BELASAN perempuan menghadiri kongres Boedi Oetomo pertama di Yogyakarta pada 3 Oktober 1908. Mereka memang tak unjuk suara. Namun, upaya meningkatkan derajat kaum perempuan, terutama melalui pendidikan, menjadi salah satu usulan Boedi Oetomo cabang Batavia.
Kendati terlambat, pada 1912 sejumlah perempuan memprakarsai pembentukan organisasi perempuan di bawah naungan Boedi Oetomo. Namanya Poetri Mardika. Pemrakarsanya adalah Tengkoe Theresia Sabaroeddin, Sadikoen Tondokoesoemo, Soetinah Djoyopranoto, dan Roekmini. Theresia Sabaroeddin terpilih sebagai ketua –sebelum digantikan Soetinah pada 1915, Asiah Koesrin (1916), dan Siti Katidjah Abdoerachman (1918).
“Tujuan utamanya adalah untuk membantu pendanaan studi anak-anak perempuan yang pintar dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi di ruang publik,” tulis Cora Vreede-De Stuers dalam The Indonesian Woman: Struggles and Achievements.
BELASAN perempuan menghadiri kongres Boedi Oetomo pertama di Yogyakarta pada 3 Oktober 1908. Mereka memang tak unjuk suara. Namun, upaya meningkatkan derajat kaum perempuan, terutama melalui pendidikan, menjadi salah satu usulan Boedi Oetomo cabang Batavia.
Kendati terlambat, pada 1912 sejumlah perempuan memprakarsai pembentukan organisasi perempuan di bawah naungan Boedi Oetomo. Namanya Poetri Mardika. Pemrakarsanya adalah Tengkoe Theresia Sabaroeddin, Sadikoen Tondokoesoemo, Soetinah Djoyopranoto, dan Roekmini. Theresia Sabaroeddin terpilih sebagai ketua –sebelum digantikan Soetinah pada 1915, Asiah Koesrin (1916), dan Siti Katidjah Abdoerachman (1918).
“Tujuan utamanya adalah untuk membantu pendanaan studi anak-anak perempuan yang pintar dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi di ruang publik,” tulis Cora Vreede-De Stuers dalam The Indonesian Woman: Struggles and Achievements.
Poetri Mardika menjalankan program beasiswa untuk perempuan tak mampu, membantu berdirinya sekolah untuk perempuan, dan kursus-kursus. Mereka juga menjalin kerjasama dengan perkumpulan lainnya, termasuk yang beranggotakan orang Belanda.
“Keunikan perkumpulan Poetri Mardika adalah ia menerima pula kaum pria sebagai anggotanya,” tulis Bambang Mulyadi Wicaksono dalam “Poetri Mardika (1912–1919)”, skripsi sejarah di Universitas Indonesia. Jumlah anggota Poetri Mardika naik-turun; beberapa anggota baru masuk tapi ada juga yang keluar. Hingga akhir 1919 jumlahnya tercatat 123 orang, baik anggota biasa maupun donatur, yang tersebar di berbagai kota di Jawa.
Anggota Poetri Mardika rajin melontarkan kritik dalam majalah terbitan berkalanya, Poetri Mardika, yang mulai terbit tahun 1914 dan dikelola Sadikoen. Isinya mencakup pernikahan anak di bawah umur, poligami, dan pernikahan paksa. Mereka juga aktif menentang prostitusi dan perdagangan perempuan.
Poetri Mardika juga menekankan kesetaraan. Masalah ini dicermati betul oleh Sriati Mangoenkoesoemo, istri Goenawan Mangoenkusumo, seorang tokoh Boedi Oetomo yang moderat. Dalam Gedenkboek Boedi Oetomo 1908–20 Mei 1918, sebuah kumpulan tulisan tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang diterbitkan pada ulang tahun organisasi itu, Sriati menyebut lebih penting mengajarkan kaum perempuan Jawa cara mengambil keputusan sendiri daripada hanya mengajarkan pengetahuan dan gaya hidup Barat.
“Perempuan harus mendidik dirinya sendiri untuk menjadi ibu yang baik untuk anak-anak dan pasangan yang baik untuk suaminya. Hal ini bukan berarti ia akan menjadi ‘mainan’ sang suami; justru ia harus melayani secara sadar,” kutip Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State.
Poetri Mardika bubar pada 1919 karena persoalan keuangan. Namun, keberadaannya merangsang terbentuknya organisasi perempuan sejenis.
Tak lama setelah Poetri Mardika berdiri, muncul organisasi perempuan lain: Kartini Fonds, Kautamaan Istri, Aisyah, Wanita Utomo, dan lain-lain. Organisasi dan partai-partai politik yang lahir kemudian pun memiliki organisasi sayap perempuan. Partisipasi perempuan di ruang publik pun kian mengemuka.*