Yunan Nasution dan Prawoto Mangkusasmito bersama Sutan Sjahrir, Murad, Soebadio Sastrosatomo, menghadap Presiden Sukarno membahas pembubaran Partai Masyumi dan PSI, Jakarta, 24 Juli 1960. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEJAK bergabung dengan PRRI, Mohammad Natsir, ketua umum Masyumi, mengirim pesan agar namanya tak dikaitkan lagi dengan Masyumi supaya partai tak dianggap terlibat pemberontakan. Namun, pesan ini tak bisa menghalangi perselisihan di tubuh Masyumi.
Sebagian besar pimpinan partai menentang, malahan beberapa di antaranya mendesak partai agar mendukung secara resmi aksi-aksi Natsir. Seperti dilakukan Kasman Singodimedjo dalam pidatonya di bioskop Roxy, Magelang pada 31 Agustus 1958. “Isinya dianggap memberi dukungan kepada PRRI, meskipun Kasman menyangkalnya dengan mengatakan bahwa pidatonya hanyalah pidato pemimpin seperti biasa,” kata Cholil Badawi, mantan ketua Masyumi cabang Magelang, kepada Historia. Akibatnya, Kasman ditahan.
Sebaliknya, sebagian tokoh, dengan dukungan Jusuf Wibisono dan Sukiman Wirjosandjojo, menyatakan PRRI dibentuk tanpa sedikit pun berkonsultasi dengan DPP Masyumi, sementara partai mengutuk setiap pemberontakan bersenjata.
SEJAK bergabung dengan PRRI, Mohammad Natsir, ketua umum Masyumi, mengirim pesan agar namanya tak dikaitkan lagi dengan Masyumi supaya partai tak dianggap terlibat pemberontakan. Namun, pesan ini tak bisa menghalangi perselisihan di tubuh Masyumi.
Sebagian besar pimpinan partai menentang, malahan beberapa di antaranya mendesak partai agar mendukung secara resmi aksi-aksi Natsir. Seperti dilakukan Kasman Singodimedjo dalam pidatonya di bioskop Roxy, Magelang pada 31 Agustus 1958. “Isinya dianggap memberi dukungan kepada PRRI, meskipun Kasman menyangkalnya dengan mengatakan bahwa pidatonya hanyalah pidato pemimpin seperti biasa,” kata Cholil Badawi, mantan ketua Masyumi cabang Magelang, kepada Historia. Akibatnya, Kasman ditahan.
Sebaliknya, sebagian tokoh, dengan dukungan Jusuf Wibisono dan Sukiman Wirjosandjojo, menyatakan PRRI dibentuk tanpa sedikit pun berkonsultasi dengan DPP Masyumi, sementara partai mengutuk setiap pemberontakan bersenjata.
Diambillah jalan kompromi: Natsir tak didukung secara resmi namun tidak pula dituding bersalah. Dia tetap memangku ketua umum Masyumi, tetapi pembantu terdekatnya, Prawoto Mangkusasmito, ditunjuk sebagai ketua ad interim.
“Dengan demikian persatuan di tubuh partai tetap terjaga. Sukiman dan Jusuf Wibisono tak pernah lagi mengeluarkan pernyataan publik mengenai perkara tersebut sejak saat itu,” tulis Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integaral.
Sukarno Tak Puas
Masyumi mengeluarkan pernyataan resmi mengenai PRRI pada 24 Januari serta 13 dan 17 Februari 1958. Dalam pernyataan itu, Masyumi tak menyinggung soal keterlibatan para tokoh teras Masyumi dalam PRRI.
Misalnya, dalam pernyataan tanggal 17 Februari 1958, yang ditandatangani Wakil Ketua II Sukiman dan Sekretaris Umum Yunan Nasution, Masyumi hanya menyatakan pembentukan PRRI adalah inkonstitusional, begitu pula pembentukan Kabinet Kerja dan Dewan Nasional. Artinya, Masyumi bersikap mendua; menyalahkan pemberontakan sekaligus situasi politik yang menyebabkan terjadinya pemberontakan.
Mengenai pernyataan sikap Masyumi itu, Prawoto sendiri mengatakan: “Dari keterangan itu tergambarlah usaha Masyumi, juga bersama-sama pemerintah untuk menghindarkan jangan sampai peristiwa itu terjadi,” ujar Prawoto, ketua umum Masyumi, dikutip dari Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito yang disusun S.U. Bajasut. “Dalam pernyataan itu selanjutnya dengan jelas dikemukakan pendirian partai menghadapi terbentuknya PRRI dan yang terpenting ialah sumbangan berupa konsepsi untuk menyelesaikan pemberontakan itu sesudah peristiwa itu terjadi.”
Kami dari Masyumi di daerah mengikuti garis politik DPP Masyumi. Kami tak berani mengutuk teman-teman yang tergabung dengan PRRI.
Menurut Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi, keputusan Masyumi itu tidak memuaskan Sukarno yang mendesak supaya Masyumi mengutuk anggotanya yang terlibat PRRI. Desakan itu tak dipenuhi oleh Masyumi. “Sebab, menurut Mohamad Roem, wakil ketua III Masyumi, anggota-anggota itu tidak bersalah terhadap Masyumi, dan andai kata Masyumi mau mengambil tindakan harus diselidiki dulu apa yang salah atau melanggar Masyumi,” kata Lukman kepada Historia.
Sedangkan menurut Cholil Badawi, Masyumi tidak mengutuk karena belum mengetahui alasan mereka ikut PRRI. “Jadi kalau sekarang mengutuk itu berarti sudah menganggap salah. Padahal belum tentu sikap dia waktu itu salah,” kata Cholil. “Kami dari Masyumi di daerah mengikuti garis politik DPP Masyumi. Kami tak berani mengutuk teman-teman yang tergabung dengan PRRI.”
Pembubaran
Pada 31 Desember 1959, Presiden Sukarno menandatangani Penetapan Presiden No. 7/1959 yang mengatur penyederhanaan partai. Banyak orang kemudian menganggap penetapan ini ditujukan kepada Masyumi dan PSI. Pasal 9 menyebutkan bahwa presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan partai yang pemimpin-pemimpinnya ikut dalam pemberontakan atau memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
Anggapan itu terbukti ketika pada 17 Agustus 1960, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200/1960 yang membubarkan Masyumi, termasuk bagian-bagian, cabang-cabang, dan ranting-rantingnya di seluruh Indonesia. Pada hari yang sama, dalam pidato kenegaraan, Sukarno menyampaikan soal pembubaran Masyumi dan PSI. “Jika satu bulan sesudah perintah ini diberikan, Masyumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masyumi dan PSI adalah partai-partai yang terlarang,” ujar Sukarno. Tenggat waktu yang diberikan sejalan dengan surat Kabinet Presiden No. 2730/TU/60.
Menurut Anwar Harjono, kalau Keppres No. 200/1960 didiamkan, risikonya besar. Masyumi akan menjadi partai terlarang. “Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan Masyumi tidak mustahil akan dirampas,” kata Lukman, penulis biografi Anwar Harjono, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan.
Prawoto Mangkusasmito sebagai ketua umum Masyumi lalu berkonsultasi dengan dua kantor pengacara. Akhirnya, pada 8 September 1960, Prawoto memberikan kuasa kepada Mohamad Roem untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan diajukan Roem pada 9 September, yang diubah pada 12 September. Tuntutannya antara lain membatalkan, setidak-tidaknya menyatakan batal karena hukum, Keppres No. 200/1960.
Sambil menunggu keputusan pengadilan, pada 13 September 1960, empat hari sebelum jatuh tempo, pimpinan Masyumi menyampaikan surat kepada Sukarno perihal pembubaran partai disertai memorandum bahwa Masyumi mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta agar “membatalkan tindakan-tindakan yang kami anggap melawan hukum”. Disebutkan pula, usaha ini akan dilakukan Prawoto Mangkusasmito sebagai warga negara, bukan ketua umum Masyumi.
Upaya mencari keadilan kandas. Pada 11 Oktober 1960, Pengadilan Negeri Istimewa menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara ini. Tak puas, Prawoto mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Keputusan banding tak pernah turun. Sejak itu, secara definitif Masyumi lenyap dari pentas politik.
Pada 16 Januari 1962, bersama tokoh-tokoh PSI, Prawoto, Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan E.Z. Muttaqien dipenjara di Madiun dan terakhir di Wisma Keagungan, tahanan di daerah Kota Jakarta Pusat, bersama dengan Natsir, Sjafruddin, dan Burhanuddin. Mereka dibebaskan pemerintah Orde Baru pada 17 Mei 1966.
Setelah itu, mereka berupaya merehabilitasi partai. Namun, penguasa Orde Baru tetap melarangnya.*