Mas Marco dan Politik Busana Kolonial

Penggunaan pakaian pada zaman kolonial dianggap menentukan status sosial seseorang. Mas Marco hadir ke muka untuk menggugatnya.

OLEH:
Luthfi Adam
.
Mas Marco dan Politik Busana KolonialMas Marco dan Politik Busana Kolonial
cover caption
Ilustrasi Mas Marco Kartodikromo. (M.A. Yusuf/Historia.ID).

PADA pertengahan 1914, Mas Marco Kartodikromo, dalam kolom surat kabar Doenia Bergerak mengisahkan pengalaman buruk jadi korban diskriminasi ketika naik kereta dari Solo ke Semarang. Apa sebabnya? Hanya karena ia mengenakan ikat kepala batik! Ketika itu dia pergi bersama seorang Belanda dan seorang Jawa yang mengenakan setelan Belanda. Mereka membeli tiket kelas tiga. Namun, karena gerbong kelas tiga penuh, ketiganya kemudian pindah ke gerbong kelas dua.

Di sanalah persoalan mulai muncul. Ketika kondektur datang, matanya hanya menatap kepada Marco karena dia mengenakan kain kepala, berbeda sendiri dari kedua kawannya. Kondektur itu lantas memintanya untuk menunjukkan tiket, sedangkan dua temannya tak diminta menunjukkan tiketnya. Marco kena denda karena pindah gerbong kelas. Harus bayar ƒ3,65. Sedangkan dua kawannya tidak.  

“Tetapi apakah sebabnya kedua teman kami yang kaartjesnya kl.3, mereka itu duduk di 2e kl. tidak didenda seperti kami!? Apakah dari sebab mereka itu bersifat Belanda!? apakah kami mesti membuang kain kepala kami!? Hayo N.I.S. awas! Lihat betul-betul, bagaimana caranya pegawai N.I.S. melakukan pekerjaannya,” tulis Marco dalam Doenia Bergerak no. 22, 1914. NIS yang dimaksud Marco adalah Nederlands Indische Spoor, jawatan kereta api Hindia Belanda.

PADA pertengahan 1914, Mas Marco Kartodikromo, dalam kolom surat kabar Doenia Bergerak mengisahkan pengalaman buruk jadi korban diskriminasi ketika naik kereta dari Solo ke Semarang. Apa sebabnya? Hanya karena ia mengenakan ikat kepala batik! Ketika itu dia pergi bersama seorang Belanda dan seorang Jawa yang mengenakan setelan Belanda. Mereka membeli tiket kelas tiga. Namun, karena gerbong kelas tiga penuh, ketiganya kemudian pindah ke gerbong kelas dua.

Di sanalah persoalan mulai muncul. Ketika kondektur datang, matanya hanya menatap kepada Marco karena dia mengenakan kain kepala, berbeda sendiri dari kedua kawannya. Kondektur itu lantas memintanya untuk menunjukkan tiket, sedangkan dua temannya tak diminta menunjukkan tiketnya. Marco kena denda karena pindah gerbong kelas. Harus bayar ƒ3,65. Sedangkan dua kawannya tidak.  

“Tetapi apakah sebabnya kedua teman kami yang kaartjesnya kl.3, mereka itu duduk di 2e kl. tidak didenda seperti kami!? Apakah dari sebab mereka itu bersifat Belanda!? apakah kami mesti membuang kain kepala kami!? Hayo N.I.S. awas! Lihat betul-betul, bagaimana caranya pegawai N.I.S. melakukan pekerjaannya,” tulis Marco dalam Doenia Bergerak no. 22, 1914. NIS yang dimaksud Marco adalah Nederlands Indische Spoor, jawatan kereta api Hindia Belanda.  

Marco selalu dikisahkan kerap mengenakan busana Eropa. Tapi kali itu, dia mengenakan ikat kepala. Dari tulisannya di Doenia Bergerak itu bisa dibayangkan bagaimana, mengutip istilah Pram dalam novel Rumah Kaca, belang-bontengnya Mas Marco: berjas dan berpantalon, namun mengenakan ikat kepala batik. Cara berpakaiannya masih membuat dia tampak “Jawa”, tidak sepenuhnya Eropa. Sementara teman Jawanya, yang mengenakan pakaian Belanda tidak ditegur kondektur. Pakaian Belanda memberikan petanda lain yang membuat pemakainya dianggap Eropa.  

Protes Marco dalam artikelnya tidak ditujukan untuk membela ikat kepalanya, namun untuk mengkritik sikap tidak profesional dan diskriminatif sang kondektur. Selain itu, Marco juga semakin paham bahwa pakaian Eropa bisa membuat orang naik status sosialnya. Meski dia didiskriminasi akibat mengenakan ikat kepala Jawa, toh Marco tidak menjadi seorang pewaris pakaian tradisional Jawa, dia justru jadi provokator agar wong cilik mengenakan busana Eropa.

Mas Marco Kartodikromo menggunakan pakaian bergaya Barat sebagai simbol perlawanan sekaligus kesetaraan. (KITLV).

Transformasi Busana

Dalam surat kabar Doenia Bergerak yang Marco pimpin, hampir di setiap edisi terdapat artikel mengenai ajakan untuk menanggalkan pakaian tradisional dan menggantinya dengan busana Eropa. Selain itu, dapat dengan mudah ditemukan artikel yang berisi kritikan, umpatan, dan ungkapan jengkel para kontibutor terhadap kalangan kaum priayi yang enggan mengganti pakaian mereka dengan busana Eropa.  

Dalam Doenia Bergerak edisi 7, 1914, Marco menerbitkan artikel berjudul Hormat Circulaire, karangan seorang jurnalis yang menggunakan samaran “The Girl”. Dalam artikel itu sang penulis menggunakan gaya satir dengan memerankan diri menjadi seorang Belanda: “Hei man Djowo, apakah gunamu akan membuang kaen dan hoofddoek (ikat kepala), aken ganti dengan sepatu dan stelan, sebab kalau kamu memakai ini pakaian tentu tak mau lagi kamu menyembah dan menglosod, kalau kejadian begitu, aku lalu jadi kurus dan kena penyakit malaria, sebab kalau aku tidak disembah lalu ndrodok dan gemetar seluruh badanku. Hai kang Djawo, ingatlah petuah orang tuamu: ‘Sopo sing ngalah bakal luhur wekasane,’ peganglah itu petuah tadi, artinya janganlah kamu meninggalkan sembah dan jongkok itu, sebab adat itu menunjukkan kamu mengalah, berikenlah segala sawah-sawahmu sendiri.”

Para jurnalis ketika itu mengalamatkan protes kepada pejabat kolonial yang “gila hormat” dan tukang “jilat pantat”. Para pejabat itu selalu mewajibkan bawahannya untuk duduk di lantai, mengglesot jika memasuki kantornya, dan menghaturkan sembah. Sebaliknya, ketika dia menghadap atasannya dia akan ngesot dan memberi sembah yang Marco sebut sebagai jilat pantat.

Mereka menyebut adat ini dengan nama adat majapaitan atau meniru tata cara kerajaan Majapahit. Bagi Marco dan para jurnalis, memakai pakaian Eropa adalah cara untuk melawan diskriminasi sosial yang diderita pribumi kelas rendahan. Karena setinggi apapun pendidikan orang Jawa, jika mengenakan pakaian tradisional, ia harus menggelesot dan menyembah kepada atasannya, meski atasannya lebih rendah tingkat pendidikannya. Pendeknya, pakaian menentukan bagaimana tubuh harus bersikap dan menentukan penilaian orang lain.  

Pada masa itu, Marco dan kaum jurnalis bumiputra yang tergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) adalah generasi yang mengeyam bangku pendidikan modern. Mereka bekerja di institusi modern seperti pabrik, perusahaan surat kabar, dan birokrasi kolonial. Terlebih, para jurnalis itu mengetahui bahwa pemerintah kolonial sendiri telah mengeluarkan surat edaran mengenai penghapusan tata cara penghormatan kuno di dalam birokrasi kolonial.

Mas Marco dan istrinya, Roesminah. Perempuan kuat yang selalu mendampinginya pada masa-masa tersulit sekalipun. (KITLV).

Hormat Circulaire

Sejak 1904 sampai 1913, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan surat edaran kepada para bupati di Jawa dan Madura (kecuali Yogyakarta dan Surakarta) memerintahkan setiap pejabat kolonial untuk menghapus adat majapaitan dan menggantinya dengan tata cara penghormatan ala Eropa. Edaran Hormat Circulaire pada 1904 menyatakan bahwa “tata krama adat kuno yang sangat ketat dan diwajibkan di kalangan pribumi sangat menghabiskan waktu. Lagipula, untuk mereka (birokrat pribumi) yang telah sadar akan harga dirinya, (adat kuno) dirasakan sebagai penghinaan dan penghalang tumbuhnya hubungan saling percaya yang sebenarnya diperlukan oleh para ambtenaar dalam bermasyarakat.”  

Selama sembilan tahun sejak 1904, pemerintah pusat di Batavia mengedarkan berbagai peraturan dari soal penggunaan bahasa Belanda dan pelarangan bahasa Jawa di kantor kolonial, sampai mengenai larangan berpakaian Jawa dan keharusan mengenakan pakaian Eropa untuk kalangan birokrat. Edaran Hormat Circulaire itu adalah suatu terobosan yang sangat progresif pada zamannya. Sejak zaman VOC, otoritas kolonial mengkooptasi sistem kekuasaan tradisional yang termanifestasikan dalam pakaian adat untuk mengontrol rakyat.  

Bahkan, di kota-kota kolonial seperti Batavia dan Semarang, penduduk diwajibkan mengenakan pakaian etnis masing-masing dan tinggal di kawasan etnis masing-masing. Sementara itu, kalangan aristokrat mendapat kesempatan untuk mengadopsi beberapa aspek dari pakaian orang Eropa, seperti jas. Namun, aspek utama dalam pakaian tradisional Jawa, yaitu kain batik, dipertahankan karena sarung batik adalah pakaian yang mensyaratkan penggunaannya melakukan tata cara penghormatan Jawa: nglesot dan sembah.  

Pihak Belanda pun mengadopsi tata cara ini. Seperti penggunaan payung emas oleh para Residen dan oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, pejabat kolonial telah memasukan dirinya ke dalam sistem Jawa tradisional dengan memposisikan diri mereka setidaknya setara dengan raja Jawa. Oleh karenanya, orang-orang Jawa harus menyembah pejabat-pejabat Belanda itu. Bagi pemerintah kolonial, kepatuhan rakyat adalah modal utama bagi kelanggengan pemerintahan kolonial. Kepatuhan itu bisa didapat dari sikap tubuh rakyat yang patuh sesuai dengan aturan yang disyaratkan oleh pakaian yang mereka kenakan. Oleh karenanya, adat majapaitan adalah budaya kolonial itu sendiri, bukan semata-mata budaya Jawa. Pada 1904, di era ketika negeri kolonial dirancang untuk lebih modern, tata cara penghormatan Jawa dipandang merintangi usaha modernisasi birokrasi.  

Tentu saja kekolotan para priyayi ini membuat kaum muda seperti Marco geram. Hormat Circulaire inilah yang Marco dan kawan-kawannya gunakan sebagai legitimasi untuk mengubah cara berpakaian dari mode tradisional ke mode Eropa. Selain itu, edaran ini melegitimasi Marco dan kawan-kawannya untuk menyerang para pejabat kolonial yang enggan mengenakan busana Eropa dan masih menuntut penghormatan ala adat majapaitan dari bawahannya.  

Roesminah mendampingi Mas Marco yang terbaring sakit TBC pada masa pembuangannya di Boven Digoel, Papua. Marco akhirnya wafat pada 1932. (KITLV).

Para jurnalis IJB kemudian berlomba-lomba melaporkan berbagai pelanggaran atas Hormat Circulaire di berbagai kantor kolonial. Seperti yang dicatat oleh bupati Serang dan Batavia Achmad Djajadiningrat dalam biografinya, bahwa lebih banyak bupati dan pejabat Belanda yang cuek terhadap surat edaran itu. Bahkan, ada seorang bupati yang enggan memasang telepon di rumahnya hanya karena ketika berbicara lewat telepon, ia tidak bisa melihat bawahannya sedang mengglesot di lantai atau tidak. Dari puluhan bupati, hanya empat bupati, termasuk Achmad Djajadiningrat, yang mendukung edaran tersebut dan mau mengenakan pakaian model Eropa di periode 1910–1930-an.  

Gerakan transformasi busana ini pada akhirnya menjadi gerakan aktivis Sarekat Islam. Selain Marco, H.O.S. Tjokroaminoto, presiden Sarekat Islam (SI), juga mengimbau anggotanya untuk mengenakan pakaian Eropa. Selain itu, para jurnalis dan aktivis SI juga menuntut kantor-kantor pemerintahan dan swasta untuk menyediakan kursi bagi pegawai rendahan. Para priayi konservatif kalang kabut dibuatnya. Achmad Djajadiningrat mencatat dalam biografinya bahwa para priayi kolot itu kemudian memecati priayi rendahan yang menjadi anggota SI. Jika masih ingin bekerja mereka harus mundur dari SI, menulis surat tanda kesetiaan kepada pemerintah kolonial dalam surat kabar berbahasa Belanda, dan harus kembali belajar cara menyembah dan mengglesot.  

Dari kisah di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertama, gerakan melawan kolonialisme melibatkan gerakan transformasi pakaian dan perlawanan terhadap disiplin tubuh adat majapaitan. Tanpa pemberontakan terhadap tata cara berpakaian yang mendisiplinkan tubuh agar terus patuh, sulit rasanya gerakan radikal melawan otoritas kolonial bisa terjadi. Kedua, kajian mengenai pakaian ini menyediakan bukti bahwa arus konservatisme dalam birokrasi sangatlah sulit untuk diubah –suatu kenyataan yang sampai sekarang masih berlaku dalam birokrasi Indonesia.  

Karya-karya selanjutnya dari Marco seperti Matahariah (1917), Student Hidjo (1918), Rasa Mardika (1923) masih bercerita tentang utopia dunia tanpa sembah dan nglesot. Bahkan, dalam Rasa Mardika, Marco kembali menegaskan bahwa musuh utama bagi dunia pergerakan adalah adat majapaitan, karena adat ini merintangi wong cilik dari kemerdekaan. Karya-karya para aktivis radikal lainnya, seperti Semaoen, juga mengisahkan hal yang sama. Dalam novel Hikajat Soedjanmo (1922), Semaoen bercerita mengenai seorang wedana muda yang memerangi adat majapaitan di dalam birokrasi. Seperti halnya Marco, Semaoen sampai pada kesimpulan bahwa mereformasi birokrasi dari dalam tubuh birokrasi tidak mungkin berhasil. Alhasil, kedua tokoh dalam novel mereka dikisahkan mengundurkan diri dari birokrasi, lalu bergabung ke dalam dunia pergerakan, untuk kembali memerangi birokrasi.*

Penulis adalah doktor sejarah Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat.

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6678e5ff908f5723b649a74f
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID