Melawak Tanpa Babak

Bing Slamet jago pasang mimik dan tingkah lucu, dilengkapi menyanyi membuatnya jadi pelawak andal. Seniman serba bisa ini dijuluki presiden pelawak Indonesia.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Melawak Tanpa BabakMelawak Tanpa Babak
cover caption
Bing Slamet bersama grup lawak Kwartet Jaya: Eddy Sudihardjo (Eddy Sud), Kho Tjeng Lie (Ateng), dan Iskak Darmo Suwiryo (Iskak). (Dok. Keluarga Bing Slamet).

JOEY Adams, komedian Amerika, terpana begitu melihat papan reklame dan iklan-iklan suratkabar bertuliskan “Joey Adams, pelawak top Amerika, versus Bing Slamet, pelawak top Indonesia” setibanya di Jakarta. Dia pun bertanya-tanya.

“Bing Slamet,” kata Howard Palfrey Jones, dutabesar AS untuk Indonesia, “menyebut dirinya sebagai Joey Adams dari Indonesia.”

“Bahkan meski belum melihatnya, Joey kini jadi penggemarnya seumur hidup,” celetuk Cindy, istri Adams.

“Dia harus menjadi seorang kawan yang lucu,” ujar Adams. “Mulai sekarang aku akan menyebut diriku sebagai Slamet Bing dari Amerika.”

Kala itu, dimulai pada Agustus 1961, Adams memimpin rombongan Program Pertukaran Budaya Presiden Kennedy yang mengunjungi beberapa negara, termasuk Indonesia. Pengalaman Adams di Indonesia terekam dalam karyanya, On The Road for Uncle Sam.

JOEY Adams, komedian Amerika, terpana begitu melihat papan reklame dan iklan-iklan suratkabar bertuliskan “Joey Adams, pelawak top Amerika, versus Bing Slamet, pelawak top Indonesia” setibanya di Jakarta. Dia pun bertanya-tanya.

“Bing Slamet,” kata Howard Palfrey Jones, dutabesar AS untuk Indonesia, “menyebut dirinya sebagai Joey Adams dari Indonesia.”

“Bahkan meski belum melihatnya, Joey kini jadi penggemarnya seumur hidup,” celetuk Cindy, istri Adams.

“Dia harus menjadi seorang kawan yang lucu,” ujar Adams. “Mulai sekarang aku akan menyebut diriku sebagai Slamet Bing dari Amerika.”

Kala itu, dimulai pada Agustus 1961, Adams memimpin rombongan Program Pertukaran Budaya Presiden Kennedy yang mengunjungi beberapa negara, termasuk Indonesia. Pengalaman Adams di Indonesia terekam dalam karyanya, On The Road for Uncle Sam.

Bing dan Adams tampil di stadion bulutangkis yang berada di Gelora Bung Karno, yang penuh sesak. Setelah dibuka dengan beberapa lagu, di mana Bing juga menyanyi, mereka adu lucu, Bing berbahasa Inggris dan Adams berbahasa Indonesia. Penonton pun bersorak. Tertawa.

Adams sendiri punya kesan mendalam, terutama terhadap Bing yang memberinya kemeja batik. “Pujian terbaik berasal dari sobatku, Bing Slamet,” ujarnya.

Tak hanya Adams. Danny Kaye, pelawak Amerika lainnya, pernah dibuat tertawa oleh polah Bing. Sebagai duta Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Kaye beberapa kali menyambangi Indonesia. Pada November 1971, misalnya, bersama Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Mang Udel, Kaye berjoget dengan remaja-remaja Bulungan, Jakarta. Mereka juga melawak di Taman Ismail Marzuki. Semuanya, tak kecuali Kaye, ikut tertawa. Tawa tak mengenal batas bahasa.

Kelucuan Bing juga bikin bintang film Gina Lolobrigida tergelak. Itu terjadi ketika Bing bersama rombongan seniman ikut lawatan presiden ke Italia tahun 1965. Bing juga menyanyi dan melawak di Kairo, Lebanon, Iran, New York (Amerika Serikat), Hungaria, Prancis, dan Belanda.

Di dalam negeri, tak usah dibilang. Dunia lawak memang dilakoni belakangan setelah menyanyi, tapi justru di dunia lawaklah namanya lebih dikenang. Sampai-sampai Arwah Setiawan, bekas ketua Lembaga Humor Indonesia, menyebut Bing Slamet sebagai “presiden pelawak Indonesia”.

Bung Karno tergelak menyaksikan adu lawak antara Bing Slamet dengan Joey Adams di Jakarta, 1961. (Repro On The Road for Uncle Sam).

Polah Sedari Kecil

Slamet kecil tak pandai berhitung. Di sekolah, bila ada pelajaran berhitung, dia menyontek kawan-kawannya. Sialnya, ulahnya ketahuan sang guru. Dia pun kena hukuman. Di depan kelas, Bing harus berdiri sembari menggerakkan alis, mengedipkan sebelah mata, atau mengeryitkan kening. Tak urung teman-temannya tak kuasa menahan tawa.

Kelihaiannya pasang mimik dan tingkah jenaka kelak menjadi modal melawak. Namun, modal itu tentu tak cukup untuk menjadikannya pelawak andal. Dia menggunakan keahlian lainnya: menyanyi. Dia juga memperkayanya dengan bahan-bahan lawakan baru. “Saya selalu memperhatikan kehidupan masyarakat sehari-hari. Saya perhatikan humor mereka. Terutama lelucon dari daerah-daerah,” ujar Bing Slamet seperti ditulis Sumohadi Marsis dalam Album Kenangan Bing Slamet.

Kendati ayahnya menginginkannya jadi dokter atau insinyur, Bing jalan terus. Dia melakoninya dengan serius, tak sekadar mengikuti suratan nasib. Dan inilah yang membuatnya jadi pelawak besar.

“Dia multi-talented. Seniman besar. Ia nyanyi juga. Ketika seseorang komedian bisa menyanyi, mengarang lagu, pasti ada kelebihan,” ujar Indrodjojo Kusumonegoro yang lebih dikenal dengan Indro Warkop. “Buat saya dia maestro, jenius.”

Mang Cepot (kiri) dan Mang Udel dalam film Heboh (1952). (Perpusnas RI).

Karier Bing mulai mencuat ketika ikut lomba lawak yang diadakan di Gedung Kesenian Jakarta oleh majalah Ria pada 29 Juli 1953. Dia menang dan menyandang gelar “Bintang Pelawak”. Namun jalan kariernya terbuka ketika bekerja di Radio Republik Indonesia. Di sana dia bergaul dengan Mang Udel (Poernomo) dan Mang Cepot (Hardjodipuro).

Sejak 1946 Mang Udel dan Mang Cepot mengisi acara obrolan “Sepintas Lalu”, memadukan humor dan penerangan. Mereka punya grup Cepot-Udel, yang sempat bikin film komedi berjudul Heboh. Begitu melihat Bing, kedua pelawak itu mengajaknya bergabung dan jadilah trio Los Gilos pada 1953.

Acara “Panggung Merdeka” menjadi awal kemunculan Los Gilos di pentas. Penampilannya mendapat sambutan publik. Los Gilos mengangkat komunikasi via telepon di ibukota yang lelet. Sehari suntuk tiga serangkai ini tak bisa bicara dengan temannya. Karena kesal, mereka minta sambungan internasional. Dalam sekejap, masing-masing sudah bicara dalam bahasa Spanyol, Inggris, Jerman, dan lain-lain. Begitu selesai, sambungan telepon dengan temannya di kota belum juga kesampaian.

“Sejak itu setiap pendengar radio di seluruh Indonesia mengenal nama dari tiga sejoli itu,” tulis majalah Merdeka, 1 Juni 1957.

Trio Los Gilos tampil di RRI Jakarta. (Perpusnas RI).

Lawakan Cerdas

Sejak berkiprah di Cepot-Udel, Mang Udel dikenal sebagai pelawak yang suka mengandalkan skrip alias olah kata, bukan semata bakat, apalagi olah tubuh atau selip lidah. Menurutnya, di luar negeri, pelawak macam Bop Hope atau Danny Kaye memiliki gag writer, sehingga mereka bahkan bisa melawak hanya dengan mengandalkan kata-kata.

“Gagasan Mang Udel mungkin dianggap terlalu maju pada zamannya. Padahal itu merupakan spirit yang sangat baik dan seharusnya menjadi salah satu pilar profesionalisme para pelawak Indonesia,” ujar Darminto M. Sudarmo.

Untuk urusan skrip, Mang Udel menyerahkannya kepada Mang Cepot, otak di balik lawakan-lawakan Los Gilos. Los Gilos kemudian dianggap sebagai pelopor lawakan cerdas yang penuh sindiran politik dan kritik sosial.

Namun mengikuti skenario tidak selalu mudah. Mang Udel menyebut ketidaksamaan daya tangkap dan kemampuan tak jarang membuat lawakan melenceng dari skenario. Bing seringkali jadi biang keladinya –sekalipun dari kekeliruan itu terkadang muncul kelucuan yang mengagetkan.

Menurut Darminto, Bing Slamet lebih mengandalkan spontanitas dan bahasa tubuh yang lebih komunikatif dan... berhasil. Gaya Bing ini tanpa sengaja menjadi preseden bagi pelawak penerusnya. “Mereka mungkin lupa bahwa Bing Slamet sebenarnya juga selalu menyiapkan konsep, hanya saja konsepnya tak tertulis. Inilah kisruh persepsi yang keterusan bahkan hingga saat ini,” ujar Darminto.

Bing Slamet bersama Eka Sapta ketika tur ke Eropa. (Dok. Keluarga Bing Slamet).

Spontanitas Bing inilah yang membuatnya segera jadi bintang Los Gilos. Dengan talentanya yang berlimpah, dia bisa berlagak bak perempuan atau anak kecil atau menyanyi dengan banyak logat dan lagu.

Selain melawak, ketrampilan Bing memetik gitar dan Mang Udel memainkan ukulele memberi warna dalam penampilan Los Gilos. Tak heran jika ada yang menyebut, “Trio ini mungkin bisa disebut sebagai kelompok lawak yang beresensi musikal,” tulis Rudi Badil dalam Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. “Konon, nama Trio Los Gilos itu merupakan plesetan dari Trio Los Panchos, kelompok musik Meksiko yang ngetop di paruh era 40-an hingga 50-an.”

Los Gilos juga sempat bermain dalam film Raja Karet dari Singapura bersama sejumlah pelawak macam Kuncung, Poniman, D. Harris, dan Srimulat. Sayang, film ini tak laku.

Namun, Mang Udel dan Mang Cepot terikat pekerjaan kantor. Keduanya juga menganggap melawak sebagai sambilan. Trio Los Gilos, “tidak pernah 100 persen profesional,” ujar Mang Cepot, dikutip Kompas, 16 Desember 1972. “Itulah sebabnya kami tidak pernah bisa memenuhi permintaan main di daerah-daerah.”

Kegilaan Los Gilos dengan menirukan pidato Bung Karno dalam lawakan ikut andil dalam pembubaran Los Gilos. Orang di sekeliling Bung Karno, ujar Arwah Setiawan seperti dikutip Des Alwi dalam “Bing Slamet dalam Dunia Lawak Indonesia”, dimuat Prisma tahun 1988, tak senang. Padahal Bung Karno sendiri senang saja.

Setelah bertahan selama 24 tahun, Los Gilos bubar pada 1963. Mang Udel dan Mang Cepot kemudian membentuk kwartet bersama Mang Topo, sementara Bing Slamet membentuk Kwartet Jaya.

Grup lawak Kwartert Jaya. Kiri-kanan: Kho Tjeng Lie (Ateng), Bing Slamet, Eddy Sudihardjo (Eddy Sud), dan Iskak Darmo Suwiryo (Iskak), bersama Gesang (ketiga dari kiri) dan Benyamin Sueb (kanan). (Perpusnas RI).

Sudah Dianggap Lucu

Bersama Edy Sud dan Atmonadi, Bing membentuk grup trio SAE –singkatan dari nama mereka– pada 1967. Kelompok ini tak bertahan lama. Namun Bing masih bisa menahan Edy Sud untuk tetap bersamanya dan membentuk Kwartet KITA yang kemudian berubah nama jadi Kwartet Jaya dengan masuknya Iskak dan Ateng pada 11 Juni 1968.

Selain kekompakan, Kwartet Jaya mengoptimalkan kemampuan personelnya. Bing mahir menirukan logat bahasa dan gaya perempuan serta punya kemampuan menyanyi, main musik, dan bahasa Inggris. Iskak dengan gaya ketololan atau hidung peseknya. Ateng dengan bentuk tubuh dan gaya soknya. Eddy Sud lebih berperan sebagai dalang, yang mengontrol jalannya lawakan. Eddy Sud pula yang mengatur keuangan dan segala keperluan Kwartet Jaya.

Berbeda dari Los Gilos, Kwartet Jaya tak menyediakan skrip yang ketat. Kalau pun ada, hanya berupa garis besar dan setiap pelawak bisa melakukan improvisasi. Bagi Ateng, gaya Los Gilos seolah menjadikan pelawak seperti pemain orkestra.

Wartawan Ed Zoelverdi dari Tempo pernah menanyakan kepada Bing kenapa tak meniru Bob Hope. Bing menjawab, dia tahu ada tujuh orang di belakang Hope yang menulis lelucon-leluconnya. Untuk itu Kwartet Jaya pernah mengumumkan ke publik soal menerima naskah lawakan; jika cocok, mereka akan pakai dan memberikan honor. “Tapi sebegitu jauh tak ada yang datang,” ujar Bing, dikutip Tempo, 23 Desember 1972.

Kenapa tak menunjuk seseorang? “Siapa orangnya?”

Karena tak bisa seperti Hope, Kwartet Jaya pun bersandar pada ide-ide yang muncul di kepala personelnya dan improvisasi di atas panggung. “Timbulnya lawak itu baru waktu kita mau main, dan bisa ketemu ide. Sampai-sampai kita tidak tahu apa yang tadi kita keluarkan. Jadi kita kadang-kadang suka bingung sendiri; apa yang kita omongkan tadi, kok orang-orang pada ketawa,” ujar Bing.

Bing sendiri selalu bilang, sampai hayatnya, dia takkan pernah tahu rahasia lawak. “Sekadar melawak atau melucu, semua orang bisa. Tapi tak semua orang berhasil menggiring perasaan penonton sehingga menimbulkan rasa geli, lucu, dan gembira,” kata Bing dikutip Sinar Harapan, 7 Agustus 1971.

“Pokoknya bagaimana membuat penonton bisa tertawa,” ujar Bing kepada Sinar Harapan, 1 September 1973. “Mungkin karena kami sudah biasa dan sudah dianggap lucu.”

Bing Slamet berakting dalam film Koboi Cengeng (1974). (Perpusnas RI).

Dari Film hingga Iklan

Karena populer, Kwartet Jaya menjadi penghibur Golongan Karya dalam kampanye pemilihan umum pertama di masa Orde Baru tahun 1971. Mereka juga tampil dalam iklan televisi Tiga Berlian, distribusi tunggal Mitsubishi di Indonesia, dan membintangi beberapa film.

Hampir semua filmnya menyedot animo penonton. Bahkan penonton Bing Slamet Koboi Cengeng, disutradarai Nya’ Abbas Akub, melampaui Ratapan Anak Tiri, yang dalam Festival Film Indonesia 1974 mendapat piala khusus buat film paling laku.

Bagaimana Bing berakting? “Bing Slamet, ketika di film, bermain benar. Bukan melucu, bukan ngelawak, tapi dia bermain. Saya bisa lihat dari matanya. Bagaimana matanya berbicara. Matanya bisa mengesankan sedih, marah, menjadi orang bodoh. Itu mataya gila Bing Slamet. Bener-bener kita liat aktingnya loh,” ujar Indro, yang mengidolakan Bing. “Buat saya akting komedi itu, saya ngeliat ke Bing Slamet.”

Koboi Cengeng adalah film terakhir Bing. Ketika film terakhir itu rilis, Bing dalam keadaan sakit. Pada 17 Desember 1974, Bing Slamet mengembuskan napas terakhir.

Sepeninggalnya, Kwartet Jaya mencoba bertahan. Selama setahun mereka masih tampil di berbagai petunjukan. Lewat Kwartet Jaya Film Corp, mereka juga merilis film Tiga Sekawan pada 1975.

Namun, tanpa Bing, kekompakan Kwartet Jaya goyah. Ateng dan Iskak keluar lalu bikin Ateng & Iskak Group yang disebut resmi berdiri pada hari meninggalnya Bing Slamet. Ateng-Iskak terus eksis, bahkan tampil dalam sejumlah film. Sup Yusup sempat masuk tapi tak lama. Tempatnya digantikan Suroso, eks Palapa Groups. Trio inilah yang tampil dalam acara Ria Jenaka di TVRI.

Sementara Edy Sud membuat Kwartet Jaya Baru dengan mengajak Mang Udel dan Kris Biantoro. Kwartet Jaya Baru juga tak bertahan lama. Edy Sud sendiri kemudian sibuk sebagai koordinator artis safari dan produser acara Aneka Ria Safari di TVRI.

Salah satu obsesi Bing Slamet yang belum terwujud adalah menerbitkan sebuah buku tentang dunia pelawak Indonesia. Sebab, “Sampai saat ini akademi-akademi teater belum ada pelajaran ini. Sedapat mungkin generasi mendatang mengetahui dengan pasti bagaimana identitas, bentuk, dan teknik melawak,” ujar Bing kepada Sinar Harapan, 7 Agustus 1971.

Presiden pelawak Indonesia sudah lama pergi. Dan hingga kini, jabatan itu masih lowong.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6579b0ade56fcdca53e28ae5