Melacak Akar Bipolar

Orang yang menderita dua ekstrim mood: depresi berlarut-larut dan euforia agresif. Kemajuan penelitian membuat mereka bertahan, perlahan lepas dari stigma dan rasa malu.

OLEH:
Mira Renata
.
Melacak Akar BipolarMelacak Akar Bipolar
cover caption
Vivien Leigh sebagai Scarlett O'Hara dalam film Gone with the Wind (1939). (Wikimedia Commons).

SEPANJANG kariernya, gejolak emosi aktris Vivien Leigh, pemeran Scarlett O’Hara dalam Gone With The Wind (1939), menjadi rahasia umum Hollywood. Pendulum suasana hatinya bergerak cepat, dari depresi berat menjadi letupan emosi agresif. Suatu kali, dia pernah berujar: “Aku seorang Scorpio; Scorpio memangsa dan menghancurkan diri mereka sendiri seperti yang kulakukan,” ujarnya dalam Vivien Leigh: A Biography (1977) oleh Anne Edwards.

Banyak studio harus memperhitungkan risiko untuk mempekerjakannya. Puncaknya, ketika berada di Srilanka pada 1953 untuk syuting film Elephant Walk, Leigh kehilangan kontrol diri. Dia mudah lelah dan sering lupa kalimat-kalimat dialog. Perubahan mood yang drastis mengacaukan jadwal syuting; hari ini terlihat tenang dan bahagia, keesokan hari menangis tersedu-sedu yang berlanjut dengan umpatan kasar penuh kemarahan. Kebiasaan Leigh minum minuman beralkohol memperparah situasi.

SEPANJANG kariernya, gejolak emosi aktris Vivien Leigh, pemeran Scarlett O’Hara dalam Gone With The Wind (1939), menjadi rahasia umum Hollywood. Pendulum suasana hatinya bergerak cepat, dari depresi berat menjadi letupan emosi agresif. Suatu kali, dia pernah berujar: “Aku seorang Scorpio; Scorpio memangsa dan menghancurkan diri mereka sendiri seperti yang kulakukan,” ujarnya dalam Vivien Leigh: A Biography (1977) oleh Anne Edwards.

Banyak studio harus memperhitungkan risiko untuk mempekerjakannya. Puncaknya, ketika berada di Srilanka pada 1953 untuk syuting film Elephant Walk, Leigh kehilangan kontrol diri. Dia mudah lelah dan sering lupa kalimat-kalimat dialog. Perubahan mood yang drastis mengacaukan jadwal syuting; hari ini terlihat tenang dan bahagia, keesokan hari menangis tersedu-sedu yang berlanjut dengan umpatan kasar penuh kemarahan. Kebiasaan Leigh minum minuman beralkohol memperparah situasi.

Khawatir dengan keterlambatan produksi dan membengkaknya biaya produksi, studio film Paramount Pictures memberhentikan Leigh dan menggantinya dengan Elizabeth Taylor, seorang aktris muda berbakat yang dianggap mampu menyamai daya tarik Leigh.

Kecewa dan rapuh, Leigh kembali ke Inggris. Suaminya, aktor Laurence Olivier, mengirimnya ke rumah sakit untuk mendapat perawatan di bawah pengawasan seorang psikiater. Dia menjalani metode “penyembuhan” di kamar isolasi, obat bius, dan terapi shock melalui pemberian es batu di sekujur badannya. Meski dinyatakan membaik, Leigh telanjur trauma dengan tindakan psikiatris yang dijalaninya.

“Aku seperti berada di rumah sakit jiwa. Terlintas keinginanku berteriak agar seseorang mendengar dan menolongku keluar dari tempat itu,” ungkapnya kepada seorang kawan.

Lukisan perempuan menderita mania karya J. Williamson. (Wellcome Images/Wikimedia Commons).

Dua Kutub yang Menyatu

Butuh waktu lama untuk memahami apa yang dialami Leigh. Di masa lampau, berbagai ahli medis dan filsuf mengidentifikasi depresi dan emosi meledak-ledak sebagai dua jenis gangguan jiwa yang berdiri sendiri.

Pengikut Hippocrates, Bapak Medis dan filsuf Yunani Kuno, dalam The Nature of Man pada abad ke-4-5 SM meyakini melankolia (depresi, mudah lelah, dan gelisah) disebabkan kelebihan empedu hitam, sementara mania oleh kelebihan empedu kuning. Berdasarkan teori Hippocrates, kesehatan fisik dan jiwa manusia bergantung pada keseimbangan empat humor (cairan dalam tubuhnya): darah, empedu kuning, empedu hitam, dan mukus. Teori humor juga diterapkan Ibnu Sina dalam Al-Qanun fi al-Tibb atau The Canon of Medicine (1025), ensiklopedia pengobatan Islam.

Pemahaman itu dilanjutkan filsuf Aristoteles dan para pengikutnya. Melankolia, menurut mereka, terkait erat dengan bakat artistik dan kejeniusan seseorang. “Mengapa mereka yang cemerlang dalam filosofi atau politik atau puisi atau kesenian dengan jelas memiliki ciri-ciri melankolik, dan sebagian karena kelebihan empedu hitam?” tulis salah satu pengikut Aristoteles dalam Problemata.

Keterkaitan antara mania dan melankolia kali pertama disebutkan dalam literatur medis pada abad 2 M oleh Arataeus, seorang tabib di Cappadocia, Turki. Dalam On the Aetiology and Symptomatology of Chronic Diseases and The Treatment of Chronic Diseases, Arataeus mengatakan, “Melankolia adalah awal dan bagian dari mania... Pergeseran menjadi mania merupakan tanda kondisi penyakit tersebut (melankolia) kian memburuk dan bukan sebuah penyakit baru.”

Ahli medis Roma pada abad ke-5, Caelius Aurelianus, juga memahami melankolia dan mania sebagai satu penyakit. Dalam bukunya On Acute Diseases, dia menjelaskan beberapa gejala mania, yang mencakup karakteristik melankolia, berdasarkan asal kata. “Orang Yunani menyebutnya mania karena ia menyebabkan kekalutan mental yang berat (ania); atau karena jiwa dan akal yang bebas berlebihan, di mana kata ‘lepas’ adalah manos; atau karena ia mendorong mereka yang mengalaminya untuk sendirian, dengan kata ‘menyendiri’ adalah monusthae...”

Namun, hingga abad ke-17, perkembangan medis di Eropa memandang mania dan melankolia sebagai dua sisi berbeda. Seorang ilmuwan Inggris, Thomas Willis, yang menerbitkan penelitiannya Cerebri Anatome pada 1664 dan pelopor penelitian sistem saraf dan otak (neurologi), menyimpulkan, “Melankolia merupakan sebuah kegilaan tanpa demam tinggi atau amukan, serta diiringi ketakutan dan kesedihan.” Mania, di sisi lain, biasanya diikuti keberanian berlebih dan penuh kemarahan.

Willis juga membandingkan pemikiran seorang melankolia, yang cenderung mengisi waktu dengan berpikir reflektif dan terus-menerus untuk sebuah permasalahan, dengan seorang mania yang membentuk banyak ide dan konsep tanpa peduli akan nilai dan kenyataan sesungguhnya.

Melankolia dan mania kemudian dikategorikan sebagai kelainan mental dengan istilah klinis manik-depresif melalui penelitian Jean-Pierre Falret, seorang psikiater Prancis abad ke-19. Dalam esai Memoire sur la folie circulaire (1854), yang mengulas proses bergantinya episode mania menjadi depresif serta kaitannya secara genetik, Falret mendeskripsikan kelainan manik-depresif sebagai lingkaran kegilaan diselingi interval tanpa gangguan.

Emil Kraepelin, psikiater Jerman, sekitar tahun 1920. (Wikimedia Commons).

Manik-depresif menjadi sebuah klasifikasi kelainan mental pada 1869 setelah psikiater Jerman Emil Kraepelin membedakannya dari jenis kelainan mental lainnya yaitu dementia praecox, yang termasuk di antaranya skizofrenia. Jika gangguan pada otak penderita dementia praecox menyebabkan kemunduran fungsi mental, memori, dan fokus; penderita manik-depresif tak serta-merta mengalaminya dan mampu menjalani aktivitas sehari-hari, terutama dalam masa interval yang normal.

Nama manik-depresif di kemudian hari lebih sering disebut sebagai gangguan bipolar, berdasarkan temuan penelitian psikiatris Karl Leonhard pada awal 1950-an. Gangguan bipolar (secara literal berarti dua kutub) meliputi fluktuasi mood, semangat, dan kemampuan menjalani kegiatan sehari-hari akibat gangguan pada otak. Rata-rata gejala depresi dan mania pada penderita gangguan bipolar terjadi dalam kurun waktu dua minggu dan terus berulang.

Berbagai penelitian kemudian mengklasifikasi variasi tingkatan depresi dan mania pada penderita gangguan bipolar, dari intensitas rendah, sedang, hingga tinggi. Gejala gangguan bipolar juga bervariasi: dari gangguan ringan pola hidup seperti hiperaktif, susah tidur, atau kehilangan nafsu makan, hingga tingkat kronis di mana penderita memiliki dorongan bunuh diri (bagi penderita depresi berat) atau mengalami gejala psikotik seperti halusinasi (pada penderita mania yang parah).

Penderita gangguan bipolar II tak selalu mengalami episode mania seperti yang umum terjadi pada tipe gangguan bipolar I. Seorang penderita bipolar, menurut hasil penelitian, mungkin mengalami kondisi “campuran” (mixed state). Misalnya di tengah rasa percaya diri berlebihan (mania), seseorang tiba-tiba mengalami kesedihan yang tak terhingga dan berpikir untuk bunuh diri (depresi).

Philippe Pinel, psikiater Prancis. (ship.edu).

Menyeimbangkan Dua Kutub

Sejak masa Mesir Kuno, penderita depresi (melankolia) kerap mendapat perawatan yang meliputi alunan musik, permainan ringan, lukisan- lukisan indah, dan kunjungan ke tempat-tempat menyenangkan untuk membangkitkan semangat hidup. Sementara penderita mania, kebalikannya, mendapat perawatan yang menekan energi berlebih dan membuat pikiran gelisah.

Berbagai metode perawatan kemudian dicoba. Di Eropa, sebelum abad ke-18, definisi “kegilaan” sama dengan kerasukan dan kebinatangan, yang ditangani dengan pemasungan dan perawatan  yang buruk. Pada 1773, kepala Rumah Sakit Jiwa Bicêtre (khusus pria) di Paris, dokter Philippe Pinel, berinisiatif membebaskan mereka dari belenggu. Pihak otoritas khawatir bahwa tanpa belenggu pasien akan mengamuk dan melukai lebih banyak orang.

“Apakah kamu sendiri sudah gila, ingin membebaskan binatang-binatang ini,” ujar Couthon, seorang otoritas pemerintahan yang mengunjungi Bicêtre setelah Pinel berulang kali meminta izin.

“Saya yakin, mereka menjadi seperti ini akibat terkurung dari udara segar dan waktu bebas,” jawab Pinnel.

Couthon akhirnya memberi izin. Terbukti, hasilnya positif.

Pendekatan Pinnel, dikenal sebagai “perawatan moral”, mengedepankan hubungan dan diskusi yang akrab dengan pasien. Penyemprotan dengan air hanya digunakan ketika seorang pasien dianggap “melanggar” ketentuan bersama, bukan ritual keseharian.

Air menjadi pilihan dokter di Eropa untuk meredam gejala mania dan melankolia. George Cheyne, seorang dokter Inggris yang meneliti gangguan mental sekaligus refleksi atas pengalamannya bangkit dari depresi akibat obesitas, dalam The English Malady (1733) menyarankan “mandi berendam bagi siapa pun yang ingin menguatkan temperamen mereka setiap dua, tiga, empat hari. Jika tak memungkinkan, mereka bisa berendam di danau atau di mana aliran air berada.”

Kotak uap, salah satu terapi tahun 1910 yang termasuk perawatan menggunakan air. (sos.mo.gov).

Dokter Francois Doublet dan Jean Colombier, inspektur rumah sakit dan penjara pada masa pemerintahan Raja Prancis Louis XVI, juga menyarankan mandi berendam secara teratur sebagai bagian dari perawatan untuk empat jenis penyakit mental (gila, mania, melankolia, dan keterbelakangan). Ini tersua dalam karya mereka, Instructions on the Manner of Governing the Insane and Working for their Cure, in the Asylums Created for Them (1785). Khusus untuk pasien gila dan mania, ditambah mandi dengan pancuran air dingin. Secara umum, keduanya menyarankan agar rumah sakit menyediakan “air bersih, mandi teratur, waktu di luar ruangan, makanan yang baik, dan pakaian layak.”

Beberapa kasus manik-depresif yang berat ditangani dengan terapi shock. Diawali dengan pemberian kamper secara oral oleh Leopold Elder von Auenbrugger pada 1776, menyuntikkan pentylenetetrazol oleh Ladislas Meduna pada 1937, kemudian penemuan electroconvulsive therapy (ECT) oleh peneliti Italia Ugo Cerliti dan Lucio Bini pada pertengahan 1930-an yang menghasilkan efek kejut untuk menetralkan ketidakseimbangan kimiawi penyebab kelainan pada otak manusia. Kontroversi seputar ECT, yang dianggap tak efektif dan menyakitkan bagi pasien, mendorong kemajuan penelitian dan pemakaian obat-obatan. Salah satu obat yang membantu menyeimbangkan mood, Lithium, diperkenalkan pada 1960-an dan masih digunakan hingga kini.

Berbagai jenis perawatan dan pengobatan yang kini tersedia membantu penderita gangguan bipolar untuk menjalani aktivitas dan menjalin relasi dengan lebih baik. Meski tak pernah bisa sembuh seratus persen, gangguan bipolar dapat ditangani untuk jangka panjang sehingga penderitanya tak lagi harus “terkungkung” dalam kondisinya. Dukungan keluarga, teman dekat, dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Menjelang akhir 1950-an, Leigh telah berpisah dari suaminya dan menjalin hubungan baru dengan aktor Jack Merivale. Di tengah upaya menata kembali hidup dan kariernya, dia menyadari bahwa manik-depresif yang dia derita tidak akan benar-benar hilang. Ketika Leigh menyesali kenyataan ini, Merivale menguatkannya.

“Mengapa kamu harus malu? Kamu adalah contoh bagi banyak orang yang mengalami kondisi yang sama. Mereka memperhatikan bagaimana kamu mampu melanjutkan hidup dan berjuang mengalahkan penyakit ini,” kata Merivale dalam biografi Leigh.

Berkat dorongan Merivale, Leigh kembali melakoni dunia teater, cinta pertamanya di dunia akting.

Seiring perkembangan medis awal 1960-an, Leigh tak lagi menjalani terapi shock. Dia mulai mengkonsumsi obat penenang dan kontrol terapi di bawah pengawasan dokter hingga akhir hidupnya pada 7 Juli 1967.*

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64671d9bbf45be36dbea4acb