Melawan Orba dari Duren Tiga

Dari sebuah penerbit, Hasta Mitra yang menerbitkan novel-novel Pramoedya Ananta Toer, jadi penentang paling konsisten terhadap rezim Orde Baru.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Melawan Orba dari Duren TigaMelawan Orba dari Duren Tiga
cover caption
Ruang redaksi penerbit Hasta Mitra. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

HARI masih pagi. Hujan baru saja mengguyur Jalan Duren Tiga Selatan. Lalu lintas belum begitu ramai. Suasana di sebuah rumah lawas bernomor 36 juga terasa sepi. Dua tukang bangunan sibuk merenovasi ruang tamu. Seorang pembantu sibuk di dapur. 

Asni Joesoef Isak, pemilik rumah, dan anaknya, Desantara Joesoef, kemudian keluar menuju ruang tengah. Asni membeli rumah ini dari penduduk setempat pada 1976. Bangunannya masih setengah jadi. Namun dia butuh tempat tinggal. Rumahnya di Jalan Sisingamangaraja diambil paksa tentara. Dia pun membeli rumah itu. “Harga rumah ini tujuh juta kalau nggak salah,” ujarnya. 

HARI masih pagi. Hujan baru saja mengguyur Jalan Duren Tiga Selatan. Lalu lintas belum begitu ramai. Suasana di sebuah rumah lawas bernomor 36 juga terasa sepi. Dua tukang bangunan sibuk merenovasi ruang tamu. Seorang pembantu sibuk di dapur. 

Asni Joesoef Isak, pemilik rumah, dan anaknya, Desantara Joesoef, kemudian keluar menuju ruang tengah. Asni membeli rumah ini dari penduduk setempat pada 1976. Bangunannya masih setengah jadi. Namun dia butuh tempat tinggal. Rumahnya di Jalan Sisingamangaraja diambil paksa tentara. Dia pun membeli rumah itu. “Harga rumah ini tujuh juta kalau nggak salah,” ujarnya. 

Dengan bantuan kakak iparnya, Asni melanjutkan pembangunan rumah itu. Beberapa material yang bisa diambil dari rumah di Sisingamangaraja dipakai. Terutama teralis besi di jendela ruang makan. “Saya sayang betul karena si bapak yang desain,” ujar Asni. 

Sementara menunggu pembangunan selesai, mereka menumpang di rumah familinya di Ciniru, Jakarta. Begitu rampung, mereka pindah. Rumah itu terasa lengkap. Ada garasi. Ada taman depan, juga taman tengah yang memisahkan bangunan lama dan baru. Saat itu daerah ini masih sepi. Belum banyak rumah berdiri di sekitar rumahnya. Pekarangan masih luas. Jalan masih sempit, belum teraspal. Belum ada angkutan umum melintas di depan rumah. Bila ingin ke suatu tempat, orang harus berjalan kaki ke jalan raya Pasar Minggu untuk mendapatkan angkutan umum. Ketika pindah, salah seorang anaknya, Lutfi, kerap protes, menyebut kawasan ini sebagai “tempat jin buang anak”. 

Rumah No. 36 di Jalan Duren Tiga Selatan, Jakarta Selatan, tempat penerbit Hasta Mitra. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

“Posko” Perlawanan

Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi Merdeka dan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, tak tahu proses pembelian rumah itu. Saat itu dia mendekam di penjara Salemba. Selepas bebas tahun 1977, dia luntang-lantung tak punya pekerjaan. Cap “eks tapol” membuatnya sulit mencari pekerjaan. 

Beruntung, salah seorang sahabatnya bernama Koerwet Kartadiredja –mantan Menteri/Pimpinan Proyek Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (Kopelapip) Kabinet Dwikora II– menawarkan pekerjaan. Koerwet punya perusahaan Immer Motor yang terletak di Blok M. Koerwet pula yang mengajak Joesoef dan beberapa bekas tapol mendirikan perusahaan, Kencana Nandi, yang bergerak di bidang perdagangan umum. Namun, perusahaan itu tak bertahan lama. 

“Dia kan bisanya cuma nulis. Disuruh bisnis gitu-gitu mana dia bisa?” ujar Asni. “Malahan uang Koerwet akhirnya ludes.”

Namun, Joesoef tak pernah jemu memperjuangkan kebebasan berpendapat, hal langka semasa Orde Baru. Antara 1978–1984 dia klandestin ke berbagai tempat, termasuk sejumlah negara di Eropa Barat. Sebagai eks tapol, sulit rasanya bisa keluar negeri. Joesoef melakukannya dengan mengakali petugas imigrasi. Dia menghapus ET (Eks Tapol) yang tertera dalam KTP dengan tipp-ex dan lalu memfotokopinya. Fotokopi itulah yang dia lampirkan ketika mengajukan permohonan paspor dan exit permit

Ketika bertemu Patricia Derian di Kedubes AS di Jakarta pada 1978, Joesoef memanfaatkan kesempatan emas untuk “buka mulut”. Derian adalah deputi menteri luar negeri Amerika Serikat sekaligus utusan pribadi Presiden Jimmy Carter yang datang unuk mendesak pemerintah Soeharto menyelesaikan masalah tahanan politik. Meski “berat hati” dan mengaku tak terpengaruh tekanan luar, pemerintah Soeharto akhirnya membebaskan para tapol pada 1979. 

Dari sekian banyak tapol yang bebas pada 1979, ada bos harian Bintang Timur Hasjim Rahman dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, pengasuh “Lentera” di harian Bintang Timur. Keduanya lalu bekerja sama dengan Joesoef mendirikan penerbit Hasta Mitra (artinya tangan sahabat) pada 1980. 

“Hasjim meminta Joesoef agar bertiga mewujudkan penerbit Hasta Mitra yang sejak di Buru sudah dimimpi-mimpikan,” tulis Bonnie Triyana dan Max Lane dalam pengantar buku Liber Amicorum, 80 Tahun Joesoef Isak: Seorang Wartawan, Penulis, dan Penerbit.

Mereka lalu menyulap rumah Joesoef sebagai kantor. Ruang tamu berubah jadi sekretariat, dua kamar pembantu di belakang jadi gudang, dan bekas kamar mandi pemilik lama menjadi ruang redaksi. Joesoef mempekerjakan beberapa mantan tapol dan dua karyawan profesional. “Ada perempuan yang mengetik, dua orang, di belakang,” kenang Asni.

Hasjim meminta Joesoef agar bertiga mewujudkan penerbit Hasta Mitra yang sejak di Buru sudah dimimpi-mimpikan.

Buku pertama yang hendak diterbitkan adalah novel Bumi Manusia karya Pram, sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer. Ditulis semasa pembuangannya di Pulau Buru, novel ini merupakan sekuel pertama dari apa yang dikenal sebagai tetralogi Buru atau tetralogi Bumi Manusia. Tiga lainnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Isinya mengupas gerak sejarah di awal kebangkitan nasional dengan mengambil karakter utama Minke, yang adalah sosok Tirto Adi Soerjo, “Bapak Pers Nasional”. 

Pramoedya mengumpulkan seluruh berkas yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Dalam waktu tiga bulan dia berhasil menjalin dan merajutnya kembali. Joesoef menyunting naskah itu, Hasjim menangani urusan bisnis. Untuk menerbitkan novel itu, Hasyim harus putar otak untuk mencari dana. “Dia jual rumahnya di Talang Betutu untuk menerbitkan buku Bumi Manusia,” kenang Asni. Rumah di Talang Betutu atau Jalan Plaju itu kini jadi tempat penerbit Obor.

Bumi Manusia pun keluar pada Oktober 1980. Respons pasar sangat baik terhadap karya perdana Pram selepas bebas. Bahkan Wakil Presiden Adam Malik, yang mendapatkan buku itu dari Joesoef, memuji karya tersebut dan menganjurkan tiap anak Indonesia membacanya. Trio Joesoef-Pram-Hasjim pun diundang ke Merdeka Selatan. Adam Malik juga memberikan Bumi Manusia kepada Ibu Tien Soeharto, yang menurutnya sangat menyukai karya itu. Saking laris manis, buku itu sudah memasuki cetakan ketiga.

Namun, ujian pertama mengadang. Beberapa organisasi pemuda bentukan Orde Baru menggelar diskusi yang mengecam karya tersebut. Ramailah media menyiarkannya. Menyusul terbitnya Anak Semua Bangsa, Joesoef dan Hasjim dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung. 

Selama sebulan, Joesoef rutin ke Jl. Sisingamangaraja, tempat Kejaksaan Agung. Lucunya, setelah selesai interogasi dan mengatakan bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa resmi dilarang, si interogator diam-diam meminta satu kopi novel itu. Tak berselang lama, Joesoef ditahan selama enam bulan hanya gara-gara menghadiri acara ceramah Pramoedya yang dihelat Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (UI) pada September 1981. Acara itu sendiri batal karena dilarang. Empat anggota Senat Mahasiswa, Rafendi Jamin, Widi Krastawan, Alexander Irwan, dan Verdi Joesoef (putra sulung Joesoef Isak), juga ditahan dan setelah bebas dikeluarkan dari universitas. 

Dengan dalih mengandung ajaran marxisme-leninisme, pada Mei 1981 Kejaksaan melarang kedua buku itu. Toh, buku itu tetap beredar dari tangan ke tangan. “Semakin banyak mantan tahanan politik yang datang ke Jalan Duren Tiga dan meminta buku yang bisa mereka jual dari pintu ke pintu,” tulis Bonnie dan Max Lane.

Trio Joesoef-Pram-Hasjim diterima Wakil Presiden Adam Malik tak lama setelah novel Bumi Manusia terbit. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Tak Jera

Suatu hari, pada 1982, seorang lelaki berkulit putih dan bertubuh tambun datang ke rumahnya. Max Lane, staf Kedutaan Besar Australia, menanyakan apakah Hasta Mitra sudah mendapatkan penerjemah karya-karya Pram. Dari pembicaraan itulah Joesoef menyerahkan penerjemahan Bumi Manusia kepada Max Lane.

Max Lane bukan hanya menerjemahkan tapi juga mencarikan penerbit. Dia memilih Penguin Book Australia –kemudian diambil alih Penguin Book Amerika setelah nama Pram masuk sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel Sastra. Maka, terbitlah This Earth of Mankind yang menjadi salah satu buku best seller pada l982. Setelah itu, dia menerjemahkan karya-karya Pram lainnya. Karena aktivitasnya, Max Lane dipecat dari pekerjaannya. Namun, karya-karya Pram yang diterbitkan di luar negeri dalam beberapa bahasa, tak semalang “saudaranya” di Indonesia. Mereka aman beredar. 

Di Indonesia, Joesoef tak jera. Penerbitannya jalan terus. Tiap kali pula pembredelan terus mengiringi keluarnya buku-buku itu. Kerugian menjadi jalan cerita Hasta Mitra. “Dia nggak peduli buku itu laku atau tidak. ‘Yang penting tulisannya bisa dibaca orang’,” kenang Asni menirukan omongan Joesoef. 

Hasjim terus putar otak. Beberapa harta bendanya dia lego demi membiayai Hasta Mitra meski akhirnya satu per satu karyawan dirumahkan. Pada 1985, Hasta Mitra menerbitkan Jejak Langkah dan Sang Pemula. Sekali lagi, Kejaksaan melarang peredaran karya-karya itu. Hasta Mitra menahan diri untuk menerbitkan karya Pram lainnya. Mereka hanya menerbitkan karya-karya lama seperti Hikayat Siti Mariyah dan Cerita dari Blora. Toh, tetap saja dilarang. 

Subowo, karyawan Hasta Mitra sejak April 1980 sekaligus anak angkat Joesoef, mengatakan pada Agustus 1988, Joesoef beli Macintosh agar proses layout bisa dilakukan hingga siap dikirim ke percetakan secara diam-diam. Sejak itu pula, tak seorang pun diizinkan masuk ke ruang redaksi Hasta Mitra kecuali karyawan. “Bahkan keberadaan ruang redaksi Hasta Mitra itu sendiri dirahasiakan sama sekali dari pihak manapun, termasuk Pramoedya dan Hasjim Rachman sendiri.” Makanya, ketika Rumah Kaca terbit dan dilarang pada Juni 1988 lalu Joesoef dibawa Kejaksaan, ruang dan Macintosh tetap aman dari sitaan. 

Tekanan bukan hanya diberikan kepada Hasta Mitra. Pemerintah juga menangkap tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, yang membaca dan mendistribusikan karya-karya Pram. 

Sejak Mei 1998, keadaannya berubah. Hampir tiap hari, kata Subowo, ada tamu di ruang redaksi Hasta Mitra. Awalnya wartawan atau kawan Joesoef dari luar negeri, belakangan menyusul dari dalam negeri. Dari aktivis hingga mahasiswa. Dari Kolonel A. Latief hingga anak-anak muda dari Partai Rakyat Demokratik. 

“Joesoef dianggap oleh para tamu atau siapapun dapat menerangkan semua persoalan (politik) menjadi jelas, gamblang, dan mudah dicerna,” ujar Subowo. 

Hingga di masa pengujung, ketika Hasta Mitra tinggal digawangi Joesoef dan Subowo, orang-orang yang bertamu ke rumah Joesoef tetap ramai. Singkat kata, dari rumah No 36, semangat perlawanan terus hadir. Setidaknya Hasta Mitra sudah menerbitkan 90-an judul buku. Tak semuanya karya Pram. Tapi umumnya bertema sejarah. Kekuasaan yang dilawannya akhirnya runtuh. Pada Mei 1998, Soeharto jatuh. 

Joesoef sendiri tak bisa melawan usia. Dini hari 15 Agustus 2009 dia mengembuskan napas terakhir. Bersamaan dengan kepergiannya, Hasta Mitra kehilangan nakhoda –dua pendiri Hasta Mitra lainnya, Hasjim Rahman dan Pram sudah lebih dulu meninggal. Meski tak ada pembubaran resmi, orang-orang yang pernah ikut menjalankan Hasta Mitra memilih jalan masing-masing. Dan, “markas” pertama perlawanan Orde Baru itu kini kembali sepi.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6507f8521c901b3462b127b1
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID