Mangkuk Malapetaka Hiu

Sup sirip hiu dianggap makanan tradisional berkelas sebagai penghormatan kepada tamu. Tradisi kulinari ini membawa hiu pada kepunahan.

OLEH:
Mira Renata
.
Mangkuk Malapetaka HiuMangkuk Malapetaka Hiu
cover caption
Sketsa memancing ikan hiu, 1871. (publicasian.com)

“TAPLAK meja yang terlihat bersih di akhir jamuan makan China menandakan tidak cukup hidangan untuk semua tamu,” ujar Tjong Tjay atau Benny Oei, putra bungsu pengusaha gula Oei Tiong Ham kepada wartawan-cum-penulis James Michener.

Tulisan Michener, “Chinese Success Story”, yang dimuat majalah Life, 31 Desember 1951, melukiskan kegembiraan Tjong Tjay mentraktir teman-temannya bersantap di restoran Kam Leng di Glodok. Dia biasa memesan tujuh hingga delapan menu umum dengan tambahan menu istimewa seperti sup sirip hiu. “Tak ada yang lebih menyenangkan hati Tjong Tjay selain melihat teman-temannya melahap dan menyendok sajian dengan tumpahan di sana-sini,” tulis Michener.

Bagi komunitas Tionghoa, hidangan sirip hiu adalah wujud penghormatan tuan rumah kepada para tamu. Keberadaan sirip hiu sebagai jamuan istimewa dipercaya telah berlangsung sejak masa Dinasti Sung. Artikel “The History of Imperial Chinese Cuisines” dalam china.org.cn menyebutkan, sirip hiu dan sarang burung walet tersaji dalam perjamuan mewah kekaisaran setelah perjalanan besar armada Cheng Ho ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Ming. Ia terus menjadi menu kekaisaran hingga masa Dinasti Qing.

“TAPLAK meja yang terlihat bersih di akhir jamuan makan China menandakan tidak cukup hidangan untuk semua tamu,” ujar Tjong Tjay atau Benny Oei, putra bungsu pengusaha gula Oei Tiong Ham kepada wartawan-cum-penulis James Michener.

Tulisan Michener, “Chinese Success Story”, yang dimuat majalah Life, 31 Desember 1951, melukiskan kegembiraan Tjong Tjay mentraktir teman-temannya bersantap di restoran Kam Leng di Glodok. Dia biasa memesan tujuh hingga delapan menu umum dengan tambahan menu istimewa seperti sup sirip hiu. “Tak ada yang lebih menyenangkan hati Tjong Tjay selain melihat teman-temannya melahap dan menyendok sajian dengan tumpahan di sana-sini,” tulis Michener.

Bagi komunitas Tionghoa, hidangan sirip hiu adalah wujud penghormatan tuan rumah kepada para tamu. Keberadaan sirip hiu sebagai jamuan istimewa dipercaya telah berlangsung sejak masa Dinasti Sung. Artikel “The History of Imperial Chinese Cuisines” dalam china.org.cn menyebutkan, sirip hiu dan sarang burung walet tersaji dalam perjamuan mewah kekaisaran setelah perjalanan besar armada Cheng Ho ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Ming. Ia terus menjadi menu kekaisaran hingga masa Dinasti Qing.

Hubungan dagang dengan bangsa lain, termasuk Eropa, memperkuat tradisi kuliner itu. Sirip hiu menjadi komoditas yang mempererat relasi perdagangan dengan Tiongkok. Kongsi Dagang Belanda (VOC) mengirimnya dalam rangka perdagangan teh secara langsung dengan China sejak abad ke-18. “Selain membayar dengan perak batangan, pejabat VOC di Batavia mengirim benda-benda mahal yang memiliki pasaran di Tiongkok untuk kekaisaran seperti tripang, sirip hiu dari Hindia Timur, debu mutiara dari Ceylon, dan tekstil celup dari India,” tulis Liu Yong dalam The Dutch East Indie Company Tea Trade with China, 1757–1781.

Pemerintahan komunis pada pertengahan 1900-an, yang menganggap sirip hiu sebagai bagian gaya hidup mewah, sempat menekan konsumsinya. Namun, itu tak berlaku bagi para imigran Tiongkok di berbagai belahan dunia. Mereka membawa selera “imperial” sirip hiu ke tanah baru. Kritikus makanan Amerika pada 1848, Samuel Williams, seperti dikutip Soup Through the Ages karya Victoria R. Rumble, mencatat hiu dan pari dalam daftar bahan makanan komunitas imigran Tiongkok di Amerika.

Mengambil sirip hiu.

Gelombang kedatangan imigran Tiongkok ke Singapura, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, menjadikan koloni Inggris tersebut sebagai pasar terbesar sirip hiu di Asia Tenggara awal 1900-an. Terbitan berkala Algemeen Landbouwweekblad van Nederlandsch-Indie pada 1930 mencatat ekspedisi kapal uap penangkap hiu dengan sponsor perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) ke Pulau Lingga, Riau. Ekspedisi ini bertujuan mengeksplorasi potensi bisnis dan kualitas sirip, kulit, dan daging hiu di perairan Hindia Belanda.

“Kulit hiu akan dikirim ke Eropa, sementara daging (kering dan asin) dan siripnya ke Singapura,” tulis Manon Osseweijer, “The Toothy Tale”, dalam Peter Boomgaard, A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories.

Potensi bisnis hiu, lanjut Osseweijer, membuat penasihat perikanan Belanda, Johan Poortman, menambahkan penangkapan hiu dalam aspek pengamatan untuk pengembangan kerangka kerja perikanan Hindia Belanda.

Singapura terus menjadi pasar utama hingga kemunculan Hongkong di pertengahan 1980-an. Dan Indonesia menjadi salah satu pemasoknya. Debra A. Rose dalam An Overview of World Trade in Sharks and Other Cartilaginous Fishes mencatat lonjakan volume ekspor sirip hiu dari Indonesia ke berbagai negara, termasuk Hongkong: dari 429 ton pada 1986 menjadi 547 ton pada 1987, dengan total nilai dari sekitar US$1 juta menjadi lebih dari US$2.6 juta.

Bagi komunitas Tionghoa, hidangan sirip hiu adalah wujud penghormatan tuan rumah kepada para tamu.

Lonjakan keuntungan bisnis sirip hiu juga mempengaruhi pola hidup nelayan. Menurut penelitian Natasha Stacey dalam Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone, perpindahan nelayan Suku Bajo ke Pepela, Rote, antara 1989–1994, terdorong oleh perkembangan bisnis sirip hiu. Kehadiran perwakilan bisnis Hongkong dan Ujung Pandang di Pepela, yang bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk penyewaan dan kredit perahu serta modal perlengkapan, memberi harapan perbaikan ekonomi sehingga sekelompok nelayan Bajo memutuskan pindah tempat.

Eksploitasi penangkapan hiu terjadi hampir di seluruh perairan di dunia. Situs CNN.com edisi 1 Februari 2011 memperkirakan 73 juta hiu tewas diburu setiap tahunnya. Artikel yang sama menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hiu terbesar, bersama India, Spanyol, dan Taiwan.

Praktik “penyiripan” dalam penangkapan hiu menyulut kemarahan internasional. Nelayan kerap memotong sirip hiu dalam keadaan hidup lalu melempar tubuh sekaratnya ke laut. Target memenuhi muatan kapal kerap mendorong nelayan melakukan metode “penyiripan”.

Saat ini, 200 dari sekitar 350 spesies hiu yang terdata terancam punah. Padahal, seperti pohon oak, gajah, dan manusia, hiu memiliki fitur K-seleksi sejarah hidup (strategi reproduksi dan kelangsungan hidup), dengan ciri antara lain: puncak kematangan seksual yang lama, jumlah keturunan yang terbatas, dan usia kehidupan yang panjang. Karenanya, regenerasi hiu memerlukan waktu. Eksploitasi, penangkapan, dan konsumsi terus-menerus akan menutup kesempatan hiu beregenerasi, lalu mengakhiri eksistensinya.

Sup sirip hiu.

Kepunahan hiu, yang merupakan predator teratas jaringan makanan, berdampak terhadap keberlangsungan hidup satwa lainnya. Penelitian J.D. Stevens, dkk. dalam “The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems” yang termuat di ICES Journal of Marine Science (2000) memprediksi beberapa skenario akibat kepunahan spesies hiu tertentu. Hilangnya spesies hiu macan (Galeocerdo cuvier) dalam perairan terumbu karang di Hawaii, misalnya, diperkirakan membuat populasi burung laut meningkat, yang kemudian menyebabkan populasi tuna berkurang, dan akibatnya menambah populasi ikan-ikan kecil di dasar laut.

Ironisnya, sirip hiu masih tersaji sebagai menu istimewa hingga abad ke-21. Walaupun mitos seputar kandungan gizi sirip hiu berkembang, kenaikan permintaan pasar lebih disebabkan anggapan dan nilai budayanya sebagai makanan tradisional berkelas yang mencerminkan penghormatan bagi tamu. Harga semangkuk sup sirip hiu di beberapa restoran bergengsi di Hongkong mencapai US$100. Sebuah kemenangan bagi hiu terjadi pada Juni 2005 ketika organisasi-organisasi pelindung satwa berhasil mendesak Disneyland Hongkong menghapus sup sirip hiu dari paket menu jamuan makan pernikahan beberapa bulan sebelum pembukaannya.

Perubahan sikap juga dilakukan Fuchsia Dunlop, seorang chef Inggris dengan spesialisasi masakan Tiongkok, satu-satunya orang Eropa yang mengikuti pendidikan di Sichuan Institute of Higher Cuisine di Chengdu, Sichuan. Dia penulis beberapa buku mengenai masakan Tiongkok, termasuk memoar Shark’s Fin and Sichuan Pepper: A Sweet-Sour Memoir of Eating in China. Dalam artikelnya di BBC online pada 21 Januari 2010, Dunlop membagikan pengalaman pertamanya menghindari sirip hiu dalam sebuah jamuan makan.

Ketika penyelenggara menegurnya karena tak menyantap sirip hiu, Dunlop sempat resah. Dia tak ingin tuan rumah merasa tersinggung karena dia menolak hidangan yang melambangkan rasa hormat mereka.

“Namun, saya sadar, meski menolak sirip hiu mungkin sebuah usaha sia-sia, setidaknya saya dapat mulai berbincang dengan beberapa chef China mengenai batasan moral dan kesadaran lingkungan dalam mengkonsumsi. Saya memutuskan untuk menyampaikan apa yang saya ketahui mengenai sirip hiu dan kegelisahan saya menyantap spesies yang akan punah. Kemudian, terjadi momen senyap penuh kekakuan. Mereka tak pernah mendengar pernyataan seperti ini sebelumnya...”

Di luar dugaan, penyelenggara jamuan memuji kejujuran Dunlop dan mengajaknya berdiskusi lebih lanjut. “Bicara mungkin hanyalah kata-kata, namun bagaimana kita dapat melakukan sesuatu jika tak mulai berbincang bersama?” ujar Dunlop di akhir artikel.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65fe752a5f21cc6909bec9ed