Berbagai upaya mencari nafkah dalam bidang hobi musiknya, meminta subsidi dan berniaga, menemui kegagalan. Westerling pun tenggelam dalam alkohol dan tertimbun tumpukan utang.
Westerling dalam siaran TV Belanda "Altijd Wat" tanggal 22 Februari 2012.
Aa
Aa
Aa
Aa
“FANTASTIS,” seru sejumlah siswa sekolah menengah ketika mendengar bahwa Kapten Westerling tiba di kota Den Haag. Euforia dan sambutan hangat seperti ini wajar bagi seorang prajurit patriotik di masa itu. Semua itu masih segar dalam ingatan Peter Schumacher (79), salah satu siswa di kota tersebut pada awal 1960-an yang ditemui Historia di kediamannya di Amsterdam. Schumacher mantan wartawan dan kelak berkawan dengan Westerling.
Namun, Raymond Pierre Westerling tak bernasib untung dan bernama harum sepanjang masa. Di masa jayanya, dia dengan bangga dipercaya memimpin korps elite Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale Troepen). Sebuah kedudukan prestisius bagi prajurit Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Layaknya seorang komandan, Westerling banyak berkelana di tanah jajahan. Ketika perjuangan kemerdekaan Indonesia memuncak, salah satu pusat kacau balau di masa itu adalah Sulawesi Selatan. “Situasinya tak terkendali lagi. Perlawanan lokal tersebar di berbagai tempat, dan mereka sendiri pun saling bertempur. TNI kala itu juga terlibat perang, dengan atau pun tanpa gerombolan pemuda lokal,” tulis peneliti sejarah Frederik Willems. “Sejumlah kampung dengan penghuninya dihabisi, tentara KNIL hanya melongo, tak berdaya. Pada saat itulah Westerling tampil dan berhasil mengatasi anarki total dalam waktu singkat,” simpul sejarawan yang menulis biografi Westerling tersebut.
“FANTASTIS,” seru sejumlah siswa sekolah menengah ketika mendengar bahwa Kapten Westerling tiba di kota Den Haag. Euforia dan sambutan hangat seperti ini wajar bagi seorang prajurit patriotik di masa itu. Semua itu masih segar dalam ingatan Peter Schumacher (79), salah satu siswa di kota tersebut pada awal 1960-an yang ditemui Historia di kediamannya di Amsterdam. Schumacher mantan wartawan dan kelak berkawan dengan Westerling.
Namun, Raymond Pierre Westerling tak bernasib untung dan bernama harum sepanjang masa. Di masa jayanya, dia dengan bangga dipercaya memimpin korps elite Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale Troepen). Sebuah kedudukan prestisius bagi prajurit Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Layaknya seorang komandan, Westerling banyak berkelana di tanah jajahan. Ketika perjuangan kemerdekaan Indonesia memuncak, salah satu pusat kacau balau di masa itu adalah Sulawesi Selatan. “Situasinya tak terkendali lagi. Perlawanan lokal tersebar di berbagai tempat, dan mereka sendiri pun saling bertempur. TNI kala itu juga terlibat perang, dengan atau pun tanpa gerombolan pemuda lokal,” tulis peneliti sejarah Frederik Willems. “Sejumlah kampung dengan penghuninya dihabisi, tentara KNIL hanya melongo, tak berdaya. Pada saat itulah Westerling tampil dan berhasil mengatasi anarki total dalam waktu singkat,” simpul sejarawan yang menulis biografi Westerling tersebut.
Prestasi, berita dan laporan-laporan semacam inilah yang membuat Westerling amat percaya diri. “Dalam berbagai pernyataannya di media (Belanda) kelak, dia selalu mengatakan hal yang sama. Di mengaku melakukan beberapa kekeliruan. Juga bahwa beberapa perwira yang dikomandoinya melakukan kejahatan perang. Tetapi dia selalu membela diri dengan yakin. “(Pasalnya,) pimpinan tentara (KNIL, Jenderal Simon Spoor) dan pemerintah Hindia Belanda-lah yang memberinya perintah” untuk operasinya di Sulawesi Selatan itu.
Westerling seolah selalu dipakai untuk tugas-tugas yang musykil. Dan dia dinilai berhasil –kecuali usaha kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu adil) Januari 1950 di Bandung. Meski perkara terakhir ini di Belanda menjadi kontroversi, namun sejarawan Frederik Willems mengaku “memiliki bukti-bukti kuat bahwa Westerling mendirikan APRA atas perintah (Panglima KNIL) Jenderal Spoor” untuk melindungi perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda di Jawa Barat dari serangan TNI.
Kudeta APRA itulah yang menjadi titik balik perjalanan Westerling. Westerling sebelum bergerak sudah mengultimatum pemerintah Republik Indonesia dan memberitahukan hal ini kepada para pendukungnya. Dengan begitu, para petinggi KNIL yang mendukungnya menganggap unsur kejutan aksi itu hilang.
Menyusul kudeta gagal tersebut, Perdana Menteri Willem Drees memerintahkan agar Westerling dengan segala cara harus diselamatkan. Ada anggapan, Belanda khawatir, kalau tidak Westerling akan diseret ke pengadilan bersama pimpinan militernya, demikian sumber dikutip dari Frederik Willems dalam “Westerling had steun legertop,” Checkpoint, No. 8, Oktober 2012.
Sejak itu Westerling harus mengembara. Begitu diselundupkan oleh marinir Belanda dengan pesawat Catalina pada Februari 1950 ke Singapura, nasib perwira itu tak lagi dihiraukan di Den Haag. Bahkan di Kota Singa itu pun dia harus menghadapi kesulitannya sendirian ketika penguasa Inggris menyatakan dirinya buron. Dia harus menyambung hidupnya dengan mencari kontak kembali dengan sejumlah orang yang pernah terlibat penyelundupan senjata bagi aksi APRA. Dari Singapura, dia kemudian tinggal di Brussels dan belakangan kembali ke Belanda.
Dasar petualang, Westerling tetap menggeliat untuk bergerak kembali. Di Singapura dia masih mencoba mencari kontak untuk meneruskan aksi di Jawa Barat. Belakangan di Belanda dia juga mengontak Badan Persatoean, yaitu dewan eksekutif yang memimpin Republik Maluku Selatan (RMS) di Den Haag.
Masa Tua
Awan gelap mulai membayangi nasib Westerling pada 1980-an sejak dia bermukim di Amsterdam. Dia hidup dengan istrinya yang bekerja di salon kecantikan. Berbagai upaya seperti mencari pekerjaan di bidang hobi musiknya, meminta subsidi dan berniaga, menemui kegagalan.
Westerling pernah memiliki toko buku antik sekaligus menjadi tempat tinggalnya di Ter Haarstraat, di Amsterdam Oud-West. Toko itu tak banyak pengunjungnya. “Sepi selalu,” kata mantan wartawan Peter Schumacher mengenang kembali sejak dia pertama kali mengenal Westerling dan mewawancarainya pada akhir 1970-an. Akhirnya toko itu dijual kepada penerbit Nabrink, toko buku antik andalan pengkaji Indonesia dan Asia. “Sayalah yang memberi informasi kepada Nabrink tentang bangkrutnya toko buku Westerling,” imbuh Schumacher yang beruntung dapat memperoleh sejumlah buku kuno berkat perantaraannya itu.
Westerling memang tak berbakat dagang, meski cikal bakalnya di Turki terkenal sebagai pedagang permadani. Tak jelas mengapa banyak teman dan kenalannya yang penting –seperti Pangeran Bernhard, yang pernah mengusulkan agar Westerling diberi penghargaan kerajaan, dan para purnawirawan eks KNIL– tak membantu kehidupan Westerling. Besar kemungkinan karena Westerling sejak hangatnya hubungan Belanda-Indonesia kian menjadi sosok kontroversial yang dicemaskan hanya akan menjadi kerikil bagi kepentingan kedua negara. Sementara publik Belanda mulai kritis terhadap masa silam negerinya.
Kegagalan berbagai upaya mencari nafkah yang pantas dilatarbelakangi sederet kekecewaan dari masa silam –mulai dari kekecewaan berat karena dibubarkannya KNIL, kegagalan kudeta APRA, mungkin juga termasuk kekecewaannya karena kurangnya dukungan para petinggi KNIL saat aksi APRA, kandasnya idealismenya untuk mendirikan Negara Pasundan, punahnya impian federalisme di Indonesia, serta, tentu, jayanya pemerintahan Sukarno-Hatta– semua itu bak akumulasi tekanan hidup yang menyeret Westerling ke jurang frustrasi mendalam yang melahirkan kebiasaan baru yang makin menjadi-jadi, yaitu alkoholisme yang menghanyutkan.
“Westerling, saya harus katakan dia seorang yang baik hati, ramah dan hangat,” Peter Schumacher berkisah. “Dia tak pernah takut.” Diancam pengadilan pun dia mengaku siap, karena yakin dirinya “tak bersalah dan hanya menjalankan perintah,” ujar Schumacher menambahkan.
Sejak berkenalan dan menemuinya pada akhir 1970-an, Schumacher menjadi apa yang orang Belanda sebut vraagbak (gudang tempat bertanya) tentang riwayat dan seluk-beluk kehidupan Westerling. Adalah Schumacher yang membuka pintu bagi wartawan dan peneliti Westerling seperti Willem Ijzereef dan Frederik Willems. Schumacher, yang lahir di Samarinda, Kalimantan dan pernah menjadi wartawan Radio Nederland dan koresponden GPD (Gabungan Dinas Pers Belanda) dan NRC Handelsblad di Hong Kong dan Jakarta, mengenal baik pribadi Westerling, namun juga kritis tentang masa lalunya.
“Pertama kali, saya datang ke toko buku antiknya untuk melihat buku-buku koleksinya. Sekaligus saya ingin menemuinya. Tidak sulit, meski ketika itu Westerling jarang bertemu publik yang tak dikenalnya. Saya dipersilakan naik ke loteng atas. Di situ Westerling menyambut dengan hangat tanpa syak wasangka. Sejak itu saya sering menemuinya,” kata Schumacher.
Sekitar pertengahan 1980-an, situasi berubah. Schumacher mengisahkan, “Pagi dia masih segar, mudah ditemui, tapi kalau sudah siang, lewat pukul 15.00, dia mulai tenggelam dalam minuman.” Alkoholisme membuat dirinya melepas frustrasi, sekaligus terkucil.
Peter Schumacher pernah mengusulkan kepada Westerling agar berdialog dengan Poncke Princen, warga seasal-muasal yang dibenci Westerling dan publik Belanda saat itu karena sikap Princen yang menyeberang ke pihak Republik. Sulit meyakinkan Westerling untuk bertemu Princen yang dicap “pengkhianat” itu. Akhirnya Schumacher berhasil, Westerling setuju, tetapi Princen, yang namanya mulai tenar dan cemar bagi publik Belanda, dilarang masuk Belanda.
Ketika akhirnya pemerintah Belanda memberi visa kepada Princen, pada 1995, Westerling sudah tiada. Jumpa ekskompatriot Princen-Westerling itu gagal, tersisa menjadi a historic rendezvous that never was (pertemuan bersejarah yang tak pernah berlangsung).
Westerling meninggal dunia pada 26 November 1987 di Purmerend, 15 km dari Amsterdam, dalam kondisi hidup yang tidak mapan, banyak utang dan suka mabuk –suatu status yang kurang terhormat bagi seorang yang pernah menjadi patriot bangsanya.*