Bagaimana perusahaan pelayaran Belanda menguasai jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara? KPM berperan dalam proses pembentukan negara kolonial.
LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No. 56 menyala pada malam 2 Desember 1957. Ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin Kelompok Fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Perintah untuk menyita Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda, siap ditandatangani semua yang hadir. Namun, pertemuan buntu. Bahkan, melalui wakilnya, kabinet tak mendukung langkah tersebut.
A.M. Datuk Majid, pemimpin Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia, naik kursi. “Ini tanggung jawab saya. Kami tidak dikontrol kabinet. Para pekerja di galangan kapal punya perintah mereka; mereka hanya menunggu panggilan telepon dari saya,” ujarnya, dikutip dalam biografinya, Datuk: An Indonesian Odyssey yang ditulis Ora Jonasson.
Karena pertemuan berakhir tanpa kesepakatan, Majid bergerak sendiri; memerintahkan para anggotanya memulai aksi.
LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No. 56 menyala pada malam 2 Desember 1957. Ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin Kelompok Fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Perintah untuk menyita Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda, siap ditandatangani semua yang hadir. Namun, pertemuan buntu. Bahkan, melalui wakilnya, kabinet tak mendukung langkah tersebut.
A.M. Datuk Majid, pemimpin Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia, naik kursi. “Ini tanggung jawab saya. Kami tidak dikontrol kabinet. Para pekerja di galangan kapal punya perintah mereka; mereka hanya menunggu panggilan telepon dari saya,” ujarnya, dikutip dalam biografinya, Datuk: An Indonesian Odyssey yang ditulis Ora Jonasson.
Karena pertemuan berakhir tanpa kesepakatan, Majid bergerak sendiri; memerintahkan para anggotanya memulai aksi.
Pada 4 Desember, kaum buruh KBKI menggeruduk markas KPM: menyatakan pengambilalihan KPM, mengusir para manajer Belanda, dan mengganti bendera Belanda dengan bendera Indonesia. Aksi serupa terjadi di tempat lain dan menyasar semua perusahaan milik Belanda. Militer kemudian mengendalikan perusahaan-perusahaan itu. KPM harus menghentikan layanannya di Indonesia sebelum akhirnya dinasionalisasi.
Para direktur KPM sudah mengantipasi kemungkinan terburuk itu. Dari tempat pelariannya di Singapura, direktur KPM memerintahkan semua kapal KPM menjauhi pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Namun, terlambat. Sebagian kapal disita di pelabuhan Indonesia maupun di laut lepas.
Riwayat KPM, yang memonopoli jasa pelayaran Nusantara, di ujung ajal.
Monopoli dan Dominasi
Mulanya pemerintah Belanda belum berpikir memiliki perusahaan pelayaran sendiri. Untuk segala kebutuhan pengiriman, mereka mengandalkan, bahkan mensubsidi, layanan kapal uap terjadwal di Nusantara seperti perusahaan Peninsular & Oriental Steam Navigation Company (P&O) asal Inggris dan W. Cores de Vries, sebuah firma Belanda. Pada 1863, melalui tender terbuka, kontrak dialihkan ke British India Steam Navigation Company (BISN), sebuah kongsi Inggris. BISN kemudian membentuk Netherlands Indische Stoomvaart Maatschappij (NISM), sebuah perusahaan pelayaran patungan Inggris-Belanda.
Ketika kontrak NISM akan diperbarui tahun 1888, pemimpin dua perusahaan pelayaran Belanda, Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) dan Rotterdamsche Lloyd (RL), berupaya menggantikan posisi NISM. Mereka beralasan NISM cenderung menguntungkan perdagangan dan pelayaran Inggris serta mengalihkan perdagangan dari Hindia Belanda melalui Singapura, pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara. NISM juga mengabaikan layanan antara Jawa dan daerah-daerah di luar Jawa (Outer Islands).
Kendati sempat menimbulkan pro dan kontra, lobi SMN dan RL berhasil. Parlemen Belanda dan Nederlandsche Handel Maatschappij selaku lembaga penjamin modal mendukung upaya pendirian perusahaan pelayaran nasional. Pada 5 Juli 1888, Gubernur Jenderal Otto van Rees (pemerintah), Jan Boissevain, P.E. Tegelberg (SMN), dan Willem Ruys (RL) menandatangani kesepakatan pembentukan sebuah perusahaan pelayaran nasional, yang kemudian melahirkan NV Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).
“Tujuannya untuk menunjukkan kekuatan dan ketegasan kekuasaan Belanda di Kepulauan Hindia Belanda dan memperluas serta memperkuat perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda dan negara induk (Belanda) dan semua bagian dunia lainnya,” tulis Edward Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
KPM mulai beroperasi pada 1 Januari 1891 dengan 29 kapal, 13 baru dan sisanya warisan NISM.
Awalnya KPM dibebankan memenuhi pengangkutan ekspedisi-ekspedisi militer demi mengintegrasikan administrasi kolonial, terutama di wilayah-wilayah yang sulit terjangkau. Untuk itu menetapkan lin-lin (jalur pelayaran), memberikan subsidi hingga pinjaman, dan yang terpenting monopoli pelayaran di Nusantara. Subsidi pemerintah dihapus dalam kontrak ketiga pada 1915, tetapi KPM bebas singgah di luar lin yang ditetapkan.
Kontrak pemerintah dengan KPM menumbuhkan simbiosis mutualisme. Sokongan dari pemerintah berupa kebijakan suku bunga (rate policy), penutupan pelabuhan pantai untuk kapal non-Belanda, hingga kebijakan transshipment memungkinkan KPM membangun sebuah jaringan pelayaran serta memonopoli pelayaran dan perdagangan yang meliputi seluruh Nusantara. “Dalam waktu setahun setelah beroperasinya, KPM telah membuat sebuah jaringan antarpulau dan selang setengah abad kemudian sudah mengoperasikan 64 lin, 130 kapal, dan menyinggahi 250 ‘pelabuhan’,” tulis Michael B. Miller dalam Europe and the Maritime World: A Twentieth Century History.
Di sisi lain, pemerintah Belanda bisa menyatukan wilayah Hindia Belanda, mengkonsolidasi dan memperluas kontrol administratif, serta menciptakan unit ekonomi yang berpusat di koloninya. Pemerintah menggunakan KPM untuk memfasilitasi pengiriman pasukan dan perlengkapan untuk meredam pemberontakan di daerah, misalnya di Lombok, Papua, dan Pulau Tujuh.
Dengan kata lain, tulis Joseph Norbert Frans Marie a Campo dalam Engines of Empire: Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia, KPM memainkan peranan penting dalam “proses pembentukan negara kolonial”.
Membunuh “Singa”
Pada tahun-tahun awal, KPM berusaha mengalihkan perdagangan dari Singapura ke pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. Namun, karena perdagangan Nusantara berpusat di Singapura, tak ada alternatif lain bagi KPM selain “mengatur sebagian besar lin pertamanya melalui pelabuhan koloni Inggris itu,” tulis Miller.
Untuk menghadapi persaingan ini, KPM mengandalkan Bill of Lading atau peraturan angkutan langsung yang menetapkan KPM sebagai pengangkut pertama akan memindahkan muatannya di suatu pelabuhan daerah jajahan Belanda, ke kapal SMN atau RL, dengan tarif angkutan langsung yang sama murahnya atau lebih murah ketimbang biaya angkutan melalui Singapura.
“Secara komersial siasat KPM itu memang berhasil baik. Karena dikuasainya suatu jaringan rute pelayaran di seluruh Nusantara, ia mendapat peluang baik untuk memotong harga terhadap pisah saingan pada beberapa rute pelayaran, dengan mengimbangi kerugian tersebut dengan tarif pada rute lain,” tulis Howard Dick, “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu Perekonomian Nasional”, dimuat dalam Sejarah Ekonomi Indonesia yang disunting Anne Both dkk.
Untuk memantapkan dominasinya, KPM harus mengatasi hambatan lain berupa keterbatasan fasilitas pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Ini pula yang menyebabkan pengangkutan komoditas ekspor dengan kapal-kapal kecil ke Singapura tetap merupakan pilihan utama yang menarik. Satu-satunya yang layak hanyalah pelabuhan Tanjung Priok, yang dibangun pada akhir 1880-an. Pemerintah kolonial yakin bahwa pelabuhan laut dalam yang modern merupakan kuncinya. Maka, investasi untuk pembangunan dan perbaikan fasilitas dilakukan di pelabuhan laut dalam di Tanjung Priok (untuk melayani Sumatra bagian selatan), Surabaya (untuk Jawa, Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Nusa Tenggara), Belawan (untuk Sumatra Utara), dan Makassar (untuk daerah “Timur Besar”). Kelima pelabuhan itu akan dijadikan simpul-simpul perdagangan Belanda, di mana KPM akan menumpukkan barang-barang dari pelabuhan-pelabuhan kecil untuk dipindah-muatkan ke kapal-kapal samudera. Seluruh fasilitas itu bisa beroperasi sepenuhnya sekira 1920.
Langkah itu didukung infrastruktur keuangan yang canggih dari kantor-kantor dagang, bank, dan perusahaan asuransi. KPM juga membangun stasiun pengisian bahan bakar hingga armada dari berbagai desain dan ukuran.
“Cengkraman Singapura atas perdagangan luar negeri dari pulau-pulau terluar rusak untuk semua komoditas utama kecuali karet,” tulis Howard Dick. Praktis, pada akhir 1920-an perdagangan daerah-daerah luar Jawa dikuasai Belanda. Singapura tetap merupakan pelabuahan utama untuk wilayah barat Nusantara. Namun, untuk layanan angkutan di wilayah ini sudah dikuasai kapal-kapal KPM melalui Makassar dan Surabaya.
Namun, tak mudah bagi KPM untuk mendepak kongsi-kongsi pelayaran Tionghoa, yang dikenal ulet, memiliki jaringan kuat dan berbasis di Singapura. Sejak era prakolonial, ketika masih mengandalkan jung-jung, orang-orang Tionghoa mengontrol perdagangan di Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Kapal-kapal dagang mereka, kerap dijuluki “armada nyamuk”, menyerbu Nusantara dengan menawarkan tarif yang murah. Banyak dari mereka membangun kongsi dagang dan pelayaran dengan para pedagang di Singapura. Yang terkemuka adalah Wee Bin & Company (Wee Bin Line of Steamers), yang kapal-kapal kecilnya berlayar ke pantai Malaya dan Sumatra, sedang yang lebih besar ke Sulawesi dan Maluku.
“Untuk merebut bisnis dari ‘armada nyamuk’ ini, KPM dengan cerdas menggabungkan sistem terbaik dari Eropa dan Tionghoa, yang menunjukkan bagaimana bisnis kolonial, yang menerapkan cara dan praktik Barat, dalam tingkat tertentu terus-menerus menyerap kebiasan lokal,” tulis Miller. Sama seperti pesaing Tionghoanya, KPM menerapkan tjintjoe atau sistem kredit pada bisnis pelayaran Tionghoa. Para kapten kapal KPM biasanya akan sekaligus menjadi bankir. Dia akan memberikan kredit kepada pedagang atau agen-agen KPM di berbagai pelosok untuk memastikan kelancaran niaga perusahaannya.
Selain dengan kongsi pelayaran Tionghoa, KPM menghadapi persaingan dengan kapal-kapal berbendera Inggris dan Jerman. Ketatnya persaingan harus disikapi dengan strategi bisnis yang jitu. Pasca Perang Dunia I, KPM dan Straits Steamship Company (SSC) dari Inggris menyetujui wilayah operasional masing-masing, yang membuat kongsi pelayaran Tionghoa terjepit tetapi tak pernah bisa runtuh. Sementara perusahaan-perusahaan pelayaran Jerman macam Norddeutscher Lloyd Bremen (NDL) sudah hengkang, yang membantu KPM menghilangkan semua pelayaran berbasis Singapura di timur Banjarmasin pada 1915 dan mengamankan lin-lin perdagangan Belanda di timur Nusantara.
Kongsi pelayaran Tionghoa masih bertahan dari persaingan hingga akhirnya krisis ekonomi (malaise) membuat mereka kelimpungan. Para pemilik kapal Tionghoa tak mampu lagi bersaing dengan KPM dan bersedia mengikat perjanjian kerja sama. Beberapa kongsi Tionghoa bangkrut dan menjual armada dan goodwill ke KPM. Praktis, setelah pertengahan 1930-an tak ada satu pun perusahaan pelayaran Tionghoa yang berarti di Nusantara.
“Pada 1930 diperkirakan KPM mencakup 42,9 persen dari total lalu lintas pelayaran antarpulau atau hampir 80 persen dari pelayaran antarpulau di bawah bendera Hindia Belanda,” tulis Adriaan Jacob Marks dalam “Accounting for Services: The Economic Development of the Indonesian Service Sector, ca. 1900-2000”, disertasi di Universiteit Utrecht tahun 1979.
Dalam waktu singkat KPM menjadi sarana transportasi maritim terpenting di Nusantara. Untuk memenuhi layanan dan jalur ke negara-negara di luar Hindia Belanda, KPM bersama SMN dan RL mendirikan Java-China-Japan Line (JCJL) dan Nederlandsche Scheepvaart Unie pada 1908. KPM juga mendirikan anak-anak perusahaan di luar negeri seperti Java Bengal Lijn (1906), Java-Australie Lijn (1908), de Java-Siam Lijn (1910), dan de Deli-Straits-China Lijn (1915). Lin-lin ini memperkuat posisi regional dari negara kolonial secara politik dan ekonomi.
Pencapaian itu tak lepas dari struktur organisasi yang tertata rapi. Mereka memiliki jaringan luas rute, kualitas tinggi dan keandalan layanan, serta perhatian terhadap penanganan kargo, hingga penyelesaian klaim secara cepat dan adil.
Nasionalisme
Pada masa pendudukan Jepang, KPM praktis tak bisa beroperasi penuh. Selain mengungsi ke Australia, banyak kapal KPM dialihfungsikan untuk kepentingan militer dan beberapa menjadi mangsa kapal-kapal Jepang. Setelah masa perang, KPM tinggal memiliki 26 kapal, dibandingkan 136 kapal pada 1939, yang tersebar di seluruh Pasifik dan Samudera Hindia.
KPM berupaya meremajakan armada dan melanjutkan operasi, tetapi tidak lagi bisa mengembalikan hegemoninya. Menurut Campo, pada akhir 1946 KPM mengoperasikan 22 lin reguler, jumlahnya meningkat dua kali lipat dalam lima tahun, sementara total rute jarak tempuh meningkat dari 46.000 menjadi 160.000 geografis mil. Pada 1947 semua lin di luar Indonesia dimerger dengan JCPL menjadi Koninklijke Java-Cina Paketvaart Lijnen (KJCPL) atau dengan nama dalam bahasa Inggris, Royal Interocean Lines (RIL).
Namun, situasi di Indonesia kian tak menentu. Semangat dari kalangan nasionalis untuk mematahkan cengkeraman Belanda di bidang pelayaran mempersulit posisi KPM. Pada 1952, setelah usul mendirikan perusahaan patungan ditolak KPM, pemerintah Indonesia mendirikan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), sebuah perusahaan negara, untuk merebut peran KPM. Kendati Pelni belumlah cukup jadi pesaing utama, KPM tak punya banyak pilihan dan sudah bersiap-siap atas kemungkinan terburuk.
Pada Desember 1957, setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menolak klaim Indonesia atas Irian Barat, sarana dan kapal-kapal KPM disita –dibebaskan beberapa bulan kemudian setelah intervensi perusahaan asuransi Lloyds of London– dan layanannya dihentikan bersama semua kegiatan Belanda lainnya di Indonesia. KPM kemudian dinasionalisasi melalui Peraturan Pemerintah No. 34/1960.
Kantor pusat KPM Jakarta pindah ke Singapura. Sebagian kapal digunakan untuk melayani lin di luar Indonesia atau dijual. Kapal penumpang yang tersisa digunakan RIL. KPM terus beroperasi sampai 1 Januari 1967 ketika merger dengan KJCPL. Kru dan kapal terus melayani lin-lin lain sampai akhirnya diambil alih Nedloyd, hasil merger beberapa perusahaan pelayaran Belanda termasuk KJCPL. Nedloyd pun kini menghilang diambil alih Maersk, sebuah konglomerasi bisnis Denmark.
KPM sudah tamat. Namun, hingga kini pemerintah Indonesia belum mampu mengikuti keberhasilan Belanda melalui KPM dalam bidang pelayaran. Tak ada perusahaan pelayaran nasional yang mampu menjangkau dan melayani pengangkutan dengan layanan terbaik ke seluruh Nusantara, juga mancanegara.*