima sore. Saat matahari mulai tenggelam, suara yang akrab di telinga pun kembali datang: desau angin menerpa daun pada ranting pohon yang mulai meranggas pada musim gugur. Tapi ia adalah kota yang cukup lengkap, di mana kesepian dan keramaian menjadi pasangan yang selalu bergantian mengisi hari.*

Foto-foto oleh Bonnie Triyana

Majalah Historia No. 3 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6451edbc8a97c0e5b38de379
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID