Pegawai kolonial Belanda menyisir sungai bersama penduduk suku Mentawai menggunakan kano di Pulau Siberut, 1910. (Tropenmuseum).
Aa
Aa
Aa
Aa
KETIKA mengunjungi Maileppet di Pulau Siberut, Sumatra Barat, awal 1980-an, Gerard A. Persoon heran sekaligus terkesima atas sambutan yang diberikan Asak, tetua suku. Asak menyanyikan lagu Wilhelmus, dalam bahasa setempat, khusus untuknya.
“Bagaimana mungkin lagu tersebut bisa bertahan lebih dari 40 tahun di sebuah pulau terpencil di Indonesia, yang telah ditinggalkan Belanda tahun 1942?” ujar Persoon, antropolog Universitas Leiden, dalam artikelnya di buku ini.
“Aku tak pernah menyadari ada versi lokal dari salah satu simbol terpenting identitas nasional orang lain. Mengapa seseorang mau mengingat sebuah lagu yang hampir pasti telah dipaksakan kepadanya oleh penguasa kolonial?”
KETIKA mengunjungi Maileppet di Pulau Siberut, Sumatra Barat, awal 1980-an, Gerard A. Persoon heran sekaligus terkesima atas sambutan yang diberikan Asak, tetua suku. Asak menyanyikan lagu Wilhelmus, dalam bahasa setempat, khusus untuknya.
“Bagaimana mungkin lagu tersebut bisa bertahan lebih dari 40 tahun di sebuah pulau terpencil di Indonesia, yang telah ditinggalkan Belanda tahun 1942?” ujar Persoon, antropolog Universitas Leiden, dalam artikelnya di buku ini.
“Aku tak pernah menyadari ada versi lokal dari salah satu simbol terpenting identitas nasional orang lain. Mengapa seseorang mau mengingat sebuah lagu yang hampir pasti telah dipaksakan kepadanya oleh penguasa kolonial?”
Tak dikenalnya Wilhelmus versi bahasa Mentawai bukan semata disebabkan minimnya ketersediaan sumber penulisan sejarah atau kurangnya perhatian ilmuwan/sejarawan terhadap tema-tema di luar politik-kekuasaan. Tapi, menurut Bart Barendregt dan Els Bogaerts, penyunting buku ini, juga disebabkan sentimen nasionalisme kedua negara, yang membuat mereka menyaring ketat fakta-fakta sejarah. Akibatnya, teks-teks historis yang muncul tak jujur. Segala hal yang terkait keberadaan “lawan” sebisa mungkin dihilangkan dalam –bila ada, biasanya “lawan” ditulis sebagai antagonis. Fakta-fakta sejarah seperti pertemuan musik Mentawai-Belanda pun tak punya tempat. Ia akhirnya tersapu pusaran zaman dan terlupakan.
Wilhelmus versi Mentawai tak mungkin lahir tanpa ada sangkut-pautnya dengan aspek sosial-politik di era kolonial. Menurut Persoon, pertemuan musik Mentawai-Belanda –dan juga Barat lainnya– dimulai awal abad ke-20 seiring masuknya misi Kristen. Para misionaris Jerman, yang dipelopori A. Lett, membawa repertoar lagu rohani dan nonrohani sebagai media penyebaran agama. Mereka lalu menerjemahkan lirik lagu-lagu itu ke dalam bahasa Mentawai agar mudah dipahami masyarakat.
Dengan terbentuknya tata pemerintahan kolonial di Mentawai pada abad ke-20, yang termasuk telat dibanding daerah-daerah lain di Nusantara, jumlah musik Belanda nonreligi meningkat. Interaksi musik Belanda-Mentawai pun kian intensif. “Musik, lagu, lirik, irama, dan alat musik Belanda juga diperkenalkan ke kepulauan melalui sistem pendidikan,” ujar Persoon.
Pemerintah juga menerjemahkan lagu-lagu ke dalam bahasa setempat. Salah satunya Wilhelmus, yang kemudian dipaksakan sebagai lagu wajib oleh pemerintah kolonial.
Lantas, kenapa lagu tersebut masih terdengar di Mentawai, sementara sejak merdeka Indonesia membuang semua hal berbau kolonial. Menurut Persoon, itu bisa terjadi karena nasionalisme tak pernah memainkan peran signifikan dalam politik lokal di Mentawai. Selain itu, tak ada orang Mentawai yang tersinggung oleh kumandang Wilhelmus yang keluar dari mulut karib atau kerabatnya.
Musik Hibrida
Seperti Wilhelmus di masyarakat Mentawai, tamburu (drum Buton) beserta drumer dan tradisi permainan drumnya juga menjadi penanda pertemuan musik etnis di Indonesia-musik Belanda pernah terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara. Tamburu bukan hanya memperkaya khasanah musik Buton, yang kala itu sudah kaya pengaruh luar, tapi juga mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lain di luar seni musik.
“Pengaruhnya merentang mulai dari adanya versi bambu dari instrumen-instrumen asing berbahan kuningan, praktik-praktik yang umum terdapat di Asia Tenggara, hingga tradisi yang disebut tongkat gaung o-ore yang kini jadi bagian tetap ansambel diatonis,” tulis Miriam L. Brenner, etnomusikolog lulusan Universitas Utrecht, dalam esainya di buku ini.
Kisah pertemuan musik Buton-Belanda bermula tak lama setelah kedatangan VOC pada abad ke-17. Buton dan VOC lalu beraliansi meruntuhkan dominasi Makassar, tapi akhirnya pecah di tengah jalan. Ketika Antonio van Diemen menjabat gubernur jenderal, hubungan VOC-Buton memburuk. Buntutnya, VOC menaklukkan Buton pada 1637. Van Diemen dan pasukannya merayakan kemenangan itu dengan long march ke bukit di dekat ibukota kerajaan. Sepanjang perjalanan, serdadu-serdadu VOC menabuh drum. Selain untuk menjaga ritme barisan dan penanda sebuah perintah, suara-suara drum berfungsi mengintimidasi pihak lain.
Sultan Buton La Elangi terkesan oleh efek intimidatif suara drum-drum itu. Dia lalu memutuskan menggunakan drum –dan bendera– untuk seremoni-seremoni militer kesultanannya.
Van den Berg, linguis yang bekerja di keraton Kesultanan Buton, mengabadikan seremoni kesultanan pada 1937, Raraja Hadji. Menurutnya, sepanjang prosesi, drumer tamburu selalu ditemani alifirisi (pembawa bendera) dan letunani (pembawa tombak). Para drumer tamburu menabuh tamburunya menggunakan stik tipis –yang kemungkinan besar– bergaya Eropa. Mereka menggendong tamburunya dengan tali pengikat yang digantungkan di pundak atau diikatkan di pinggang (mirip marching band). Irama dan warna nadanya khas musik militer.
Bremmen tak menjelaskan proses awal kelahiran tamburu. Bagaimana sultan pertama kali mendapatkan tamburu dan bagaimana proses duplikasinya masih gelap.
Pertanyaan kritis senada juga dilontarkan Sumarsam, profesor musik di Wesleyan University, Connecticut, terhadap musik hibrida Indonesia-Belanda. Dalam esainya, dia misalnya mempertanyakan bagaimana suara –alat musik– Eropa bisa masuk ke dalam ansambel gamelan keraton (gendhing mares) atau kalangan pinggiran (tanjidor); apakah itu bagian dari dialog budaya semata, domestifikasi oleh para petinggi keraton, atau ada unsur pemaksaan dari penguasa kolonial. Yang pasti, proses kelahiran dan hasil dari pertemuan musik Indonesia-Belanda berbeda-beda di tiap tempat. Hal itu, menurut Sumarsam, terkait erat dengan peran sejarah regional, hubungan kekuasaan, serta sikap para musisi yang dibentuk oleh kondisi budaya dan sejarah masing-masing.
Menggali Lebih Jauh
Para sejarawan beberapa tahun belakangan ini mulai menggali lebih jauh fakta-fakta sejarah musik di Hindia Belanda. Mereka tak lagi semata berangkat dari teori poskolonial atau sumber-sumber resmi, tapi juga sumber-sumber alternatif seperti memoar, catatan para pelancong, penjelajah, pejabat pemerintah, atau ahli bahasa.
Di Indonesia, munculnya generasi muda yang sadar sejarah –tak lagi terkungkung sentimen nasionalisme– membuka peluang bagi dekonstruksi penulisan sejarah yang selama ini politik-sentris. Perspektif budaya-musik memiliki potensi untuk menutup celah kosong itu.
Dengan perspektif budaya-musik, buku ini memberi kita asupan pemahaman sejarah kehidupan masyarakat era kolonial secara lebih utuh. Fakta-fakta tentang dunia musik, lanjut Bart dan Els, “menawarkan sebuah prisma yang berguna untuk mempelajarai mekanisme sumbang dari kontrol dan penindasan yang begitu khas dari masyarakat kolonial.”
Namun, entah karena ketidaktersediaan data, keterbatasan ruang, atau faktor lain, beberapa tulisan dalam buku ini kurang lengkap dalam menyajikan proses pertemuan musik Belanda dengan musik etnis di Nusantara. Bagaimana respons awal masyarakat setempat –yang jelas tak semuanya menyambut baik– terhadap “penjajahan” lewat seni musik juga hampir tak mendapat perhatian.*