Maukar Mengincar Bung Besar

Pilot tempur Angkatan Udara menembaki Istana untuk membunuh Presiden Sukarno. Penyebabnya simpang siur. Gosipnya gara-gara perempuan. Permesta yang punya lakon.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Maukar Mengincar Bung BesarMaukar Mengincar Bung Besar
cover caption
Daniel Maukar bersama Sam Karundeng disidang di Mahkamah Militer tahun 1960. (IPPHOS).

LETKOL (Pnb.) Heru Atmodjo sudah lama berhenti dari Angkatan Udara. Diberhentikan tepatnya. Tapi dia masih ingat Daniel Maukar, pilot muda cemerlang yang selalu digadang-gadangnya. “Dia murid saya, dia orangnya cerdas dan pemberani,” kata Heru kepada Historia pada 2010.

Karena berani dan termasuk ke dalam jajaran pilot yang unggul, Dani, demikian panggilan akrabnya, dapat posisi sebagai pilot tempur. Kesempatan yang jarang diberikan kepada pilot kecuali mereka yang terpilih dan lolos seleksi ketat. “Maukar salah satu yang kami anggap bagus. Makanya dia jadi pilot tempur,” kenang Heru.

Heru meninggal pada 29 Januari 2011. Sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sebelum tiga bulan kemudian kuburannya digali dan jasadnya dipindahkan ke Bangil, Sidoarjo, Jawa Timur. Kata Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dia tak pantas dikuburkan di sana karena terlibat peristiwa G30S 1965.

Ajal keburu menjemputnya sebelum menceritakan lebih lanjut sosok Daniel Maukar, pilot tempur yang disebutnya cerdas dan berani itu. Tapi Dani sendiri menampik disebut cerdas. Pada 2007, Beny Adrian, wartawan majalah Angkasa pernah mewawancarai Dani. “Saya merasa waktu itu tidak sanggup dan terbang saya kan tidak menonjol, tapi tahu-tahu kok ditaruh menjadi fighter,” kata Dani kepada Beny.

LETKOL (Pnb.) Heru Atmodjo sudah lama berhenti dari Angkatan Udara. Diberhentikan tepatnya. Tapi dia masih ingat Daniel Maukar, pilot muda cemerlang yang selalu digadang-gadangnya. “Dia murid saya, dia orangnya cerdas dan pemberani,” kata Heru kepada Historia pada 2010.

Karena berani dan termasuk ke dalam jajaran pilot yang unggul, Dani, demikian panggilan akrabnya, dapat posisi sebagai pilot tempur. Kesempatan yang jarang diberikan kepada pilot kecuali mereka yang terpilih dan lolos seleksi ketat. “Maukar salah satu yang kami anggap bagus. Makanya dia jadi pilot tempur,” kenang Heru.

Heru meninggal pada 29 Januari 2011. Sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sebelum tiga bulan kemudian kuburannya digali dan jasadnya dipindahkan ke Bangil, Sidoarjo, Jawa Timur. Kata Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dia tak pantas dikuburkan di sana karena terlibat peristiwa G30S 1965.

Ajal keburu menjemputnya sebelum menceritakan lebih lanjut sosok Daniel Maukar, pilot tempur yang disebutnya cerdas dan berani itu. Tapi Dani sendiri menampik disebut cerdas. Pada 2007, Beny Adrian, wartawan majalah Angkasa pernah mewawancarai Dani. “Saya merasa waktu itu tidak sanggup dan terbang saya kan tidak menonjol, tapi tahu-tahu kok ditaruh menjadi fighter,” kata Dani kepada Beny.

Dani boleh menampik kalau dia pilot cerdas. Kenyataanya dia dipercaya sebagai pilot tempur yang menerbangkan jet MiG-17, pesawat tempur canggih buatan Soviet untuk ukuran zaman itu. Pesawat itu pula yang membawanya beraksi menembaki Istana Presiden di Bogor dan Jakarta dan melambungkan namanya sebagai pilot pemberontak.

Daniel Maukar. (Merdeka, 12 Maret 1960).

Direkrut Permesta

Aksi Dani tak berdiri sendiri. Kisahnya berawal dari kekecewaan beberapa tokoh milter dan sipil di Sumatra dan Sulawesi terhadap pemerintah pusat. Saat itu mereka merasa diperlakukan tidak adil akibat perimbangan keuangan yang jomplang. Orientasi politik Sukarno yang mulai condong ke kiri semakin mematangkan situasi konflik.

Kekecewaan berujung pada gerakan perlawanan. Di Sulawesi, Kolonel Ventje Sumual mendirikan Dewan Manguni, bersamaan dengan pendirian Dewan Gajah, Dewan Banteng, dan Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Kolonel Ahmad Husein, dan Kolonel Dahlan Djambek di wilayah Sumatra.

Pada Februari 1957, Ventje yang menjabat panglima Teritorium VII itu mengumpulkan sejumlah stafnya untuk membahas situasi nasional. Pertemuan lanjutan diadakan pada 2 Maret 1957 di kantor gubernur Makassar, di mana Ventje menggagas piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang ditandatangani oleh 51 tokoh militer dan sipil di Sulawesi.

Setahun kemudian, Februari 1958 Permesta menggabungkan diri dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Pemberontakan yang disebut Indonesianis Barbara Sillars Harvey “setengah hati” itu justru tak setengah-setengah ketika menyatakan diri talak dari pemerintah pusat di Jakarta. Maka genderang perlawanan terhadap pemerintahan Sukarno pun mulai ditabuh.

Pada hari-hari yang penuh ketegangan itulah Dani datang dari Mesir, setelah mengikuti pelatihan menerbangkan jet tempur MiG-17 di negara benua Afrika itu. Dia jadi target penggalangan. Posisinya potensial untuk direkrut ke dalam operasi Permesta: anak Minahasa, pilot tempur dan punya akses langsung terhadap aset-aset milik Angkatan Udara seperti pesawat MiG-17 yang dikendalikannya sendiri.

Abangnya yang banyak pengaruhi dia. Terutama dalam soal politik.

Dani bukan pilot pertama yang bekerja untuk Permesta. Pada 18 Mei 1958, disokong CIA, Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) Permesta menyewa Allen Pope, pilot berkebangsaan Amerika Serikat yang menerbangkan pesawat bomber Douglas B-26 Invader untuk melawan pemerintah Indonesia. Tapi Pope ketiban sial. Pesawatnya ditembak jatuh di atas Teluk Ambon. Pope ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman mati. Namun, Presiden Sukarno memberikan grasi kepadanya.

Herman Maukar, kakak Dani yang tinggal di Bandung, adalah orang yang paling getol memengaruhi Dani supaya bekerja klandestin untuk Dewan Manguni. “Abangnya yang banyak pengaruhi dia. Terutama dalam soal politik,” kata Beny Adrian kepada Historia. Mulanya Dani bergeming, tapi lama-lama ambrol juga.

Dalam “bergerilya” Herman tak sendiri. Di atas dia ada Sam Karundeng, pemimpin Manguni yang bekerja bawah tanah untuk wilayah Bandung dan Jakarta. Mereka bahu-membahu menggalang kekuatan anti-Sukarno atas nama Permesta.

Kepada Dani, Herman selalu mengutarakan niatnya untuk melakukan sabotase obyek vital milik pemerintah Republik. Namun berkal-kali Dani meragukan kesuksesan rencana aksi tersebut. Dani akhirnya menyodorkan dirinya untuk jadi eksekutor serangan terhadap pemerintah Republik. “Saya bilang, kalau kamu tunggu tanda sampai kapan, ya sudah kalau begitu aku saja yang kasih tanda. Bilang saja saya tembak, suruh tembak apa sekarang,” kata Dani seperti dikutip dari Angkasa, 10 Juli 2007.

Daniel Maukar (berdiri di tengah) berdiskusi dengan rekan-rekan penerbangnya di lapangan udara Kemayoran, Jakarta. (Public domain).

Sasaran Tembak

Dani mengaku kemudian mendapat perintah eksekusi dari Mayor Sutisna. Dalam sebuah pertemuan di Bandung, Sutisna menentukan sasaran tembak Dani adalah pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah. Kontan Dani menampik. Bagi Dani, Halim adalah rumahnya. Akhirnya Sutisna menentukan target lain: Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Usai aksi, Dani harus terbang melarikan diri ke Singapura.

Tak jelas apakah perintah penembakan terhadap tiga obyek vital pemerintah itu dihasilkan spontan dalam pertemuan atau perintah dari struktur tertinggi dalam organisasi Permesta. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, April 2009, Ventje Sumual mengungkapkan penghancuran tangki bahan bakar Tanjung Priok adalah strategi untuk melumpuhkan pusat kekuasaan.

“Jakarta adalah titik kunci... sebetulnya mudah saja untuk menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah lapangan terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh,” kata Ventje kepada Setiyardi dari Tempo.

Dani memenuhi kebutuhan itu. Rabu pagi, 9 Maret 1960, Dani mendaratkan jet MiG-15 di landasan lapangan terbang Kemayoran setelah menempuh perjalanan dari Bandung. Menjelang siang dia dapat giliran menerbangkan jet MiG-17 dalam rangka latihan. Pada pukul 11:45, pilot dengan call sign “Tiger” itu memasuki ruang kemudi jet MiG-17 bernomor 1112 dan tak lama kemudian memacu pesawatnya di landasan pacu Kemayoran.

Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh.

Tugas latihan terbang ke selatan Jakarta diabaikannya. Dani sudah punya tujuan lain. Dia arahkan pesawatnya ke tangki bahan bakar di Tanjung Priok. Dari ketinggian 2.800 kaki (853 meter), Dani menukikkan MiG-17 lalu memberondong tangki bahan bakar hingga meledak. Selesai dengan misi pertama, Dani melesatkan pesawatnya menuju Istana Merdeka. Dia datang dari arah selatan, menembak bagian depan istana menyebabkan kaca dan tembok hancur berantakan. Misi kedua selesai.

Nasib Sukarno mujur. Dia sedang tak berada di Istana siang itu. Presiden sedang menghadiri sidang di Dewan Nasional yang gedungnya hanya berjarak 20 meter dari Istana Merdeka. Padahal, “salah satu peluru yang ditembakkan dari udara tersebut, tepat mengenai tempat di mana Bung Karno sering duduk di kursi pada pagi hari,” kata Mangil Martowidjojo, ajudan Presiden Sukarno, dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945–1967.

Anggota Dewan Nasional yang sedang sidang pun dibuat heboh oleh suara bising pesawat jet yang terbang rendah. Begitu menerima laporan dari ajudan bahwa Istana ditembaki pesawat tempur tak dikenal, Presiden Sukarno segera menenangkan peserta sidang. “Rustig... rustig... (tenang… tenang…),” kata Sukarno dalam bahasa Belanda, seperti dikutip dari Merdeka, 10 Maret 1960.

Pesawat MiG-17 yang diterbangkan oleh Daniel Maukar mendarat darurat di area persawahan Kadungora, Leles, Garut, Jawa Barat setelah menyerang Istana Merdeka, 9 Maret 1960. (Merdeka, 12 Maret 1960).

Sementara itu, usai menuntaskan misinya menembaki Istana Bogor, Dani melarikan dirinya ke arah Garut, bukan ke Singapura sebagaimana yang diminta oleh Sutisna. Apa daya, bahan bakar pesawat untuk latihan tak diisi penuh. Tapi selalu ada skenario terburuk. Dani mendaratkan MiG-17 di persawahan di Leles, Garut yang dikenal sebagai pusat perjuangan DI/TII. Rencananya Dani akan mencari perlindungan ke DI/TII yang sama-sama memusuhi Sukarno. Tapi rencana gagal. Pada hari yang sama Dani ditangkap tentara Divisi Siliwangi. Dani kemudian dibawa ke Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan.

Kehebohan segera merebak ke seantero Angkatan Udara. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, KSAU Laksamana Udara Suryadi Suryadarma mengajukan pengunduran diri kepada presiden. Pada Sabtu, 11 Maret 1960, di hadapan 120 penerbang AURI di Istana Merdeka, Presiden Sukarno menolak pengunduran diri Suryadarma dan memintanya untuk tetap memegang kendali AURI.

Di bawah pimpinan Letkol (Pnb.) Omar Dani, 120 penerbang itu membacakan pernyataan sikap terhadap aksi Daniel Maukar. Mereka menyesalkan peristiwa tersebut dan menyatakan tetap patuh kepada Presiden Sukarno. “Kami menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat,” kata Omar Dani seperti dikutip dari Merdeka, 12 Maret 1960.

Menteri Penerangan Maladi dalam keterangan persnya pada 14 Maret 1960 mengatakan telah menemukan sejumlah senjata dan dokumen rencana pembunuhan terhadap kepala negara. Senjata dan dokumen tersebut ditemukan seminggu sebelum peristiwa dalam sebuah razia di Kebayoran Lama.

Dani kemudian diadili mulai 20 Juli 1960. Dia dituduh terlibat dalam aksi makar dan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Dani sendiri menolak jika dituduh hendak membunuh Presiden Sukarno. Namun demikian majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman mati bagi Dani.

Banyak gosip yang berkembang di seputar peristiwa ini. Santer terdengar kalau Dani dan Sukarno terlibat cinta segitiga. Kabarnya Sukarno kepincut pada Molly Mambo, pacar Dani. Tapi belakangan gosip itu disanggah oleh Maukar dan beberapa orang lain. Bahkan katanya isu itu sengaja disebarluaskan oleh agen-agen spion Amerika Serikat untuk menjatuhkan citra Sukarno.

Setelah dijatuhi hukuman mati, Dani menjalani masa tahanan, menanti masa-masa eksekusi. Tapi Laksamana Suryadarma berbaik hati. Dia getol melobi Presiden Sukarno agar membatalkan hukuman mati bagi Dani. Akhirnya, pada 22 Juni 1961 Presiden Sukarno memberikan amnesti kepada seluruh pengikut Permesta yang telah menyatakan kesetiaan kepada Republik Indonesia. Pada 1964, Sukarno menganulir vonis mati bagi Daniel Maukar. Baru pada 1968, setelah Sukarno tak lagi jadi presiden, Dani bisa menghirup udara bebas di zaman Orde Baru.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6527b549119067f0b3c01ea6