Mantra Riang Negeri Dongeng

Anak-anak bergembira dengan berlatih dan bermain operet di sanggar Sangrila. Sebagian besar pementasan untuk penggalangan dana.

OLEH:
Aryono
.
Mantra Riang Negeri DongengMantra Riang Negeri Dongeng
cover caption
Operet Senyumlah Anak-anak Indonesia untuk menggalang dana bagi Istana Anak-anak Indonesia Taman Mini Indonesia Indah. (Dok. Sanggar Sangrila).

BELASAN anak-anak usia 3–6 tahun, umumnya perempuan, memasuki ruang Amadeus di lantai lima mal Ciputra, Jakarta. Dengan balutan seragam warna biru tua dan sepatu balet, mereka berlatih operet dengan iringan musik dari sebuah radio tape.

Gerak anak-anak ini begitu padu. Sesekali celoteh riang meramaikan latihan sore itu. Pada akhir sesi latihan, mereka berlatih olah vokal. “...bergembira bersama Sangrila!” teriak seorang anak bernama Jian. 

Sebelum pulang, mereka mendapat semacam hadiah, khususnya bagi mereka yang serius berlatih. “Sebagai penyemangat mereka dalam berlatih,” ujar Sally, putri komposer nasional Chaken M., yang menjadi pengajar di sanggar Sangrila. Sally mulai mengajar di Sangrila sejak 1999. Dia pernah menjadi siswa sanggar yang diasuh pendirinya, Maria Tanzil.

BELASAN anak-anak usia 3–6 tahun, umumnya perempuan, memasuki ruang Amadeus di lantai lima mal Ciputra, Jakarta. Dengan balutan seragam warna biru tua dan sepatu balet, mereka berlatih operet dengan iringan musik dari sebuah radio tape.

Gerak anak-anak ini begitu padu. Sesekali celoteh riang meramaikan latihan sore itu. Pada akhir sesi latihan, mereka berlatih olah vokal. “...bergembira bersama Sangrila!” teriak seorang anak bernama Jian. 

Sebelum pulang, mereka mendapat semacam hadiah, khususnya bagi mereka yang serius berlatih. “Sebagai penyemangat mereka dalam berlatih,” ujar Sally, putri komposer nasional Chaken M., yang menjadi pengajar di sanggar Sangrila. Sally mulai mengajar di Sangrila sejak 1999. Dia pernah menjadi siswa sanggar yang diasuh pendirinya, Maria Tanzil.

Anak-anak berlatih operet di sanggar Sangrila. (Aryono/Historia.ID).

Suster Sayang Anak

Maria Tanzil, lahir di Pekalongan pada 28 November 1938, mengawali kariernya sebagai pengajar sejak 1957 di SD Santa Angela Bandung. Sejak muda, Maria menyukai pertunjukan sandiwara, balet, bahkan sudah mencoba mengarang cerita anak. Di sekolah, Maria kerap menyelenggarakan pentas kecil-kecilan, biasanya untuk menyambut Natal atau kegiatan sekolah.

Setelah menikah dengan Julizar, seorang apoteker lulusan ITB, pada 1965, pasangan ini memutuskan hijrah ke Jakarta. Maria tak lagi mengajar karena kesibukannya sebagai seorang ibu bagi kedua putrinya, Grace Tanzil dan Liza Tanzil. Namun, kecintaannya pada dunia anak-anak tak lekang.

Maria membuat sandiwara anak di sekolah Grace, SD Tarakanita. Perhatiannya lebih intens ketika mengajar anak-anak temannya, berjumlah 30 anak, yang tergabung dalam kelompok Aussi. “Aussi ini seperti perkumpulan siswa-siswa yang pernah diasuh biarawati Ursula,” ujar Diana Dwidharma, yang bergabung di Sangrila tahun 1982 dan pernah jadi pengajar di Sangrila.

Kelompok Aussi, cikal bakal Sangrila, sering melakukan pertemuan di gereja Yohannes Penginjil yang terletak di kawasan Blok B, Kebayoran. “Di situ ada aula kecil. Di situlah mama mulai mengajari anak-anak perkumpulan Aussi,” kenang Grace Tanzil, putri sulung Maria Tanzil. 

Maria kemudian melibatkan anak-anaknya dalam pementasan Putri Salju dan Tujuh Kurcaci pada 1977. “Liza menjadi kurcaci kecil yang bernama Dopey dan saya menjadi kurcaci besar bernama Dog, sementara Putri Salju-nya diperankan Pauline Jackman,” kenang Grace. 

Karena latihan Aussi kian intens, Maria akhirnya mendirikan sanggar sandiwara anak-anak Sangrila pada 4 Maret 1978. “Tanggal 4 Maret disesuaikan dengan ulang tahunku,” ujar Liza Tanzil, yang sejak tahun 2000 hijrah ke Jerman. Sementara Sangrila, menurut Grace Tanzil, kependekan dari sandiwara, gerak, tari, dan lagu. 

Maria Tanzil dan Julizar, pendiri sanggar Sangrila. (Dok. Grace Tanzil).

Setelah Sangrila berdiri, Maria memindahkan latihan ke rumahnya di Jalan Bendi, Tanah Kusir. Karena perkembangan pesat, Maria memindahkan lokasi latihannya di Jalan Prapanca, kemudian Jalan Mendut, dan terakhir Senayan. 

Di tahun pertama Sangrila, Maria membuat gebrakan dengan mementaskan operet Bobo dan setahun kemudian Cinderela, diangkat dari karya Hans Christian Anderson, yang diperankan anak-anak asuhnya. Operet Cinderela dihelat untuk penggalangan dana Palang Merah Indonesia dan gereja Katolik Maria Bunda Karmel. “Mama merancang sendiri mulai naskah, menyadur lagu, hingga tata kostum untuk operet Cinderela. Untuk kostum, saya menemani mama belanja kain murah di Tanah Abang. Entah mengapa Mama sangat suka warna biru tua,” kenang Grace Tanzil.

Kisah Cinderela punya makna lain bagi Maria. Menurut Grace, kisah itu mewakili pengalaman masa kecil Maria. “Ibu kandung mami meninggal saat mami berusia tiga tahun, terus ayahnya menikah lagi dan punya dua anak lelaki. Kata mami, ibu tirinya ini galak. Jadi mami seperti menjiwai kisah Cinderela ini,” ujar Grace. 

Operet Cinderela, yang mengorbitkan nama penyanyi cilik Ira Maya Sopha, disukai anak-anak. Ketika rombongan operet ini melakukan pentas di Makassar tahun 1978, sambutan masyarakat begitu meriah. “Sebelum pentas, tokoh-tokoh dalam Cinderela, termasuk Ira Maya, diarak keliling kota Makassar. Malamnya mereka pentas di Stadion Mattoangin (kini Stadion Andi Mattalata), disaksikan ratusan pasang mata,” kenang Jose Choa Linge, yang menghabiskan masa kecil di Makassar, kemudian turut andil dalam acara Cinderella Return: Tribute to Maria Tanzil tahun 2011. 

Maria Tanzil (kedua dari kiri) saat menjadi pengajar SD Santa Angela Bandung. (Dok. Grace Tanzil).

Kesuksesan itu langsung mendapat kritikan, dari sumber cerita yang berasal dari Barat sampai kostum yang wah dan mahal. Namun, Maria tetap jalan terus. Setahun kemudian, Sangrila mementaskan Pinokio, dengan menampilkan Sandra Dewi dan putrinya, Liza Tanzil. “Liza lebih lincah, berani tampil, maka itu mama mendorongnya untuk menjadi penyanyi.” ujar Grace. 

Sukses Sangrila di atas panggung menarik perhatian Rapi Film. Dua operet Sangrila diangkat ke layar lebar, Kisah Cinderella (1978) dan Si Boneka Kayu, Pinokio (1979), yang dibintangi pelawak Ateng dan Iskak. Sangrila juga terlibat khusus dalam pembuatan film Ira Maya Putri Cinderella (1981) dan Don Aufar (1987). 

Lagu-lagu dalam operet-operet itu kemudian direkam dalam album kaset lagu dan cerita dan laris manis. Apalagi ketika tampil dalam acara Aneka Ria Anak-Anak di TVRI. Untuk kali kesekian, Maria mendapat kritikan atas pilihan tema dalam operet-operetnya. “Anak-anak memang lebih kenal pada cerita-cerita internasional. Misalnya, Cinderella, Putri Salju, bahkan Nenek Sihir,” kata Maria Tanzil, dikutip Pertiwi, tahun 1992. 

Namun, bukan berarti Maria Tanzil mengabaikan cerita lokal. Pada 1989, Maria mementaskan cerita lokal yaitu Cindelaras yang dipentaskan di Balai Sidang Senayan. Atau, mengangkat tema-tema yang disesuaikan dengan momen tertentu seperti Hari Ibu dan Hari Anak Nasional.

Bakat menulis naskah sandiwara ini kemudian diwariskan ke Grace Tanzil. “Saya sendiri mencoba membuat naskah sendiri, tidak meniru mana-mana, seperti Selendang Sutra,” ujar Grace Tanzil.

Jose Choa Linge. (Aryono/Historia.ID).

Puncak Kegembiraan

Pesatnya perkembangan Sangrila tak lepas dari posisi sentral Maria Tanzil. “Maria Tanzil mampu membawakan cerita-cerita berlatar belakang dongeng yang menimbulkan imajinasi anak-anak,” kata Jose Choa Linge. 

Meski berperan penuh dalam mengasuh Sangrila, Maria tidak sendiri. Dia dibantu oleh orang-orang yang mampu di bidangnya seperti Chaken M (pencipta lagu “Indonesia Jaya”), Meyer Hutabarat, Yonas Parera (pencipta lagu “Bukit Berbunga”), dan Is Haryanto untuk penggarapan musik. Di bidang akting, Maria dibantu Sena Utoyo, Barkah Hadisardjana, dan Herman Ngantuk. Sedangkan di bidang balet atau tari, Maria dibantu Linda Karim dan HIM Damsyik. Tak mungkin terus mengandalkan pelatih dari luar, Maria kemudian memikirkan regenerasi pengajar.

“Sistem pembelajaran di Sangrila disusun sedemikian rupa supaya regenerasi pengajar muncul dari kalangan siswa juga,” ujar Diana Dwidharma. 

Perkembangan ini membuat Maria berpikir untuk memindahkan pusat latihannya ke area yang lebih luas. Sangrila pun menempati pusat latihan di Senayan, tepatnya ruang senam antara pintu VI dan VII. “Lokasi latihan di Senayan ini menjadi lokasi terlama, hingga kira-kira tahun 2006,” kata Diana Dwidharma. 

Sangrila juga membuka beberapa lokasi cabang latihan. Dalam catatan Diana, ada 14 cabang yang tersebar di seantero Jakarta. “Cabang Muara Karang pernah menjadi tempat berlatih Agnes Monica dan Leony,” kata Diana. 

Meski Sangrila sedang dalam puncak kesuksesan, Maria tetap memperhatikan sekolah siswa-siswanya. “Setiap habis penerimaan rapor sekolah mama selalu meminta rapor siswanya dibawa saat latihan, kemudian diperiksa satu per satu. Apabila ada yang memiliki nilai rapor buruk, ia langsung diminta mama berkonsentrasi dulu di pelajaran sekolah,” jelas Grace Tanzil, yang sekarang memimpin sanggar Sangrila. 

Grace Tanzil. (Aryono/Historia.ID).

Hidup untuk Melayani

Sebagian besar pementasan Sangrila digelar untuk misi kemanusiaan seperti penggalangan dana. Pada 1980, misalnya, Sangrila mengadakan pentas amal bertajuk Pahlawan Angkasa guna membantu Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) cabang Jakarta yang sedang membangun gedung di daerah Kebayoran Baru. Penataan musik dikerjakan band The Heart pimpinan Is Haryanto. 

Pahlawan Angkasa berkisah tentang Dewi Venus yang menolak lamaran Raja Zetan dari planet hitam. Raja pun murka dan mengancam akan menghancurkan Venus dengan bantuan Kapten Kilat dan Jenderal Guntur. Venus sendiri tak habis akal. Dia menggalang persekutuan dengan Bumi, Mars, dan Neptunus untuk menggagalkan rencana Raja Zetan. Dengan susah payah ia berhasil mengalahkan Raja Zetan dan anak buahnya. 

Pada pementasan ini, seperti direkam Pikiran Rakyat, 4 September 1980, Maria Tanzil mengajak lima puluh anak yang tergabung dalam sanggar Sangrila termasuk kedua putrinya Liza Tanzil dan Grace Tanzil. Selain anak didiknya di sanggar Sangrila, ia pun mengundang beberapa bintang tamu yang sudah akrab dengannya, seperti pelawak Ateng, Iskak, dan Sup Yusup. 

Maria Tanzil juga menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam menerima siswa di sanggar Sangrila. Ketika ia menerima siswa yang menderita keterbelakangan mental, seperti dituturkan Diana, Maria Tanzil berpesan: “Kita yang sempurna harus membantu yang kekurangan.”

Sanggar Sangrila kemudian menunjukkan gelombang surut seiring memburuknya kesehatan Maria Tanzil yang menderita liver hingga meninggal dunia pada 10 Desember 2001. Selain itu, sanggar-sanggar lain juga bermunculan seperti sanggar Ananda. Ditambah pola pikir orang tua siswa yang, “berpikiran bahwa masuk Sangrila bisa menjadi artis, padahal tidak demikian. Seperti tercantum di akta pendirian sanggar, Sangrila tak hanya bergerak di bidang seni semata, namun juga pendidikan,” ujar Grace Tanzil. 

Kemunduran Sangrila paling tampak dari berkurangnya cabang-cabang latihan hingga menjadi satu tempat saja. Meski demikian, Grace Tanzil menolak anggapan Sangrila sudah tamat. “Kami tetap mencoba membuat Sangrila hidup seperti pesan mendiang mama, membina tunas tunas muda,” ujarnya.*

Pentas-pentas Sanggar Sangrila

Sanggar Sangrila merajai dunia panggung anak-anak. Operet-operetnya meraih kesuksesan. Berikut beberapa pementasan besar sanggar Sangrila.

1977 Operet Bobo di Balai Sidang Senayan bekerja sama dengan majalah Bobo.

1978 Operet Cinderella di Balai Sidang Senayan untuk menggalang dana pembangunan gereja Katolik Maria Bunda Karmel dan Palang Merah Indonesia. Diangkat ke layar lebar oleh Rapi Film.

1979 Operet Pinokio di Balai Sidang Senayan untuk menggalang dana sosial Ukrida dan Pepabri. Diangkat ke layar lebar oleh Rapi Film.

1980 Operet Pahlawan Angkasa di Balai Sidang Senayan untuk menggalang dana sosial Yayasan Penderita Aanak Cacat (YPAC).

1982 Operet Cindelaras di Balai Sidang Senayan untuk menggalang dana sosial Ikatan Dokter Indonesia dan YPAC.

1984 Operet Senyumlah Anak-anak Indonesia di Balai Sidang Senayan, Yayasan Harapan Kita, dan untuk dana Istana Anak-anak Indonesia Taman Mini Indonesia Indah.

1987 Operet Kasih di Balai Sidang Senayan bekerja sama dengan Citra Lamtorogung Persada dan Go Skate Surabaya atas permintaan gubernur Jawa Timur.

1991 Operet Hari Ibu di TVRI.

1996 Operet Thambelina dalam rangka HUT Sangrila di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki dan Hotel Le Meridian bekerja sama dengan majalah Ayah Bunda.

2001 Operet The Wizard of Oz di Graha Bhakti Budaya dalam rangka HUT Sangrila bekerja sama dengan B35 Production.

2002 Operet Misteri Naga Ungu, 18 kali pementasan di Taman Mini Indonesia Indah bekerja sama dengan majalah Bobo dan Gramedia.

Sumber: facebook.com/group/exsanggarsangrila

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64ccebb0bbca516bee8525ee