Memaknai Medis Mentawai

Pengobatan tradisional Mentawai merupakan ranting-ranting pohon kepercayaan Arat Sabulungan. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

OLEH:
Yose Hendra
.
Memaknai Medis MentawaiMemaknai Medis Mentawai
cover caption
Prosesi turuk (pengobatan tradisional Mentawai dengan melantunkan nyanyian roh) di Dusun Tinambu, Pulau Siberut. (Yose Hendra/Historia.ID).

KEHENINGAN di sebuah rumah kayu di dusun Tinambu, lembah Rereiket, pedalaman Siberut, Kepulauan Mentawai, pecah oleh dentuman gajeuma’ (gendang) yang mengiringi hentakkan kaki para kerei yang sedang melakukan upacara penyembuhan.  

Para kerei, tokoh spiritual yang juga ahli pengobatan, lalu memainkan turuk obbuk (turuk bambu), menjadikan bambu sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh. Bambu (bakatkatsaila) tersebut berisi secuil daging babi atau daging ayam yang telah dimasak, sedikit sagu, parutan kelapa, beberapa tanaman dan daun untuk obat seperti mumunen, air. Bambu digerak-gerakkan. Mulut komat-kamit baca mantra.

“Bambu menampung seluruh persembahan. Dan pada bambu juga roh dan jiwa dikandangkan, lalu dilakukan turuk lajo (menari),” ujar sikerei Mang Bagiat Salabok.

KEHENINGAN di sebuah rumah kayu di dusun Tinambu, lembah Rereiket, pedalaman Siberut, Kepulauan Mentawai, pecah oleh dentuman gajeuma’ (gendang) yang mengiringi hentakkan kaki para kerei yang sedang melakukan upacara penyembuhan.  

Para kerei, tokoh spiritual yang juga ahli pengobatan, lalu memainkan turuk obbuk (turuk bambu), menjadikan bambu sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh. Bambu (bakatkatsaila) tersebut berisi secuil daging babi atau daging ayam yang telah dimasak, sedikit sagu, parutan kelapa, beberapa tanaman dan daun untuk obat seperti mumunen, air. Bambu digerak-gerakkan. Mulut komat-kamit baca mantra.  

“Bambu menampung seluruh persembahan. Dan pada bambu juga roh dan jiwa dikandangkan, lalu dilakukan turuk lajo (menari),” ujar sikerei Mang Bagiat Salabok.

Tarian cukup sederhana, tapi terasa magis. Lebih banyak menghentakkan kaki sambil membuat lingkaran, mengikuti irama gendang.  

Tiba-tiba jemari kekar Mang Bagiat Salabok tak kuasa lagi menahan bambu yang terus bergerak liar. Dan akhirnya dia trance, tak sadarkan diri. Dimasuki simagre (jiwa atau roh leluhur). Kerasukan.  

Empat orang harus memegangnya hingga simagre bisa dijinakkan. Sementara kerei lain tetap menari sambil melantunkan urai ukui (nyanyian roh).  

Ada banyak nyanyian untuk memanggil roh leluhur atau nenek moyang. Syair-syairnya tercipta spontan ketika kerei melakukan pengobatan. Umumnya bertema alam dan spiritualitas. Muara semuanya sama: minta kekuatan dari roh para leluhur yang juga mendiami alam sekitar manusia.

Aroma magis kian terasa ketika para kerei berjalan pelan sambil melantunkan mantra, memercikkan air dari dedaunan yang dikibaskan di tiap sudut rumah dan berakhir pada si sakit. Ramuan dari tetumbuhan lalu dioleskan ke sekujur tubuh si sakit.  

Si sakit tertegun. Tubuhnya yang pucat pasi perlahan memerah. Dia mulai menggerakkan badan.

Sebagai akhir pengobatan melalui upacara penyembuhan (pabetai) sekaligus malam hiburan bagi warga, para kerei melakukan turuk uliat dengan menirukan gerakan ayam, monyet, burung, elang, dan binatang lainnya.  

“Inti pengobatan tradisional Mentawai adalah lajo, bernyanyi dengan lirik memanggil simagre,” ujar Mang Bagiat Salabok.

Dua kerei di Dusun Rokdog, Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut, Sandro Tasiriguruk dan Paskalis Sarokdog mencari dan kemudian mengolah obat yang bersumber dari daun dan tanaman di hutan Rokdog. Mereka diminta mengobati salah seorang warga yang sakit di Rokdog. (Yose Hendra/Historia.ID).

Tradisi Kuno

Ritual pengobatan dengan turuk (menari dan menyanyi) berlangsung cukup lama dan melewati berbagai tahapan. Menurut Tarida Hernawati S, peneliti tradisi Mentawai, turuk ditujukan untuk menghibur roh-roh, baik roh si sakit maupun roh-roh sekitar mereka.  

“Masyarakat tradisional Mentawai percaya, tubuh yang sedang sakit bukan hanya karena tubuh yang terganggu tapi juga karena jiwa yang sedang bersedih,” ujar Tarida yang juga penulis buku Uma: Fenomena Keterkaitan Manusia dengan Alam.  

Selain pabetei, ada pengobatan dengan memberikan ramuan obat tradisional tanpa ritual atau disebut pasilagge. Biasanya untuk penyakit yang dianggap masih ringan atau bisa dikatakan pertolongan pertama kepada si sakit. Seperti pengobatan yang dilakukan sikerei Sandro Tasiriguruk dan Paskalis Sarokdog di dusun Rokdog, pusaran Siberut sisi Barat Tinambu.

Aileppetda satogaku, sia lek maleppet tubuSaila katsaila ra satogaku, sailaji ngangan oringen, sailaji boilo, sailaji ngangan rusa, sialek marorot tubu kababajak kabagat purimanuaijat/katsaila (Sehatkan kembali anakku yang tengah demam –aileppet, ademkan kembali seluruh tubuhnya. Oh leluhur, hilangkan penyakit dari tubuh dia, hindarkan dia dari sumber penyakit natural maupun dari roh. Mohon jangan datang kembali. Lindungi dia oh leluhur kami. Panjangkan umurnya sampai tua),” Sandro melafalkan mantra penyembuhan sembari memercikkan air dan parutan dedaunan ke kepala si sakit.  

Kapan tradisi pengobatan Mentawai ini dimulai? Jawabannya: sejak nenek moyang Mentawai mulai meneroka dan menancapkan peradaban lebih dari ribuan tahun lalu. Dan tradisi ini terus bertahan meski Kepulauan Mentawai sudah bersinggungan dengan dunia luar pada abad ke-17. Sayangnya, manuskrip yang menyebut tradisi pengobatan Mentawai sangatlah minim.  

“Dari riset yang saya lakukan di Leiden dan Den Haag, Belanda, beberapa waktu lalu, tidak banyak catatan detail awal sejarah tradisi ritual dan upacara yang dijalankan kerei,” ujar Maskota Delfi, antropolog Universitas Andalas.  

Para antoprolog maupun etnolog melihat turuk telah menjadi mata rantai dari kepercayaan Arat Sabulungan, agama asli Mentawai. Maka, pengobatan semacam turuk diyakini sudah ada sejak Arat Sabulungan menjadi agama.  

Arat Sabulungan memuat sistem pengetahuan, aturan, dan nilai-nilai hidup orang Mentawai. Agama ini mengajarkan keselarasan manusia dengan alam.  

Dalam ajaran Arat Sabulungan, semua benda baik hidup maupun mati, dipercaya memiliki jiwa atau pancaran kekuatan yang disebut bajou. Karena begitu banyak jiwa yang beredar dalam kehidupan supranatural Mentawai, konfrontasi bajou tak terelakkan. Yang kuat akan mendikte yang lemah. Sifat kontaknya kadang tiba-tiba. “Inilah pangkal sakit dari sudut pandang etiologi orang Mentawai,” ujar Maskota.

Orang yang dianggap mampu menenangkan dan menguatkan jiwa yang sakit sembari menyingkirkan bajou dari tubuhnya adalah kerei. Untuk proses penyembuhan, kerei memerlukan daun-daunan atau tumbuhan (mumunen) dan mantra sebagai perantara (gaud).  

“Daun-daunan dan mantra menjadi sarana dalam berkomunikasi dengan dunia supranatural,” ujar Maskota.

Prosesi turuk (pengobatan tradisional Mentawai dengan melantunkan nyanyian roh) di Dusun Tinambu, Pulau Siberut. (Yose Hendra/Historia.ID).

Menjadi Kerei

Dalam mitologi kuno Mentawai, kerei digambarkan sebagai seorang anak muda bernama simalinggai. Ia memiliki koneksi intim dengan hutan. Di hutan ia tumbuh besar, hidup dengan cara berburu dan meramu. Hutan juga tempat ia mendapatkan sumber kesembuhan apabila datang sakit.  

Sebagai ruang kehidupan, simalinggai digambarkan menjaga dan memelihara segala isi hutan. Pengetahuan simalinggai sungguh banyak, tetapi tidak pelit untuk berbagi. Karakter simalinggai juga diadopsi oleh punggawa tradisi Mentawai yang disebut kerei.  

“Orang Mentawai menganggap simalinggai adalah asal-muasal kerei,” ujar Gerson Merari Saleleubaja, wartawan senior Mentawai.  

Menjadi kerei butuh proses panjang. Ia harus tahu tentang ramuan obat-obatan, ritual atau upacara adat, nyanyian-nyanyian, dan tarian. Semua didapatkan dengan belajar pada kerei senior (sipaumat) melalui suatu inisiasi yang begitu panjang dan banyak pantangan. Karenanya tak semua orang Mentawai tertarik menjadi kerei.  

Lazimnya kerei mesti menyediakan persyaratan tertentu seperti sepetak kebun berisi pohon kelapa, durian, sagu, babi, titik sungai, yang diberikan ke sipaumat. Kerei juga berpantangan pada makanan semacam daun paku, belut, dan ular.  

Ketika akan melakukan upacara penyembuhan, seorang kerei terlebih dahulu mandi khusus yang disebut magri, dengan tujuan membersihkan diri dari segala hal buruk. “Kerei juga menghias dirinya dengan daun-daun terutama pada saat menari (muturuk),” ujar Tarida.  

Ketika melakukan pengobatan, kerei mengenakan atribut seperti kabit (celana), abak ngalou (perhiasan cermin di leher), leilei (bulu ayam), dan sikairat atau tuddak (semacam ikat kepala). Sepulang mengobati, kerei wajib berpuasa minimal tiga hari; tidak berhubungan intim dengan istri, tidak memegang parang atau berhubungan dengan kerja.  

Sudah menjadi sumpah, setiap pengobatan dilakukan tanpa pamrih. Namun, keluarga si sakit memahami bahwa setiap ritual yang dilakukan kerei punya konsekuensi tersendiri. Mereka biasanya memberi ayam atau materi lainnya tanpa dipatok untuk kerei.  

Kerei bukan hanya ahli mengobati penyakit, tetapi juga pemimpin upacara adat (punen). Ia menjadi pemimpin dalam pelaksanaan berbagai upacara ritual karena kemampuannya sebagai perantara dunia manusia dan alam roh. Ia adalah tulang punggung ajaran Arat Sabulungan.

Tanah dan hutan Mentawai itu simbol ikatan kekerabatan, ikatan sosial, ikatan batin keluarga, dan sumber pangan serta obat.

Menggulung Arat Sabulungan

Meski menjadi penanda identitas orang Mentawai, Arat Sabulungan sering diasosiasikan orang luar sebagai kepercayaan primitif. “Untuk memajukan orang Mentawai yang ‘primitif ’ tersebut maka penanda identitas tersebut harus dihilangkan dan menjadi tugas pemerintah yang berkuasa untuk mengintrodusir agama resmi sebagai penanda kemajuan,” ujar Maskota.  

Usaha menggulung Arat Sabulungan dilakukan pemerintah kolonial. Menurut Stefano Coronese dalam Kebudayaan Suku Mentawai, berdasarkan catatan resmi, August Lett, misionaris Protestan dari Jerman, tiba di Pulau Pagai tahun 1901 untuk memenuhi permintaan pemerintah kolonial menyebarkan agama. Beberapa tahun kemudian mereka memperluas agama Protestan ke Sipora dan Siberut. Demi memperluas agama, misionaris Protestan secara bertahap melarang sistem kepercayaan tradisional, yang berpusat di sekitar kegiatan kerei.  

“Dalam surat-suratnya ia menyatakan orang Mentawai bersifat ramah, namun tidak begitu berminat pada ajaran yang hendak disampaikan olehnya, sebab mereka sepenuhnya berada di bawah pengaruh para dukun,” tulis antropolog Reimar Schefold dalam Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai.  

Kendati membaptis segelintir orang Mentawai, upaya Lett tak berhasil. Dia sendiri dibunuh penduduk lokal. Pemerintah Hindia Belanda kemudian hanya sedikit mengutak-atik tradisi Mentawai. Upacara-upacara yang besar masih diperbolehkan.  

Beberapa dekade kemudian, sekitar 1952, para pedagang Sumatra memperkenalkan Islam ke Mentawai dan tiga tahun kemudian misionaris Italia memperkenalkan Katolik. Tantangan bagi Arat Sabulungan kian berat ketika pada 1954 pemerintah berupaya menggulung agama-agama di luar agama yang diakui pemerintah, termasuk Arat Sabulungan.  

Dengan payung Undang-Undang Dasar Sementara 1950, terutama pasal 43, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (Panitia Interdep Pakem). Tujuannya untuk mempelajari dan mengusulkan kepada pemerintah mengenai kepercayaan-kepercayaan di dalam masyarakat dan membatasinya untuk “ketenteraman kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat”.

Surat keputusan itu langsung direspons pemerintah Sumatra Barat dan Kabupaten Padang Pariaman yang membawahkan Kepulauan Mentawai. Mereka menghelat Rapat Tiga Agama yang merepresentasikan Protestan, Islam, dan Arat Sabulungan yang hidup dan berkembang di Mentawai.  

Menurut Herman Sihombing dalam Mentawai, Rapat Tiga Agama diinisiasi pemerintah untuk meminimalisir kemungkinan konflik dalam perebutan penganut “ajaran primitif” Arat Sabulungan antara komunitas Islam dan Protestan.  

Rapat memutuskan, dalam tiga bulan, orang-orang Mentawai harus memilih Islam atau Protestan –kemudian Katolik ditambahkan sebagai pilihan resmi. Mereka juga harus meninggalkan Arat Sabulungan, yang dianggap bukan sebuah agama melainkan aliran kepercayaan.  

“Rapat tersebut lebih tepatnya disebut Rapat Dua Agama,” ujar Maskota.  

Maskota menambahkan, kedua agama yang mulanya ditawarkan menunjukkan perebutan pengaruh agama dan etnis dominan di pusat kemajuan Mentawai seperti Muara Siberut, Sikakap, dan Tuapeijat. Islam sebagai gambaran wajah Minang, sementara Protestan mewakili etnis Batak.  

Setelah pelaksanaan Rapat Tiga Agama, pemerintah melakukan pengawasan secara ketat dan keras terhadap praktik-praktik ritual Arat Sabulungan. “Pemerintah melakukan pengawasan yang disertai intimidasi terhadap orang Mentawai yang masih menjalankan ritual Arat Sabulungan, baik melalui pembakaran peralatan ritual dan juga penjara fisik,” jelas Maskota.

Pelarangan praktik Arat Sabulungan berlanjut di masa Orde Baru, bahkan lebih represif. Selain intimidasi, membangun opini juga dilakukan dengan mengaitkannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang. Otoritas setempat dengan sewenang-wenang menghentikan praktik kerei mengobati penduduk.  

Simbol adat seperti meruncing gigi, menato tubuh (titi), berambut panjang bagi pria perlahan menghilang. Namun, kerei sebagai pemegang kendali spiritual tak bisa dilumpuhkan. Simbiosis mutualisme antara kerei, alam, dan orang-orang Mentawai menjadikan kerei tetap eksis, seolah penanda Arat Sabulungan tidak sepenuhnya bisa digulung.

Sandro Tasiriguruk melapalkan mantra, lalu memercikan air dari ramuan yang diambil dari daun di hutan kepada seorang wanita yang sakit di Rokdog. (Yose Hendra/Historia.ID).

Apotek Alam Terancam

Hutan bagi masyarakat Mentawai adalah segalanya. Ia mata rantai kehidupan dan kematian dalam kepercayaan Arat Sabulungan. Ruang tempat roh tinggal, pangan, dan komoditas mengendap, serta obat-obatan tumbuh. Maka menjaga keharmonisan hutan wajib hukumnya jika tak mau dapat malapetaka.  

Namun, hutan juga menjadi satu-satunya objek berharga bagi pemerintah maupun pengusaha. Pada 1970-an keran konsensi dibuka. Beberapa perusahaan kayu mendapatkan konsesi dan mengeksploitasi hutan.  

Darmanto dan Abidah Billah Setyowati dalam Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Ekologi Politik memaparkan sejarah panjang usaha-usaha pendudukan tanah Mentawai dengan cara menebangi kayu di hutan secara masif. “Perubahan besar di Siberut disponsori oleh negara,” tulis Darmanto dan Setyowati.  

Kini, lebat hutan Mentawai hanya tersisa di Pulau Siberut. Di sisi lain, pembukaan perkebunan sawit skala besar tetap menghantui.  

Kortanius Sabeleake, pendiri Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), mengatakan eksploitasi tanah dan hutan Mentawai telah menjadi sumber konflik bagi baja’ (paman atau bapak), kemenakan, adik, dan keluarga lainnya. “Tanah dan hutan Mentawai itu simbol ikatan kekerabatan, ikatan sosial, ikatan batin keluarga, dan sumber pangan serta obat,” ujarnya.  

Penggerusan hutan tentu menjadi sinyal bahaya bagi tradisi Arat Sabulungan, termasuk pengobatan Mentawai yang mengandalkan tetumbuhan di hutan mereka.  

Terkait obat-obatan, peneliti Wanda Ave dan Satyawan Sunito dalam laporan berjudul “Medicinal Plants of Siberut” yang diterbitkan World Wide Fund for Nature (WWF) tahun 1990 menyebutkan sebanyak 233 jenis dari 69 famili tumbuhan telah diketahui dan dimanfaatkan untuk menyembuhkan 129 jenis penyakit. Hampir semuanya tumbuh-kembang di hutan dan dimanfaatkan oleh kerei.  

“Pengetahuan kerei tentang fungsi tumbuhan obat di Mentawai dianggap paling tinggi dan lengkap dibandingkan masyarakat asli lain di Indonesia,” tulis Darmanto dan Setyowati.  

Kendati upaya menghilangkan peran sentral kerei selalu gagal, keberadaan kerei tetap saja dinafikan otoritas terkait.  

Menurut Lahmuddin, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Mentawai, saat ini Mentawai punya satu rumah sakit sederhana, 21 unit puskesmas pembantu (Pustu), 69 unit pos kesehatan desa (Poskesdes), 34 unit pondok bersalin desa (Polindes), dan sekitar 600 tenaga medis. Namun, pemerintah belum menggarap potensi kerei untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat di daerah seluas 6.011 km2 yang terbagi empat pulau besar, dengan populasi hampir 70 ribu jiwa. “Belum ada kita berkolaborasi dengan kerei,” ujar Lahmuddin.  

Toh, sebagian besar masyarakat Mentawai masih mengandalkan pengobatan dari kerei. Itulah kenapa kerei dan pengobatan Mentawai masih lestari.*

Majalah Historia No. 25 Tahun III 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
665d8d2afcbdf56b4f84a239