Membangun Bisnis di Tanah Tropis

Sejumlah keluarga pedagang Armenia mendirikan imperium bisnis di Hindia Belanda. Mengandalkan hubungan keluarga dan perkawinan.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Membangun Bisnis di Tanah TropisMembangun Bisnis di Tanah Tropis
cover caption
Simpangsche Bazar, sebuah toko serba ada milik keluarga Sarkies. (Tropenmuseum).

PERJALANAN menuju “tanah harapan” tidaklah mudah. Dengan menunggang kuda, Catchick Edgar memulai perjalanan melewati daerah pegunungan di Bakhtiari, di mana malam begitu dingin dan perampok yang bersembunyi bisa kapan saja menyergap. Sesampai di pelabuhan Basra (kini Irak), dia berlayar menuju Madras sebelum meneruskan perjalanan melalui Kalkuta dan Singapura menuju Surabaya. Kakaknya, Galstaun Edgar, menyambutnya di pelabuhan.

Kala itu, 1866, Catchick masih berusia 18 tahun. Dia ingin mengikuti peruntungan kakaknya, yang memiliki Edgar & Co. di Surabaya. Catchick datang pada saat yang tepat. Kakaknya hendak memperluas usahanya.

Selain dibukanya Terusan Suez, “Galstaun melihat perkembangan mendatang yang sangat menguntungkan dalam perdagangan kolonial: pemerintah Belanda sedang bekerja untuk menghapus pertanian negara di Jawa untuk menciptakan ruang bagi swasta dalam hal kepemilikan lahan dan perdagangan bebas,” tulis Marie-Claire Melzer dan Marieke Klomp dalam Boy Edgar: het dubbelleven van een alleskunner. Boy Edgar dikenal sebagai musisi.

PERJALANAN menuju “tanah harapan” tidaklah mudah. Dengan menunggang kuda, Catchick Edgar memulai perjalanan melewati daerah pegunungan di Bakhtiari, di mana malam begitu dingin dan perampok yang bersembunyi bisa kapan saja menyergap. Sesampai di pelabuhan Basra (kini Irak), dia berlayar menuju Madras sebelum meneruskan perjalanan melalui Kalkuta dan Singapura menuju Surabaya. Kakaknya, Galstaun Edgar, menyambutnya di pelabuhan.

Kala itu, 1866, Catchick masih berusia 18 tahun. Dia ingin mengikuti peruntungan kakaknya, yang memiliki Edgar & Co. di Surabaya. Catchick datang pada saat yang tepat. Kakaknya hendak memperluas usahanya.

Selain dibukanya Terusan Suez, “Galstaun melihat perkembangan mendatang yang sangat menguntungkan dalam perdagangan kolonial: pemerintah Belanda sedang bekerja untuk menghapus pertanian negara di Jawa untuk menciptakan ruang bagi swasta dalam hal kepemilikan lahan dan perdagangan bebas,” tulis Marie-Claire Melzer dan Marieke Klomp dalam Boy Edgar: het dubbelleven van een alleskunner. Boy Edgar dikenal sebagai musisi.

Galstaun menjalin kemitraan dengan John Shahnazar Sarkies, seorang pengusaha Armenia di Batavia yang memiliki J.S. Sarkies & Co. Keduanya membentuk Sarkies, Edgar & Co. di Batavia, Surabaya, dan Singapura. Perusahaan ini mengekspor beras, kopra (daging kelapa kering) dan rempah-rempah dari Hindia Belanda, terutama untuk pasar Inggris. Mereka juga mengimpor bir dari Eropa untuk memenuhi kebutuhan hotel-hotel dan restoran yang tumbuh menjamur di Jawa.

Pada 1871, Galstaun bersama keluarganya pindah ke Singapura. Catchick menjadi manajer cabang Surabaya. John Shahnazar Sarkies kemudian juga pindah ke Singapura. Posisinya digantikan John Edgar, adik Galstaun dan Catchick. Bisnis berjalan lancar. Edgar & Co. tumbuh menjadi sebuah perusahaan internasional dengan kantor-kantor di Batavia, Surabaya, Bali, dan Singapura.

Pada akhir 1890-an, Edgar & Co. nyaris bangkrut. Pada 1914, empat putra Catchick –John, Albert, Freddy, dan George– menghidupkan bisnis keluarga di Surabaya. Mereka mengekspor kopi, kakao, tapioka, karet, kacang-kacangan, dan kulit binatang ke Eropa. “Perusahaan ini tumbuh dengan cepat. Dalam beberapa tahun mereka memiliki perkebunan kopi besar dan pabrikpabrik tapioka di Jawa,” tulis Marie-Claire Melzer dan Marieke Klomp.

Keluarga Edgar adalah bagian dari apa yang disebut “diaspora bisnis Armenia”, yang dalam beberapa generasi meraih sukses di negara-negara tempat mereka beroperasi.

Lukisan Eleazar Gregory Gasper karya Raden Saleh. (imexbo.nl).

Para Pedagang Terkemuka

Orang Armenia selalu diasosiasikan dengan perdagangan. Padahal, jumlah orang Armenia yang jadi pedagang adalah minoritas. Mayoritas adalah petani. Namun, kendati minoritas, pedagang Armenia berhasil menembus hampir semua sudut dunia. Menurut Margaret Sarkisia dalam “Armenians in South-East Asia”, dimuat Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 3, No. 2/3 (1987), ada dua unsur utama, selain bakat alam, yang memunculkan kecenderungan ini. Selain letak geografis Armenia yang memungkinkan terjadinya kontak dengan rute perdagangan dari timur dan barat, gejolak politik di dalam negeri memaksa mereka bermigrasi.

Pada abad ke-17 dan 18, komunitas dagang Armenia sudah eksis di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mereka membangun kerajaan bisnis di tengah persaingan dagang antara kongsi dagang Inggris dan Belanda. Alih-alih dianggap pesaing, mereka diajak kerjasama. Tak heran jika komunitas dagang Armenia tumbuh di wilayah-wilayah yang dikuasai Inggris maupun Belanda, termasuk di Jawa.  

Di Batavia, salah satu pedagang Armenia paling penting dan terhormat adalah Kevork/Gavork (George) Manouk(ian) Manuchariants atau George Manook. Lahir dari keluarga miskin di Julfa, Isfahan, George Manook datang ke Jawa dari Madras pada 1797. Dia mengimpor barang dari Kalkuta dan Madras dan mengekspor produk-produk Hindia.  

“George Manook adalah pedagang Armenia terbesar di Jawa pada abad ke-19. Dia menikmati hubungan pertemanan dengan penguasa dan dalam beberapa kesempatan meminjamkan uang dalam jumlah besar kepada pemerintah Hindia Belanda,” tulis Mesrovb J. Seth dalam History of the Armenias in India.

George Manook meninggal dunia di Batavia pada 2 Oktober 1827 di usia 64 tahun dalam kondisi membujang. Mariam, saudara perempuannya, mewarisi kekayaannya, yang kemudian digunakan untuk membantu komunitas Armenia. Mariam menikah dengan pedagang Armenia lainnya di Batavia, Hakob Haroutunian (Jacob Arathoon).  

Kendati umumnya eksportir, beberapa orang Armenia memiliki perkebunan tebu yang menghasilkan gula untuk kebutuhan ekspor. Salah satunya Martherus/Martirose/Martin Mackertich Zorab (1830-1901), mitra awal Gaulstan & Co., yang mendirikan Zorab, Mesrope & Co. di Jawa pada 1884 bersama James Aviet Mesrope. Perusahaan ini memiliki perkebunan gula dan tapioka yang besar. Namun, eksportir utama gula adalah Gasper & Co.

Gasper & Co. didirikan Eghiazar Gasparian alias Eleazar Gregory Gasper (1808-1859), yang menetap di Batavia pada 1853. Firmanya bertahan di kota ini selama tiga generasi. Putranya, Gregory Eleazar Gasper, memimpin bisnis keluarga setelah kematian ayahnya. Perusahaan ini memiliki cabang di Semarang yang secara teratur mengekspor gula dalam jumlah besar ke pelabuhan di Teluk Persia.  

Menurut Keram Kevonian dalam “Raden Saleh, témoin de la société arménienne de Java”, dimuat Archipel 76 tahun 2008, dari 1868-1895 G.E. Gasper juga memiliki daerah yang luas dari Tjikarang Zuid hingga Gedong Gedeh yang terletak di distrik Meester Cornelis di selatan Batavia, yang dibelinya dari seorang Tionghoa. Luasnya lebih dari 17.000 hektar. Dia menyerahkan pengelolaannya kepada orang-orang Tionghoa yang menghasilkan beras dan kopra.  

Dari Batavia, para pedagang Armenia kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Surabaya, dan tempat lain di Hindia.

Hotel LM Sarkies di Jalan Embong Malang. (Tropenmuseum).

Dari Gula Hingga Candu

Di usia 30 tahun, Hovsep Hovhannes Amirchan/Amirkhan atau lebih sering ditulis Joseph Johannes berlayar ke Hindia pada 1808. Setelah tiba di Batavia dan melakukan beberapa “pertemuan” dengan orang-orang Armenia terkemuka, dia menuju Semarang dan menetap di sana.  

Menurut keturunannya dalam situs http://www.imexbo.nl/josephjohannes-1.html, Joseph punya jalinan hubungan komersial yang baik dengan penguasa Inggris. Ketika Belanda kembali menguasai Hindia, dia memperluas usahanya. Dia membeli tanah untuk budidaya nila, kopi, dan teh serta memperoleh berbagai hak dalam transportasi berbagai barang melalui darat maupun laut. Dia juga mengimpor opium dari Kalkuta. Dia menjadi sangat kaya. Joseph meninggal dunia tahun 1835. Namun, dia sudah memantapkan jaringan bisnisnya di Jawa.

Berkat bantuan Joseph, keluarga Martherus, Andreas, dan Soekias (Martirosian, Andreasian dan Soekiasian). J. Martherus datang ke Jawa tahun 1824 dan bekerja di kantor Johannes, sementara kakaknya, G. Martherus, menjadi pedagang di Surabaya. J. Martherus terbunuh dalam perjalanan ke Semarang ketika pecah Perang Jawa. Andreas dan Soekias sukses mengikuti jejak Johannes.

Markar Soekias (Margar Soekiazian) memiliki tanah dan pabrik gula di kawasan Cumbring (Sumbring), di dekat Jepara. Menurut Alle G. Hoekema dalam “Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah”, dimuat di jurnal Gema Teologi Vol. 37 No. 1 tahun 2013, selain Markar Soekias, beberapa anggota keluarga Soekias lainnya datang dari New Julfa ke Jawa Tengah dan pada akhir abad ke-19 masih ada puluhan orang keturunan mereka di daerah Muria dan Semarang.

Keluarga Andreas, yang terdiri dari Basil, Paulus, dan Carapiet, memiliki perkebunan tebu di Trangkil dan Rendeng serta mengekspor gula ke Teluk Persia. Mereka membentuk Andreas & Co. Bersama keluarga Johannes, mereka bergabung dengan konsorsium pak opium (opiumpacht) untuk mendapatkan monopoli. Johannes dan Carapiet Andreas adalah partner kongsi Ho Yam Lo, yang menguasai pak opium di Semarang, Yogyakarta, Kedu, Surakarta, dan Madiun.  

Iklan travel ke Bali dari kantor Minas-Roosevelt. (Tropenmuseum).

Menurut James R. Rush dalam Opium to Java, opium sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional sejak akhir abad ke-16. Ia mulai tersebar luas di Jawa pada permulaan abad ke-19, yang membuat pak opium selalu diperebutkan. Orang-orang Armenia menyokong kepentingan pak dalam peran perantara. Modal utama berasal dari orang Tionghoa, sementara mereka memfasilitasi hubungan dengan pihak-pihak berwenang. Misalnya, pada 1858, Carapiet Andreas mengirim surat kepada penguasa agar 21 rumah madat di Pecinan Semarang dibebaskan dari gangguan polisi dan permintaan ini disetujui.

Pasar gelap, yang muncul akibat pembatasan jumlah opium resmi, juga melibatkan orang-orang Armenia. “Perusahaan milik orang Armenia yang berkantor di Surabaya mendominasi perdagangan ini. Mereka membeli opium melalui agen-agen di Turki, India, dan Singapura untuk rekan-rekan Tionghoa mereka dan kemudian mengirimkannya ke Bali,” tulis James R. Rush.

Penyelundupan berpusat di Bali, terutama Buleleng, sebelum dikapalkan ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan pulau lainnya. Di sana Mayor Cina The Tjing Siang, pengepak opium lokal, bekerjasama dengan rumah dagang milik Polack di Surabaya dan memasok beberapa kongsi penyelundup besar di Jawa. Edgar and Co. dan Zorab Mesrope juga terlibat dalam perdagangan ini. Umumnya rumah-rumah dagang Armenia memberikan pinjaman langsung kepada importir-importir opium gelap di Jawa.

Dalam laporannya tahun 1880-an, Asisten Residen Juwana Charles TeMechelen menyebut peranan Juwana sebagai pusat distribusi utama opium gelap untuk seluruh Jawa Tengah dan didanai rumah-rumah dagang Armenia di Surabaya. Gagasan TeMechelen untuk menyerang para penyelundup mendapat dukungan dari residen, bahkan gubernur jenderal. Setelah keberhasilan pemberantasan di Juwana, operasi serupa dilakukan di seluruh Jawa dan Bali.  

Orang-orang Armenia juga mengembangkan bisnis di Makassar. Pada 1870-an, Minas Stephens dan Johan Marcar Michaels mendirikan Michael, Stephens & Co., yang bergerak dalam ekspor kopra. “Mereka punya kantor pusat di Makkasar di Sulawesi, dengan cabang-cabang di Singaradja dan Ampenan di Bali,” tulis Han T. Siem dalam “The Armenian Minority in the Dutch East Indies”, dimuat http://hetq.am. Tulisan ini sebelumnya dimuat di majalah Filatelie yang terbit Januari 2012. Seth Paul (Seth Poghossian), yang dikenal sebagai pedagang yang pintar dan kaya, kemudian jadi pemilik saham terbesar rumah dagang tersebut.

Kantor pusat Michael, Stephens & Co. Ltd. di Makassar. (uniqpost.com).

Menghidupkan Sebuah Kota

Di Bali, selain aktif dalam perdagangan opium, orang Armenia ikut andil dalam memperkenalkan Bali sebagai tujuan wisata. Ini dilakukan Methuselah (Mathusaleb) Jacob Minas, seorang pedagang kopi. Minas pernah bekerja sebagai tourism guide Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda, sekitar 1920. Melihat potensi wisata Bali, bekerjasama dengan Andre Roosevelt, dia membuka agen perjalanan.  

“Sejak awal, KPM harus bersaing dengan beberapa petualang seperti Jacob Minas, usahawan Armenia, yang juga mengelola bioskop keliling, bekerja sama dengan Andre Roosevelt, seorang petualang Amerika, wakil dari American Express dan Thomas Cook di Bali,” tulis Michael Picard dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.

Selain dikenal sebagai pengusaha bioskop keliling, yang berkeliling dari kampung ke kampung dengan membawa portable projector untuk memutar film, Minas memiliki sebuah gedung bioskop di Singaraja. Bioskop ini kerap dijadikan tempat pertemuan Perkumpulan Surya Kanta maupun organisasi Muhammadiyah cabang Singaraja.

Tentu saja Bali tak semeriah Surabaya, yang menjadi pusat komunitas dagang dan sosial orang-orang Armenia setelah Batavia. Di sana, Amirkhan Johannes dan Mackertich Johannes dari Kediri serta Mackertich Abraham Nahapiet dari Surabaya terjun ke dunia hiburan dengan mendirikan Netherlands Indies Biograph Company pada April 1905. Netherlands Indies Biograph Company hadir dengan “sebuah tenda raksasa tahan air… dibuat di Amerika khusus untuk daerah tropis, [di mana] bisa memuat 2500 orang,” tulis Soerabaiasch-Handelsblad, 20 Mei 1905, dikutip dari Dafna Ruppin, “Drom ‘Crocodile City’ to ‘Ville Lumiere’: Cinema Spaces on the Urban Landscape of Colonial Surabaya”, dimuat Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 29 No. 1 tahun 2014. Seorang pengusaha Armenia lainnya mendirikan Aurora Biograph, yang menampilkan pertunjukan film di sebuah “tenda permanen” yang berlokasi di Pasar Besar –kini, Jalan Pahlawan bagian selatan.

Pasar Besar merupakan distrik komersial dan hiburan di Surabaya. Lokasi itu juga menjadi pusat penjualan tekstil, yang dipenuhi toko-toko milik orang Armenia. Tak heran jika lokasi itu dijuluki “Kampung Armenia”.  

Untuk melengkapi kebutuhan sebuah kota, orang-orang Armenia bergerak di bidang perhotelan. Dalam hal ini peran keluarga Sarkies begitu dominan. Lucas Martin Sarkies dan John Martin Sarkies mendirikan masing-masing Oranje Hotel dan Hotel Sarkies.

Kendati jaringan dagang orang Armenia begitu luas, sejatinya ia berada dalam lingkup yang kecil. Ini karena mereka umumnya membangun melalui hubungan kekeluargaan dan perkawinan yang begitu rumit. “Hal ini jelas kenyataan tak terbantahkan: sempitnya komunitas Armenia di Jawa, seperti halnya sorga diaspora Asia lainnya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai aliansi yang gagal, tidak menemukan alternatif di luar perkawinan,” tulis Keram Kevonian.  

Pada akhirnya kisah sukses bisnis orang Armenia di Hindia tak bisa dipertahankan lagi begitu Indonesia merdeka. Di masa peralihan penuh gejolak ini, orang-orang Armenia ikut menanggung akibatnya. Mereka menjadi bagian dari gelombang eksodus, meninggalkan apa yang sudah mereka bangun dari generasi ke generasi.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
676cc64b697189e04de891d2
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID