Gelandangan punya banyak wajah. Dari kumpulan perampok hingga pejuang revolusi. Sampai sekarang gelandangan masih menjadi persoalan di kota-kota besar.
Bang Wili, 49 tahun, seniman jalanan, telah hidup menggelandang di jalanan ibukota sejak remaja. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
BERJARAK satu kilometer dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, terhampar sebuah taman kecil. Pepohonan menaunginya. Begitu rindang. Cukup untuk menghalau terik matahari. Suatu siang, dua lelaki duduk beralas matras di taman. Pakaian mereka lusuh, dari atas sampai bawah. Di dekat mereka ada buntelan sarung berisi pakaian.
Laki-laki pertama masih muda, berusia 30 tahun. Dia pendiam dan tertutup. Dia menyebut dari Papua. Laki-laki kedua sudah renta, kelahiran Jakarta tahun 1944. “Kami bertemu untuk satu alasan: sama-sama menggelandang,” ujar Bambang Sucipto, lelaki renta itu.
Lalu Bambang bercerita tanpa jeda. Dia menggelandang sejak 1994. “Kegagalan cinta. Rumah tangga saya hancur,” katanya. Dia masih punya anak dan saudara, tapi tak mau tinggal bersama mereka. “Biar saja saya jadi gembel. Biar bisa merasakan panas, hujan, kelaparan. Jadi orang kecil,” ujar Bambang, terkekeh.
BERJARAK satu kilometer dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, terhampar sebuah taman kecil. Pepohonan menaunginya. Begitu rindang. Cukup untuk menghalau terik matahari. Suatu siang, dua lelaki duduk beralas matras di taman. Pakaian mereka lusuh, dari atas sampai bawah. Di dekat mereka ada buntelan sarung berisi pakaian.
Laki-laki pertama masih muda, berusia 30 tahun. Dia pendiam dan tertutup. Dia menyebut dari Papua. Laki-laki kedua sudah renta, kelahiran Jakarta tahun 1944. “Kami bertemu untuk satu alasan: sama-sama menggelandang,” ujar Bambang Sucipto, lelaki renta itu.
Lalu Bambang bercerita tanpa jeda. Dia menggelandang sejak 1994. “Kegagalan cinta. Rumah tangga saya hancur,” katanya. Dia masih punya anak dan saudara, tapi tak mau tinggal bersama mereka. “Biar saja saya jadi gembel. Biar bisa merasakan panas, hujan, kelaparan. Jadi orang kecil,” ujar Bambang, terkekeh.
Bambang tak pernah khawatir urusan makan dan tidur. “Saya jual kardus, kaleng, atau botol bekas. Orang juga sering kasih saya uang. Yang penting saya tidak meminta,” katanya. Kalau mata sudah lelah, dia bisa tidur di manapun. Paling sering di emperan toko.
Belasan tahun hidup di jalan, Bambang bertemu banyak gelandangan. Macam-macam alasan mereka jadi gelandangan. “Ada yang karena miskin dan bangkrut. Tapi ada juga karena soal pribadi: homoseks dan banci,” terang Bambang.
Sikap hidup gelandangan juga beragam. Sebagian gemar bekerja, lainnya lebih suka mengemis. “Umumnya manusialah. Ada pemalas, ada yang rajin. Bedanya, kami tak punya rumah,” kata Bambang. Ini jauh dari stereotipe lumrah khalayak bahwa semua gelandangan adalah pemalas. Pemerintah berpandangan serupa. Mereka menilai gelandangan sebagai patologi sosial, penyakit. Mengobatinya harus dengan razia. Selalu begitu dari dulu.
Tapi Bambang tahu dan percaya gelandangan tak pernah seragam. Catatan sejarah menyokong argumentasi Bambang.
Jenis Pergelandangan
Sejarawan Onghokham mendefinisikan gelandangan sebagai pengembara. “Istilah ‘gelandangan’ berasal dari ‘gelandang’ yang berarti ‘yang selalu mengembara’, yang berkelana (lelana) menurut istilah dahulu dan yang lebih netral sifatnya,” tulis Onghokham, “Gelandangan Sepanjang Zaman”, termuat dalam buku yang disunting Paulus Widiyanto, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial.
Pada masa kuno, gelandangan bisa menjadi penguasa. Contohnya Ken Angrok (lahir 1182 M). Semasa muda, Ken Angrok pernah menggelandang. Ini bermula ketika dia diusir dari rumah oleh bapak pungutnya karena gemar berjudi. Di jalan dia bertemu Bango Samparan, sesama penjudi.
Bango Samparan mengajak Ken Angrok ke arena judi. Dia menang banyak dan berpikir Ken Angrok musababnya. Maka dia mengangkat Ken Angrok sebagai anak. Mereka hidup bersama dalam satu rumah. Tapi Ken Angrok tak betah berdiam lama. Tabiatnya selalu ingin berpetualang. Dia pun menggelandang lagi, mengumpulkan pengikut, dan bikin huru-hara: merampok dan merogol. “Lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Dia berhenti menggelandang setelah beroleh kuasa di Tumapel, Jawa Timur.
Gelandangan lain tak seberuntung Ken Angrok. Mereka konsisten jadi kecu, pencuri, dan pembegal. Padahal tadinya mereka bekerja sebagai budak. Tak puas dengan majikan, sebagian dari mereka kabur. Tak punya rumah, sawah, dan pekerjaan. Kembali ke keluarga pun malu.
“Di waktu tidak ada pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak kriminal seperti mencuri, membegal atau berkelompok menjadi perampok, garong atau kecu,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Masyarakat mengutuk laku kriminal mereka. Lebih-lebih cara hidup menggelandang. Kaum Kalang kena getahnya. Mereka kaum pinggiran di Jawa Tengah pada abad ke-14. “Mereka berpindah-pindah tempat dan selalu dianggap hina oleh penduduk yang sudah menetap yang menganggap mereka sebagai orang biadab dari hutan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3.
Namun, beredar pula di sebagian masyarakat pandangan luhur tentang gelandangan. Ini tersua dalam naskah berbahasa Sunda dari abad ke-15. Kisahnya mengenai seorang bernama Bujangga Manik. Dia menggelandang demi mencari makna hidup. Kisah serupa termaktub dalam Serat Centhini pada awal abad ke-19. Tokohnya antara lain Cebolang dan Amongraga. Mereka pengembara, pencari makna spiritual. Orang menyebut gelandangan demikian sebagai satrya lelana, berbeda dari batur.
Membangkang di Kota
Batur muncul dalam catatan Inggris pada 1814. Mereka hijrah ke kota lantaran gagal panen. Pemerintah sulit menghitung jumlah pasti mereka. Tapi, menurut Onghokham, di daerah Kedu, Jawa Tengah, jumlah mereka sekira 30 ribu. “Lebih banyak lagi para batur ini berada di kota-kota keraton dan pesisir,” tulis Onghokham.
Mereka bekerja mengangkut barang tanpa berpakaian. Hanya bercawat. Tempat tinggal mereka tak pernah tetap, tergantung majikan membawa mereka. Upah mereka kecil. Tapi saat Perang Diponegoro (1825–1830), batur tak cuma mengangkut barang, tapi juga membawa pesan untuk pasukan Diponegoro. Untuk menumpas mereka, Belanda bekerjasama dengan penguasa lokal. Mereka pun kocar-kacir dan jadi gelandangan sepanjang hayat di kota.
Pemerintah kolonial harus berurusan lagi dengan gelandangan pembangkang pada 1919. Kaum gembel, termasuk gelandangan, mendirikan Sarekat Kere di Semarang. “Tujuannya menghimpun orang-orang yang selalu miskin dan tidak punya bondo (harta, red.), tanpa memandang bangsa,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah. Pemimpin dan aktor intelektualnya bersimpati dengan Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Gerakan ini tak bertahan lama lantaran pemerintah cepat bereaksi dengan menangkap pemimpin dan anggotanya.
Pemerintah menghadapi tantangan lebih berat pada 1930-an. Resesi menerpa Hindia Belanda. Pabrik-pabrik tutup. Orang-orang kehilangan pekerjaan, baik bumiputra maupun Eropa. Mereka jadi gelandangan. Laporan ini berasal dari seorang jurnalis Eropa pada 1932.
Saat berjalan menuju Kantor Pos Pusat di Batavia, kaki jurnalis itu tersandung gelandangan tidur. Dia kaget gelandangan itu berkebangsaan Eropa, menyembul di antara gelandangan bumiputra.
“Sekarang dengan tidak ada lagi yang tersisa selain pakaian di badannya, dia berupaya bertahan hidup dari sumbangan orang-orang Indonesia di kampung terdekat yang memberinya nasi, juga dari orang-orang Eropa yang memberinya beberapa koin uang ketika mereka lewat di jalan,” tulis John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, mengutip De Telegraaf, 9 Desember 1932.
Gelandangan adalah hasil dan konsekuensi langsung dari proses ekonomi, politik, dan sosial yang meningkat khususnya di Pulau Jawa yang padat.
Berita itu tersebar. Pers Belanda mengingatkan pemerintah bahwa gelandangan bisa mengancam orde kolonial. Mengabaikan gelandangan Eropa, supremasi pemerintah bisa jatuh. Pemerintah bertindak cepat. Mereka mendirikan pusat dan kamp kerja.
“Pusat-pusat kerja dan kamp-kamp kerja terutama ditujukan untuk menjaga pengangguran Eropa dari kemalasan, untuk mengurangi jumlah tunawisma dan orang-orang Eropa miskin di jalan-jalan serta untuk mencegah pengangguran membawa kerusakan moral bagi pemuda Eropa,” lanjut Ingleson. Gelandangan bumiputra juga bisa masuk kamp dan pusat kerja khusus.
Lewat masa resesi, Belanda hengkang dari Indonesia. Jepang tak selalu simpatik terhadap gelandangan, yang jumlahnya meningkat. Mereka menilai gelandangan tak berdaya guna. Banyak laporan dari masyarakat tentang pencurian barang. Tersangkanya gelandangan. Karena itu, gelandangan ditangkapi dan ditampung. “Kentjo (pemerintah kota, red.) sendiri beroesaha soepaja kaoem toealang tadi mendjadi sehat dan koeat badannja dan dengan demikian dapatlah dikirim ke loear Soerakarta Kotji (Karesidenan, red.) sebagai Peradjoerit Ekonomi,” tulis Asia Raja, 18 Januari 1944.
Saat Belanda kembali menduduki Indonesia pada Desember 1948, gelandangan benar-benar berdaya guna. Bukan sebagai prajurit ekonomi, melainkan laskar gerilya kota penyokong Republik. Mereka ada di Yogyakarta, menggelandang karena Belanda merampas hak-hak mereka: harta, keamanan, dan keluarga.
“Bagi mereka yang merasa dimiskinkan, mereka akan menerima cara hidup menggelandang sambil ikut bergerilya sebagai cara untuk mendapatkan kembali haknya,” tulis Jang A. Muttalib dan Sudjarwo, “Gelandangan dalam Kancah Revolusi”, termuat dalam Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial.
Mereka membentuk organisasi gelandangan. Sebut saja Laskar Kere, Laskar Pengemis, Laskar Macan, dan Laskar Grayak. “Gerakan ini terus berlangsung sampai tentara Belanda meninggalkan Yogya 29 Juni 1949,” lanjut Jang A Mutallib dan Sudjarwo. Selesai revolusi, mereka berpencar. Sebagian kembali bekerja, sisanya terus menggelandang.
Bertahan di Kota
Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951–1953, sakit kepala. Jakarta kebanjiran penduduk. Tambahan penduduk datang dari daerah sekitar Jakarta seperti Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Bandung, Bogor, dan Banten. Ini terjadi karena, “belum pulihnja keamanan di pedalaman, maupun oleh karena akibat-akibat jang ditimbulkan oleh perdjoangan jang baru lalu, sehingga orang memilih djalan pindah ke kota,” tulis Kotapradja, terbitan 1952.
Sebagian besar migran penduduk miskin. Jumlahnya 50 ribu jiwa. Tak mampu beli tanah, mereka menyasar tanah-tanah peninggalan Jepang dan membangun gubuk. Jika petugas datang menggusur, gelandangan berpindah; cari tanah tanpa tuan dan membangun gubuk lagi. Begitu seterusnya.
Pada saat bersamaan, kebakaran sering melanda dan menghanguskan ribuan rumah. Puluhan ribu orang terancam menggelandang. Padahal Sjamsuridjal berencana menyejajarkan Jakarta dengan kota-kota lain di luar negeri. Maka Sjamsuridjal menggelar konferensi dengan residen Bogor, Banten, Pekalongan, Jakarta Raya, dan wakil gubernur Jawa Barat pada 29 Desember 1952 untuk mencegah gelandangan muncul di kota. “Konferensi telah menghasilkan panitia yang bertugas melaksanakan tempat penampungan dan mentransmigrasikan mereka,” tercatat dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah. Cara ini tak memecahkan masalah. Beratnya hidup di daerah transmigrasi dan minimnya keterampilan mengolah lahan membuat mereka memilih kembali ke Jakarta. Mereka kembali menjadi gelandangan.
“Di sana kami dikirim ke tengah hutan. Dalam rumah yang diberikan kepada kami, masih tumbuh rumput. Bagaimanapun juga, enakan di Jakarta,” kata mereka, dikutip Jacob Rebong, Anthony Elena, dan Masminar Mangiang dalam “Ekonomi Gelandangan”, termuat di Prisma No 3, Maret 1979.
Ketimpangan pembangunan membuat Jakarta kian dipenuhi gelandangan. Dari data Sensus Penduduk Jakarta 1961, terbitan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Badan Pusat Statistisk 1980, tercatat ada 8.519 gelandangan di antara 3 juta penduduk Jakarta.
Gelandangan bertahan hidup semampunya di kota. Tanpa jaminan sosial dan penghasilan pasti. Ini menarik minat mahasiswa antropologi Universitas Indonesia –kelak menjadi guru besar– Parsudi Suparlan. Dia meneliti masyarakat gelandangan di Jalan Budi Kemulyaan II, Jakarta, 300 meter dari Istana Negara, pada 1961.
Gelandangan di sana hidup penuh tekanan. Kedudukan hukum mereka yang lemah, tak punya izin atas penggunaan tanah dan bangunan, dieksploitasi pejabat pemerintahan, polisi, dan militer berpangkat rendah. Dari memberikan “uang keamanan” hingga menyediakan tenaga untuk membersihkan pelataran kantor.
Yang menarik, kesimpulan penelitian Parsudi berlawanan dengan stereotipe umum khalayak dan pemerintah mengenai gelandangan: pemalas, kotor, dan tidak bisa dipercaya. Sebaliknya, mereka “bekerja keras dalam usaha mereka mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya,” tulis Parsudi, “Orang Gelandangan di Jakarta”, termuat dalam buku yang disuntingnya, Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta telanjur jadi magnet. Orang-orang daerah datang ke Jakarta karena tertarik cerita keberhasilan teman atau sanak-saudara bahwa mendapatkan uang di Jakarta lebih mudah daripada bekerja di desa. Beberapa yang lain datang karena penindasan atau konflik politik di kampung halaman. “Banyak gelandangan di Jakarta selama 1950-an dan sampai awal 1960-an datang karena penindasan di Jawa Barat dan beberapa tempat di Jawa Tengah oleh tentara Darul Islam yang memberontak melawan rezim Soekarno,” tulis Parsudi.
Ambruknya perekonomian pada 1963–1965 menyebabkan peningkatan jumlah gelandangan, menjadi sekira 50.000 orang. Jumlah itu naik lagi sesudah Peristiwa G30S. Beberapa simpatisan Partai Komunis Indonesia memilih jadi gelandangan untuk menghindari pembunuhan massal.
“Hal ini sudah terbukti, ketika diadakan razia baru-baru ini, setelah diperiksa ternjata 12 orang di antaranja adalah orang-orang komunis,” tulis Selecta,4 Desember 1967.
Penelitian Parsudi memperkuat berita itu. Saat kembali meneliti gelandangan pada 1967, dia bertemu dengan gelandangan baru bekas anggota Barisan Tani Indonesia, organisasi sayap PKI. “Para gelandangan baru ini tinggal diam-diam, tidak berbuat sesuatu pun yang menunjukkan kegiatan politik,” tulis Parsudi.
Sementara gelandangan lama justru hidup enak. “Sebagai gelandangan dengan kerja mengorek-ngorek tong sampah dan mengumpulkan kertas-kertas, sehari-harinya mereka bisa memperoleh wang Rp75,” dikutip Selecta. Menurut Selecta, penghasilan ini bahkan lebih besar daripada pendapatan seorang pegawai negeri golongan bawah.
Kisah sukses seperti itu masih terdengar saat ini dan mendorong munculnya gelandangan baru. Sejumlah peraturan daerah dikeluarkan untuk membatasi masuknya pendatang maupun mengatasi gelandangan namun tak pernah bisa memecahkan masalah ini.
“Masalah gelandangan dan urbanisasi pada umumnya tak bisa dipisahkan dari proses yang lebih besar dari kontak budaya antara lingkungan pedesaan dan perkotaan. Orang tak menjadi gelandangan karena mereka ingin atau seperti yang dikonotasikan. Gelandangan adalah hasil dan konsekuensi langsung dari proses ekonomi, politik, dan sosial yang meningkat dalam satu dekade terakhir dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang padat,” tulis Parsudi.
Sampai sekarang gelandangan masih menjadi persoalan pelik untuk kota-kota besar.
“Masalah gelandangan bukan selalu pada keterampilan atau ekonomi,” kata Bambang Sucipto, gelandangan renta itu. Lalu dia menyodorkan kertas kepada Historia. Tertulis keterangan di kertas itu gelar lengkapnya: Pendeta Bambang Sucipto, Evangelis.*