Konferensi Lembaga Kebudayaan Indonesia dihadiri oleh wakil-wakil organisasi kebudayaan se-Indonesia, Jakarta, 1950-an. (Hikmah, 26 April 1952).
Aa
Aa
Aa
Aa
TATKALA mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Bandung, H. Abdullah Aidid, kepala Jawatan Penerangan Agama dari Kementerian Agama, mendengarkan siaran musik tradisional RRI Jakarta. Terbersitlah ide menggunakan seni dan budaya sebagai saluran dakwah. Dia memerintahkan M. Nur Alian, kepala Seksi Kebudayaan pada Jawatan Penerangan Agama, memikirkan kelembagaannya.
Pada 24 September 1956, dengan dukungan Menteri Agama KH Mohamad Iljas dari NU, berdirilah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI). Nur Alian jadi ketuanya. Abdullah Aidid sendiri, ketika HSBI lahir, menjadi kuasa usaha di Yordania.
Sejak awal, HSBI bertujuan melawan pengaruh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. HSBI memusatkan kegiatan pada seni sastra, terutama drama, dengan pentas terbuka maupun siaran radio.
TATKALA mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Bandung, H. Abdullah Aidid, kepala Jawatan Penerangan Agama dari Kementerian Agama, mendengarkan siaran musik tradisional RRI Jakarta. Terbersitlah ide menggunakan seni dan budaya sebagai saluran dakwah. Dia memerintahkan M. Nur Alian, kepala Seksi Kebudayaan pada Jawatan Penerangan Agama, memikirkan kelembagaannya.
Pada 24 September 1956, dengan dukungan Menteri Agama KH Mohamad Iljas dari NU, berdirilah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI). Nur Alian jadi ketuanya. Abdullah Aidid sendiri, ketika HSBI lahir, menjadi kuasa usaha di Yordania.
Sejak awal, HSBI bertujuan melawan pengaruh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. HSBI memusatkan kegiatan pada seni sastra, terutama drama, dengan pentas terbuka maupun siaran radio.
“HSBI, sekalipun menyatakan independen, dekat dengan Partai Masyumi. Aktivis dan simpatisan Masyumi menggunakan HSBI sebagai wadah beraktivitas dalam kesenian dan kebudayaan,” tulis Choirotun Chisaan, “Pencarian Identitas Kebudayaann Islam Indonesia 1956–1965”, dimuat Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950–1965 suntinganJennifer Lindsay dan Maya HT Liem.
Peran Militer
Lima tahun sejak berdiri, HSBI tak menunjukkan kemajuan signifikan. Salah satunya karena faktor keuangan. Kegiatan HSBI meningkat ketika Yunan Helmy Nasution, seorang kapten TNI yang memimpin Biro III Pusat Rohani (Pusroh) Islam Angkatan Darat, terpilih sebagai ketua dalam Muktamar I Januari 1961. Dalam setahun, HSBI menggelar pentas drama di kota besar dan kecil di seluruh Jawa dan Sumatra Selatan.
Dukungan militer juga tampak dalam penerbitan Gema Islam pada awal 1962. Keberadaan majalah ini, tulis Choirotun, memungkinkan kegiatan seni lainnya berjalan lebih lancar dan teratur daripada sebelumnya.
Dalam Muktamar I, HSBI membentuk Majelis Seniman Budayawan Islam (MASBI), beranggotakan ulama-ulama, dengan ketua Buya Hamka. Tugasnya membahas berbagai hal mengenai seni dan budaya Islam di Indonesia.
“Masalahnya, lingkup kegiatan HSBI terbatas karena terus-menerus dikaitkan dengan Masyumi, yang telah dinyatakan ilegal,” tulis Jennifer Lindsay dalam pengantar Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950–1965.
“Karena persaingan dengan seniman kiri kian intens, taman dan auditorium masjid sering digunakan untuk acara-acara seni, pameran seni, pertunjukan teater, dan sebagainya, terutama yang diselenggarakan HSBI.”
Hamka sendiri kemudian mendapat serangan dari Lekra. Karyanya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, dituduh plagiat. Dan HSBI terkena hantaman pula.
Politik Kebudayaan
Menandai ulang tahun ke-7 HSBI dan pengumuman menjelang Muktamar II, Yunan menegaskan bahwa HSBI siap menjadi alat Kementerian Agama dan Pusroh Islam. Dia juga mengklaim bahwa pada 1963 HSBI memiliki 80 cabang di seluruh Indonesia.
Namun, persoalan Islam dan seni tampaknya tetap menjadi problem. Ide-ide Muhammad Shaltout, Syeikh al-Azhar yang populer di Indonesia, sering dikutip untuk menegaskan pentingnya seni dalam Islam. Tantangan lainnya: banyak ulama masih mengharamkan kegiatan seni. Makanya, ketika hendak pentas drama di desa-desa, anggota HSBI meminta para ulama menonton pertunjukan dulu sebelum mengeluarkan fatwa. Biasanya, karena pertunjukan itu mengandung nilai-nilai Islam, para ulama tak keberatan.
Dengan bersenjatakan fatwa ulama-ulama itu terbukalah kegiatan-kegiatan HSBI, baik untuk menyaingi Lekra, membentengi pemuda-pemuda Islam supaya jangan sampai menjadi mangsa Lekra, dan menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk memuaskan rasa seninya.
Namun, bagaimana menerapkan konsep Islam dalam kesenian? “Entah bagaimana umat Islam Indonesia tak pernah mampu merumuskan politik kebudayaan yang bisa diterapkan –hingga hari ini,” tulis Hendrik MJ Maier dalam “Chairil Anwar’s ‘Heritage: The Fear of Stultification”, dimuat di jurnal Indonesia, April 1987. Akibatnya, sastra Islam tak pernah mendapat perhatian di lingkaran sastra Jakarta dan sekitarnya.
Meski kegiatannya sebatas lokakarya, HSBI tetap bertahan hingga kini di bawah naungan Kementerian Agama.*