Melacak (Fiksi) Detektif Indonesia

Salah satu genre fiksi yang paling awal diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Digemari tetapi minim ditekuni penulis.

OLEH:
Fadrik Aziz Firdausi
.
Melacak (Fiksi) Detektif IndonesiaMelacak (Fiksi) Detektif Indonesia
cover caption
S. Mara Gd, penulis produktif novel detektif. (M. Awaludin Yusuf/Historia.ID).

INGGRIS punya Agatha Christie, Indonesia punya S. Mara Gd. Sama-sama perempuan. Sama-sama penulis roman detektif yang produktif.

Karier kepenulisan S. Mara Gd, nama pena Joyce Isa, tak bisa dilepaskan dari Agatha Christie yang punya julukan The Queen of Crimes. Dialah orang yang menerjemahkan novel-novel detektif Agatha Christie. Ketika tak ada lagi persediaan buku yang diterjemahkan, S. Mara Gd diminta penerbitnya menulis novel. Dia menyanggupi. Pilihannya tak jauh-jauh dari cerita detektif.

INGGRIS punya Agatha Christie, Indonesia punya S. Mara Gd. Sama-sama perempuan. Sama-sama penulis roman detektif yang produktif.

Karier kepenulisan S. Mara Gd, nama pena Joyce Isa, tak bisa dilepaskan dari Agatha Christie yang punya julukan The Queen of Crimes. Dialah orang yang menerjemahkan novel-novel detektif Agatha Christie. Ketika tak ada lagi persediaan buku yang diterjemahkan, S. Mara Gd diminta penerbitnya menulis novel. Dia menyanggupi. Pilihannya tak jauh-jauh dari cerita detektif.

Pada permulaan 1985 novelnya yang pertama, Misteri Dian yang Padam, terbit. Ia menjadi “barang” baru di antara novel-novel romantis yang booming kala itu dan karenanya mendapat sambutan luas.

Novel itu diikuti sederetan karya lainnya. Bahkan dalam waktu tiga tahun saja sejak 1985, dia menghasilkan serial novel sebanyak 13 judul. Tak mengherankan bila pada 2013, ketika novel-novel detektif terbaiknya diterbitkan ulang, penerbitnya menyematkan predikat “Penulis Thriller No #1 di Indonesia” di sampulnya.

S. Mara Gd. produktif menghasilkan fiksi detektif selama dekade 1980 hingga 1990-an. Bersama karya penulis lainnya, novel-novelnya menjadikan genre fiksi detektif bacaan yang populer di Indonesia.

“Yang jelas-jelas bisa dikelompokkan dalam cerita detektif ya S. Mara Gd. Dan kalau kita cek ke toko buku, sampul-sampul novelnya tak beda jauh dari Agatha Christie,” ujar Ibnu Wahyudi, dosen pengampu mata kuliah sastra populer di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Jika dirunut sejarah, tak banyak penulis yang menekuninya secara khusus. Tapi sejak mula fiksi detektif selalu memiliki pembaca setia.

Edgar Allan Poe, pelopor fiksi detektif. (Mathew Benjamin Brady/NARA/Wikimedia Commons).

Bermula dari Terjemahan

Fiksi detektif, atau biasa juga disebut fiksi kriminal, kali pertama muncul di Amerika. Edgar Allan Poe yang memeloporinya. Cerita detektifnya, Murder on the rue Morgue, yang terbit tahun 1841 segera menarik perhatian pembaca dan penulis. Penulis-penulis Eropa, terutama Inggris dan Prancis, kemudian menghasilkan karya-karya fiksi detektif yang mendunia. Yang terkenal adalah petualangan Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, Count dari Monte Cristo (Alexandre Dumas), dan Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan Doyle).

Fiksi detektif masuk ke Hindia Belanda melalui orang-orang Eropa. Ia merasuki imajinasi pembaca Hindia Belanda seiring maraknya penerjemahan sastra Eropa ke dalam bahasa Melayu pada awal abad ke-20.

Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo, dan Sherlock Holmes memainkan peranan dalam wacana yang timbul mengenai modernitas dan identitas di antara para pengarang dan pembaca Indonesia. Ketiga pahlawan tersebut mendorong orang untuk mempertanyakan masyarakat pribumi dan kolonial dengan misalnya memperdebatkan masalah individualisme dan tanggung jawab serta merenungkan masalah pergeseran nilai-nilai moral dan sosial. Lebih daripada itu, mereka berusaha menghasilkan reposisi kawula di tengah dunia modern –sekalipun waktu itu masih kolonial,” tulis Doris Jedamski, pemerhati sastra kolonial dari Universitas Leiden, dalam “Sastra Populer dan Subyektivitas Pasca Kolonial”, dimuat Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern suntingan Keith Foulcher dan Tony Day.

Kapan tepatnya fiksi detektif dikenal di Hindia Belanda belum bisa dipastikan secara jitu. Setidaknya Adolf Friedrich von de Wall, penerjemah Indo, sudah menerjemahkan Hikajat Robinson Crusoe, yang dicetak percetakan pemerintah di Batavia pada 1875 untuk dipakai sebagai buku pelajaran sekolah.

Media punya andil penting dalam memopulerkan genre ini melalui format bacaan bersambung alias feuilleton. Terjemahan Von de Wall diadaptasi, bahkan dijiplak, oleh pembaca dan dimuat secara bersambung di Bintang Soerabaia pada 1888 dan 1901.

Lie Kim Hok menerjemahkan Monte Cristo karya Alexandre Dumas. (Wikimedia Commons).

Setelah Robinson Crusoe, Monte Cristo giliran mendapat panggung. Pada 1894, novel ini sampai di tangan penerjemah Melayu, Lie Kim Hok dan F. Wiggers. Dalam lima tahun mereka menghasilkan 2.300 halaman terjemahan Melayu dengan judul Graaf de Monte Cristo yang terbit antara 1894 dan 1899 dalam serial 25 jilid. Setelah itu muncul terjemahan-terjemahan lain dari sejumlah penerjemah.

Menyusul kemudian Sherlock Holmes yang diperkenalkan pengarang Melayu-Tionghoa. Pada 1901, majalah Melayu-Tionghoa Hoa Pit menampilkan terjemahan Tan Tjin Koei berjudul Sherlock Holmes. Dua tahun kemudian, Tjoe Bou San (alias Houw San Liang) menerjemahkan The Five Orange Pips. Lalu pada 1904, Bintang Hindia menerbitkan secara berseri Sherlock Holmes: Kekoeasaan Allah dikarang dalam basa Inggeris oleh A. Conan Doyle, saduran dari A Study in Scarlet.

“Itu menunjukkan bahwa gairah membaca genre cerita detektif sudah mapan saat itu...,” tulis Elizabeth Chandra, akademisi Departemen Politik dan Internasional Universitas Keio, dalam “The Chinese Holmes: Translating Detective Fiction In Colonial Indonesia”, dimuat Keio Communication Review, No. 38, 2016.

Setelah itu saduran bebas atas cerita-cerita Sherlock Holmes mulai ramai. Cerita detektif pun menjadi bacaan populer.

Tahun-tahun awal abad ke-20 juga diramaikan terbitnya terjemahan cerita petualangan bernuansa pelacakan lainnya yang populer di Eropa. Lie Kim Hok, penulis Sino-Tionghoa, antara 1910 dan 1913 menerjemahkan 53 episode serial Rocambole karya Pierre Alexis Ponson du Terrail, penulis Prancis. Pada 1917 terbit pula terjemahan Tatiana, or The Conspiracy karya penulis Polandia Jozef Lubomirski.

Fiksi detektif mencapai puncaknya pada dekade 1920-an melalui cerita-cerita yang diberi label “tjerita politie resia”.

Balai Poestaka, penerbit kolonial, yang semula menganggap fiksi detektif sebagai bacaan rendah dan tak bermutu akhirnya ikut-ikutan. Mereka menerbitkan terjemahan Melayu dari Monte Cristo, The Three Musketeers, dan sejumlah cerita Sherlock Holmes. Balai Poestaka juga memperkenalkan karya Agatha Christie pada 1930-an.

Penerbit-penerbit Sumatra, yang mengalami “banjir roman” dan jadi penantang serius penerbit Melayu-Tionghoa, tak mau ketinggalan. Kendati terbatas, terbit misal terjemahan cerita Sherlock Holmes The Speckled Band. Abad ke XX, majalah bulanan populer yang terbit di Medan dan digawangi Adi Negoro, memuat cerita detektif dalam bahasa Inggris. Salah satunya “Tale of the Poisoned Dagger”, terjemahan dari karya penulis Amerika Sidney C. Partridge, dimuat Desember 1931. Ini cerita seorang detektif China, Foo Wang, yang saat itu menikmati reputasi sebagai Sherlock Holmes dari China.

“Strategi Abad XX untuk menarik audiens melalui iming-iming cerita kriminal dan detektif ternyata sukses,” tulis Nobuto Yamamoto dalam disertasinya di Universitas Cornell berjudul “Print Power and Cencorship in Colonial, 1914–1942”.

Dalam salah satu artikel Abad XX berjudul “Roman Criminele di Inggeris”, dimuat 30 Maret 1940, novel-novel kriminal (roman criminele, roman pendjahat) dan novel detektif (roman detectief) digambarkan bukan hanya sebagai bentuk hiburan, tapi juga sebagai simbol sastra modern.

Tjoe Bou San menerjemahkan Sherlock Holmes: The Five Orange Pips Sir karya Arthur Conan Doyle. (Wikimedia Commons).

Terinspirasi Penulis Eropa

Popularitas terjemahan fiksi detektif mengilhami penulis-penulis di Hindia Belanda untuk menghasilkan karya sendiri. Lagi-lagi, penulis peranakan Tionghoa adalah pelopornya. Njoo Cheong Seng menulis serial petualangan Gagaklodra, yang diciptakan tahun 1930 dan bertahan hingga 23 tahun. Pahlawan fiktifnya, tulis Elizabeth Chandra, bukan sekadar duplikat Sherlock Holmes, “tapi seorang pahlawan orang Jawa-Cina yang ahli dalam seni bela diri dan ilmu pengetahuan yang baru.”

Dari penulis Indo, muncul antara lain Ulrich Coldenhoff. Dia menerbitkan novel De schoonste triomf van de Indo-detective (Kejayaan yang paling indah dari detektif Indo, 1924). Karena sukses, Coldenhoff mengeluarkan serial berikutnya hingga total lima judul. Dalam serial ini, si pengarang memperkenalkan seorang detektif Indo yang cerdik, berani, tapi rendah hati dan ramah bernama Leo Brandhorst.

“Tokoh-tokohnya ditempatkan dalam suatu dunia yang sepenuhnya menerima kaum Indo dan membiarkan mereka menjadi pahlawan kenamaan,” tulis Doris Jedamski. “Tokoh utamanya, sebagai imbalan, memperlihatkan rasa terima kasih dalam bentuk kesetiaan mutlak kepada pihak Belanda dan pemerintah kolonial.”

Langkah ini diikuti penulis bumiputra. Sejumlah novel Jawa mengandung unsur pelacakan muncul seperti Sukaca (1923) dan Mungsuh Mungging Congklakan (1929). Jejak mereka kelak diteruskan Iskandar S.G. lewat cerita bersambung “Warisan Macan Kumbang” di majalah Jayabaya pada 1957 dan terutama Suparto Brata.

Pahlawan fiktifnya, bukan sekadar duplikat Sherlock Holmes, tapi seorang pahlawan orang Jawa-Cina yang ahli dalam seni bela diri dan ilmu pengetahuan yang baru.

Di Sumatra terdapat Soeman HS, yang disebut-sebut sebagai pelopor fiksi detektif di kalangan penulis bumiputra. Karya-karya awal kepengarangannya seperti Kasih Tak Terlerai (1930), Percobaan Setia (1932), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Tebusan Darah (1939), dan kumpulan cerpen Kawan Bergelut (1941) kental bernuansa penyelidikan. Matu Mona lewat Patjar Merah dan Joesoef Sou’yb lewat serial Elang Emas juga dikenal sebagai pengarang roman bernuansa detektif.

Meski terinspirasi karya-karya penulis Barat, cerita detektif Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Menurut Ibnu Wahyudi, struktur ceritanya berbeda dari kaidah baku rumusan Barat. Penulis Sino-Melayu maupun bumiputra menulis sebagaimana biasa tanpa menyengaja untuk menulis cerita detektif.

“Pada masa awal itu formulanya belum selengkap sekarang atau sebagaimana di rumuskan Barat. Saat itu pun belum dikenal cerita detektif sebagai kategori tersendiri. Pada intinya cerita berkisar pada masalah yang mesti dipecahkan,” ujar Ibnu.

Kendati demikian, ada kekhasan dari “pahlawan-pahlawan bumiputra” dalam cerita-cerita detektif Indonesia masa kolonial. Sebagaimana amatan Doris Jedamski, tampak bahwa yang memukau imajinasi para pembaca fiksi populer adalah bauran ala Indonesia antara “penuntut balas” Monte Cristo dan “otak” Sherlock Holmes.

“Tokoh-tokoh seperti Elang Emas, Purna Malavaji dan, sampai sejauh tertentu, Patjar Merah, memadukan ciri-ciri paling menonjol dari tokoh-tokoh Barat ketika mereka berjuang melawan ketidakadilan sosial dan politik serta kesemena-menaan di tahun 1930-an,” tulis Jedamski.

Dari pola yang sederhana itu, perlahan penulis-penulis Indonesia mulai menulis sebagaimana fiksi detektif Barat ditulis dan dipadukan dengan unsur lokal Indonesia.

S. Mara Gd, penulis produktif novel detektif. (gpu.id).

Timbul-Tenggelam

Sempat mati suri di masa perang, penerbitan fiksi detektif menggeliat pada 1950-an. yang sohor antara lain serial Naga Mas karya Grandy (alias Aryono), penulis kelahiran Maospati, Jawa Timur.

Serial Naga Mas, karya perdananya, terbit di majalah Terang Bulan pada Agustus 1952. Sejak itu kisah detektif yang sehari-hari memakai nama Dragono dengan profesi wartawan majalah Kriminologi segera digemari pembaca luas. Selanjutnya serial ini muncul sampai 13 jilid sebagai buku saku. Dahsyatnya lagi, Naga Mas bertahan selama 39 tahun, dimuat bergantian di sejumlah media. Selain Naga Mas, Aryono menulis novel detektif lain dengan tokoh jagoan bernama Pacar Mas.

Satu dekade kemudian Suparto Brata muncul dengan kisah-kisah detektif dalam bahasa Jawa. Pada 1961, melalui Panjebar Semangat, dia menerbitkan cerita berjudul Tanpa Tlatjak dengan tokoh utama Handaka. Karena mendapat sambutan hangat, serial-serial petualangannya rutin mengisi majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya.

Suparto Brata mendapatkan ide menulis cerita detektif dari pembacaannya atas Agatha Christie, Georges Simenon, atau Erle Stanley Garner. Bacaan-bacaan itu didapatnya dari pasar loak dan dilahapnya sebelum memulai menulis fiksi berbahasa Jawa. “Buku-buku rombeng itu ditinggalkan oleh orang-orang Belanda yang terusir dari Indonesia tahun 1956-1958,” tulis Suparto Brata di supartobrata.com.

Namun kebangkitan novel detektif rupanya hanya sementara. Ia kembali redup.

“Untuk alasan yang masih belum diketahui, genre tersebut berhenti lagi di tahun tujuh puluhan. Hanya sejumlah kecil judul Agatha Christie, yang diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia, tampak hadir di pasar sastra. “Super-sy pribumi” Six Balanx karya Hino Minggo mungkin adalah serial kriminal pertama yang sukses di Indonesia sejak tahun lima puluhan,” tulis Doris Jedamski dalam tulisan lain berjudul “Genres of Crime Fiction in Indonesia” dimuat Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun suntingan B. Hering.

Penulis lain bukan tidak ada, tetapi hanya menghasilkan satu-dua karya fiksi detektif. Berbeda dari S. Mara Gd yang terus menulis cerita detektif.

Usai satu dekade meredup, fiksi detektif kembali muncul lewat karya penulis macam Dwianto Setyawan lewat serial Sersan Grung-Grung, Arswendo Atmowiloto (serial Imung dan Kiki), Bung Smas (serial Sisi, Siasat, Noni, Pulung dan Fantasia), Agung Sunyoto, S. Mara Gd, hingga V. Lestari.

Dwi Setyawan, Arswendo, dan Bung Smas menghasilkan banyak cerita detektif remaja. “Namun karena bacaan remaja sangat menurun peminatnya (akhir 1987), akhirnya para pengarang cerita detektif untuk remaja tak membuat buku lagi untuk pembaca ini,” tulis Apsanti Djokosujatno dalam laporan penelitian tahun 1997 berjudul “Aspek Genetik dan Klasifikasi Cerita Detektif Indonesia”.

Di antara pengarang-pengarang itu, yang paling terkenal dan konsisten adalah S. Mara Gd. “Penulis lain bukan tidak ada, tetapi hanya menghasilkan satu-dua karya fiksi detektif. Berbeda dari S. Mara Gd yang terus menulis cerita detektif,” ujar Ibnu Wahyudi.

Kendati novel detektif laris manis di pasaran, nyatanya tak banyak penulis yang menekuninya secara serius. Kritikus sastra Jakob Sumardjo dalam Sastra dan Massa menulis, penulisan cerita lacak atau cerita yang menggunakan pola itu tidak pernah berkembang baik. Buku cerita lacak tetap diimpor dari Eropa dan Amerika, sampai hari ini.

“Ini menunjukkan bahwa kualitas cerita lacak di Indonesia kurang memenuhi tuntutan pembacanya. Apakah ini juga akibat dari sulitnya menciptakan tokoh legendaris fiksi lacak Indonesia yang memang tak pernah ada dalam masyarakat? Hal ini bisa dijawab kalau lektur jenis ini dapat dikumpulkan dari khazanah sejarahnya di Indonesia,” tulis Jakob Soemardjo.

Pamor fiksi detektif Indonesia pun meredup menjelang pergantian milenium. Kendati demikian, novel detektif lawas tak kehilangan penggemar. Di bursa buku lawas Blok M Square, Jakarta, misalnya, hampir setiap lapak selalu memajang novel detektif karya penulis lokal maupun internasional dan laku.

Kini, novel detektif memang agak sulit meraih pencapaiannya pada 1980-an. Tapi, sebagaimana pembacanya yang tetap ada, beberapa penulis mulai berkarya dalam genre ini.

“Sepuluh tahun belakangan saya dapati beberapa novel detektif karya penulis kita. Memang tidak seterkenal tahun 1980-an, tetapi tetap ada,” kata Ibnu Wahyudi seraya menyunggingkan senyum.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64648b67dec32f91e4871829